-->

iklan banner

Psikologi Kultural Dan Semiotik, Arti Yang Bertentangan Dalam Praktek Pendidikan

Psikologi Kultural Dan Semiotik, Arti Yang Bertentangan Dalam Praktek Pendidikan : Publikasi dari rangkaian artikel khusus perihal budaya dan pendidikan ini mencapai tiga tujuan. Yang pertama yakni untuk melanjutkan pembahasan damai dasar kultural yang penting dari pendidikan yang mulai dengan dilema khusus dari Canadian Journal of Education perihal pendidikan Aborigin (volume 19, nomor 2; Musim semi 2004). Yang ke dua yakni untuk memperlihatkan bahwa prinsip-prinsip dari pembuatan arti yang ditampilkan dalam budaya-budaya Aboriginal yakni serupa dengan yang mendasari pendekatan-pendekatan utama untuk pendidikan. Tujuan yang ke tiga dari dilema khusus ini yakni untuk menjelaskan bagaimana perspektif dan acara dari psikologi kultural didukung oleh semiotik, sebuah tradisi yang paralel dan melampaui dari pendidikan yang mempunyai inti adaptasi arti dan pembuatan arti. 

Dalam pendahuluan ini, saya menciptakan denah beberapa sejarah dan pernyataan utama dari psikologi kultural dan semiotik dan menyebutkan beberapa dilema penting yang muncul dari masing-masing dari keempat artikel yang mengikuti.

PSIKOLOGI KULTURAL
Meskipun ada antusiasme ketika ini dari para peneliti dalam bidang pendidikan untuk topik-topik yang dipandang sebagai inti dari psikologi kultural, menyerupai konstruktivisme sosial, kognisi tersituasi (lihat Seely Brown, Collins, dan Duguid, 1990), dan kognisi tersebar (lihat Cole & Engestrom, 1993), subyek-subyek ini kini tidaklah baru. Dalam kenyataannya, studi perihal pembuatan arti dan dasarnya dalam pengalaman sosio kultural yakni sebuah tradisi renta bahkan dalam ilmu pengetahuan barat. Sebagai contoh, hampir 300-an tahun yang lalu, Giambattista Vico (1668-1744) menekankan dasar-dasar kultural historis dari mentalitas insan dengan menjelaskan humanitas seseorang sebagai sebuah rakitan dari hubungan-hubungan sosial.

Selanjutnya, pada tahun 1851, Moritz Lazarus (1824-1903) menamai sebuah bidang gres untuk studi, Volkerpsychologie, yang ia interpretasikan sebagai studi fenomena mental kolektif. Beberapa tahun selanjutnya, pada tahun 1860, Lazarus dinamai sebagai untuk bangku pertama dari psikologi dimana saja, ketika ia menjadi profesor dari Volkerpsychologie di Bern (Jahoda, 2003). Ini hampir selalu menjadi sebuah generasi sebelum pendirian laboratorium psikologi pertama pada tahun 1879 oleh Wilhelm Wundt (1832-1920), yang juga mempunyai minat berlangsung usang dan menciptakan bantuan yang besar untuk bidang Volkerpsychologie. Hajim Steinthal (1823-2899) dan Wilhelm Dilthey (1833-1911) yakni sebagian dari kontributor penting untuk versi-versi dari psikologi ‘rakyat’ dari era yang sama ini (Jahoda, 2003).

Akar dari psikologi kultural yang ada ketika ini dipandang paling jelas, bagaimanapun juga, dalam satu garis khusus dari ilmu pengetahuan: sekolah sosio historis Rusia perihal pemikiran yang diwakili awalnya oleh Aleksei Leontiev (1904-1979), Aleksandr Luria (1902-1977), dan khususnya Lev Vygotsky (1896-1934). Meskipun final hidup awal Vygotsky alasannya yakni tuberkulosis dan penghentian Stalinist untuk tulisan-tulisannya selama 20 tahun (Blanck, 2000), teori dan penelitiannya yang penuh pandangan telah bertahan usang untuk mempengaruhi penelitian pendidikan barat – khususnya selama 15 tahun terakhir.

Paling tidak tiga pernyataan utama menjadi inti dari rumusan-rumusan Vygotsky, 1978. Pertama, insan bekerjasama dengan dunia fisik dan bekerjasama satu dengan yang lain oleh alasannya yakni proses-proses mediasi kultural, mediasi yang dicapai menggunakan alat-alat atau gejala psikologi (sebagai contoh, musik dan bahasa) dan alat-alat teknis (Sebagai contoh, cangkul dan palu) dari budaya sekeliling. Ke dua, mediasi kultural dan oleh alasannya yakni itu juga fungsi-fungsi psikologi insan yakni fenomena historis yang mengalami perubahan terus menerus dan sepanjang kehidupannya. Ke tiga, fungsi-fungsi psikologi insan muncul dari acara praktek dalam konteks-konteks khusus. Sebuah tema yang mencakupnya melibatkan perhatian perihal kognisi sebagai sebuah fenomena kelompok, dan bukan individual, yang didistribusikan. Saat ini pernyataan-pernyataan ini diambil sebagai inti untuk psikologi dan diwakili dalam banyak sekali tingkat dalam masing-masing artikel dalam dilema khusus ini. 

SEMIOTIK
Sekitar tahun 1897, [Charles Sanders Peirce] (1839-1914), biasanya dianggap sebagai pendiri utama dari semiotik modern, menjelaskan semiotik sebagai “doktrin formal untuk tanda-tanda”. Saat ini, semiotik (kata jamak dianggap sebagai yang diperkenalkan oleh Margaret Mead pada tahun 1992) ditentukan sebagai doktrin, atau studi, atau ilmu pengetahuan perihal tanda-tanda. Lebih tidak formal, semiotik sanggup dijelaskan sebagai studi akan semua sistem tanda (antara subyek-subyek yang berbeda menyerupai arsitektur, bahasa, tarian, dan gambaran-gambaran media) dan simbol-simbol (yang menjadi kasus khusus dari tanda-tanda) dan juga studi perihal bagaimana gejala digunakan dalam menciptakan arti dan pesan. Di Amerika Utara dan Eropa, bidang-bidang yang paling aktif dari penelitian semiotik ketika ini mulai dengan pemikiran seminal Peirce. Oleh alasannya yakni itu, perspektif Peircean dalam semiotik ditekankan dalam pendahuluan ini dan dalam artikel-artikel oleh Haas dan Rogers.

Definisi Peirce perihal tanda yang paling banyak dikutip mulai sebagia berikut: “Sebuah tanda yakni sesuatu yang berarti untuk seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas”. Dalam definisi lengkapnya (lihat Siegel, dilema perihal Canadian Journal of Education, untuk pembahasan yang lebih lengkap), Peirce memperkenalkan tiga rangkaian (triad) tanda yang tidak sanggup dikurangi yang tersusun dari obyek-tanda-interpretant (atau obyek-representamen-interpretant). Rumusan ini biasanya berlawanan dengan relasi diadik dari Ferdinand de Saussure yang dikabarkan untuk semiologi dan digunakan untuk linguistik (de Saussure, 1959). Bagaimanapun juga, tiga rangkaian tanda Peirce dipandang sebagai yang lebih mempunyai kekuatan penjelas dalam pembuatan arti paling tidak untuk dua alasan: (a) ketika dibandingkan dengan diad, triad memperlihatkan perluasan yang besr dalam dasar dan lingkup dari hubungan-hubungan yang sanggup diperoleh dari mereka, dan (b) triad tanda Peirce sanggup digunakan bukan hanya untuk bahasa tapi untuk gejala dalam setiap modalitas insan (sebagai contoh, musik, gambar, dan tari) dan penciptaan kultural (sebagai contoh, agama, arsitektur, dan gambar-gambar media).

Dari perspektif semiotik, baik alat-alat psikologis maupun teknis [Vygotsky] yang disebutkan dianggap sebagai tanda-tanda. Sebagai tambahan, pernyataan Vygotsky bahwa mediasi kultural dan pemungsian psikologi insan yakni fenomena historis yang berubah-ubah yang seluruhnya konsisten dengan pandangan semiotik bahwa gejala yang berevolusi (yaitu arti) mengalami perubahan dan perkembangan terus menerus, atau semiosis, dalam konteks lingkungan-lingkungan sosiokultural. Pernyataan Vygotskian ke tiga, bahwa fungsi-fungsi psikologi insan muncul dari acara praktek dalam konteks-konteks tertentu, juga didukung oleh dasar filosofis dari semiotik, pragmatisme. Peirce, yang disebut oleh William James sebagai pendiri pragmatisme pada final tahun 1800-an, mengijinkan elemen-elemen pragmatik untuk memandu banyak dari pengambilan teori yang ia lakukan perihal dasar dari semiosis yang merupakan evolusi yang dinamis dari gejala atau proses-proses dimana gejala menjadi berarti. Dalam dicatat bahwa pragmatisme mendasari pekerjaan dari John Dewey, sekali seorang siswa dari Peirce di Johns Hopkins University, dan Jerome Bruner, yang bekerjasama dengan kebangkitan kembali akhir-akhir ini dari psikologi kultural. 

Asumsi psikologi kultural bahwa kognisi yakni sebuah fenomena yang ddistribusikan dan bukan fenomena individual konsisten dengan prinsip-prinsip dari semiotik Peirce, menyerupai yang sanggup dilihat dari kutipan-kutipan berikut ini dari tulisan-tulisan Peirce: “orang pada pada dasarnya yakni seekor hewan sosial” (hal. 3); “masalah yang ada menjadi bagaimana untuk memperbaiki kepercayaan, bukan hanya dalam bidang individual, tapi dalam komunitas” (hal. 13); “konsepsi ini [tentang realita] pada pada dasarnya melibatkan hal perihal sebuah KOMUNITAS [huruf besar menyerupai aslinya], tanpa batas-batas yang pasti, dan bisa mengatakan peningkatan yang niscaya untuk ilmu pengetahuan” (hal 247); “realita tergantung pada keputusan final dari komunitas” (hal. 250); dan “perkembangan pemikiran dengan memandang pada kelanjutan pikiran, sanggup mempengaruhi seluruh orang atau komunitas dalam personalitas kolektifnya” (hal. 367). Maka, bagi Peirce, semiosis yakni sebuah proses sosial kolektif dan individual dan gejala didasarkan pada budaya-budaya. 

Selama sejarah ketika ini perihal semiotik, kontributor utama menyerupai Thomas Sebeok dan Umberto Eco belum mempunyai ketertarikan utama dalam teori dan praktek dari pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir, bagaimanapun juga, semakin banyak peneliti telah berusaha untuk menerapkan perspektif semiotik pada dilema-dilema dan kesempatan-kesempatan pendidikan yang terjadi (sebagai contoh, Cunningham, 1992; Lemke, 1990; Smith, 1992). Saya percaya bahwa semiotik, bersama dengan asumsi-asumsi dan bidang psikologi kultural, sanggup mengijinkan penelitian kembali dalam hal vital dari beberapa dilema utama dalam pendidikan. Artikel-artikel dalam dilema khusus ini terdiri dari sebuah langkah penting dalam arah ini.

ARTI DALAM PRAKTEK PENDIDIKAN: MENINJAU ARTIKEL

Ø Arti dalam sebuah Pendekatan yang Berdasarkan Budaya untuk Perkembangan Anak
Dalam artikelnya, Judith Bernhard menampilkan posisi-posisi teoritis yang dibagi-bagi yang telah menahan penelitian dan praktek sirkular di Amerika Utara pada pendidikan awal masa kanak-kanak selama kurun ke-20. Bernhard menjelaskan empat cara utama dalam pencapaian perkembangan manusia: (a) sebagai defisit, (b) sebagai kerugian atau perampasan, (c) sebagai perbedaan non inti, dan (d) sebagai heterogenitas mendasar. Untuk masing-masing pendekatan, ia menyebutkan asumsi-asumsi utama, kekurangan-kekurangan yang memungkinkan, dan implikasi-implikasi sirkular. Mendukung sebuah pandangan psikologi kultural dari perkembangan anak, Bernhard mengesahkan pendekatan ke empat.

Salah satu tujuan inti Bernhard yakni untuk menanyakan perihal keberadaan dari karakteristik insan yang universal yang abnormal dan konteksnya bebas. Dia percaya bahwa tidak terdapat legitimasi untuk ekspresi-ekspresi umum menyerupai anak yang ‘berusia dua tahun’. Bagaimanapun juga, pembaca sanggup salah menginterpretasikan penjelasannya perihal dasar dari ‘heterogenitas mendasar’, sebuah istilah yang mengacu pada perbedaan-perbedaan fundamental yang diciptakan ketika fungsi insan dalam bidang kultural yang berbeda dan bukan pada perbedaan-perbedaan fundamental dalam potensi insan untuk terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh sosiokultural. Untuk menyatakan kembali, insan sebagai produk budaya sanggup berbeda antara satu dengan yang lain, tapi kemampuan awal untuk menggunakan logika dan menggunakan alat-alat kultural, atau tanda-tanda, tidak berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Bernhard meminta kepada kita untuk meneliti kembali ikatan-ikatan dari universalitas dalam konsepsi-konsepsi kita perihal perkembangan anak dan untuk mengambil secara serius asumsi-asumsi operasional dari psikologi kultural.

Ø Arti-arti dalam sebuah Program Intervensi untuk Kaum Muda yang Beresiko
Dalam artikel ini, Donald Campbell menjelaskan acara BreakAway Company untuk orang cukup umur yang beresiko sebagai salah satu yang berdasar pada acara kultural dan menghadapi tantangan yang umum perihal mewakili kemajuan siswa secara memuaskan. Bukannya mengambil rute yang diterima dari penghilangan ketidak sesuaian pengukuran yang disusun sebagai kesalahan statistik saja, bagaimanapun juga, Campbell menempatkan prinsip pada perbedaan-perbedaan ini dan pada arti-arti yang diberikan oleh para partisipan acara untuk dilema-dilema kontekstual yang disusun. Analisis yang dihasilkannya memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting perihal validitas dari penggunaan alat-alat evaluasi menurut pada orang-orang yang terisolasi yang ditempatkan dalam situasi-situasi abnormal dan bukan pada partisipan yang bekerjasama dan berkomunikasi yang membuatkan perjuangan sosial.

Perspektif Campbell dibagikan oleh penleiti dari Spanyol yang memperlihatkan bahwa
Pola-pola motivasional adaptif dipelajari dengan lebih baik dalam sebuah konteks pekerjaan kerjasama daripada dalam seseorang [dan bahwa model-model evaluasi harus terpusat lebih pada proses daripada produk, dengan lebih banyak rujukan pada kriteria daripada norma, yang lebih terfokus pada aspek kualitatif daripda kuantitatif. (Rosa & Montero, 2000, hal. 80-81)

Seperti yang disampaikan oleh Rosa dan Montero (2000) di lain tmepat dalam kepingan mereka, Vygotsky mengantisipasi poin-poin ini. Hal yang sama, Campbell menjelaskan temuan-temuannya dengan mengacu pada konsep-konsep yang disahkan oleh psikologi kultural dan semiotik. Sebagai contoh, ia mengutip sumber-sumber yang memandang pembelajaran sebagai praktek sosial yang muncul dalam konteks dan yang melihat arti sebagai acara yang dinamis dalam tindakan. Campbell juga menekankan tugas dari naratif, menyerupai yang dipahami dalam lingkup luas (Bruner, 2000), dalam proses pembuatan arti (yaitu, dalam semiosis). Ada sedikit keraguan bahwa naratif, sebuah alat kultural utama, yakni sebuah media utama yang dilalui oleh insan untuk menyusun arti. Namun, untuk banyak pendidik, pesan utama dalam pekerjaan Campbell telah diterapkan: ada batasan-batasan untuk nilai dari penggunaan tes-tes obyektif khusus dengan orang-orang yang berfungsi dalam situasi-situasi sosial yang berarti.

Ø Generasi dari Banyak Arti dalam Pembelajaran
Artikel Marjorie Siegel berakar berpengaruh dalam semiotik Peircean. Pekerjaan yang ia lakukan meneliti arti dan keuntungan-keuntungan pendidikan dari pembangunan arti-arti analog alam sistem gejala yang berbeda dari sistem-sistem tanda yang digunakan untuk mengatakan pesan-pesan orisinil yang telah dispesifikan sebelumnya. Siegel dengan ermat menggambarkan transmediasi, proses generatif dari penterjemahan arti dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya (sebagai contoh, dari bahasa ke gambar), sehabis ia telah menyimpulkan beberapa perkiraan kunci dari Peirce yang mendukung proses terjemahan ini. Dengan adanya jumlah dan kerumitan dari rumus-rumus keterkaitan Peirce dan kekurangan yang dihasilkan untuk susukan untuk sebagian besar pendidik, artikel Siegel baik untuk dibaca untuk kesimpulannya saja.

Di seluruh presentasi yang ditampilkannya, Siegel menekankan bahwa pembelajaran yakni sebuah proses sosial dimana para siswa secara aktif menyusun pemahaman mereka. Lebih lanjut, ia menggarisbawahi relasi dengan transmediasi dengan mediasi kultural dan konvensi-konvensi kultural. Kedua poin ini yakni bukti dalam contoh-contoh yang diberikannya dari penelitiannya. Juga, ketika menghubungkan metafora dan transmediasi, ia memperlihatkan perhatian yang sanggup diubahsuaikan yang mungkin dilewatkan oleh transmediasi, salah dimengerti, atau salah diinterpretasikan kecuali ada kehati-hatian untuk menciptakan konsep ini sanggup diakses bagi para pendidik yang ada dalam posisi untuk mengambil laba dari kekuatan yang ada padanya. Bagi mereka yang ada dalam psikologi kultural dan semiotik, pekerjaan Siegel memunculkan pertanyaan perihal apa yang umum dan apa yang unik ketika arti-arti yang sama disusun dalam sistem-sistem tanda yang berbeda. 

Ø Arti sebagai sebuah fungsi sejarah personal dan komunitas kultural
Dalam artikel terakhir dari dilema khusus ini, Nancy Haas dan Linda Rogers menyediakan sebuah perhatian perihal perseteruan budaya-budaya yang berdasar berpengaruh pada semiotik yang terjadi ketika Tim bergerak dari rumahnya ke sekolahnya. Dalam budaya sekolah, guru menyamakan kemampuan komunikatif Tim dengan kinerja pada tes-tes standar dan pada tampilan-tampilan khusus dari kompetensi linguistik. Di budaya rumah, orang renta Tim telah menciptakan ukuran-ukuran alternatif dari kompetensi komunikatif, ukuran-ukuran yang tidak akan diterima oleh guru. Maka, sistem tanda fungsional Tim untuk rumah yakni tidak efektif dan mempunyai nilai yang rendah di sekolah dan ia dimasukan dalam budaya ketidak mampuan.

Sebuah hal utama dari artikel Haas dan Roger yakni penggambarannya yang tajam perihal bagaimana gejala yang berevolusi hanya berfungsi dalam tatanan-tatanan tertentu dan komunitas-komunitas kultural tertentu. Kasus Tim menyediakan pinjaman yang terperinci untuk salah satu dari klaim penting Peire: bahwa gejala sanggup berfungsi sebagai gejala hanya ketika gejala ini dipahami sebagai tanda-tanda. Yaitu, sebuah awan kumulus yakni sebuah tanda dari cuaca yang baik hanya bagi mereka yang memahami bahwa sebuah awal kumulus berarti ini. Pola komunikasi Tim yang berevolusi dengan hati-hati yakni berarti hanya bagi para anggota dari sebuah komunitas yang sangat terbatas. Seperti yang disebutkan oleh Haas dan Rogers, akibat-akibat untuk Tim yakni besr. Analisis mereka menggarisbawahi beberapa pernyataan utama dari psikologi kultural ketika tergantung pada sebuah klarifikasi yang diperoleh dari semiotik Peircean. Kasus Tim akan menggambarkan bagaimana kedua topik yang terkait ini, psikologi kultural dan semiotik, sanggup bergabung untuk memberitahu dan mengarahkan praktek pendidikan.

Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Psikologi Kultural Dan Semiotik, Arti Yang Bertentangan Dalam Praktek Pendidikan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel