-->

iklan banner

Nasruddin Hoja, Humor, Dan Pendekatan Pragmatik

Nasruddin Hoja, Humor, Dan Pendekatan Pragmatik 
A. Nasruddin Hoja
Nasruddin (Nasr – ud – din) berarti “Menang Karena Yakin.” Nasruddin yaitu orang yang populer sangat lucu, cerdik, dan selalu punya cara untuk menjawab semua persoalan. Bahkan kini, kira-kira 600 tahun setelah ia meninggal, orang masih menertawakan dan mengingat trik-triknya, pikiran sehatnya, olok-oloknya, anekdotnya, kebijaksanaan dan kejujurannya (Owadally, 2003:13). 

Nasruddin Hoja dideskripsikan sebagai seorang tokoh yang tidak bisa ditempeli satu macam abjad tertentu. Kisah-kisah Nasruddin menggambarkan dirinya sebagai tokoh yang multikarakter dan seakan tidak berzaman. Setiap orang di setiap zaman bisa mengidentifikasi Nasruddin untuk kemudian tertawa lebar atau tersenyum simpul saat menyimak dongeng humornya.

Di tengah bermacam-macam pendapat ihwal tokoh ini, Nasruddin Hoja yaitu tokoh yang benar-benar ada, menyerupai Abû Nawas. Ada kesamaan dalam kisah-kisah kedua tokoh tersebut. Masing-masing tokoh dideskripsikan mempunyai kecerdikan dan rasa humor yang tinggi dan hampir di setiap humornya mengandung kritik sosial. Ada perbedaan besar antara Abû Nawas dan Nasruddin Hoja. Abû Nawas yaitu seorang penyair yang kurang taat beribadah. Ia juga dikenal sebagai pemabuk dan gemar berfoya-foya dalam kehidupan yang mewah. Abu Nawas gres mendalami agama pada masa tuanya. Sementara itu Nasruddin Hoja yaitu seorang ulama, guru, dan hakim yang hidup dalam kemiskinan. Maka dari itu kisah-kisahnya penuh dengan nilai-nilai moral dan agama (Winardi, 2006:4).

Nasruddin sebagai seorang hero dalam cerita-ceritanya hanya mempunyai senjata yang naïf, yaitu keluguan dan ketololan. Sekuat dan setangguh apa pun lawan yang dihadapi Nasruddin, sesulit dan serumit apa pun halangannya, ia selalu keluar sebagai pemenang atau setidaknya ia merasa menang. Menang tanpa harus melumpuhkan dan menyakiti, tanpa mempermalukan dan menghilangkan kehormatan lawan. Dia justru mengembalikan hati nurani sang lawan yang usang hilang. Nasruddin yaitu simbol perlawanan tanpa kekerasan, simbol kemenangan hati nurani. Dia mengajari makna hidup dengan segala kenaifan. Di tangannya kelemahan menjadi kekuatan, di hatinya ketidakberdayaan menjadi harapan. Di dirinya kesuraman menjadi keindahan yang mengasyikkan (Bagus, 2004:22-23). 

Nasruddin Hoja yaitu seorang ulama Turki yang hidup di final kala ke-14 dan awal ke-15. Nasruddin Hoja lahir di desa Khortu, Sivri Hisar, Anatolia Tengah, Turki pada- 776 H/1372 M. Pertama ia mendapat pendidikan dari ayahnya yang menjadi seorang imam di kotanya. Sepeninggal ayahnya, Nasruddin diangkat sebagai imam menggantikan kedudukan ayahnya. Setelah itu ia pindah ke kota Ak Shehir, Propinsi Konya, untuk melanjutkan pendidikannya. Dia berguru kepada guru-guru populer pada masanya, di antaranya yaitu Sayyid Mahmud Hairânî dan Sayyid Haji Ibrâhîm. Setelah menuntaskan pendidikannya, ia diangkat sebagai hakim di kota Ak Shehir dan sekitarnya. Dia juga dikenal sebagai guru terpandang yang telah mendirikan beberapa sekolah tinggi dan madrasah di beberapa kota (Winardi, 2006:18).

Baca Juga

Nasruddin yaitu seorang guru sufi yang cendekia dan kaya dengan humor. Dalam menyampaikan pelajaran atau latihan-latihan keruhanian, tak jarang ia menggunakan humor yang membuka pikiran murid-muridnya. Nasruddin Hoja yaitu ulama dari Mazhab Hanafî. Satu bidang yang sangat ia kuasai yaitu ilmu fiqih. Karena keluasan ilmunya, ia mempunyai banyak murid yang berjumlah lebih dari tiga ratus orang. Dari sinilah ia mendapat gelar “Khawja” atau “Hoca” atau “Hoja” yang di masyarakat Indonesia sama dengan gelar “Kiai.” Di wilayah Uighur, ia diberi embel-embel gelar “Avanti” atau “Effendi.” Di daerah lain ia diberi gelar “Maulana,” “Mullah,” dan “Syaikh.” Melihat gelar-gelar yang menempel padanya, terang ia merupakan tokoh yang dihormati. Bahkan dipercaya mempunyai kekeramatan para wali (Winardi, 2006:8-19).

Buku Kopruhu (1918) merupakan buku terlengkap pertama yang mengisahkan Nasruddin sebagai tokoh sejarah yang aneh, ditulis dengan merujuk pada penelitian-penelitian Bey terhadap goresan pena pada pecahan kerikil nisan yang ditemukan di Ak Shehir. Menurut pakar sejarah Ibrahim Hakkik Konyali, itu merupakan goresan pena pertama pada kerikil nisan yang ada hubungannya dengan Nasruddin yang dikisahkan dalam sejarah. Pada kerikil nisan tersebut tertulis tahun 683, cocok dengan tahun 1284-85 Masehi di mana Mullah meninggal. Dokumentasi lain pun telah memperlihatkan kebenarannya bahwa di tahun itu Nasruddin meninggal (Owadally, 2003:10-11).

Di Azerbaijan kisah Mullah Nasruddin disebarluaskan ke seluruh negeri. Kisahnya hingga berbekas sekali, bahkan ada sebuah kelompok sastrawan yang menyebut dirinya “Mazhab Nasruddin Hodja,” ditemukan oleh Jelil Memmed Kuluzade. Orang Kazakh pun sangat menyenangi Hoja, mereka membangun pusara untuknya di Alma Ata. Di Turkestan Timur namanya Afandi, banyak film, animasi, dan musik dibuat di sana. UNESCO telah meresmikan hari ulang tahun Nasruddin Hoja yang ke-700 pada tahun 1996 (Owadally, 2003:12).

Setiap orang yang membaca kisah-kisah Nasruddin sanggup melepaskan ketegangan, kesumpekan dan hiburan. Kisah-kisah humor itu sering kali menyentak kesadaran yang paling dalam. Memang yang paling lebih banyak didominasi dan yang mencuat pertama kali saat mendengar atau membaca kisah-kisah Nasruddin yaitu kejenakaan yang mengundang tawa. Tokoh ini seakan tak pernah dirundung duka. Ia selalu menghadapi dunia bahkan fenomena darul abadi dengan ketenangan dan kearifan yang jenaka. Berbagai perkara betapapun beratnya selalu dihadapi dengan riang. Namun, kejenakaan dalam kisah-kisah Nasruddin hanyalah makna artifisial yang gampang diserap semua orang. Hal lebih esensial yang bisa diselami dari kisah-kisah Nasruddin yaitu ungkapan-ungkapan moral yang menggelitik kesadaran dan mendorong arus kesadaran untuk mendapat pencerahan (enlightenment) yang lebih bermakna.

Kisah-kisah Nasruddin Hoja bersifat universal lantaran menggambarkan keadaan insan sebagaimana adanya, termasuk kelemahan umat insan pada umumnya. Kisah-kisahnya selalu relevan dengan citra keadaan masyarakat yang sesungguhnya, tanpa dibatasi oleh waktu, batas-batas geografis maupun bahasa.

B. Humor 
Humor yaitu sarana paling baik untuk melepaskan segala “unek-unek.” Orang-orang yang cerdas biasanya melepaskan diri dari himpitan hidup dengan cara membuat lelucon. Ladang paling subur bagi dagelan yaitu negara yang masyarakatnya sakit dan penguasanya otoriter, korup, dan kejam. Hebatnya pernah ada suatu masa, orang-orang menjadikan Nasruddin sebagai figur sentral bagi dagelan mereka. Nasruddin menyerupai tokoh tidak bersalah yang bisa seenaknya saja melontarkan kritik, nasihat, sindiran, bahkan ajukan kepada siapa saja termasuk kepada penguasa yang zalim. Tak jarang juga ia mengejek dirinya sendiri. 

Humor merupakan kegiatan kehidupan yang sangat digemari. Di sini humor menjadi pecahan hidup sehari-hari. Humor tidak mengenal kelas sosial dan sanggup bersumber dari banyak sekali aspek kehidupan. Humor yaitu cara melahirkan suatu pikiran, baik dengan kata-kata (verbal) atau dengan jalan lain yang melukiskan suatu undangan yang menjadikan simpati dan hiburan. Dengan demikian, humor membutuhkan suatu profesi berpikir. Seorang pakar budaya Jawa, Poerbatjaraka (dalam Vivin, 2003) menyampaikan dengan humor orang dibuat tertawa, setelah itu orang tersebut disuruh pula berpikir merenungkan isi kandungan humor itu, kemudian disusul dengan banyak sekali pertanyaan yang relevan dan karenanya disuruh bermawas diri. Humor bukan hanya berwujud hiburan, humor juga suatu undangan berpikir sekaligus merenungkan isi humor itu.

Humor sanggup tercipta melalui banyak sekali media, yaitu sanggup berupa gerakan tubuh, contohnya pantomim, berupa gambar, contohnya karikatur, komik, berupa permainan kata-kata menyerupai tertuang dalam goresan pena humor di buku, majalah, tabloid, maupun sendau gurau di sela-sela percakapan sehari-hari. 

Seperti yang telah disebutkan di depan, istilah humor berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘cairan dalam tubuh’. Cairan itu terdiri atas darah, lendir, cairan empedu kuning, dan cairan empedu hitam. Seseorang akan sehat jikalau cairan itu dalam proposisi seimbang. Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid ke-6 melalui Rozak (2003:10) dikatakan;

Keempat cairan dalam badan tersebut dianggap memilih temperamen seseorang. Temperamen seseorang akan seimbang apabila keempat cairan tersebut berada dalam proposisi seimbang. Jika jumlah salah satu cairan berlebih, timbullah ketidakseimbangan temperamen. Orang yang mempunyai kelebihan salah satu cairan (humor) disebut ‘humoris’, dan ia menjadi objek ketawaan orang lain. Tertawa dianggap sanggup menyembuhkan kelebihan tersebut. Kemudian humoris juga berarti orang yang sanggup membuat orang tertawa, yaitu seseorang yang terampil mengungkapkan humor.

Teori ihwal humor banyak dibicarakan dalam ilmu psikologi. Wilson melalui Lestari (2003:13) mengemukakan tiga teori yang membicarakan humor, yaitu (1) teori pembebasan, (2) teori konflik, (3) teori ketidakselarasan. Dalam teori pembebasan humor dipandang sebagai bentuk budi bacin emosional yang tampak seakan-akan mengancam tetapi pada karenanya tidak menunjukan apa-apa. Lihatlah teladan berikut ini.

Tak Bisa Makan
Seorang sahabat bertanya sesuatu kepada Nasruddin. Nasruddin menyuruh temannya itu mendekatkan indera pendengaran ke mulutnya, kemudian menjawab dengan bunyi lemah dan nyaris tak terdengar. Si sahabat itu heran dan bertanya, “Ya Mullah, mengapa suaramu pelan sekali ?”

“Aku sudah beberapa hari tidak bisa makan,” jawab Nasruddin lemah.

“Apakah tenggorokanmu sakit ? Atau, nafsu makanmu hilang ?”

“Bukan, bukan itu. Lantaran selama itu pula nggak ada yang nawarin saya makan” (Dwi, 2004:212)

Kelucuan dalam humor di atas terbentuk lantaran adanya budi bacin emosional yang dimainkan oleh penutur. Hal yang ada dalam benak lawan tutur yaitu tenggorokan yang sakit atau hilang nafsu makan, tetapi ternyata tidak ada yang menyampaikan kuliner pada Nasruddin. Dia yaitu seorang ulama miskin yang kadang susah sekali untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. 

Teori konflik menyampaikan tekanan pada implikasi sikap humor, yaitu konflik antara dua dorongan yang saling bertentangan. Pertentangan yang terjadi sanggup berupa kontradiksi antara keramahan dan kebengisan, antara main-main dan keseriusan, atau antara antusiasme dan depresi. Pertentangan itu merupakan teka-teki bagi para penikmatnya. Setelah mengetahui maksud percakapan (serius) yang dideskripsikan secara main-main, barulah lawan tutur atau penikmat humor mencicipi kelucuan humor itu. Perhatikan teladan berikut.

Petimati Datang
Pada suatu hari, seorang penduduk Akshehir meninggal. Istrinya menangis. “Oh, suamiku, ke manakah engkau akan pergi? Di sana gelap, tidak ada makanan, tidak ada apa-apa!”

Ketika Nasruddin mendengarnya, ia lari pulang dan berkata kepada istrinya, “Istriku! Buka pintu, petimati tiba ke rumah kita.” (Owadally, 2003:27).

Dari tuturan di atas, yang hendak disampaikan oleh Nasruddin yaitu informasi bahwa dirinya yang miskin dengan rumah yang gelap tanpa penerangan, sepi, tidak ada kuliner dan barang-barang yang berharga. Lebih singkatnya Nasruddin mengumpamakan rumahnya menyerupai kuburan. Informasi itu disampaikan dengan analogi Nasruddin sendiri secara ekspresif seakan-akan sangat meyakinkan.

Teori ketidakselarasan merujuk pada klarifikasi kognitif, yaitu menyangkut penggabungan dan makna tuturan atau dua interpretasi yang tidak sama, digabungkan dalam satu makna adonan yang kompleks, kemudian masuk ke dalam satu pola kognitif. Dengan kata lain, dalam benak lawan tutur sekaligus masuk dua makna yang berlawanan tetapi mengacu pada satu hal yang sama. Kondisi ketidakselarasan itu tidak umum dan abnormal sehingga menjadikan kelucuan dan terciptalah humor. Berikut ini yaitu teladan humor yang dibuat melalui teori ketidakselarasan.

Yang Terhormat Mantelku
Mullah Nasruddin mendengar bahwa ada suatu pesta makan digelar di dekat kota, dan setiap orang diundang. Dia pun buru-buru tiba ke sana secepat ia bisa. Ketika penyelenggara melihat Nasruddin bermantel compang-camping, ia menempatkannya duduk di sudut yang sangat tidak menarik perhatian orang-orang, jauh dari meja besar di mana orang-orang kaya sedang menunggu waktu mulai menyantap banyak sekali kuliner yang tersaji.

Satu jam telah berlalu, tetap tidak ada orang yang tiba melayani Mullah. Penerima tamu sibuk melayani orang-orang penting. Mullah pun berdiri dan pulang. Dia berdandan menggunakan pakaian kebesarannya, dan dengan mengenakan serban yang anggun ia kembali ke pesta. Segera setelah para tentara Emir melihat Nasruddin yang agung datang, mereka mulai memukul genderang dan meniup terompet. Mullah disambut dengan segala jenis bunyi-bunyian yang merdu. Mereka mempersilahkan Nasruddin duduk dekat Emir. Segera hidangan kuliner yummy pun disodorkan kepadanya. Cepat-cepat Nasruddin mulai menggenggam kuliner itu dan diselipkan ke dalam serban serta mantelnya.

Melihat ulah Mullah yang penuh teka-teki itu, Emir terpaksa berkata, “Kebiasaan makan Anda gres bagiku.” Sambil tersenyum Mullah menjelaskan, “Sama sekali tidak baru. Sebenarnya pakaian saya yang membawa saya ke sini, dan yakin mantel serta serban saya ini patut memperoleh makanan, bukan saya!” (Owadally, 2003:18-19).

Puncak kelucuan dalam humor di atas terjadi saat Nasruddin menjelaskan bahwa serban dan mantelnyalah yang patut mendapat makanan, bukan dia. Yang diucapkan Nasruddin merupakan wujud ketidakselarasan.

Dalam kerangka ini humor dipergunakan dalam arti sesuatu yang sanggup menjadikan atau menimbulkan pendengarnya (maupun pembawanya) merasa tergelitik perasaannya sehingga terdorong untuk tertawa. Tertawa sanggup terjadi lantaran ada sesuatu yang bersifat sanggup menggelitik perasaan lantaran kejutannya, keanehannya, ketidakmasukakalannya, kebodohannya, sifat pengecohannya, kejanggalannya, kekontradiktifannya, kenakalannya, dll.

Kisah-kisah Nasruddin selain mempunyai bentuk yang unik, wacana humor tersebut juga banyak menampilkan kritik sosial. Ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat diungkap dengan bahasa yang humoristis dan berkesan santai serta mengelitik pembaca. 

C. Pendekatan Pragmatik
Pragmatik mulai berkembang dalam bidang kajian linguistik pada tahun 1970-an. Kehadirannya dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpuasan terhadap kaum strukturalis yang hanya mengkaji bahasa dari segi bentuk, tanpa mempertimbangkan bahwa satuan-satuan kebahasaan itu sesungguhnya hadir dalam konteks yang bersifat lingual maupun extralingual. Diabaikannya konteks tuturan menimbulkan kaum strukturalis gagal menjelaskan banyak sekali perkara kebahasaan, di antaranya yaitu perkara kalimat anomali.

Perkembangan lebih lanjut ihwal pragmatik memunculkan banyak sekali batasan. Leech dalam terjemahan Oka (1993:32) mengemukakan bahwa, “Pragmatik merupakan studi ihwal makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar atau speech situations.” Lubis (1991:4) menambahkan bahwa bahasa merupakan tanda-tanda sosial dan pemakaiannya terang banyak ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor linguistik saja menyerupai kata-kata, kalimat-kalimat saja tidak cukup untuk melancarkan komunikasi.

Menurut Levinson (dalam Tarigan, 1987:33), pragmatik merupakan telaah mengenai kekerabatan antara bahasa dengan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa. Dengan kata lain, pragmatik yaitu telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. Pendapat lain dikemukakan oleh Wijana (1996:14) yang menyampaikan bahwa pragmatik menganalisis tuturan, baik tuturan panjang, satu kata atau injeksi. Ia juga menyampaikan bahwa pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana suatu kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi.

Rustono (1999:5) menyampaikan bahwa pragmatik yaitu bidang linguistik yang mengkaji korelasi timbal balik antara fungsi dan bentuk tuturan. Gunarwan dalam Rustono (1999:4) menambahkan bahwa pragmatik yaitu bidang linguistik yang mengkaji korelasi (timbal balik) fungsi ujaran dan bentuk (struktur) kalimat yang mengungkapkan ujaran.

Beberapa pendapat di atas walaupun dengan pernyataan yang berbeda tetapi intinya memperlihatkan kesamaan pandangan, lantaran kajian pragmatik mengacu pada penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan konteks. Makara sanggup disimpulkan, pragmatik yaitu ilmu yang menelaah bagaimana keberadaan konteks mempengaruhi dalam menafsirkan kalimat. Di sinilah letak perbedaan pragmatik dengan semantik, lantaran telaah semantik bersifat bebas konteks. Dengan kata lain, problem yang dikaji oleh semantik yaitu makna kata-kata yang dituturkan, dan bukan maksud tuturan penutur. Analisis terhadap humor Nasruddin sangat sempurna bila menggunakan pendekatan pragmatik. Untuk memahami bahwa humor-humor Nasruddin tidak semata-mata untuk melucu tetapi juga mengandung maksud dan tujuan, diharapkan pemahaman terhadap konteks yang melatarbelakangi humor tersebut. Pemahaman terhadap konteks merupakan salah satu ciri pendekatan pragmatik.

Pendekatan pragmatik dipergunakan untuk memahami taktik yang digunakan Nasruddin untuk membuat imbas lucu dalam humornya. Pemanfaatan ataupun penyimpangan terhadap maksim-maksim percakapan banyak dimanfaatkan Nasruddin untuk membuat kelucuan. Pembicaraan mengenai taktik tutur dan maksim-maksim yaitu bahasan dalam ilmu pragmatik. Dowty (melalui Tarigan, 1990:33) beropini bahwa pragmatik merupakan telaah mengenai ujaran pribadi dan tak langsung, presuposisi, implikatur, konvensional dan konversasional sehingga pendekatan pragmatik dipandang paling ideal dalam menganalisis humor-humor Nasruddin dalam skripsi ini. 

1. Aspek-aspek Pragmatik 
Humor menyerupai dijelaskan sebelumnya, sangat berkait dengan konteks situasi tutur yang mendukungnya, oleh lantaran itu, dalam mengkajinya perlu dipertimbangkan beberapa aspek situasi tutur menyerupai di bawah ini.

a. Penutur dan lawan tutur
Konsep penutur dan lawan tutur ini juga meliputi penulis dan pembaca bila tuturan yang bersangkutan dikomunikasikan dalam bentuk tulisan. Aspek-aspek tersebut yaitu usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.

b. Konteks tuturan
Konteks di sini meliputi semua latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh penutur dan lawan tutur, serta yang menunjang interpretasi lawan tutur terhadap apa yang dimaksud penutur dengan suatu ucapan tertentu.

c. Tujuan tuturan
Setiap situasi tuturan atau ucapan tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula. Kedua belah pihak yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu.

d. Tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan tindak tutur
Dalam pragmatik ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan yaitu kegiatan tindak ujar. Pragmatik menggarap tindak-tindak verbal atau performansi-performansi yang berlangsung di dalam situasi-situasi khusus dalam waktu tertentu.

e. Tuturan sebagai produk tindak verbal
Dalam pragmatik tuturan mengacu kepada produk suatu tindak verbal, dan bukan hanya pada tindak verbalnya itu sendiri. Makara yang dikaji oleh pragmatik bukan hanya tindak ilokusi, tetapi juga makna atau kekuatan ilokusinya. (Leech, 1993:19)

Pertimbangan aspek-aspek situasi tutur menyerupai di atas sanggup menjelaskan keberkaitan antara konteks tuturan dengan maksud yang ingin dikomunikasikan.

2. Teori Tindak Tutur
Tindak tutur dilakukan setiap orang semenjak bangun pagi hingga tidur kembali. Ribuan kalimat telah diucapkan selama 16 atau 18 jam setiap hari. Tidak pernah dipikirkan bagaimana terjadinya kalimat-kalimat yang diucapkan, kenapa kalimat tertentu diucapkan, bagaimana kalimat itu sanggup diterima lawan tutur dan bagaimana lawan tutur mengolah kalimat-kalimat itu kemudian menyampaikan tanggapan terhadap rangsangan yang diberikan, sehingga dengan demikian sanggup berdialog berjam-jam lamanya. Searle mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang sanggup diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi (Wijana, 1996:17).

1) Tindak Lokusi (locutionary act)
Tindak lokusi yaitu tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tuturan ini disebut sebagai The act of saying something. Dalam tindak lokusi, tuturan dilakukan hanya untuk menyatakan sesuatu tanpa ada tendensi atau tujuan yang lain, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi relatif gampang untuk diindentifikasikan dalam tuturan lantaran pengidentifikasiannya cenderung sanggup dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur (Parker melalui Wijana, 1996:18). Dalam kajian pragmatik, tindak lokusi ini tidak begitu berperan untuk memahami suatu tuturan.

2) Tindak Ilokusi (illocutionary act)
Tindak ilokusi ialah tindak tutur yang tidak hanya berfungsi untuk menginformasikan sesuatu namun juga untuk melaksanakan sesuatu. Tuturan ini disebut sebagai The act of doing something. Contoh, kalimat ‘Saya tidak sanggup datang’ bila diucapkan kepada sahabat yang gres saja merayakan pesta pernikahannya tidak saja berfungsi untuk menyatakan bahwa ia tidak sanggup menghadiri pesta tersebut, tetapi juga berfungsi untuk melaksanakan sesuatu untuk meminta maaf. Tindak ilokusi sangat sukar dikenali bila tidak memperhatikan terlebih dahulu siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan di mana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya.

Searle dalam Leech (1993:164-166) membagi tindak ilokusi ini menjadi lima yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi.
a. Tindak asertif merupakan tindak yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, artinya tindak tutur ini mengikat penuturnya pada kebenaran atas apa yang dituturkannya (seperti menyatakan, mengusulkan, melaporkan)

b. Tindak komisif ialah tindak tutur yang berfungsi mendorong penutur melaksanakan sesuatu. Ilokusi ini berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif lantaran tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada kepentingan lawan tuturnya (seperti menjanjikan, menawarkan, dan sebagainya)

c. Tindak direktif yaitu tindak tutur yang berfungsi mendorong lawan tutur melaksanakan sesuatu. Pada dasarnya, ilokusi ini bisa memerintah lawan tutur melaksanakan sesuatu tindakan baik verbal maupun nonverbal (seperti memohon, menuntut, memesan, menasihati) 

d. Tindak ekspresif merupakan tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap. Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap lawan tutur (seperti mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam)

e. Tindak deklaratif ialah tindak tutur yang berfungsi untuk memantapkan atau membenarkan sesuatu tindak tutur yang lain atau tindak tutur sebelumnya. Dengan kata lain, tindak deklaratif ini dilakukan penutur dengan maksud untuk membuat hal, status, keadaan yang gres (seperti memutuskan, melarang, mengijinkan).

Dari uraian di atas sanggup dikatakan bahwa pemahaman terhadap tindak ilokusi merupakan pecahan sentral untuk memahami tindak tutur.

3) Tindak Perlokusi (perlocutionary act)
Tindak perlokusi yaitu hasil atau imbas yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat (Nababan dalam Lubis, 1999:9). Tuturan ini disebut sebagai The act of affecting someone. Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya imbas (perlocutionary force) atau imbas bagi yang mendengarnya. Efek atau daya imbas ini sanggup secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan perlokusi. Tindak perlokusi ini biasa ditemui pada wacana iklan. Sebab wacana iklan meskipun secara sepintas merupakan gosip tetapi bila diamati lebih jauh daya ilokusi dan perlokusinya sangat besar.

3. Maksim-maksim Percakapan Grice
Salah satu kaidah berbahasa yaitu seorang penutur harus selalu berusaha supaya tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan gampang dipahami sehingga lawan tuturnya sanggup memahami maksud tuturan. Demikian pula dengan lawan tutur, ia harus menyampaikan tanggapan atau respons dengan apa yang dituturkan oleh penutur. Bila keduanya tidak ada saling pengertian maka tidak akan terjadi komunikasi yang baik. Oleh lantaran itu diharapkan semacam kolaborasi antara penutur dengan lawan tutur supaya proses komunikasi itu berjalan secara lancar.

Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kolaborasi itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan (conversational maxim), yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance) dan maksim pelaksanaan (maxim of manner) (Wijana 1996:46).

1) Maksim Kuantitas
Maksim ini mengharapkan supaya penerima tutur menyampaikan respons atau tanggapan secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan lawan tutur saja. Contohnya saat seseorang ditanya siapa namanya, maka ia tidak perlu menyampaikan tanggapan selain informasi ihwal namanya, menyerupai alamat, status, dan lain sebagainya.

2) Maksim Kualitas
Maksim percakapan ini mengharuskan setiap partisipan komunikasi menyampaikan hal yang sebenarnya. Artinya tanggapan atau respons hendaknya didasarkan pada bukti yang memadai. Contohnya saat seorang murid ditanya gurunya apa ibukota Jepang, maka ia kalau memang tahu harus menjawab Tokyo, lantaran hal tersebut tidak terbantahkan lagi. Namun bisa saja terjadi kesengajaan, seorang penutur melanggar maksim kualitas ini. Hal ini tentu mempunyai maksud menyerupai menjadikan imbas lucu (Wijana, 1996:49).

3) Maksim Relevansi
Maksim relevansi mewajibkan setiap penerima tutur menyampaikan donasi relevan dengan pokok pembicaraan. Maksim relevansi menekankan keterkaitan isi tuturan antar penerima percakapan. Setiap penerima percakapan saling menyampaikan donasi yang relevan dengan topik pembicaraan sehingga tujuan percakapan sanggup tercapai secara efektif. Namun terkadang secara tersurat (eksplisit) respons yang diberikan tidak terlihat relevansinya dengan pokok pembicaraan, lantaran sudah ada latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang sama antara penutur dan lawan tutur maka komunikasi masih tetap bisa berjalan. Dengan kata lain, yang tersurat (eksplisit) nampak tidak relevan namun, yang tersirat (implisit) sesungguhnya relevan.

4) Maksim Pelaksanaan atau Maksim Cara
Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap penerima percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, secara runtut dan tidak berlebih-lebihan. Bila hal ini dilanggar, biasanya penutur mempunyai tujuan tertentu, contohnya mengelabuhi, menjadikan imbas lucu.

4. Presuposisi, Implikatur, dan Entailment
Lubis (1991:59) menyampaikan bahwa yang disebut presuposisi (praanggapan) yaitu hakikat tumpuan yang dirujuk oleh kata atau frasa atau kalimat. Maksudnya kalau ada suatu pernyataan, maka selalu ada presuposisi bahwa nama-nama (atau kata benda) yang digunakan baik secara sederhana maupun beragam mempunyai suatu rujukan.

Jika ada orang menyampaikan bahwa “Film Ayat-ayat Cinta yaitu sebuah film yang baik” mempresuposisikan bahwa ada film yang berjudul ‘Ayat-ayat Cinta’, bila memang ada maka orang gres bisa menilai benar atau salahnya pernyataan tersebut.

Rustono (1999:103) mengemukakan pengertian praanggapan yaitu pengetahuan bersama antara penutur dan kawan tutur yang tidak dituturkan dan merupakan prasyarat yang memungkinkan suatu tuturan benar atau tidak benar. Stalnaker dalam Rustono (1999:98-99) mengemukakan bahwa praangapan yaitu apa yang digunakan oleh penutur sebagai dasar bersama bagi para penerima percakapan. Yang dimaksud dengan dasar bersama itu yaitu sebuah paraangapan hendaknya dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur sebagai pelaku percakapan dalam melaksanakan tindak tutur.

Grice dalam Wijana (1996:37) pada artikelnya yang berjudul Logic and Coversation menyatakan bahwa sebuah tuturan sanggup mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan pecahan dari tuturan yang bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature). Karena implikatur bukan merupakan pecahan proposisi yang mengimplikasikannya, korelasi kedua proposisi itu bukan merupakan korelasi konsekuensi mutlak (necessary consequence). Karena hubungannya yang tidak mutlak itu maka implikatur yaitu proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks (Lubis, 1991:68). Sedangkan entailment yaitu sebuah korelasi yang bersifat mutlak. Contohnya pada: 
(a) ‘Pak Hadi seorang duda’
(b) ‘Pak Hadi pernah punya istri’

Kalimat (a) dan (b) tidak akan pernah bisa diubah bentuknya menjadi :
(c) Meskipun Pak Hadi seorang duda, tetapi ia belum pernah mempunyai istri.

Bila hal tersebut dipaksakan maka kalimat tersebut menjadi tidak berterima.
Rustono (1999:101) mengemukakan istilah perikutan merupakan terjemahan dari istilah dalam bahasa Inggris : entailment. Gunarwan dalam Rustono (1999:102) menyatakan bahwa perikutan merupakan “implikasi” logis sebuah tuturan. Artinya, perikutan ini tidak lain merupakan pecahan atau konsekuensi mutlak dari sebuah tuturan. 

Entailment ini membentuk sebuah komposisi kalimat yang intinya harus mempunyai pertalian dan korelasi yang bersifat mutlak. Sebuah tuturan yang mengandung entailment harus mempunyai pecahan atau konsekuensi yang mutlak (necessary consequence) antarkalimat yang membentuk sebuah tuturan.

Jadi, penulis sanggup menyimpulkan bahwa entailment yang muncul dalam suatu tuturan itu merupakan suatu tuturan yang mempunyai keterlibatan yang mutlak dan berupa implikasi yang logis dari sebuah tuturan yang diujarkan itu.

Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com

Related Posts

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Nasruddin Hoja, Humor, Dan Pendekatan Pragmatik"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel