-->

iklan banner

Sistem Pertanahan Jaman Kerajaan Mataram Islam

Sistem Pertanahan Jaman Kerajaan Mataram Islam : Yang dimaksud dengan sistem pertanahan dalam goresan pena ini adalah, bagaimana tanah-tanah itu dieksploitasi dalam suatu sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan pada jaman raja-raja pra-kolonial. Sementara yang dimaksud dengan jaman raja-raja pra-kolonial yakni jaman sebelum adanya pemerintah Belanda yang mewakili pemerintah kerajaan Belanda di Nusantara (Indonesia), yaitu sehabis runtuhnya VOC tahun 1799 dan digantikan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Sistem pemerintahan pada jaman itu lazim disebut dengan istilah feodalisme, yaitu sistem pemerintahan yang menempatkan raja sebagai penguasa tertinggi, sedangkan para darah biru keluarga raja dan para abdnegara birokrasi yakni anak buah raja yang dijadikan alat untuk memerintah rakyat. Dengan demikian rakyat yakni penduduk kerajaan yang diperintah. . Disamping itu dalam feoadalisme kekuasaan didirtribusikan kepada parta darah biru dan abdnegara birokrasi sejalan dengan pembagian tanah kerajaan. Artinya bahwa para darah biru dan abdnegara birokrasi itu memperoleh tanah dari raja sebagai tanah jabatan (apanage atau feodum), yang luasnya tergantung tinggi rendahnya derajad kebangsawanan dan jabatan dalam struktur birokrasi kerajaan. Dalam feodalisme kerajaan Mataram di Jawa pada jaman raja-raka pra-kolonial, tinggi redahnya derajad kebangsawanan dan jabatan dalam struktur birokrasi, akan menghipnotis pula luas tanah jabatan. Kemudian tanah-tanah tersebut diserahkan kepada rakyat (petani) sebagai pihak yang diperintah untuk menggarap tanah-tanah tersebut.

Warisan sistem feodal yang masih bisa diamati pada masa kini yakni honor para kepala desa (Lurah) dan juga sebagian perangkat desa dalam bentuk tanah bengkok. Hal itu merupakan ironi, alasannya yakni jabatan lurah sendiri di daerah-daerah pedesaan ditentukan melalui sistem pemilihan kepala desa (pilkades) yang bersifat demokratis. Namun demikian goresan pena ini bukan terutama akan membahas mengenai kepala desa (lurah), akan tetapi mengenai sistem pertanahan jaman raja-raja pra-kolonial. Pada prinsip para darah biru dan pejabat kerajaan dari yang tertinggi hingga yang terendah memperoleh penghasilan atau gajih yang berupa tanah jabatan atau tanah apanage. Namun demikian bagaimana sistem itu berjalan atau dilaksanakan di lapangan merupakan bahasan utama dalam goresan pena ini.

A. Sistem Kebangsawanan, Pembagian Wilayah dan Birokrasi 
Pada jaman raja-raja feodal pra-kolonial, sistem kebangsawanan, pembagian wilayah dan birokrasi kerajaan sangat berkaitan erat dengan sistem pertanahan. Hal ini bisa dimengerti alasannya yakni pada hakekatnya pengertioan feodalisme yakni sistem pemerintahan yang dalam pendistribusian kekuasaan berjalan sejajar dengan pembagian tanah kepada para abdnegara brokrasi dan bangsawan. Dengan demikian tanah merupakan hal sangat penting dalam penyelenggaraan kekuasaan. 

Terdapat dua kriteria untuk memilih kedudukan seseorang dalam stratifikasi masyarakat kerajaan Mataram tradisional. Yang pertama bahwa status atau kedudukan darah biru seseorang ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan pemegang kekuasaan yaitu raja. Yang kedua ditentukan oleh posisi atau kedudukan seseorang dalam hierarki birokrasi kerajaan. Dengan mempunyai salah satu dari kriteria itu, maka seseorang dianggap termasuk golongan elit dalam stratifikasi masyarakat tradisional kerajaan mataram. Untuk kriteria yang disebutkan pertama hanya ditempati oleh para darah biru yaitu yang berdasarkan atas hubungan darah.dengan pemegang atau pemilik kekuasaan yaitu raja. Sementara untuk yang disebutkan kedua bisa berasal dari darah biru atau non-bangsawan. Artinya bahwa seseorang, meskipun bukan bangsawan, bisa diangkat dan menduduki strata tertentu dalam birokrasi kerajaan. 

Berdasarkan klarifikasi tersebut sanggup disimpulkan bahwa semakin bersahabat hubungan darah seseorang dengan raja berarti semakin tinggi pula status kebangsawanan seseorang. Sebaliknya makin jauh hubungan darah itu dari pemegang kekuasaan, maka makin kurang murnilah darah kebangsawanannya, yang berarti semakin menurun pula derajad kebangsawanannya. Pada umumnya derajad kebangswanan itu hanya menurun kepada jago waris raja hingga derajad keempat atau paling jauh hingga derajad kelima.

Berdasarkan peraturan yang dibentuk oleh raja Mataram yaitu Amangkurat, yang kemudian dilengkapi oleh Paku Buwana X, terdapat lima tingkatan dalam hiererki kebangsawanan yaitu:
1. Para putra raja, termasuk dalam golongan gusti. 
2. Para cucu raja, termasuk dalam golongan bendara
3. Para cicit raja, termasuk dalam golongan abdi sentana 
4. Para canggah, termasuk golongan bendara sentana
5. Para wareng raja, termasuk dalam golongan abdi kawula warga

Sementara itu berdasarkan Van den Berg, hanya terdapat empat gelar darah biru di luar raja. Gelar tertinggi, yaitu para putra raja, yang mempunyai gelar Pangeran, kedua yakni para cucu raja dengan gelar Raden Mas yang lai-laki dan Raden Ayu untuk yang perempuan, ketiga yakni para cicit raja dengan gelar Raden (laki-laki) dan Raden Nganten (perempuan), keempat atau terakhir yakni para canggah raja dengan gelar Mas (laki-laki) dan Mas Nganten (perempuan).

Bersama dengan raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, golongan kaum darah biru itu menduduki strata tertinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat tradisional Jawa pada jaman kerajaan Mataram Islam. Semakin bersahabat hubungan darah seseorang dengan raja, maka semakin tinggi pula status sosialnya. Prinsip keturunan sebagai penentu status ini mengakibatkan sulinya mobilitas sosial dari orang-orang yang bukan keturunan raja. Hal iu diperparah oleh kebiasaan dalam masyarakat tradisional yang memang cenderung untuk mempertahankan status sosial yang sudah mapan sebagai suatu keharmonisan.. Sistem status sosial semacam itu lazim disebut dengan istilah ascribet status, yaitu status sosial yang diperoleh berdasarkan keturunan atau kelahiran tanpa memandang atau membedakan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan.

Mengenai pembagian wilayah, sebelum semakin berkurang sebagai tanggapan aneksasi wilayah-wilayah kerajaan Mataram Islam oleh Belanda, terutama pada jaman pemerintahan Sultan Agung sebagai raja ketiga yang memerintah Matara Islam dari tahun 1613 – 1645, wilayah kekuasaan kerajaan Mataram masih mencakup seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta sebagian Jawa Barat. Pada masa pemerintahan raja-raja pengganti Sultan Agung wilayah kerajaan Mataram itu secara berangsur-angsur semakin menyusut sebagai tanggapan aneksasi yang dilakukan oleh Belanda.

Dalam sistem pemerintahan kerajaan Mataram Islam wilayah kerajaan dibagi menjadi 4 bagian. Yang perama yakni wilayah Kuthagara atau Kutha Negara, yan merupakan wilayah inti kerajaan Mataram. Di Kuthagara inilah terletak istana atau kraton yang sekaligus merupakan tempat tingal raja beserta keluarga besarnya, dan para pejabat tinggi kerajaan. Kuthagara juga merupakan sentra atau ibukota kerajaan, dan tempat raja serta para pejabat tinggi kerajaan mengendalikan pemerintahan.

Diluar wilayah Kutha Negara terdapat apa yang disebut wilayah Negara Agung, yang juga masih termasuk sebagai wilayah inti kerajaan, yang letaknya mengitari Kuthagara. Di wilayah inilah terletak tanah lungguh atau apanage (yang akan dibahas di belakang) para darah biru kraton dan pejabat tinggi kerajaan yang bertempat tinggal di Kutha Negara. Daerah tempat yang termasuk wilayah Negara Agung yakni Mataram (kira-kira sama dengan Yogyakarta yang kini ini), Pajang (terletak di sebelah Barat Daya Surakarta), Sukowati (terletak di sebelah Timur Laut Surakarta kini ini), Begelen, Kedu, Bumi Gede atau Siti Ageng (daerah yang terletak di sebelah Barat Laut Surakarta di tambah dengan tempat di sebelah Barat Daya Semarang dengan garis batas kira-kira antara Ungaran dengan Kedung Jati.

Yang ketiga di luar wilayah Negara Agung terdapat wilayah yang disebut dengan istilah Manca Negara. Sesuai dengan posisi arahnya dari sentra kerajaan yaitu Kutha Negara, wilayah Manca Negara dibagi menjadi dua yaitu wilayah Manca Negara Wetan (Timur) dan Manca Negara Kulon (Barat). Tidak menyerupai wilayah Negara Agung, di Manca Negara tidak terdapat tanah-tanah lungguh atau apanage dari para darah biru Kraton dan pejabat tinggi kerajaan. Akan tetapi pada waktu kerajaan Surakarta diperintah oleh Paku Buwana IV (1788-1820), terdapat tanah apanage yang berlokasi di wilayah Manca Negara. Hal itu sebagi tanggapan perang kudeta di Kasultanan Yogyakarta, antara raja Hamengku Buwana (HB) II melawan putranya sendiri yaitu Pangeran Adipati Anom, yang mengiginkan kedudukan tahta dari ayahnya. Adipati Anom meminta derma kepada Ingtgris, sedangkan raja H.B. II meminta derma kepada Paku Buwana IV. Dalam pertempuran pada tahun 1812 antara kedua belah fihak yang bersengketa, H.B. II ditangkap oleh Inggris dan kraton Yogyakarta berhasil diduduki. Akhirnya Adipati Anom berhasil menjadi raja menggantikan ayahnya. Sementara itu Paku Buwana IV yang telah membantu raja Yogyakarta H.B. II dituntut oleh Inggris unuk membayar ganti rugi perang dan menyerahkan tanah di Kedu, Wisobo dan Blora. Penyerahan itu dituangkan melalui perjanjian 1 Agustus 1812. dan untuk penyerahan itu P.B. IV menerima ganti rugi sebesar 12.000 ringgit. Sebagai ganti tanah lungguh para pejabat tinggi kerajaan di Kedu yang diambil alih Inggris, Sunan memperlihatkan tanah-tanah di tempat Madiun dan Kediri.

Pada masa pemerintahan raja Paku Buwana II di Mataran Kartasura yang memerintah dari tahun 1726 – 1749, wilayah Manca Negara ini secara keseluruhan mencakup tempat daerah sebagai berikut: 
a. Manca Negara Barat: Banjar, Banyumas dan pasir (Purwakerta), Ngayah, Kalibeber, Modern (Timur Banyumas), Roma (Karanganyar), Karangbolong, Warah, Tersana, Karencang, Lebalsiyu, Balapulang, Bobotsari, Kartanegara, Bentar dan Dayaluhur.
b. Manca Negara Timur: Panaraga, Kediri, Madiun, Pacitan, Magetan, Caruban, Kaduwang, Pace, Kertasana, Sarengat dan Blitar, Jipang, Grobogan, Warung, Sela, Blora, Rawa, Kalangbret, Japan, Wirasaba (Majaagung), Barebeg dan Jagaraga.

Di luar wilayah Mancanegara dan yang letaknya paling jauh dari sentra kerajaan terdapat apa yang disebut dengan istilah wilayah Pasisiran (pantai). Wilayah ini juga dibagi menjadi dua bab yaitu Pasisiran Wetan (Timur), mencakup daerah-daerah pantai dari Demak ke barat, dan Pasisiran Kulon (Barat) yaitu wilayah dari tempat Jepara ke timur. Pada masa pemerintahan Paku Buwana II daerah-daerah Pasisiran barat terdiri dari daerah-daerah: Brebes, Bentar, Labaksiyu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, Demak, dan Kaliwungu. Sementara wilayah Pasisiran timur terdiri dari daerah-daerah: Jepara, Kudus, Cengkal, Pati, Juwana, Rembang, Pajangkungan, Lasem, Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruhan, Bangil, Banyuwangi, Blambangan dan Madura. Wilayah Pasisiran kerajaan Mataram secara berangsur-angsur menjadi menyusut semenjak jaman pemerintahan Paku Buwana II sebagai tanggapan anenksasi oleh Belanda (VOC)

Mengenai sistem birokrasi yang dimaksud goresan pena ini yakni suatu cara untuk mengatur jalannya pemerintahan. Sebagai sentra dan pemegang kekuasaan tertinggi, kedudukan raja bekerjsama berada di luar birokrasi. Akan tetapi raja yakni pemilik abdnegara birokrasi itu yang berjulukan kaum priyayi. Aparat birokrasi itu berfungsi sebagai alat untuk menjalankan pemerintahan dan mengendalikan rakyatnya sebagai golongan yang diperintah. Kekuasaan raja yakni bersifat mutlak, alasannya yakni tidak ada forum atau kekuasaan lain yang bisa mengontrolnya. Dengan kata lain birokrasi kerajaan yakni alat yang dipergunakan untuk mengendalikan dan menjalankan pemerintahan. Tanggung jawab raja cukup bersifat moral yaitu sebagai jalan masuk kepentingan kolektif dan simbol konsensus dalam menjaga stabilitas kehidupan ekonomi dan politik. Mengingat kedudukan raja yang sedemikian itu, maka terdapat pemisahan yang tegas antara raja sebagai sumber aturan dan kekuasaan dengan abdnegara birokrasi sebagai forum direktur yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan.

Dalam lingkungan istana, kaum darah biru mempunyai status lebih tinggi daripada abdnegara birokrasi. Disamping itu raja bersama kaum bangsawanlah yang berhak mewarisi kekuasaan. Sementara itu para abdnegara birokrasi merupakan alat pemerintahan dari raja dalam rangka menjembatani dan mengatur hubungan antara raja dengan rakyatnya. Kedudukan para abdnegara birokrasi juga sangat tergantung kepada raja, alasannya yakni pengangkatan dan pemecatan mereka yakni menjadi hak dan oleh raja. Hanya saja dari golongan kaum darah biru inilah pada umumnya pejabat-pejabat tinggi kerajaan diangkat oleh raja. Artinya para darah biru mempunyai kesempatan jauh lebih besar untuk menduduki strata tertinggi dalam struktur birokrasi daripada orang kebanyakan. 

Dalam hal struktur birokrasi yakni “Patih” yang bekerjsama menempati posisi tertinggi, dan patih inilah yang merupakan pimpinan dari seluruh abdnegara birokrasi. Para abdnegara birokrasi ini mempunyai kiprah melakukan perintah atau kehendak raja. 

Disamping menduduki strata tertinggi dalam struktur birokrasi kerajaan Mataram Islam, Patih juga sekaligus sebagai wakil raja, ajun raja, kepala tempat atau kepala dari para pejabat di bawahnya yaitu para bupati. Sebelum tahun 1755 di kerajaan Mataram Surakarta terdapat Patih Lebet (dalam) dan Patih Jawi (Luar). Patih Lebet berkedudukan sebagai koordinator dan sekaligus sebagai pimpinan para pejabat tinggi di bawahnya yang tugasnya mengurusi pemerintahan dalam istana (kraton). Akan tetapi sehabis tahun 1755 jabatan Patih Lebet dihapus, sehingga seluruh urusan pemerintahan dalam istana dilaksanakan oleh Wedana Lebet (lihat di belakang), yang salah satu di antara mereka menjadi pimpinannya, yaitu Wedana Bupati. 

Sementara itu Patih Luar yakni koordinator dan pimpinan para Wedana Jawi (luar), yang bertugas mengurusi pemerintahan di wilayah Negara Agung . Tugas Patih Luar itu antara lain dalam pajak dan perekurutan tenaga kerja apabila sewaktu-waktu diharapkan oleh raja. Patih luar yakni pejabat terpenting dalam pemerintahan kerajaan, alasannya yakni segala perintah untuk semua pejabat di bawahnya yakni tiba dari dan melalui Patih. Hal ini sesuai dengan sopan santun kebiasaan dalam istana kerajaan Mataram Islam, yang memberi arti Patih sebagai parintah (perintah) atau pemerintah. Maksudnya bahwa Patih yakni sebagai pemberi perintah berdasarkan wisesa (kuasa) dari raja sebagai penguasa tertinggi.

Di bawah jabatan Patih terdapat jabatan Pangeran Adipati Anom dengan gelar lengkapnya Pangeran Adipati Anom Sudibya Raja Putra Narendra Mataram. Adipati Anom yakni putra raja yang lahir dari permaisuri dan sudah ditetapkan sebagai calon pengganti raja (Putra Mahkota). Apabila suatu dikala jabatan raja gres masih kosong (misalnya alasannya yakni raja meninggal) dan belum dinobatkan atau ditetapkan penggantinya yang baru, maka Putra Mahkota akan secara pribadi menjalankan fungsi atau kiprah raja hingga ia diangkat menjadi raja yang baru. Dalam urusan kenegaraan Adipati Anom ini menempati urutan ketiga (sesudah raja dan patih), akan tetapi di lingkungan kraton ia menduduki tempat kedua, yaitu sehabis raja. Oleh alasannya yakni itulah terdapat pembedaan yang tegas antara Kepatihan (kediaman patih) dan Kadipaten atau Astana Pangeran (tempat kediaman para pangeran). Patih yakni kepala para pegawai kerajaan (priyayi), sedangkan Adipati Anom yakni kepala lingkungan kebangsawanan atau keningratan. 

Pejabat birokrasi kerajaan yang bekerjsama berada pribadi di bawah patih yakni para wedana atau nayaka. Sesuai dengan wilayah kerja mereka masing-masing, jabatan wedana ini dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu Wedana Lebet (dalam) dan Wedana Jawi (luar). Wedana Lebet bekerja di dalam istana dan terdiri dari 4 wedana yaitu Wedana Keparak Kiwa (kiri), Wedana Keparak Tengen (kanan), Wedana Gedhong Kiwa dan Wedana Gedhong Tengen. Wedana Keparak Kiwa dan Wedana Keparak Tengen mempunyai kiprah dalam bidang keprajuritan, dan masing-masing membawahi 1.000 orang prajurit.

Untuk Wedana Jawi, yang biasanya mempunyai gelar Tumenggung atau Kyai Tumenggung, mempunyai kiprah di luar istana yaitu di wilayah Negara Agung. Sesuai dengan wilayah kerja mereka masing-masing terdapat 8 jabatan Wedana Jawi yaitu, Wedana Bumi, Wedana Bumija, Wedana Siti Agung Kiwa, Wedana Siti Agung Tengen, Wedana Sewu, Wedana Numbak Anyar, Wedana Penumping dan Wedana Panekar. Dengan demikian mereka yakni kepala tempat di wilayah kerja masing-masing. Namun demikian di dalam istana mereka mempunyai keahlian atau tugas-tugas khusus. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Paku Buwana II gelar dan kiprah para wedana di dalam kraton yakni sebagai berikut:
  • Wedana Keparak Kiwa, Raden Tumengung Ngurawan, yakni jago dalam bidang keprajuritan, kesusateraan Jawa dan Arab, jago banyak sekali bahasa dan sekaligus sebagai penterjemah. 
  • Wedana Keparak Tengen, Raden Tumenggung Natawijaya, mempunyai keahlian menciptakan senjata, melatih berperang, melatih prajurit kepetangan dan sebagainya. 
  • Wedana Gedhomg Kiwa, Kyai Tumenggung Tirtawiguna, bertugas dalam bidang keuangan (bendahara raja) dan jago menciptakan pakaian prajurit. 
  • Wedana Gedong Tengen, Kyai Tumengung Mangun Nagara, jago dalam bidang masak-memasak dan kesenian Jawa. 
  • Wedana Sewu, Kyai Tumenggung Hanggawangsa dan Werdana Numbak Anyar, keduanya mempunyai kiprah menyediakan tenaga kerja wajib untuk kerajaan, mencari dan menyediakan orang-orang bagus dan menyediakan orang-orang berpengaruh untuk menjalankan pekerjaan berat menyerupai menyelam dan sebagainya. 
  • Wedana Bumi Kyai Tumengung Natayuda dan Wedana Bumija Kyai Tumenggung Mangkuyuda, keduanya mempunyai keahlian dalam bidang pertanian 

Para Wedana ini biasanya mempunyai pembantu serbaguna yang sekalgus sebagai wakil mereka yaitu Kliwon, Penewu, mantri, lurah, bekel dan jajar. Sebelum tahun 1831, bawahan kliwon ini dibedakan menjadi tujuh pangkat secara berurutan dari yang tertingi yaitu penewu, penatus, peneket, panalawe, panigangjung dan panakikil.

Untuk wilayah Manca Negara dan Pasisiran, terdapat jabatan Wedana Bupati yang menjadi kepala para bupati. Mereka itu yakni Wedana Bupati Manca Negara Barat, Wedana Bupati Manca Timur, Wedana Bupati Pasisiran Barat dan Wedana Bupati Pasisiran Timur. Para bupati di kedua wilayah itu biasanya bergelar Tumenggung atau Raden Arya. Mereka yakni orang-orang atau pejabat-pejabat yang ditunjuk dan diangkat oleh sentra (raja) terutama berdasarkan pertimbangan kesetiaan mereka, dan bukan berdasarkan kemampuan mereka. Tugas para bupati itu yakni mengumpulkan pajak (upeti) yang harus dibayarkan pada waktu-waktu tertentu, yaitu pada dikala upacara “Grebeg”, sebagai bukti penghormatan dan kesetiaan mereka kepada raja. Disamping itu mereka juga harus menyediakan pancen (jatah) prajurit untuk membantu pemerintah sentra pada masa perang.

B. Eksploitasi Tanah
Pada masa kerajaan Mataram Islam yang agraris, kegiatan ekonomi sebagian besar masih dilakukan dengan cara tukar-menukar, upeti yang terdiri dari hasil panen dan tenaga kerja. Meskipun sudah ada organisasi/ forum keuangan di sentra kerajaan, akan tetapi belum berfungsi sebagai alat perekonomian kerajaan yang utama. Bagi raja kekayaan yakni alat yang ditimbun dan kadang kala dipakai untuk membeli dukungan., sehingga tidak pernah dianggap sebagai alat efisiensi dalam organisasi ekonomi kerajaan.

Sementara itu dalam konsep kekuasaan Jawa, raja yakni pemilik tanah dengan kekuasaanya yang mutlak. Tanah itu dibagi-bagikan kepada para pejabat birokrasi dan para darah biru sebagai tanah apanage, dan kemudian diserahkan kepada rakyat untuk dikerjakan.[23] Hasil panen dari tanah-tanah yang dikerjakan rakyat di pedesaan, upeti atau penyerahan wajib lainya diserahkan oleh para kepala desa (petingi atau bekel) kepada para atasanya yaitu para Demang. Para demang ini kemudian menyerahkan lagi kepada para atasanya yaitu para Panji, yang biasanya bergelar Tumenggung. Kepala dari para panji yakni Wedana yang selanjutnya bertangung jawab secara pribadi kepada Patih. (Schrieke, 1951, part II: 191-194).

Agar bisa mengontrol tanah-tanahnya yang dikerjakan oleh rakyat di pedesaan, raja mengangkat petugas-petugas khusus, yaitu apa yang disebut dengan istilah bekel, petinggi dan sebagainya, yang sekaligus berfungsi sebagai pemungut pajak. Mereka ini tentu saja juga diberi imbalan jasa atau semacam gajih, yaitu bab dari hasil tanah desa di wilayah kerja mereka masing-masing. Untuk para bekel ini raja memperlihatkan tanah bebas pajak yang luasnya seperlima dari tanah sawah yang ada di wilayah kerja mereka masing-masing. Kemudian separoh dari sisanya, yaitu sebesar 2/5 bab menjadi hak para petani penggarap yang mereka nikmati pada setiap panen. Sisanya lagi yang tinggal 2/5 bagian, harus dipotong lagi 1/5 bab untuk bupati sebagai kepala tempat dan 1/5 lagi menjadi bab para kepala distrik menyerupai Demang dan Ngabehi. Dengan demikian raja tinggal memperoleh bab 2/5 x 100 % - 2/5 x 40 % = 40 % - 16 % = 24 % dari seluruh hasil panen di suatu kabupaten. Sistem tanah bebas pajak atau hak guna tanah yang seluas 1/5 bab dari seluruh tanah sawah yang ada di wilayah kerja bekel atau petinggi (atau jabatan setingkat) itu dinamakan sistem perlimaan.

Sistem kesatuan tanah di Jawa pada jaman raja-raja Mataram Islam pra kolonial yakni “jung” yang arti harafiah atau yang bekerjsama yakni kaki, yang kira-kira sama dengan 50 x 50 cengkal = 2.500 roede persegi. Satu jung masih bisa dibagi lagi menjadi 5 amis (bau = lengan). Pengertian harafiah amis atau lengan yakni lengan pekerja menyerupai petani atau peladang, yang kemudian juga disebut dengan istilah karya, yang berarti kiprah kerja. Satu pundak luasnya kira-kira sama dengan 500 roede persegi. Akan tetapi dalam manajemen pertanahan Jawa yang masih sederhana tanah, tanah bebas pajak dari para bekel tidak pernah diperhitungkan dalam memilih luas tanah desa. Oleh alasannya yakni itu dalam daftar pajak yang resmi hanya diperhitungkan 1 jung sama dengan 4 amis atau karya (G.P. Ruffaer, XXXIV, 1931: 72). Artinya untuk ukuran satu jung yang bekerjsama masih harus ditambah bab bekel sebesar 1 bau, sehingga menjadi 5 bau.

Dengan demikian asal-usul pengertian amis atau karya itu bekerjasama dengan pengertian kesatuan tenaga kerja. Kemudian, terutama semenjak Mataram terpecah menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta (1755), muncul pengertian cacah yang mempunyai luas sama dengan ¼ amis (karya). Akan tetapi pengertian cacah ini menunjuk kepada kesatuan tanah dalam suatu keluarga. Ukuran kesatuan tanah dalam cacah ini juga sekaligus pertanda sekian banyak real uang pajak setiap tahunnya. Dalam istilah Belanda usang pajak keluarga semacam itu disebut dengan istilah hoofdgelden, yang merupakan kesatuan penetapan dalam hal pajak untuk tanah milik raja. Oleh alasannya yakni itu setiap kesatuan tanah yang memperlihatkan nafkah bagi satu orang dan keluarganya, ditarik pajak satu real per tahun, yang pribadi menjadi bab raja. Dengan demikian pengertian luas tanah dalam cacah itu juga bekerjasama dengan pengertian pajak satu keluarga dalam real.

Besar kecilnya tanah lungguh seorang pejabat birokrasi kerajaan memperlihatkan tinggi rendahnya tingkatan pejabat itu dalam struktur birokrasi kerajaan, sedangkan bagi para darah biru memperlihatkan tinggi rendahnya derajad kebangswanan (keningratan) mereka masing-masing.

Bagi para pejabat birokrasi kerajaan, tanah lungguh atau apanage itu tidak bisa diwariskan kepada keturunannya. Artinya tanah itu hanya bisa dinikmati selama seseorang masih berstatus sebagai pejabat birokrasi kerajaan. Apabila sudah berhenti dari jabatannya dengan banyak sekali alasan, tanah tersebut otomatis kembali kepada pemiliknya yaitu raja, yang kemudian akan diberikan kembali kepada penggantinya. Sebaliknya, meskipun tidak untuk selamanya, tanah apanage para darah biru kerajaan bisa diwariskan kepada keturunannya. Hanya saja luasnya biasanya semakin menyusut sejalan dengan menurunnya derajad kebangsawanan seseorang. Dalam sistem kebangsawanan Jawa, derajad kebangsawanan seorang raja semakin menurun hingga derajad kelima (terbawah). Di bawah itu keturunan seorang raja bisa dianggap sebagai orang biasa atau kebanyakan. Bahkan semenjak menyusutnya tanah-tanah milik kerajaan Yogyakarta dan Surakarta pada tahun 1812 dan 1830 sebagai tanggapan aneksasi Inggris dan Belanda, kebangsawanan itu hanya menurun hingga derarajad ketiga.

Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Sistem Pertanahan Jaman Kerajaan Mataram Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel