-->

iklan banner

Problematika System Pendidikan Di Indoesia

Problematika System Pendidikan Di Indoesia : Pendidikan ialah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik semoga berperan aktif dan positif dalam hidupnya kini dan yang akan datang, dan pendidikan nasional Indonesia ialah pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia.

Jenis pendidikan ialah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya dan jadwal yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, Pendidikan keturunan dan pendidikan lainnya. Serta upaya pembaharuannya mencakup landasan yuridis, Kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur pendidikan dan tenaga kependidikan

Berangkat dari definisi di atas maka sanggup difahami bahwa secara formal sistem pendidikan indonesia diarahkan pada tercapainya keinginan pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem pendidikan indonesia ketika ini tengah berjalan di atas rel kehidupan ‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, termasuk dalam penyelenggaran sistem pendidikan. Meskipun, pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap dalam UU No.20/2003 wacana Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” 

Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari direktur dan legislatif merupakan banyak sekali regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945, maupun dalam regulasi derivatnya menyerupai UU No.2/1989 wacana Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 wacana Guru dan Dosen, PP No.19/2005 wacana Standar Nasional Pendidikan, serta banyak sekali rancangan UU dan PP yang kini tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb 

Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran evaluasi bahwa sistem pendidikan di Indonesia ialah yang terburuk di tempat Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk problem stabilitas dan keamanan, lantaran pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di tempat Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh forum yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai mempunyai sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001).

Kondisi ini menandakan adanya korelasi yang berarti antara penyelenggaraan pendidikan dengan kualitas pembangunan sumber daya insan indonesia yang dihasilkan selama ini, meskipun masih ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya.

Dalam memetakan kasus pendidikan maka perlu diperhatikan realitas pendidikan itu sendiri yaitu pendidikan sebagai sebuah subsistem yang sekaligus juga merupakan suatu sistem yang kompleks. Gambaran pendidikan sebagai sebuah subsistem ialah kenyataan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang berjalan dengan dipengaruhi oleh banyak sekali aspek eksternal yang saling terkait satu sama lain. Aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan, bahkan ideologi sangat erat pengaruhnya terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, begitupun sebaliknya. Sedangkan pendidikan sebagai suatu sistem yang kompleks menandakan bahwa pendidikan di dalamnya terdiri dari banyak sekali perangkat yang saling mempengaruhi secara internal, sehingga dalam rangkaian input-proses-output pendidikan, banyak sekali perangkat yang mempengaruhinya tersebut perlu mendapatkan jaminan kualitas yang layak oleh banyak sekali stakeholder yang terkait.

Permasalahan Pendidikan Sebagai Suatu Sub-Sistem 
Sebagai salah satu sub-sistem di dalam sistem negara/ pemerintahan, maka keterkaitan pendidikan dengan sub-sistem lainnya diantaranya ditunjukan sebagai berikut:

Pertama, berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan irit (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa komoditas, yang sanggup diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang mempunyai dana dalam jumlah besar saja.

Hal ini sanggup dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 53 wacana Badan Hukum Pendidikan bahwa (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk tubuh aturan pendidikan. (2) Badan aturan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memperlihatkan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan aturan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan sanggup mengelola dana secara berdikari untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54 disebutkan pula (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan mencakup tugas serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat sanggup berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional ketika ini akan dialihkan dari negara kepada masyarakat dengan prosedur BHP (lihat RUU BHP dan PP wacana SNP No.19/2005) yaitu adanya mekasnisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah mempunyai otonomi untuk memilih sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, kanal rakyat yang kurang bisa untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Kenyataan yang menandakan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan jasa komoditas ialah data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan berdasarkan riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya eksklusif dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007). Menurut laporan dari bank dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada ketika yang sama pemerintah India telah sanggup menanggung pembiayaan pendidikan 89%. Bahkan kalau dibandingkan dengan negara yang lebih ndeso menyerupai Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah.

Kedua, berlangsungnya kehidupan sosial yang berlandasakan sekulerisme telah menyuburkan paradigma hedonisme (hura-hura), permisivisme (serba boleh), materialistik (money oriented), dan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat ketika ini lebih kepada tujuan untuk mendapatkan hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan dengan tujuan membentuk kepribadian (shaksiyah) yang utuh berdasarkan pandangan syari’at islam). Hal ini sanggup dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 pasal 3 yang menandakan paradigma pendidikan nasional, dalam potongan VI menjelaskan wacana jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Selain itu sanggup pula dilihat dalam regulasi derivatnya menyerupai PP wacana SNP No.19/2005, RUU Wajib Belajar dan RUU BHP.

Dalam paradigma materialistikpun indikator keberhasilan berguru siswa sehabis menempuh proses pendidikan dari suatu jenjang pendidikan ketika ini ialah dengan perlakuan yang sama secara nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional (UN) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), indikator itupun hanya pada tiga mata pelajaran saja (Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris) yang ketiganya tersebut berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah (Mendiknas) menilai bahwa UN sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur standar pendidikan, dan hasil UN sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan mutu pendidikan (Senin 12/2/07. www.indonesia.go.id). Di sisi lain, aspek pembentukan kepribadian (shaksiyah) yang utuh dalam diri siswa, tidak pernah menjadi indikator keberhasilan siswa dalam menempuh suatu proses pendidikan, sekalipun dalam sekolah yang berbasis agama (lihat standar kompetensi dan kelulusan siswa dalam PP No.19/2005).

Fenomena pergaulan bebas di kalangan dewasa (pelajar) yang di antara karenanya menjerumuskan para pelajar pada sec bebas, terlibat narkotika, sikap sarkasme/kekerasan (tawuran, perpeloncoan), dan banyak sekali tindakan kriminal lainnya (pencurian, pemerkosaan, pembunuhan) yang sering kita dapatkan beritanya dalam tayangan informasi kriminal di media massa (TV dan koran khususnya), merupakan sebuah keadaan yang menandakan tidak relevannya sistem pendidikan yang selama ini diselenggarakan dengan upaya membentuk insan indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional sendiri (Psl.2 UU No.20/2003), lantaran realitas justru memperlihatkan kontradiksinya. Siswa sebagai potongan dari masyarakat mendapatkan pendidikan di sekolah dalam rangka mempersiapkan mereka semoga sanggup lebih baik ketika menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Namun lantaran kehidupan di tengah-tengah masyarakat secara umum berlangsung dengan sekuler, ditambah lagi dengan proses pendidikan dalam satuan pendidikan dalam kerangka sekulerisme juga, maka siklus ini akan semakin mengokohkan kehidupan sekulerisme yang makin meluas. 

Ketiga, berlangsungnya kehidupan politik yang oportunistik telah membentuk karakter politikus machiavelis (melakukan segala cara demi mendapatkan keuntungan) di kalangan direktur dan legislatif termasuk dalam perumusan kebijakan pendidikan indonesia. Perumusan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang sudah berlangsung semenjak 2004 dinilai oleh pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit (TIB) Revrisond Bashwir sebagai aktivitas kapitalisme global yang telah dirancang semenjak usang oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi sektor pendidikan. Semua satuan pendidikan (sekolah) kelak akan menjadi tubuh aturan pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Selain itu dalam beberapa kebijakan operasional sisdiknas yang dikeluarkan pemerintah ternyata kadangkala didukung pula oleh dana yang jumlahnya tidak sedikit, meskipun dalam implementasinya banyak masyarakat yang menilai sering terjadi salah sasaran bahkan penyimpangan. Sebagai pola kebijakan Mendiknas, Bambang Sudibyo yang tetap melaksanakan UN pada tahun fatwa 2005/2006 ternyata berkaitan dengan dana yang tersedia untuk jadwal tersebut sangat besar, padahal banyak sekali aliansi masyarakat telah mengajukan penolakan. Diantaranya, Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 wacana Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan 

Demikianlah uraian problematika pendidikan nasional yang ditinjau dari eksistensinya sebagai suatu sub-sistem (sistem cabang) ternyata erat kaitannya dengan efek dari sub-sistem yang lain (ekonomi, politik, sosial-budaya, ideologi, dsb). Sistem pendidikan nasional juga merupakan potongan dari penyelenggaraan sistem kehidupan di Indonesia ketika ini.

Permasalahan Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem Kompleks
Dalam kaitan pendidikan sebagai suatu sistem, maka permasalahan pendidikan yang ketika ini tengah berkembang diantaranya tergambar dengan pemetaan sebagai berikut:

Sumber : Disdik Provinsi Jawa Barat (Makalah Seminar Pendidikan Nasional-UPI Expo 2006)

Oleh lantaran itu, berdasarkan pemetaan di atas maka kasus pendidikan nasional sanggup diuraikan sebagai berikut:

Pemerataan Pendidikan
1. Keterbatasan Aksesibilitas dan Daya Tampung
Gerakan wajib berguru 9 tahun merupakan gerakan pendidikan nasional yang gres dicanangkan oleh pemerintahan Suharto pada tanggal 2 Mei 1994 dengan sasaran tuntas pada tahun 2005, namun kemudian lantaran terjadi krisis pada tahun 1997-1999 maka jadwal ini diperpanjang hingga 2008/2009. Sasaran jadwal ini berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam PP No.7/2005 ialah dengan sasaran Angka Partisipasi Kasar (APK) 94% (APK= perbandingan antara jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia tertentu) yaitu meningkatnya siswa SLTP dari 3,67 juta orang pada tahun 2004/2005 menjadi 4,04 juta orang pada tahun 2009. Sedangkan sasaran Direktorat SMP, Dirjen Mandikdasmen Depdiknas ialah APK 95% pada tahun 2008 yang artinya 1,9 juta anak harus terlayani ke SMP. Tahun 2005, APK Sekolah Menengah Pertama gres mencapai 85,22% yang menandakan adanya selisih 9,78% dari sasaran 95% sehingga perlu adanya pencapaian kenaikan rerata APK sebesar 3,26% pada setiap tahunnya. Tahun 2006 ditargetkan adanya kenaikan 4,64% atau 526.000 anak usia 13-15 tahun harus tertampung di jenjang SLTP/ Sederajat (Panduan KKN Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI 2006).

Berkaitan dengan pencapaian APK dan APM, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak sanggup mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas,2003). Namun, baru-baru ini pemerintah menyatakan optimismenya bahwa penuntasan wajib berguru akan berjalan sukses pada 2008. Keyakinan ini didasarkan atas indikator pencapaian APM SD dan APK Sekolah Menengah Pertama pada final 2006 berturut-turut mencapai 94,73 persen dan 88,68 persen dari 95 persen sasaran yang dicanangkan pada 2008 (8/3/2007,www.tempointeraktif.com).

Kondisi ini sesungguhnya belum menandakan bahwa pemerintah telah berhasil dalam menuntaskan problematika aksesibilitas pendidikan secara tuntas, lantaran indikator angka-angka di atas belum merepresentasikan aksesibilitas terhadap seluruh warga negara usia sekolah SD dan SMP.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004, memperlihatkan bahwa angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 tahun ialah 96,77 persen, usia 13-15 tahun mencapai 83,49 persen, dan anak umur 16-18 tahun 53,48 persen. Hasil riset UNDP 2004, yang kemudian dipublikasikan dalam Laporan Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2006, juga memperlihatkan tanda-tanda serupa. Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf.

Kerusakan Sarana/ Prasarana Ruang Kelas
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka bagaimana mungkin proses pendidikan sanggup berlangsung secara efektif?

Sebagai contoh, problematika yang terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan usulan yang disampaikan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Jumlah sarana/ prasarana sekolah yang mengalami kerusakan dan segera memerlukan rehabilitasi yaitu, kebutuhan rehabilitasi SD sebanyak 42.492 ruang kelas, MI sebanyak 6.523 ruang kelas, Sekolah Menengah Pertama sebanyak 6.767 ruang kelas, dan MTs sebanyak 2.729 ruang kelas.

Menurut Kadisdik Jabar Dr. H. Dadang Dally, M.Si (PR,15/07/2005), berdasarkan catatan beban Provinsi Jabar untuk setiap tahun kebutuhan biaya menambah dan merehabilitasi bangunan SD/MI saja butuh dana sebesar Rp 251 miliar, terdiri dari penambahan ruang kelas sebanyak 792 ruang senilai Rp 31,6 miliar, rehab total ruang kelas sebanyak 4.317 ruang senilai Rp 129,5 miliar dan rehabilitasi sedang ruang kelas sebanyak 6.045 sebesar Rp 90,6 miliar. Kemudian kebutuhan biaya untuk mencegah dan menanggulangi DO pada tingkat SD/MI sebesar Rp 149,8 miliar. Dengan demikian untuk biaya pembangunan dan rehabilitasi ditambah penanggulangan drop out SD/MI saja setiap tahunnya mencapai Rp 410 miliar. Sedangkan kemampuan anggaran pemerintah untuk pembangunan pendidikan di Jabar hanya bisa untuk mengantisipasi kedua hal tersebut. Adapun kemampuan daerah-daerah untuk pembangunan bidang pendidikan setiap tahunnya hanya antara Rp 5 miliar hingga Rp 25 miliar, anggaran tersebut hanya akan menjangkau kebutuhan minimal.

Klaim bahwa pemerintah daerah di lingkungan jawa barat mempunyai kemampuan yang terbatas dalam menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diungkapkan di atas, tentu merupakan koreksi bagi pemerintah itu sendiri, yaitu mengapa selama ini alokasi untuk jadwal yang lain alokasinya cukup besar, tetapi untuk jadwal pendidikan jauh lebih kecil. Sebagaimana contohnya dalam APBD Kota Bandung 2007 alokasi anggaran untuk sebuah tim sepakbola Persib Bandung yang lebih bersifat hobi dan penghamburan ketimbang suatu jadwal pembangunan besarannya ternyata mencapai Rp 15 Milyar, bahkan jumlah tersebut masih dianggap kurang.

Kekurangan Jumlah Tenaga Guru
Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga kini ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang.

sebagai pola dalam lingkup Jawa Barat saja berdasarkan Drs. H. Iim Wasliman, M.Pd., M.Si. (Kadisdik Jabar tahun 2002) bahwa kondisi minimnya jumlah guru dibandingkan kebutuhan yang ada sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di tingkat daerah, tapi juga telah menjadi problem nasional. Di Jawa Barat sendiri, masih dibutuhkan sekira 64 ribu guru guna mengisi kekurangan di sekolah-sekolah. Dengan perincian, 40 ribu guru untuk sekolah dasar (SD), 18 ribu untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), 6 ribu untuk sekolah menengah umum (SMU), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Kurangnya jumlah guru ini terang merupakan problem serius lantaran guru ialah ujung tombak pendidikan. Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin bertumpuk sehingga sangat berpotensi menimbulkan menurunnya kualitas pendidikan. 

Sementara itu Dany Setiawan mengungkapkan bahwa ketika ini terdapat kasus kekurangan guru sebanyak 88.500 lebih terutama untuk jenjang pendidikan dasar di Jabar, sementara di sisi lain sebanyak 48.000 guru bantu tengah menanti pengangkatan, dimana problem pengangkatan guru menjadi pegawai negeri sipil (PNS) merupakan wewenang pusat. Untuk sementara, melalui APBD pemprov jabar telah menganggarkan tenaga guru bantu sementara yang diberikan tunjangan sebesar Rp 1 juta per orang. Namun, jumlahnya yang hanya kurang lebih 1.500 tentu saja masih belum bisa menutupi kekurangan yang mencapai 80 ribu lebih. 

Pengelolaan dan Efisiensi
Masalah pengelolaan dan efisiensi pendidikan diantaranya dikelompokan berdasarkan tiga hal yaitu:

Kinerja dan Kesejahteraan Guru Belum Optimal
Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan pendidik. Berdasarkan UU No.14/2005 wacana Guru dan Dosen, pasal 14 hingga dengan 16 menyebutkan wacana Hak dan Kewajiban diantaranya, bahwa hak guru dalam memperoleh penghasilan ialah di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan, banyak sekali kemudahan untuk meningkatkan kompetensi, banyak sekali tunjangan menyerupai tunjangan profesi, fungsional, tunjangan khusus bagi guru di daerah khusus, serta banyak sekali maslahat perhiasan kesejahteraan.

Undang-undang tersebut memang sedikit membawa angin segar bagi kesejahteraan masyarakat pendidik, namun dalam realisasinya ternyata tidak semanis redaksinya. Sebagai contoh, Kompas (6/2/2007) memberitakan bahwa sejumlah guru di Kota Bandung menyesalkan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional yang berencana memperberat penerimaan insentif rutin dan mengaitkan dengan syarat sertifikasi. Pandangan keberatan ini beberapa di antaranya dilontarkan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Bandung Kustiwa dan Sekretaris Jendral Forum Aksi Guru Independen (FAGI) Kota Bandung Iwan Hermawan. Keduanya sependapat, tunjangan fungsional tidak ada kaitan sama sekali dengan syarat sertifikasi guru. Hal ini lantaran keberadaan tunjangan fungsional dan profesi secara prinsip sebetulnya tidak saling terkait. Tunjangan fungsional lebih dianggap sebagai kebijakan yang menempel secara otomatis pada profesi guru, terlepas sejauhmana profesionalnya bersangkutan. Jadi, terang berbeda dengan tunjangan profesi yang pada prinsipnya bertujuan memacu profesionalitas guru. 

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai tugas dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru mendapatkan honor bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan menyerupai itu, terang saja, banyak guru terpaksa melaksanakan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005). Permasalahan kesejahteraan guru biasanya akan berimplikasi pada kinerja yang dilakukannya dalam melaksanakan proses pendidikan. 

Guru sebagai tenaga kependidikan juga mempunyai tugas yang sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah pekerjaan, tentu dengan menjadi seorang guru juga diharapkan sanggup memperoleh kompensasi yang layak untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi, derma reward dan punishment yang sesuai merupakan kasus yang sanggup mempengaruhi kinerja dan mutu dalam bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi para pendidik semoga sanggup meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang selama ini masih terpuruk. Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru mendapatkan tunjangan yang manusiawi untuk memenuhi banyak sekali kebutuhan hidupnya mengingat peranan dari seorang guru yang begitu besar dalam upaya mencerdaskan suatu generasi.

Proses Pembelajaran Yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk berbagi model pembelajaran yang efektif.

Dalam PP No 19/2005 wacana standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 hingga dengan 22 wacana standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memperlihatkan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga sanggup mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien

Sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa sanggup berbagi model-model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.

3. Jumlah dan Kualitas Buku Yang Belum Memadai
Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005 wacana SNP dalam pasal 42 wacana Standar Sarana dan Prasarana disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib mempunyai sarana yang mencakup perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber berguru lainnya, materi habis pakai, serta perlengkapan lain yang diharapkan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (ayat 1).

Secara teknis, pengadaan buku pelajaran di sekolah tidak lagi boleh dilakukan oleh sekolah dengan menjual buku-buku kepada siswa secara bebas, melainkan harus sesuai dengan buku sumber yag direkomendasikan oleh pemerintah. Dalam tahun 2007 ini, pemerintah melalui Ketua Satker Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) Dana BOS buku 2007 akan dicairkan lantaran dana BOS buku tahun 2006 sudah terserap semuanya. Meski dalam pelaporan serapan dana BOS buku 2006 belum masuk semua ke Satker PKPS BBM tingkat kabupaten/kota. Unit cost untuk setiap siswa dari BOS buku ini Rp 22.000 yang diperuntukkan untuk membeli satu buah jenis buku. Kaprikornus kalau dijumlahkan dana BOS buku, baik untuk siswa tingkat SD maupun Sekolah Menengah Pertama sekitar Rp 131,088 miliar lebih. Selain itu, buku yang dibeli juga harus sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 11 Tahun 2005. Jumlah penerbit yang telah mendapatkan akta dan sesuai berdasarkan Permendiknas No. 11 Tahun 2005 sebanyak 98 penerbit dan ratusan judul buku. Ke-98 penerbit tersebut kalau dirinci, untuk penerbit buku matematika sebanyak 31 penerbit, bahasa Indonesia sebanyak 45 penerbit, dan bahasa Inggris sebanyak 22 penerbit (www. Klik-galamedia.com, 08 Februari 2007).

Penyelenggaraan Otonomi Pendidikan 
Pemerintah telah memutuskan kebijakan otonomi pendidikan, sebagaimana mengacu pada UU No.20/2003 wacana Sisdiknas dalam pasal 53 wacana Badan Hukum Pendidikan yang menyebutkan: (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk tubuh aturan pendidikan. (2) Badan aturan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memperlihatkan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan aturan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan sanggup mengelola dana secara berdikari untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan wacana tubuh aturan pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.

Berdasarkan pasal di atas maka penyelenggaraan pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara melainkan diserahkan kepada forum pendidikan itu sendiri. Dalam klarifikasi pasal 3 ayat 2 RUU Badan Hukum Pendidikan disebutkan bahwa Kemandirian dalam penyelengaraan pendidikan merupakan kondisi yang ingin dicapai melalui pendirian BHP, dengan menerapkan administrasi berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi pada pendidikan tinggi. Hanya dengan kemandirian, pendidikan sanggup menumbuhkembangkan kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas, dan mobilitasnya.

Keterbatasan Anggaran
Ketersediaan anggaran yang memadai dalam penyelenggaran pendidikan sangat mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan tersebut. Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 wacana Sisdiknas dalam pasal 49 wacana Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana pendidikan selain honor pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1).

Permasalahan lainnya yang juga penting untuk diperhatikan ialah alasan pemerintah untuk berupaya merealisasikan anggaran pendidikan 20% secara sedikit demi sedikit lantaran pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk mengalokasikan 20% secara sekaligus dari APBN/APBD. Padahal kekayaan sumber daya alam baik yang berupa hayati, sumber energi, maupun barang tambang jumlahnya melimpah sangat besar. Tetapi lantaran selama ini penanganannya secara kapitalistik maka return dari kekayaan tersebut malah dirampas Oleh para hebat pemilik modal.

Mutu SDM Pengelola Pendidikan
Sumber daya pengelola pendidikan bukan hanya seorang guru atau kepala sekolah, melainkan semua sumber daya yang secara eksklusif terlibat dalam pengelolaan suatu satuan pendidikan. Rendahnya mutu dari SDM pengelola pendidikan secara simpel tentu sanggup menghambat keberlangsungan proses pendidikan yang berkualitas, sehingga pembiasaan dam sinkronisasi terhadap banyak sekali jadwal peningkatan kualitas pendidikan juga akan berjalan lamban.

Dengan memahami kerangka dasar penyelenggaraan pendidikan nasional yang berlandaskan sekulerisme, maka standar pengelolaan pendidikan secara nasionalpun akan sejalan dengan sekulerisme tersebut, semisal adanya prosedur MBS dan Otonomi PT sebagaimana disebutkan di atas yang merupakan implementasi dari otonomi pendidikan.

Relevansi pendidikan
Belum Menghasilkan Life Skill Yang Sesuai
Dalam kaitannya dengan life skill yang dihasilkan oleh peserta didik sehabis menempuh suatu proses pendidikan, maka berdasarkan PP No.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa:1) kurikulum untuk SMP/MTs/ SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat sanggup memasukan pendidikan kecakapan hidup. 2) pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud mencakup kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.

Adapun kriteria evaluasi hasil berguru sanggup dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, maupun pemerintah. Penilaian hasil berguru oleh pendidik diatur dalam pasal 64 antara lain evaluasi hasil berguru kelompok mata pelajaran agama, sopan santun mulia, pendidikan kewarganegaraan dan sopan santun mulia dilakukan melalui: a. pengamatan terhadap perubahan sikap dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik, serta. b. Ulangan, ujian, dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil berguru kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai. 

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam membuat life skill yang diharapkan dimiliki oleh siswa ukuran yang dipakai ialah penilaian-penilaian di atas. Namun kenyataan sebaliknya justru menandakan bahwa korelasi antara proses pendidikan selama ini dengan pembentukan kepribadian siswa merupakan hal yang dipertanyakan? Kasus tawuran antar pelajar, sec bebas, narkoba, dan banyak sekali kasus sosial lainnya merupakan indikator yang relevan untuk mempertanyakan hal ini.

Pendidikan Yang Belum Berbasis Pada Masyarakat dan Potensi Daerah
Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan UU No.20/2003 dalam Pasal 36 wacana Kurikulum menyebutkan: (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan keyakinan dan takwa; b. peningkatan sopan santun mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i. dinamika perkembangan global; dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam PP No.19/2005 antara lain dalam pasal 6 yang menyebutkan:1) kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan sopan santun mulia, kewarganegaraan dan sopan santun mulia, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan. 6). Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis. Kecakapan berhitung, serta kemampuan berkomunikasi.

Masyarakat dan lingkungan tempat tinggal merupakan potongan yang terintegrasi dengan siswa sebagai peserta didik. Proses pendidikan yang sesungguhnya tentu melibatkan peranan keluarga, lingkungan-masyarakat dan sekolah, sehingga kalau salah satunya tidak berjalan dengan baik maka sanggup mempengaruhi keberlangsungan pendidikan itu sendiri.

Belum Optimalnya Kemitraan Dengan Dunia Usaha/ Dunia Industri
Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam UU No.20/2005 Sisdiknas pasal 54 wacana Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan menyebutkan : (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan mencakup tugas serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat sanggup berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. (3) Ketentuan mengenai tugas serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Hal yang justru memunculkan kerawanan ketika ini ialah dengan adanya RUU BHP maka peranan pihak swasta (pengusaha) mendapatkan kanal yang lebih luas untuk mengelola pendidikan, sehingga bagaimana jadinya kalau kemitraan dengan DU/DI tersebut ternyata menempatkan pengusaha ataupun perusahaan sebagai pihak yang berinvestasi dalam forum pendidikan dengan menuntut adanya return yang sepadan dari investasinya tersebut? Kondisi ini pada akhirnya akan memperkokoh keberlangsungan kapitalisasi pendidikan.

Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian kasus mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu hanya sanggup diwujudkan dengan melaksanakan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Hal ini sangat penting dan utama. Artinya, sehabis kasus mendasar diselesaikan, barulah banyak sekali macam kasus cabang pendidikan diselesaikan, baik itu kasus aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan, pengelolaan dan efisiensi, hingga kualitas pendidikan

Solusi kasus mendasar itu ialah dengan melaksanakan pendekatan sistemik yaitu secara bersamaan melaksanakan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan sistem ekonomi yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif dan hedonis menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi islami, dan ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga perubahan sistem pendidikan yang materialistik juga sanggup diubah menjadi pendidikan yang dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya. Perbaikan ini pun perlu dilanjutkan dalam perbaikan aspek formalitas, yaitu dengan dibuatnya regulasi wacana pendidikan yang berbasiskan pada konsep syari’ah islam.

Salah satu bentuk positif dari solusi mendasar itu ialah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan (Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya ialah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang memilih hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, menyerupai tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.

Solusi Untuk Permasalahan Derivat 
Seperti diuraikan di atas, selain adanya kasus mendasar, sistem pendidikan di Indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, antara lain :
1) Keterbatasan aksesibilitas dan daya tampung,
2) Kerusakan sarana dan prasarana,
3) Kekurangan tenaga guru,
4) Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal,
5) Proses pembelajaran yang konvensional,
6) Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai,
7) Otonomi pendidikan. Keterbatasan anggaran
9) Mutu SDM Pengelola pendidikan
10) Life skill yang dihasilkan tidak sesuai kebutuhan
11) Pendidikan yang belum berbasis masyarakat dan lingkungan
12) Kemitraan dengan DU/DI

Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian kasus mendasar. Sehingga dalam hal ini diantaranya secara garis besar ada dua solusi yaitu:

Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Dengan demikian, penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat wacana penyelenggaraan pendidikan sebagai salah satu bentuk kewajiban negara kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak mempunyai sumber dana (capital). Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memperlihatkan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat sebagai bentuk usaha untuk menjamin terlaksananya pengaturan banyak sekali kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam bidang pendidikan. Sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka semoga melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan bisa mengkondisikan masyarakat semoga mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga tugas mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah ialah dengan memperlihatkan tauladan wacana aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.

Kedua, solusi teknis, yakni solusi untuk menuntaskan banyak sekali permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya:

Secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun sanggup menuntaskan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memperlihatkan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. merekrut jumlah tenaga pendidik sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan kurikulum yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang bisa menjalani kehidupan dunia dengan segala kemajuannya (setelah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi serta seni baik yang berasal dari islam maupun hadharah ’am) dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di darul abadi kelak dengan adanya penguasaan terhadap tsaqofah islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.

Solusi dari tokoh Pendidikan
Gurunya ialah putera daerah yang kompeten, petani/peternak/pengrajin/pengusaha sukses di daerahnya. Pemerintah/ Komunitas daerah hanya perlu merekrut 2 orang PAEDAGOGE dan PSIKOLOG per Kabupaten untuk menyusun kurikulum berbasis POTENSI BISNIS di daerah. Perpustakaan difokuskan kepada pengembangan potensi daerah ini.Dengan begitu, pendidikan atau sekolah benar2 menjadi tempat dimana BUSINESS dilahirkan, dihidupkan dan diimplementasikan dalam dunia positif untuk menghidupkan Kesholehan Sosial dan Kesholehan Ekonomi di Daerah. 

Tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi dari guru/dosen yang harus ditingkatkan sebagai insentif dalam proses mengajar serta semakin banyak sekolah yang mempunyai kemudahan yang memadai tetapi masih terlalu besar poverty gap antara sekolah di kota dan di desa." Prioritas yang paling mendesak dilakukan pemerintah ketika ini berdasarkan Syamsul ialah perbaikan gaji, perbaikan kurikulum, perbaikan peraturan/regulasi, dan pendistribusian subsidi pemerintah yang adil dan menyeluruh. Selain itu kemampuan guru dan dosen sendiri harus ditingkatkan baik melalui intensive pelatihan dan self-learning menyerupai research, menulis di jurnal dll. Seharusnya hal-hal menyerupai inilah yang harus ditingkatkan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu para pendidik itu sendiri. Good educators mean good education dan diharapkan akan menghasilkan para lulusan yang bermutu dan siap kerja. (Syamsul Arief Rakhmadani,seorang staff pengajar di INTI College)

Mengutif dari DR.H.Arief Rahman,MPd,sebagai Executive Chairman of Indonesian National Commision untuk Lembaga PBB UNESCO ini, ialah Mutu Guru. Di mana kesejahteraan mereka para guru harus diperhatikan dan diperbaiki, akademisnya juga harus diperbaiki, pola mengajarnya juga harus diperbaiki. Bangsa dan negara ini juga mempunyai andil dalam kesalahan besar terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Maksud saya ialah seperti semua kasus besar pada pendidikan dibebankan atau ditujukan kepada Pemerintah saja, padahal itu ialah tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia juga atau tanggung jawab kita bersama. Saya beri contoh, kalau ada sesuatu yg tidak beres dalam tatanan dunia pendidikan seharusnya kita tanyakan dulu kepada diri kita sendiri wacana permasalahan itu, dan kita berusaha ikut berpartisipasi positif dan aktif di dalam memajukan sistem pendidikan di Indonesia. Jangan hanya menyalahkan pemerintah saja. Dalam hal ini pemerintah itu hanya memperlihatkan rambu-rambu pendidikan yang fleksibel yang sanggup kita rembukan atau diskusikan bersama untuk hal perubahan atau penambahan di dalam rambu2 tersebut".

Menurut Syamsul yang mengidolakan Mr.Peter O'Donnell salah satu senior lecturer di Monash University dulu, ada dua hal yang menjadi tantangan terbesar bagi dunia pendidikan di Indonesia menghadapi kurun globalisasi dunia sekarang. Yang pertama ialah Teknologi. Minimnya pengetahuan teknologi sangat mempengaruhi kemampuan para edukator. Saya yakin bahwa banyak guru-guru yang tidak mengetahui adanya internet sedangkan para murid sudah technology-aware. Yang kedua, masuknya sekolah plus dengan overseas syllabus. Tantangan ini bisa berdampak positif dan berdampak negatif, tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Syllabus dari luar negeri tidak sepenuhnya tepat menyerupai yang dipikirkan oleh banyak orang, banyak hal-hal yang tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. Tetapi di lain sisi, overseas syllabus maupun sekolah plus akan memperlihatkan nilai tambah tersendiri dan mungkin akan menjadikan suatu warning bahwa kurun globalisasi has truly arrived. Dan kita berharap pemerintah mempunyai peraturan yang mengatur sekolah plus dan syllabus-nya

Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Problematika System Pendidikan Di Indoesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel