Pengertian Dan Sejarah Peradaban
Pengertian Dan Sejarah Peradaban
Pengertian Peradaban
Peradaban ialah mempunyai banyak sekali arti dalam kaitannya dengan masyarakat manusia. Seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk pada suatu masyarakat yang "kompleks": dicirikan oleh praktik dalam pertanian, hasil karya dan pemukiman, berbanding dengan budaya lain, anggota-anggota sebuah peradaban akan disusun dalam bermacam-macam pembagian kerja yang rumit dalam struktur hirarki sosial.
Istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah "budaya" yang terkenal dalam kalangan akademis. Dimana setiap insan sanggup berpartisipasi dalam sebuah budaya, yang sanggup diartikan sebagai "seni, adat istiadat, kebiasaan ... kepercayaan, nilai, materi sikap dan kebiasaan dalam tradisi yang merupakan sebuah cara hidup masyarakat". Namun, dalam definisi yang paling banyak digunakan, peradaban ialah istilah deskriptif yang relatif dan kompleks untuk pertanian dan budaya kota. Peradaban sanggup dibedakan dari budaya lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial dan bermacam-macam kegiatan ekonomi dan budaya.
Dalam sebuah pemahaman lama tetapi masih sering dipergunakan adlah istilah "peradaban" sanggup digunakan dalam cara sebagai normatif baik dalam konteks sosial di mana rumit dan budaya kota yang dianggap unggul lain "ganas" atau "biadab" budaya, konsep dari "peradaban" digunakan sebagai sinonim untuk "budaya (dan sering moral) Keunggulan dari kelompok tertentu." Dalam artian yang sama, peradaban sanggup berarti "perbaikan pemikiran, tata krama, atau rasa". Masyarakat yang mempraktikkan pertanian secara intensif; mempunyai pembagian kerja; dan kepadatan penduduk yang mencukupi untuk membentuk kota-kota. "Peradaban" sanggup juga digunakan dalam konteks luas untuk merujuk pada seluruh atau tingkat pencapaian insan dan penyebarannya (peradaban insan atau peradaban global). Istilah peradaban sendiri bergotong-royong bisa digunakan sebagai sebuah upaya insan untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya. Maka, dalam sebuah peradaban niscaya tidak akan dilepaskan dari tiga faktor yang menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban. Ketiga faktor tersebut ialah sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan IPTEK.
Sejarah Peradaban
PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban insan dan dari mana pula asal-usulnya, bergotong-royong masih ada hubungannya dengan zaman kita kini ini. Penyelidikan demikian sudah lama menetapkan, bahwa sumber peradaban itu semenjak lebih dari enam ribu tahun yang kemudian ialah Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh lantaran itu sukar sekali akan hingga kepada suatu penemuan yang ilmiah. Sarjana-sarjana hebat purbakala (arkelogi) kini kembali mengadakan penggalian-penggalian di Irak dan Suria dengan maksud mempelajari soal-soal peradaban Asiria dan Funisia serta menentukan zaman permulaan daripada kedua macam peradaban itu: adakah ia mendahului peradaban Mesir masa Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusul masa itu dan terpengaruh karenanya?
Apapun juga yang telah diperoleh sarjana-sarjana arkelogi dalam bidang sejarah itu, samasekali tidak akan mengubah sesuatu dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum memperlihatkan hasil yang berlawanan. Kenyataan ini ialah bahwa sumber peradaban pertama – baik di Mesir, Funisia atau Asiria – ada hubungannya dengan Laut Tengah; dan bahwa Mesir ialah sentra yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu ke Yunani atau Rumawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup kita kini ini, masih erat sekali hubungannya dengan peradaban pertama itu.
Apa yang pernah diperlihatkan oleh Timur Jauh dalam penyelidikam perihal sejarah peradaban, tidak pernah memberi imbas yang terperinci terhadap pengembangan peradaban-peradaban Fira’un, Asiria atau Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan dan perkembangan peradaban-peradaban tersebut. Hal ini gres terjadi setelah ada akulturasi dan saling-hubungan dengan peradaban Islam. Di sinilah proses saling pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah sedemikian rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban dunia yang menjadi pegangan umat insan cukup umur ini.
Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang dan tersebar ke pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di Asiria dan Yunani semenjak ribuan tahun yang lalu, yang hingga dikala ini perkembangannya tetap dikagumi dunia: perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bidang pertanian, perdagangan, peperangan dan dalam segala bidang kegiatan manusia. Tetapi, semua peradaban itu, sumber dan pertumbuhannya, selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa sumber itu berbeda-beda antara kepercayaan trinitas Mesir Purba yang tergambar dalam Osiris, Isis dan Horus, yang memperlihatkan kesatuan dan penjelmaan hidup kembali di negerinya serta kekerabatan kekalnya hidup dari bapa kepada anak, dan antara paganisma Yunani dalam melukiskan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bersumber dan tumbuh dari gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera; demikian setelah itu timbul perbedaan-perbedaan yang dengan penggambaran semacam itu dalam pelbagai zaman kemunduran itu telah mengantarkannya ke dalam kehidupan duniawi. Akan tetapi sumber semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan sejarah dunia, yang begitu berpengaruh pengaruhnya hingga dikala kita kini ini, sekalipun peradaban demikian hendak mencoba melepaskan diri dan melawan sumbernya sendiri itu dari zaman ke zaman. Siapa tahu, hal yang serupa kelak akan hidup kembali.
Dalam lingkungan masyarakat ini, yang menyandarkan peradabannya semenjak ribuan tahun kepada sumber agama, dalam lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa agama-agama yang kita kenal hingga dikala ini. Di Mesir dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia dibesarkan dan diasuh, dan di tangan para pendeta dan pemuka-pemuka agama kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan rahasia-rahasia alam.
Setelah tiba ijin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat di tengah-tengah Firaun yang berkata kepada rakyatnya: “Akulah tuhanmu yang tertinggi” iapun berhadapan dengan Firaun sendiri dan tukang-tukang sihirnya, sehingga akhirnya terpaksa ia bantu-membantu orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina. Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa, Ruh dan Firman Allah yang ditiupkan ke dalam diri Mariam. Setelah Tuhan menarik kembali Isa putera Mariam, murid-muridnya kemudian mengembangkan agama Kristen yang dianjurkan Isa itu. Mereka dan pengikut-pengikut mereka mengalami bermacam-macam penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini tersebar, datanglah Maharaja Rumawi yang menguasai dunia ketika itu, membawa panji agama Nasrani. Seluruh Kerajaan Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di Mesir, di Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan dari Mesir menyebar pula ke Ethiopia. Sesudah itu selama beberapa era kekuasaan agama ini semakin berpengaruh juga. Semua yang berada di bawah panji Kerajaan Rumawi dan yang ingin mengadakan persahabatan dan kekerabatan baik dengan Kerajaan ini, berada di bawah panji agama Masehi itu.
Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar di bawah panji dan imbas Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama Majusi di Persia yang mendapat dukungan moril di Timur Jauh dan di India. Selama beberapa era itu Asiria dan Mesir yang membentang sepanjang Funisia, telah merintangi terjadinya suatu pertarungan pribadi antara kepercayaan dan peradaban Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan Funisia ke dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur kini sudah berhadap-hadapan muka. Selama beberapa era berturut-turut, baik Barat maupun Timur, dengan hendak menghormati agamanya masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam, kini telah berhadapan dengan rintangan moril, masing-masing merasa perlu dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling mempengaruhi kepercayaan atau peradabannya, sekalipun peperangan antara mereka itu berlangsung terus-menerus hingga sekian lama.
Akan tetapi, sekalipun Persia telah sanggup mengalahkan Rumawi dan sanggup menguasai Syam dan Mesir dan sudah hingga pula di ambang pintu Bizantium, namun tak terpikir oleh raja-raja Persia akan mengembangkan agama Majusi atau menggantikan tempat agama Nasrani. Bahkan pihak yang kini berkuasa itu malahan menghormati kepercayaan orang yang dikuasainya. Rumah-rumah ibadat mereka yang sudah hancur akhir perang dibantu pula membangun kembali dan dibiarkan mereka bebas menjalankan upacara-upacara keagamaannya. Satu-satunya yang diperbuat pihak Persia dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu berganti berada di pihak Rumawi Salib itupun diambilnya kembali dari tangan Persia. Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu tetap di Barat dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian rintangan moril tadi sama pula dengan rintangan alam dan kedua kekuatan itu dari segi rohani tidak saling berbenturan.
Keadaan serupa itu berlangsung terus hingga era keenam. Dalam pada itu kontradiksi antara Rumawi dengan Bizantium makin meruncing. Pihak Rumawi, yang benderanya berkibar di benua Eropa hingga ke Gaul dan Kelt di Inggris selama beberapa generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur-angsur telah mulai surut, hingga akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan Rumawi yang menguasai dunia itu. Puncak keruntuhan Kerajaan Rumawi ialah tatkala pasukan Vandal yang buas itu tiba menyerbunya dan mengambil kekuasaan pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini telah menimbulkan bekas yang dalam pada agama Masehi yang tumbuh dalam pangkuan Kerajaan Rumawi. Mereka yang sudah beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan besar, berada dalam ketakutan di bawah kekuasaan Vandal itu.
Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah.Dari zaman ke zaman mazhab-mazhab itu telah terbagi-bagi ke dalam sekta-sekta dan golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai pandangan dan dasar-dasar agama sendiri yang bertentangan dengan golongan lainnya. Pertentangan-pertentangan antara golongan-golongan satu sama lain lantaran perbedaan pandangan itu telah menjadikan adanya permusuhan pribadi yang terbawa oleh lantaran moral dan jiwa yang sudah lemah, sehingga cepat sekali ia berada dalam ketakutan, gampang terlibat dalam fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di antara golongan-golongan Masehi itu ada yang mengingkari bahwa Isa mempunyai jasad disamping bayangan yang tampak pada manusia; ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara jasad dan ruhnya sedemikian rupa sehingga memerlukan khayal dan pikiran yang begitu rumit untuk sanggup menggambarkannya; dan disamping itu ada pula yang mau menyembah Mariam, sementara yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan setelah melahirkan Almasih.
Terjadinya kontradiksi antara sesama pengikut-pengikut Isa itu ialah kejadian yang biasa terjadi pada setiap umat dan zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran: soalnya hanya terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan pada tiap kata dan tiap bilangan itu ditafsirkan pula dengan bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia, ditambah dengan warna-warni khayal yang sukar diterima kebijaksanaan dan hanya sanggup dikunyah oleh perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku saja.
Salah seorang pendeta gereja berkata: “Seluruh penjuru kota itu diliputi oleh perdebatan. Orang sanggup melihatnya dalam pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian, penukaran uang, pedagang makanan. Jika ada orang bermaksud hendak menukar sekeping emas, ia akan terlibat ke dalam suatu perdebatan perihal apa yang diciptakan dan apa yang bukan diciptakan. Kalau ada orang hendak menawar harga roti maka akan dijawabnya: Bapa lebih besar dari putera dan putera tunduk kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya perihal kolam mandi adakah airnya hangat, maka pelayannya akan segera menjawab: “Putera telah diciptakan dari yang tak ada.”
Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi sehingga ia terpecah-belah kedalam golongan-golongan dan sekta-sekta itu dari segi politik tidak begitu besar pengaruhnya terhadap Kerajaan Rumawi. Kerajaan itu tetap berpengaruh dan kukuh. Golongan-golongan itupun tetap hidup dibawah naungannya dengan tetap adanya semacam kontradiksi tapi tidak hingga orang melibatkan diri kedalam polemik teologi atau hingga memasuki pertemuan-pertemuan semacam itu yang pernah diadakan guna memecahkan sesuatu masalah. Suatu keputusan yang pernah diambil oleh suatu golongan tidak hingga mengikat golongan yang lain. Dan Kerajaanpun telah pula melindungi semua golongan itu dan memberi kebebasan kepada mereka mengadakan polemik, yang bergotong-royong telah menambah kuatnya kekuasaan Kerajaan dalam bidang manajemen tanpa mengurangi penghormatannya kepada agama. Setiap golongan jadinya bergantung kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya pengukuhan pihak yang berkuasa itu.
Sikap saling menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium itu itulah pula yang mengakibatkan penyebaran agama Masehi tetap berjalan dan sanggup diteruskan dari Mesir dibawah Rumawi hingga ke Ethiopia yang merdeka tapi masih dalam lingkungan persahabatan dengan Rumawi. Dengan demikian ia mempunyai kedudukan yang sama berpengaruh di sepanjang Laut Merah mirip di sekitar Laut Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan yang pindah ke sana telah pula menganut agama itu, hingga ke pantai Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah dari pedalaman sahara yang tandus ke daerah-daerah subur juga demikian, yang selanjutnya mereka tinggal di tempat itu beberapa lama untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia Majusi.
Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalami kemunduran mirip agama Masehi dalam Imperium Rumawi. Kalau dalam agama Majusi menyembah api itu merupakan tanda-tanda yang paling menonjol, maka yang berkenaan dengan tuhan kebaikan dan kejahatan pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga menjadi golongan-golongan dan sekta-sekta pula. Tapi disini bukan tempatnya menguraikan semua itu. Sungguhpun begitu kekuasaan politik Persia tetap berpengaruh juga. Polemik keagamaan perihal lukisan tuhan serta adanya pemikiran bebas yang tergambar dibalik lukisan itu, tidaklah mempengaruhinya. Golongan-golongan agama yang berbeda-beda itu semua berlindung di bawah raja Persia. Dan yang lebih memperkuat kontradiksi itu ialah lantaran memang sengaja digunakan sebagai suatu cara supaya satu dengan yang lain saling berpukulan, atas dasar kekuatiran, bila salah satunya menjadi kuat, maka Raja atau salah satu golongan itu akan memikul akibatnya.
Mencari Peradaban Indonesia
Antara Barat dan Timur. Antara tahun 1935-1936, dan kemudian 1939, di Indonesia (Hindia Belanda ketika itu) terjadilah apa yang kemudian disebut sebagai polemik kebudayaan. Polemik ini bermaksud untuk mencari bentuk atau wajah bagi konsep perihal Indonesia. Bermula dari goresan pena Sutan Takdir Alisjahbana mengenai menuju masyarakat dan budaya gres yang membagi periodisasi kebudayaan Indonesia menjadi dua kategori besar, masa pra-indonesia dan masa indonesia. Masa pra-indonesia ialah masa jahiliyah indonesia. Sedang masa Indonesia, yang bermula di awal era ke-20, bagi Sutan Takdir haruslah bentuk atau konsep gres yang mempunyai dinamika, yang berbeda total dari masa sebelumnya. Masyarakat gres Indonesia itu ialah masyarakat dinamis, yang mengadopsi model dinamika yang berkembang pada masyarakat barat. Intelektualisme, materialisme (dalam arti hasrat besar untuk membangun dunia ini), dan egoisme (dalam arti tumbuhnya spirit individual, kebebasan individu); yang merupakan aksara dinamika masyarakat barat, haruslah menjadi serpihan dari masyarakat gres Indonesia. Bagi Takdir, evaluasi negatif atas semangat barat dengan mengemukakan sisi-sisi semisal barat tidak spiritual, ialah tidak tepat lantaran pada barat nilai-nilai spiritual itu dimilikinya. Sedangkan alasan yang menolak kiblat ke barat lantaran krisis yang dialami oleh barat (krisis intelektual), bagi Takdir itu ialah problem barat bukan problem kita, problem kita ialah bagaimana menggapai intelektualisme itu.
Di sisi lain, bertentangan dengan pendapat Sutan Takdir, sebagian kalangan menginginkan wujud yang menghargai warisan Timur menjadi corak yang membangun Indonesia. Sanusi Pane, Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara bisa disebut mewakili pandangan ini. Dalam konsep ini bukan berarti tidak ada nilai-nilai barat yang tidak kita adopsi, nilai intelektualisme misalnya. Tetapi yang diinginkan oleh pandangan yang berorientasi ke Timur ini ialah warisan budaya kita menjadi basis utama dalam membina kepribadian insan Indonesia dan menghindari imbas negatif dari kebudayaan barat. Model pendidikan, sebagai medium transmisi kebudayaan, yang berakar dalam warisan budaya kita mirip model pesantren, bisa diberdayakan untuk membina kepribadian ini. Dalam konteks ini perlu dicatat adanya pembedaan antara pendidikan dengan pengajaran. Bagi Dr. Sutomo, pendidikan terkait dengan membentuk kepribadiaan sedangkan pengajaran terkait dengan pencapaian intelektual. Dari sudut pandangan ini mustahillah membangun konsep keindonesiaan gres yang tercerabut total dari akar kesejarahannya, sebagaimana diinginkan oleh Sutan Takdir. Sedangkan bagi Sutan Takdir sendiri pendapat sintesis ini masih mempunyai tendensi anti-intelektualisme, anti-materialisme dan anti-individualisme (untuk dua terminologi terakhir hendaknya dipahami dalam konteks praktisnya bukan dalam pengertian metafisis).
Antara Peradaban dan Kebudayaan
Bagian yang juga menarik untuk memecahkan problem ini dalam polemik itu ialah perjuangan membedakan antara peradaban (civilization) dan kebudayaan (culture). Bagi Adinegoro, peradaban ialah aspek teknis sebuah masyarakat yang sanggup dipinjam (misal pengetahuan dan teknologi); sedangkan kebudayaan ialah jiwa sebuah bangsa yang berwujud dalam aksara dan watak yang tidak sanggup ditukar. Dia mencontohkan Jepang sebagai bangsa yang mempertahankan kulturnya tetapi mencapai peradaban dalam standar barat.
Elaborasi yang cukup luas diberikan oleh Dr. M. Amir untuk membahas hal ini. Jauh sebelum kata civilization digunakan atau ditemukan, kata kerja civilize telah dipakai. Tetapi kata civilization sendiri gres pada era ke-18 digunakan untuk membedakan derajat tinggi suatu bangsa dengan derajat lain yaitu savages(buas, liar) dan barbares(biadab). Tingkat atau derajat tinggi masyarakat itu berakar pada civilis (kota). Sedangkan istilah kultur pada awalnya berarti jumlah segala kemajuan; kemajuan bendawi ataupun kemajuan pikiran yang dicapai oleh manusia. Dari klarifikasi terperinci pengertian ini pembedaan antara peradaban dan kebudayaan berasal dari pembedaan yang dilakukan dalam tradisi pemikiran Jerman. Sedangkan pada tradisi eropa lainnya (Perancis dan Inggris) digunakan terma civilization saja.
Selanjutnya Dr. M. Amir menegaskan bahwa setiap masyarakat mempunyai peradabannya sendiri (entah mencapai tingkat yang tinggi atau rendah). Peradaban itu juga ada yang berpindah atau dipinjam lantaran faktor percampuran, kekerabatan atau kemajuan.
Pembedaan tingkatan masyarakat mirip ini (dari yang primitif hingga yang berperadaban tinggi) tidak sekedar perbedaan kemajuan masyarakat saja (yang tampak dalam kemajuan materialnya) tetapi juga terkait dengan pembedaan konstitusi jiwa manusianya. Di sini terdapat dua pendapat, yang menafsirkan kemajuan peradaban lantaran perbedaan genetik dan yang menafsirkan kemajuan peradaban lantaran faktor lingkuangan. Nature vs Nurture.
Bagi Dr. Amir kasus peradaban ini tidak semata-mata soal sosiologi tetapi juga psikologi. Berapa lama waktu yang dibutuhkan barat untuk membentuk konstitusi kejiwaan insan barat mirip kini ini, ribuan tahun. Secara historis tidaklah mungkin kita memutus mata rantai kesejarahan manusiawi kita untuk membangun peradaban baru.
Siapa Pemenangnya ?
Secara sekilas pemenang polemik itu ialah Sutan Takdir. Tetapi, bagi Ajip Rosidi, masalahnya tidak sesederhana itu. Banyak masalah, mirip dualisme pendidikan dan dualisme antara kebudayaan nasional dan daerah, belum terselesaikan secara memuaskan.
Dapat pula kita nyatakan bahwa pasca kemerdekaan model pembangunan yang digesa oleh pemerintah kita bergotong-royong tidak jauh berbeda dengan model yang diinginkan oleh Sutan Takdir. Bolehlah kita bertanya sudahkah dinamika berperadaban sebagaimana yang diinginkan oleh Sutan Takdir telah kita capai ?
Humanisme
Kita juga bisa menambahkan posisi lain yang diambil oleh kalangan intelektual dalam polemik ini yaitu posisi Sjahrir. Tetap dalam orbit intelektual Barat modern, Sjahrir menegaskan tidak perlu pilih antara Barat dan Timur, lantaran keduanya harus silam dan memang sedang karam ke masa silam (Barat kapitalis dan Timur feodalis). Pilihan pandangan ini kemudian bermetamorfosis menjadi pilihan humanisme.
Islam
Satu hal lagi yang juga menjadi catatan ialah tidak dimasukkannya pandangan kalangan Islam dalam polemik ini. Menurut Ajip Rosidi, hal ini bisa lantaran memang tidak ada tokoh Islam yang terlibat atau penyunting buku Polemik Kebudayaan tidak menganggap perlu meniliti majalah atau surat kabar yang membawa bunyi Islam. Ajip Rosidi menyebutkan adanya pendapat yang disampaikan oleh M. Natsir pada tahun 1934, sebelum Polemik Kebudayaan itu dimulai.
Dalam tulisannya M.Natsir mengingatkan tidak perlunya membesar-besarkan antagonisme Barat dan Timur. Bagi pendidik Islam, lanjut Natsir, Islam hanya mengenal antagonisme antara yang haq dan batil. Semua yang haq diterima, semua yang batil ditolak dari mana pun sumbernya Timur atau Barat.
PERADABAN DAN PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan sosial budaya ialah sebuah tanda-tanda berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan tanda-tanda umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar insan yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman menyampaikan bahwa kebosanan insan bergotong-royong merupakan penyebab dari perubahan.
Perubahan sosial budaya terjadi lantaran beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain mirip perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal mirip musibah dan perubahan iklim, peperangan, dan imbas kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, contohnya kurang intensifnya kekerabatan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan berpengaruh dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut kalau terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; kendala ideologis; dan imbas adat atau kebiasaan.
PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL
Pengelompokkan teori perubahan sosial telah dilakukan oleh Strasser dan Randall. Perubahan sosial sanggup dilihat dari empat teori, yaitu teori kemunculan diktator dan demokrasi, teori sikap kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis organisasi sebagai subsistem sosial.
Teori Barrington Moore
Teori yang disampaikan oleh Barrington Moore berusaha menjelaskan pentingnya faktor struktural dibalik sejarah perubahan yang terjadi pada negara-negara maju. Negara-negara maju yang dianalisis oleh Moore ialah negara yang telah berhasil melaksanakan transformasi dari negara berbasis pertanian menuju negara industri modern. Secara garis besar proses transformasi pada negara-negara maju ini melalui tiga pola, yaitu demokrasi, fasisme dan komunisme.
Demokrasi merupakan suatu bentuk tatanan politik yang dihasilkan oleh revolusi oleh kaum borjuis. Pembangunan ekonomi pada negara dengan tatanan politik demokrasi hanya dilakukan oleh kaum borjuis yang terdiri dari kelas atas dan kaum tuan tanah. Masyarakat petani atau kelas bawah hanya dipandang sebagai kelompok pendukung saja, bahkan seringkali kelompok bawah ini menjadi korban dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut. Terdapat pula tanda-tanda penhancuran kelompok masyarakat bawah melalui revolusi atau perang sipil. Negara yang mengambil jalan demokrasi dalam proses transformasinya ialah Inggris, Perancis dan Amerika Serikat.
Berbeda halnya demokrasi, fasisme sanggup berjalan melalui revolusi konserfatif yang dilakukan oleh elit konservatif dan kelas menengah. Koalisi antara kedua kelas ini yang memimpin masyarakat kelas bawah baik di perkotaan maupun perdesaan. Negara yang menentukan jalan fasisme menganggap demokrasi atau revolusi oleh kelompok borjuis sebagai gerakan yang ringkih dan gampang dikalahkan. Jepang dan Jerman merupakan teladan dari negara yang mengambil jalan fasisme.
Komunisme lahir melalui revolusi kaun proletar sebagai akhir ketidakpuasan atas perjuangan eksploitatif yang dilakukan oleh kaum feodal dan borjuis. Perjuangan kelas yang digambarkan oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya akan mwujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx digambarkan sebagai bentuk linear yang mengacu kepada kekerabatan moda produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif (primitive communism) kemudian berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis. Marx menggambarkan bahwa dunia masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan” perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini akan bisa merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya bisa menumbangkan kaum borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara yang memakai komunisme dalam proses transformasinya ialah Cina dan Rusia.
Teori Perilaku Kolektif
Teori sikap kolektif mencoba menjelaskan perihal kemunculan agresi sosial. Aksi sosial merupakan sebuah tanda-tanda agresi bersama yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam jangka waktu yang panjang. Pada sistem sosial seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam sistem atau luar sistem. Ketegangan ini sanggup berwujud konflik status sebagai hasil dari diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini melihat ketegangan sebagai variabel antara yang menghubungkan antara kekerabatan antar individu mirip tugas dan struktur organisasi dengan perubahan sosial.
Perubahan pola kekerabatan antar individu mengakibatkan adanya ketegangan sosial yang sanggup berupa kompetisi atau konflik bahkan konflik terbuka atau kekerasan. Kompetisi atau konflik inilah yang menjadikan adanya perubahan melalui agresi sosial bersama untuk merubah norma dan nilai.
Teori Inkonsistensi Status
Stratifikasi sosial pada masyarakat pra-industrial belum terlalu terlihat dengan terperinci dibandingkan pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya derajat perbedaan yang timbul oleh adanya pembagian kerja dan kompleksitas organisasi. Status sosial masih terbatas pada bentuk ascribed status, yaitu suatu bentuk status yang diperoleh semenjak ia lahir. Mobilitas sosial sangat terbatas dan cenderung tidak ada. Krisis status mulai muncul seiring perubahan moda produksi agraris menuju moda produksi kapitalis yang ditandai dengan pembagian kerja dan kemunculan organisasi kompleks.
Perubahan moda produksi menimbulkan maslaah yang pelik berupa kemunculan status-status sosial yang gres dengan segala keterbukaan dalam stratifikasinya. Pembangunan ekonomi seiring perkembangan kapitalis membuat adanya pembagian status berdasarkan pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan inkonsistensi status pada individu.
PERUBAHAN SOSIAL DAN STRUKTUR SOSIAl
Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan sikap sosial elementer dalam kekerabatan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar insan dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola kekerabatan antar insan dan antar kelompok insan atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola sikap berulang yang membuat kekerabatan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.
Mengacu pada pengertian struktur sosial berdasarkan Kornblum yang menekankan pada pola sikap yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur ialah adanya sikap individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi inspirasi dan negosiasi.
Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan tugas ialah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan tugas ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton ialah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status).
Status yang diperoleh ialah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa semenjak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status mirip ini tidak diberikan pada individu semenjak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau perjuangan pribadi
Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa serpihan atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini menyampaikan citra bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih laba dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, mirip ras, usia dan agama (Beteille, 1970).
Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan sanggup kita pahami sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan kelas-kelas sosial gres sanggup terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat tradisional seringkali hanya berupa ascribed status mirip gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, mirip pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan.
Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah perihal adanya inkonsistensi dalam individu sebagai akhir banyak sekali status yang diperolehnya. Konsep ini menyampaikan citra bagaimana perihal proses kemunculan kelas-kelas gres dalam masyarakat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada
Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas gres ini akan mengakibatkan semakin ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam kudeta atau upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul sanggup dipahami sebagai sebuah prosedur interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam masyarakat.
MODERNISASI
Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Pengertian modernisasi berdasar pendapat para hebat ialah sebagai berikut.
a) Widjojo Nitisastro, modernisasi ialah suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pramodern dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-pola hemat dan politis.
b) Soerjono Soekanto, modernisasi ialah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. (dalam buku Sosiologi: suatu pengantar)
Dengan dasar pengertian di atas maka secara garis besar istilah modern meliputi pengertian sebagai berikut.
a) Modern berarti berkemajuan yang rasional dalam segala bidang dan meningkatnya tarat penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata.
b) Modern berarti berkemanusiaan dan tinggi nilai peradabannya dalam pergaulan hidup dalam masyarakat.
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa sebuah modernisasi mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut.
a) Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat.
b) Sistem manajemen negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
c) Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu forum atau tubuh tertentu.
d) Penciptaan iklim yang menyenangkan dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
e) Tingkat organisasi yang tinggi yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan.
MODERNISASI DAN PEMBANGUNAN
Pembangunan merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terncana melalui banyak sekali macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Bangsa Indonesia mirip termaktub dalam pembukaan UUD 1945 telah mencantumkan tujuan pembangunan nasionalnya. Kesejahteraan masyarakat ialah suatu keadaan yang selalu menjadi impian seluruh bangsa di dunia ini. Berbagai teori perihal pembangunan telah banyak dikeluarkan oleh ahli-ahli sosial barat, salah satunya yang juga dianut oleh Bangsa Indonesia dalam jadwal pembangunannya ialah teori modernisasi. Modernisasi merupakan balasan ilmuan sosial barat terhadap tantangan yang dihadapi oleh negara dunia kedua setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Modernisasi menjadi sebuah model pembangunan yang berkembang dengan pesat seiring keberhasilan negara dunia kedua. Negara dunia ketiga juga tidak luput oleh sentuhan modernisasi ala barat tersebut. banyak sekali jadwal pertolongan dari negara maju untuk negara dunia berkembang dengan mengatasnamakan sosial dan kemanusiaan semakin meningkat jumlahnya. Namun demikian kegagalan pembangunan ala modernisasi di negara dunia ketiga menjadi sebuah pertanyaan serius untuk dijawab. Beberapa ilmuan sosial dengan gencar menyerang modernisasi atas kegagalannya ini. Modernisasi dianggap tidak ubahnya sebagai bentuk kolonialisme gaya baru, bahkan Dube (1988) menyebutnya seolah musang berbulu domba.
Modernisasi; Konsep Awal Spencer, Optimisme Schoorl dan Pesimisme Dube
Pemikiran Herbert Spencer (1820-1903), sangat dipengaruhi oleh hebat biologi aktivis inspirasi evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin, dengan memperlihatkan bahwa perubahan sosial juga ialah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian: ada proses seleksi di dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup. Manusia dan masyarakat termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap tamat yang sempurna.
Menurut Spencer, suatu organisme akan bertambah tepat apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi antar organ-organnya. Kesempurnaan organisme dicirikan oleh kompleksitas, differensiasi dan integrasi. Perkembangan masyarakat intinya berarti pertambahan diferensiasi dan integrasi, pembagian kerja dan perubahan dari keadaan homogen menjadi heterogen. Spencer berusaha meyakinkan bahwa masyarakat tanpa diferensiasi pada tahap pra industri secara intern justru tidak stabil yang disebabkan oleh kontradiksi di antara mereka sendiri. Pada masyarakat industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap akan terjadi suatu stabilitas menuju kehidupan yang damai. Masyarakat industri ditandai dengan meningkatnya proteksi atas hak individu, berkurangnya kekuasaan pemerintah, berakhirnya peperangan antar negara, terhapusnya batas-batas negara dan terwujudnya masyarakat global.
Pemikiran Spencer sanggup dikatakan sebagai dasar dalam teori modernisasi, walaupun Webster (1984) tidak memasukkan nama Spencer sebagai dasar pemikiran teori modernisasi. Teorinya perihal evolusi masyarakat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat industri yang harus dilalui melalui perubahan struktur dan fungsi serta kompleksitas organisasi senada dengan perkiraan dasar konsep modernisasi yang disampaikan oleh Schoorl (1980) dan Dube (1988). Asumsi modernisasi yang disampaikan oleh Schoorl melihat modernisasi sebagai suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Dibidang ekonomi, modernisasi berarti tumbuhnya kompleks industri dengan pertumbuhan ekonomi sebagai jalan masuk utama. Berhubung dengan perkembangan ekonomi, sebagian penduduk tempat tinggalnya tergeser ke lingkungan kota-kota. Masyarakat modern telah tumbuh tipe kepribadian tertentu yang dominan. Tipe kepribadian mirip itu mengakibatkan orang sanggup hidup di dalam dan memelihara masyarakat modern.
Sedangkan Dube beropini bahwa terdapat tiga perkiraan dasar konsep modernisasi yaitu ketiadaan semangat pembangunan harus dilakukan melalui pemecahan kasus kemanusiaan dan pemenuhan standart kehidupan yang layak, modernisasi membutuhkan perjuangan keras dari individu dan kerjasama dalam kelompok, kemampuan kerjasama dalam kelompok sangat dibutuhkan untuk menjalankan organisasi modern yang sangat kompleks dan organisasi kompleks membutuhkan perubahan kepribadian (sikap mental) serta perubahan pada struktur sosial dan tata nilai. Kedua perkiraan tersebut apabila disandingkan dengan pemikiran Spencer perihal proses evolusi sosial pada kelompok masyarakat, terdapat kesamaan. Tujuan tamat dari modernisasi berdasarkan Schoorl dan Dube ialah terwujudnya masyarakat modern yang dicirikan oleh kompleksitas organisasi serta perubahan fungsi dan struktur masyarakat. Secara lebih terperinci Schoorl menyajikan proses petumbuhan struktur sosial yang dimulai dari proses perbesaran skala melalui integrasi. Proses ini kemudian dilanjutkan dengan diferensiasi hingga pembentukan stratifikasi dan hirarki.
Ciri insan modern berdasarkan Dube ditentukan oleh struktur, institusi, sikap dan perubahan nilai pada pribadi, sosial dan budaya. Masyarakat modern bisa mendapatkan dan menghasilkan penemuan baru, membangun kekuatan bersama serta meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan masalah. Oleh karenanya modernisasi sangat memerlukan kekerabatan yang selaras antara kepribadian dan sistem sosial budaya. Sifat terpenting dari modernisasi ialah rasionalitas. Kemampuan berpikir secara rasional sangat dituntut dalam proses modernisasi. Kemampuan berpikir secara rasional menjadi sangat penting dalam menjelaskan banyak sekali tanda-tanda sosial yang ada. Masyarakat modern tidak mengenal lagi klarifikasi yang irasional mirip yang dikenal oleh masyarakat tradisional. Rasionalitas menjadi dasar dan aksara pada kekerabatan antar individu dan pandangan masyarakat terhadap masa depan yang mereka idam-idamkan. Hal yang sama disampaikan oleh Schoorl, walaupun tidak sebegitu mendetail mirip Dube. Namun demikian terdapat ciri penting yang diungkapkan Schoorl yaitu konsep masyarakat plural yang diidentikkan dengan masyarakat modern. Masyarakat plural merupakan masyarakat yang telah mengalami perubahan struktur dan stratifikasi sosial.
Lerner dalam Dube (1988) menyatakan bahwa kepribadian modern dicirikan oleh :
Empati : kemampuan untuk mencicipi apa yang dirasakan oleh orang lain.
Mobilitas : kemampuan untuk melaksanakan “gerak sosial” atau dengan kata lain kemampuan “beradaptasi”. Pada masyarakat modern sangat memungkinkan terdapat perubahan status dan tugas atau tugas ganda. Sistem stratifikasi yang terbuka sangat memungkinkan individu untuk berpindah status.
Partisipasi : Masyarakat modern sangat berbeda dengan masyarakat tradisional yang kurang memperhatikan partisipasi individunya. Pada masyarakat tradisional individu cenderung pasif pada keseluruhan proses sosial, sebaliknya pada masyarakat modern keaktifan individu sangat diharapkan sehingga sanggup memunculkan gagasan gres dalam pengambilan keputusan.
Konsep yang disampaikan oleh Lerner tersebut semakin memperkokoh ciri masyarakat modern Schoorl, yaitu pluralitas dan demokrasi. Perkembangan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern baik yang diajukan oleh Schoorl maupun Dube tak ubahnya analogi pertumbuhan biologis mahkluk hidup, suatu analogi yang disampaikan oleh Spencer.
Schoorl dan Dube yang keduanya sama-sama mengulas kasus modernisasi memperlihatkan ada perbedaan pandangan. Schoorl cenderung optimis melihat modernisasi sebagai bentuk teori pembangunan bagi negara dunia ketiga, sebaliknya Dube mengkritik modernisasi dengan mengungkapkan kelemahan-kelemahannya. Schoorl bahkan memperlihatkan modernisasi di segala bidang sebagai sebuah kewajiban negara berkembang apabila ingin menjadi negara maju, tidak terkecuali modernisasi pedesaan.
Modernisasi yang lahir di Barat akan cenderung ke arah Westernisasi, mempunyai tekanan yang berpengaruh meskipun unsur-unsur tertentu dalam kebudayaan orisinil negara ketiga sanggup selalu eksis, namun setidaknya akan muncul ciri kebudayaan barat dalam kebudayaannya (Schoorl, 1988). Schoorl membela modernisasi lantaran dengan gamblang menyatakan modernisasi lebih baik dari sekedar westernisasi. Dube menyampaikan pernyataan yang tegas bahkan cenderung memojokkan modernisasi dengan mengungkapkan banyak sekali kelemahan modernisasi, antara lain keterlibatan negara berkembang diabaikan, konsep persamaan hak dan keadilan sosial tidak menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Lebih lanjut Dube menjelaskan kelemahan modernisasi antara lain :
Modernisasi yang mendasarkan pada penggunaan ilumu pengetahuan dan teknologi pada organisasi modern tidak sanggup diikuti oleh semua negara.
Tidak adanya indikator sosial pada modernisasi.
Keterlibatan negara berkembang diabaikan, konsep persamaan hak dan keadilan sosial antara negara maju dan berkembang tidak menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan.
Modernisasi yang mendasarkan pada penggunaan iptek pada organisasi modern tidak sanggup diikuti oleh semua negara.
Tidak adanya indikator sosial pada modernisasi.
Keberhasilan negara barat dalam melaksanakan modernisasi disebabkan oleh kekuasaan kolonial yang mereka miliki sehingga bisa mengeruk SDA dengan gampang dari negara berkembang dengan murah dan mudah.
Keberhasilan negara barat dalam melaksanakan modernisasi disebabkan oleh kekuasaan kolonial yang mereka miliki sehingga bisa mengeruk sumberdaya alam dari negara berkembang dengan murah dan mudah. Modernisasi tidak ubahnya mirip kolonialisme gaya gres dan engara maju diibaratkan sebagai musang berbulu domba oleh Dube. Dube selain mengkritik modernisasi juga menyampaikan banyak sekali masukan untuk memperbaiki modernisasi. Pendekatan-pendekatan yang digunakan lebih “memanusiakan manusia”.
Kegagalan Modernisasi; Kajian Empirik Dove dan Sajogyo
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama ini juga tidak lepas dari pendekatan modernisasi. Asumsi modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam pembangunan mengakibatkan beberapa permasalahan gres yang hingga kini menjadi kasus krusial Bangsa Indonesia. Penelitian perihal modernisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Sajogyo (1982) dan Dove (1988). Kedua hasil penelitian mengupas dampak modernisasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil penelitian keduanya memperlihatkan dampak negatif modernisasi di tempat pedesaan. Dove mengulas lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai akhir benturan dua budaya yang berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal dengan nilai budaya baru. Budaya gres yang masuk bersama dengan modernisasi.
Dove dalam penelitiannya di membagi dampak modernisasi menjadi empat aspek yaitu ideologi, ekonomi, ekologi dan kekerabatan sosial. Aspek ideologi sebagai kegagalan modernisasi mengambil teladan di tempat Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Penelitian Dove memperlihatkan bahwa modernisasi yang terjadi pada Suku Wana telah menjadikan tergusurnya agama lokal yang telah mereka anut semenjak lama dan digantikan oleh agama baru. Modernisasi seolah menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang bisa membelenggu kebebasan asasi insan termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Pengetahuan lokal masyarakat juga menjadi sebuah komoditas jajahan bagi modernisasi. Pengetahuan lokal yang sebelumnya sanggup menuntaskan permasalahan masyarakat harus serta merta digantikan oleh pengetahuan gres yang dianggap lebih superior.
Sajogyo membahas proses modernisasi di Jawa yang mengakibatkan perubahan budaya masyarakat. Masyarakat Jawa dengan tipe ekologi sawah selama ini dikenal dengan “budaya padi” menjadi “budaya tebu”. Perubahan budaya ini mengakibatkan perubahan pola pembagian kerja laki-laki dan wanita. Munsulnya konsep sewa lahan serta batas kepemilikan lahan minimal yang identik dengan kemiskinan menjadi berubah. Pola perkebunan tebu yang membutuhkan modal lebih besar dibandingkan padi mengakibatkan petani menjadi tidak merdeka dalam mengusahakan lahannya. Pola kekerabatan antara petani dan pabrik gula cenderung lebih menggambarkan eksploitasi petani sehingga semakin memarjinalkan petani.
Modernisasi, Masih Bisakah Dipertahankan ?
Berbagai ulasan perihal modernisasi yang telah disajikan di depan membawa kita pada pertanyaan tamat yang layak untuk didiskusikan. Modernisasi masih bisakah dipertahankan sebagai perspektif pembangunan bangsa kita. Modernisasi tentu harus kita oleh lebih jauh lagi dan tidak menerimanya sebagai teori Tuhan yang berharga mati. Perbaikan-perbaikan konsep modernisasi yang diselaraskan dengan budaya serta pengetahuan lokal masyarakat akan menjadi sebuah konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan dan kemanusiaan.
Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com
0 Response to "Pengertian Dan Sejarah Peradaban"
Posting Komentar