Utang Ekologis Dalam Perspektif Hak Asasi Insan
Utang Ekologis dalam Perspektif Hak Asasi Manusia : Menyoal utang ekologis dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) tidak terlepas dari konteks perkembangan HAM yang selalu dinamis. Dinamika ini dipengaruhi oleh faktor contoh kekerabatan korelasi internasional, peta dan tatanan politik ekonomi internasional, dan situasi dan kondisi lingkungan hidup kekinian. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat 5 (lima) norma-norma internasional yang keberadaannya menyulut kontroversi lantaran bersinggungan pada titik-titik temu permasalahan-permasalahan HAM, pembangunan ekonomi, dan proteksi lingkungan hidup. Kelima norma tersebut ialah : (1) Hak menentukan nasib sendiri (self-determination); (2) kedaulatan permanent atas kekayaan alam (permanent sovereignty over natural resources); (3) hak atas pembangunan (the right to development); (4) hak atas lingkungan (the right to environment); dan (5) partisipasi (participation). Dalam titik ini, utang ekologis lebih menjadi duduk kasus komunitas internasional, khusus negara-negara berkembang lantaran duduk kasus ini menyangkut locus di mana insan menjalani hidup dan kehidupannya yakni ruang lingkungan hidup (environmental space).
Namun ruang lingkungan hidup yang ada sekarang hanya dikuasai oleh negara-negara maju yang tergabung dalam G 7 dan hanya menyisakan sedikit ruang lingkungan hidup bagi 191 negara-negara berkembang. Negara maju melaksanakan over eksploitasi terhadap bumi yang berdampak pada penduduk yang mempunyai keterbatasan dalam mengakses pemanfaatan ruang lingkungan hidup. Kondisi ini pada kesannya mempengaruhi kemampuan bumi untuk menyediakan ruang lingkungan hidup. Ruang lingkungan hidup semestinya sanggup mencukupi kebutuhan semua penghuni bumi apabila 2 (dua) prinsip ruang lingkungan hidup terpenuhi. Konsep ruang lingkungan hidup itu terdiri atas 2 (dua) prinsip, yakni :
- Bahwa dunia hanya sanggup berlanjut dengan memperhitungan keseluruhan tingkat polusi dan penggunaan sumber daya alam.
- Bahwa setiap insan di dunia semestinya mempunyai hak yang sama untuk memakai kekayaan sumber daya alam dunia.
Dengan kata lain, ruang lingkungan hidup ialah keseluruhan jumlah energi, sumber daya alam yang tidak terbaharukan, tanah-tanah pertanian dan hutan di mana setiap orang sanggup memakai tanpa menimbulkan kerusakan yang tidak sanggup diperbaharui bagi dunia. Berdasar konsepsi ini seberapa banyak sumber daya alam secara positif tersedia bagi setiap insan di dunia sanggup dikalkulasi.
Dalam pemanfaatan ruang lingkungan hidup prinsip-prinsip aturan internasional mengenai lingkungan hidup, HAM, dan pembangunan ekonomi semestinya menjadi pijakan bersama. Prinsip-prinsip tersebut meliputi : (1) keadilan dalam suatu generasi dan antar generasi (inter- and intra-generational equity); (2) tanggung jawab sama namun kewajiban berbeda (common but differentiated responsibilities); (3) pembagian yang setara (equitable sharing); (4) kedaulatan permanent negara atas hak menguasai sumber daya alam seiring dengan kewajibannya untuk tidak mengakibatkan kerusakan pada wilayah di luar yurisdiksi negara (a state's right to permanent sovereignty over its natural resources and concomitant duty not to cause harm to areas beyond its national jurisdiction) ; dan (5) prinsip kehati-hatian (the precautionary principle).
Merujuk pada konsepsi di atas maka titik-titik pertautan antara lingkungan hidup dan HAM paling tidak melingkupi 2 (dua) HAM yakni : pertama, hak untuk menikmati sumber daya alam; dan kedua, hak untuk memperoleh proteksi atas dampak kerusakan lingkungan hidup. Kedua titik ini berujung pada dampak pemanfaatan sumber daya alam terhadap lingkungan hidup dan kehidupan setiap individu manusia. Dalam perspektif aturan HAM internasional permasalahan hak yang pertama sanggup dikonstruksikan sebagai hak menentukan nasib sendiri. Sedangkan hak yang kedua dikonstruksikan sebagai hak atas lingkungan yang layak.
Konstruksi di atas jikalau ditilik dari sejarah dinamika perkembangan HAM, maka kedua hak ini dikategorikan sebagai hak generasi ketiga atau hak solidaritas. Burns Weston mengidentifikasi paling sedikit 6 (enam) kategori hak generasi ketiga ini :
- Hak atas penentuan nasib sendiri di bidang ekonomi, politik, sosial, dan kultural;
- Hak atas pembangunan ekonomi dan sosial;
- Hak untuk berpartisipasi dalam dan memperoleh manfaat dari warisan bersama umat insan (common heritage of mankind) serta informasi dan kemajuan lain;
- Hak atas perdamaian;
- Hak atas lingkungan yang sehat;
- Hak atas dukungan kemanusiaan.
Munculnya hak generasi ketiga atau hak solidaritas terkait dengan bangkitnya nasionalisme Dunia Ketiga dan persepsi negara-negara berkembang bahwa tatanan internasional yang ada cenderung melemahkan dan memarjinalkan mereka. Hal itu juga sanggup dipandang sebagai tuntutan negara-negara berkembang untuk perlakuan yang adil dan membangun suatu sistem dan tatanan dunia yang sanggup memperlancar keadilan distributif. Perkembangan tersebut menampakkan 2 (dua) ciri hak generasi ketiga yakni : (1) hak-hak ini bersifat kolektif; dan (2) perwujudan hak-hak ini bergantung pada kerjasama internasional.
Dalam konteks globalisasi ekonomi, tuntutan pemenuhan hak generasi ketiga mendapat justifikasi lantaran realitanya, globalisasi ekonomi setidaknya melahirkan 3 (tiga) model :
- Globalisasi tidak terelakan lagi mengalihkan kekayaan dari kaum miskin kepada kaum kaya dan meningkatkan ketidaksetaraan baik di dalam maupun antar bangsa;
- Globalisasi menggeser kedaulatan suatu negara yang demokratis kepada kesatuan yang tidak dipilih, tidak transparan, tidak bertanggung jawab, yang justru menganggap demokrasi tidak relevan dan merupakan rintangan bagi efisiensi ekonomi;
- Globalisasi menimbulkan jauh lebih besar kekalahan daripada kemenangan, namun mereka yang paling bertanggung jawab atas penyebarannya sama sekali tidak mempunyai rencana bagi mereka yang kalah.
Ketiga model globalisasi tidak satupun memperlihatkan kemanfaatan, malahan menghasilkan banyak pihak yang mengalami kekalahan. Susan George dalam klarifikasi butir ketiga, memasukkan lingkungan hidup sebagai pihak yang kalah dalam percaturan globalisasi. Kekalahan lingkungan hidup ini dikarenakan :
- Negara-negara bersaing menurunkan standar buruh dan lingkungan untuk mendapat investasi pribadi dari luar negeri;
- Mengeruk wilayah yang dianugerahi modal alam dan berpindah ketika sumber daya telah terkuras dan meninggalkan kerusakan ekologis;
- Secara sistematik meniadakan biaya untuk urusan lingkungan dan sosial.
Kekalahan lingkungan tersebut memunculkan beberapa macam utang. Pertama, utang insan kepada bumi atas sumber daya yang diberikan. Kedua, utang insan kepada bumi atas kerusakan bumi akhir pemanfaatan sumber daya. Ketiga, utang insan yang satu kepada insan yang lain khususnya kepada kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan termiskinkan. Lebih jauh, paradigma globalisasi pada akhirnya, berdasarkan Martin Khor menimbulkan krisis pembangunan berkelanjutan. Indikasinya nampak pada kegagalan negara-negara berkembang dalam merealisasikan komponen-komponen pembangunan berkelanjutan. Adapun prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan itu meliputi : (1) alokasi sumber daya yang efisien dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia; (2) alokasi sumber daya yang berkeadilan berdasarkan kemanfaatan; (3) keberlanjutan secara ekologi; (4) keberlanjutan secara sosial; (5) pertanggungjawaban institusi pemerintah; (6) memaknai partisipasi publik; (7) memperkuat demokrasi lokal; (8) fokus pada pemenuhan hak atas lingkungan; dan (9) keberlangsungan secara ekonomi.
Pada kesannya kondisi tersebut berdampak pada ketidakmampuan negara untuk memantau krisis lingkungan yang terjadi di negaranya. Faktanya krisis lingkungan tersebut berdasarkan Walden Bello, salah satunya dipicu akhir sebagian besar dari 15 (lima belas) negara pengutang terbesar di dunia ketiga telah melipat-tigakan eksplotasi hutan mereka semenjak final tahun 1970-an. Hal tersebut sangat terkait dengan kebutuhan untuk membayar utang melalui ekspansi ekspor banyak sekali sumber daya alam dan komoditas menyerupai kayu dan materi galian. Akibatnya basis-basis sumber daya alam di negara-negara tersebut mengalami laju penipisan dan degradasi secara cepat. Dalam titik ini, negara-negara maju semestinya bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi di negara-negara berkembang. Prinsip ”common but differentiated responsibility” yang menjadi basis kerjasama antarnegara sebagaimana tertera dalam Deklarasi Rio De Jainero menjadi signifikan diterapkan dalam memecahkan krisis lingkungan hidup global. Prinsip ini menyatakan bahwa negara-negara maju secara historis hingga hingga dikala ini bertanggung jawab atas penjarahan lingkungan global sehingga secara proporsional mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dalam memecahkan persoalan-persoalan lingkungan.
Prinsip ini sebangun dengan konsep utang ekologis yang sudah semestinya dibebankan kepada negara-negara maju. Utang ekologis merupakan utang akumulatif negara-negara maju kepada negara-negara berkembang lantaran perampasan sumber daya ala, timbulnya kerusakan lingkungan, dan pemakaian lingkungan secara bebas untuk menimbun limbah berbahaya. Dalam titik ini terdapat keterkaitan antara utang ekologis dengan pelanggaran hak menentukan nasib sendiri dan hak tas lingkungan yang layak. Titik-titik persinggungannya terdapat pada ukuran-ukuran yang dipergunakan untuk menghitung utang ekologis, yakni : (i) defisit dalam jejak ekologi (eclological footprints); (ii) utang biologis; dan utang karbon. Penghitungan utang ekologis yang dilakukan oleh Acción Ecológica in Ecuador and Friends of the Earth International juga merefleksikan keterkaitan yang serupa. Dasar penghitungannya dilandasi dengan pertambahan utang ekologis yang semestinya ditanggung oleh negara-negara maju alasannya sudah melaksanakan kerusakan lingkungan yang berdampak pada penduduk di suatu wilayah. Ukuran-ukuran tersebut dikembangkan dari kasus-kasus lingkungan yang terjadi menyerupai : masalah pisang di Costa Rika; masalah pembangun pembangkit listrik tenaga air Bujagali di Uganda; masalah modernisasi pertanian di India; masalah tambang di Canada Utara; dan masalah somasi Suku India terhadap Texaco Oil di Equador.
Berdasar masalah tersebut dikembangkan ukuran-ukuran utang ekologi yang menjadi tanggung jawab negara-negara maju yang meliputi : (i) perampasan sumber daya alam; (ii) kerusakan lingkungan hidup; (iii) perampasan paru-paru dunia sebagai penyimpan udara; (iv) pembuangan limbah beracun; dan (v) perampokan keanekaragaman.
Titik taut antara utang ekologis dengan hak menentukan nasib sendiri sanggup ditilik dari dinamika sejarah dan perkembangan konsep hak menentukan nasib sendiri dan implementasi hak ini dalam praktik-praktik korelasi internasional. Pada awalnya, konsep hak menentukan nasib sendiri, ditujukan untuk membebaskan rakyat dari belenggu kolonial (persoalan dekolonisasi). Namun penerapannya kemudian mengalami ekspansi makna tidak hanya berlaku bagi rakyat negara kolonial, tetapi juga rakyat yang ditindas oleh pemerintah despotik, rakyat yang berada di bawah dominasi asing, dan rakyat multibangsa yang haknya ditentukan oleh penguasa pusat. Dalam titik ini hak menentukan nasib sendiri lebih berdimensi politik, yakni upaya untuk mendapat sebuah legalisasi (recognition) terhadap eksistensi secara yuridis dan politis suatu bangsa yang hak-haknya dilanggar lantaran penaklukan dan pendudukan.
Dimensi ekonomi dari hak menentukan nasib sendiri terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam yang berada dalam teritori suatu bangsa. Artinya, setiap bangsa harus secara bebas menguasa kekayaan alam dan sumber dayanya. Kedua dimensi tersebut terefleksi dalam Pasal 1, pada 2 (dua) kovenan hak asasi insan utama, yakni Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights/ICESCR). Rumusan hak menentukan nasib sendiri pada kedua kovenan ini sama. Dimensi politik hak menentukan nasib sendiri terbaca pada Pasal 1 (1) menyatakan bahwa ”semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka sanggup secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.” Kemudian Pasal 1 (2) menegasan dimensi ekonomi hak menentukan nasib sendiri. Pasal tersebut menyebutkan bahwa ”semua bangsa, untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, sanggup secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional berdasarkan asas saling menguntungkan dan aturan internasional.”
Membaca kesamaan rumusan Pasal 1 dari kedua kovenan di atas memperlihatkan bahwa pada prinsipnya, kedua jenis kategori hak ini tidak sanggup dipisahkan, lantaran berpijak pada salah satu hak dasar, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri.
Secara yuridis jaminan suatu negara atas kedaulatan sumber daya alam telah diatur dalam instrumen aturan internasional. Ruang lingkup pengaturannya tidak terbatas hanya pada penguasaan atas sumber daya alam semata, namun meluas terbangunannya tatanan ekonomi internasional yang berkeadilan dan berkesetaraan. Pasal 22 Deklarasi Universal HAM secara implisit menjamin hak atas penentuan nasib sendiri lantaran pasal ini berkenaan dengan realisasi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui kerjasama internasional. Kemudian Pasal 28 menambahkan bahwa setiap orang berhak atas suatu tatanan sistem sosial internasional di mana hak-hak dan kebebasan yang tercantum dalam seklrasi sanggup dilaksanakan.
Lebih lanjut, Resolusi MU PBB Nomor 1803 (XVII) tahun 1962 juga menyatakan bahwa Kedaulatan Permanen terhadap Sumber Daya Alam, merupakan konsekuensi logis dari hak menentukan nasib sendiri. Perkembangan selanjutnya, aspek ekonomi hak menentukan nasib sendiri diarahkan untuk memperbaiki sistem dan tatanan aturan internasional dan ekonomi internasional. Resolusi MU PBB tahun 1965 Nomor 2131 (XX) ihwal Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence and Sovereignty mengutuk banyak sekali jenis campur tangan yang merusak nilai-nilai kememerdekaan suatu negara dibidang ekonomi. Resolusi MU PBB Nomor 2625 (XXV) tahun 1970 mengenai Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in accordance with the Charter of the United Nations prinsip hak menentukan nasib sendiri ditingkatkan menjadi salah satu dari enam kaidah mendasar yang mengatur korelasi persahabatan antarnegara. Resolusi ini menegaskan bahwa setiap negara mempunyai hak untuk bebas menentukan sistem ekonomi maupun politiknya sendiri tanpa campur tangan negara asing. Selain itu tidak diakuinya hak suatu negara untuk memakai atau mendorong penggunaan ukuran ekonomi atau politik maupun jenis ukuran lain untuk memaksakan suatu negara lain dengan tujuan mempengaruhi kedaulatannya.
Kecenderungan untuk merubah tatanan ekonomi kembali diperkuat oleh MU PBB pada tahun 1974 dengan mengeluarkan 3 (tiga) dokumen penting, yaitu :
- Resolusi Nomor 3201 (S-VI) ihwal Declaration on the Establishment of the New International Economic Order yang menyebutkan bahwa tata ekonomi gres tersebut harus dilandasi prinsip hak menentukan nasib sendiri. Kemudian Resolusi 3202 (S-VI) ihwal Programme of Action on the Establishment of a New International Economic Order menjabarkan dokumen pertama yang meliputi spectrum yang lebih luas dan meliputi sektor yang beraneka ragam dalam kolaborasi ekonomi internasional.
- Resolusi Nomor 3281 ihwal Charter of Economic Rights and Duties of State yang menyebutkan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan dan hak yang tidak sanggup diganggu gugat untuk menentukan sistem ekonomi, politik, social, dan kebudayaan sendiri sesuai dengan kehendak rakyat tanpa campur tangan dari luar.
Kedua deklarasi ini berdasarkan P. van Dijk ditunjang oleh prinsip Hukum Internasional yang salah satu diantaranya ialah principle of freedom or sovereignty of state, yang di dalamnya meliputi : (i) the principle of the self-determination; (b) the right of permanent sovereignty over natural resources; (c) the right of territory integrity; (d) prohibition of intervention. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Perhimpunan Ahli Hukum Internasional dalam sidang ke-62 yang menghasilkan 12 (dua belas) asas yang mendorong Tata Ekonomi Internasional Baru, yakni : (1) berdasarkan ketentuan aturan internasional; (2) pacta sunt servanda; (3) equity dan solidarity; (4) kewajiban untuk menyelenggarakan kolaborasi dalam pembangunan global; (5) kedaulatan penuh atas sumber daya alam ; (6) asas hak untuk membangun; (7) partisipasi yang sama diantara negara; (8) warisan bersama; (9) persamaan dan non diskriminasi; (10) asas substantive; (11) susukan yang sama dalam ilmu pengetahuan; (12) penyelesaian sengketa secara damai.
Lebih jauh Muhammed Bedjaoui, mengemukakan bahwa target yang hendak dicapai oleh Charter of Economic Rights and Duties of State ialah dekolonisasi ekonomi. Piagam ini merupakan rangkaian upaya yuridis dalam rangka pengembangan aturan internasional yang berdasar Resolusi MU PBB Nomor 2625 (25) yang mengatur dimensi ekonomi hak menentukan nasib sendiri. Piagam ini kembali mendapat kekuatan yuridis dengan dikeluarkannya Resolusi MU PBB Nomor 41/128 tahun 1986 ihwal Deklarasi Hak atas Pembangunan. Pemenuhan hak ini merupakan condition sine qua non bagi perolehan HAM yang lain. Terkait dengan hak atas pembangunan jauh sebelumnya pada tahun 1969 MU PBB tetapkan Resolusi Nomor 2542 (24) ihwal Declaration on Social Progress and Development. Deklarasi ini menyatakan bahwa untuk membuat pembangunan ekonomi dan social yang progresif semestinya dibangun atas dasar kondisi : (i) national independence based on the right of peoples to self-determination; (ii) Permanent sovereignty of each nation over its natural wealth and resources; (iii) the right and responsibility of each State and, as far as they are concerned, each nation and people to determine freely its own objectives of social development, to set its own priorities and to decide in conformity with the principles of the Charter of the United Nations the means and methods of their achievement without any external interference.
Dalam perkembangannya, berdasarkan Antonio Cassesse, prinsip hak menentukan nasib sendiri mengandung pengertian eksternal dan internal. Penentuan nasib sendiri bersifat ekternal terkandung pengertian hak kemerdekaan atau hak untuk menentukan nasib sendiri dan bebas dari hegemoni negara lain. Sedangkan penentuan nasib sendiri bersifat internal dalam arti hak untuk menegakkan pemerintahan sendiri secara otentik terbebas dari rezim yang totalitarian. Lebih jauh, rumusan Pasal 1 Kovenan di atas bermaksud memberikan 2 (dua) gagasan: pertama, pilihan atas forum dan penguasa politik dalam negeri harus bebas dari campur tangan pihak luar; kedua, pilihan tersebut hendaknya tidak dikondisikan, dimanipulasi, atau dirusak oleh penguasa mereka sendiri.
Dalam konteks globalisasi pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri secara eksternal masih relevan untuk diperjuangkan oleh negara-negara berkembang untuk menuntut 2 (dua) hal, yakni : pertama, kedaulatan untuk menentukan sistem ekonomi; dan kedua, kedaulatan untuk mengelola sumber daya alam, tanpa intervensi dari negara lain. Tuntutan ini semestinya menjadi wahana pencetus dan symbol perlawanan bagi negara-negara berkembang sebagai upaya merestrukrurisasi, meredefinisi, dan mendekonstruksi sistem dan tatanan globalisasi ekonomi yang diskenario dan didesain oleh negara-negara maju yang nyata-nyata telah menafikan hak menentukan nasib sendiri. Karena hak menentukan nasib sendiri merupakan payung bagi terwujudnya hak-hak sipil, politik, ekonomi, social, dan budaya. Artinya pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri berarti juga melanggar hak-hak sipil, politik, ekonomi, social, dan budaya setiap orang yang mendiami suatu negara. Upaya negara-negara maju melalui skenario utang finansial, penerapan acara pembiasaan struktural, dan investasi abnormal terang melanggar hak negara untuk menentukan nasib sendiri. Skenario tersebut merupakan cara-cara untuk memaksakan tatanan ekonomi neoliberal untuk diadopsi dan diimplementasikan ke dalam kebijakan publik. Apabila ditelisik lebih jauh globalisasi ekonomi sebagai fenomena mondial memperlihatkan 2 (dua) dimensi yakni, pertama dimensi ekonomi dan korporasi (economic and corporation globalization). Kedua, dimensi politik dan negara (political and state globalization).
Kedua dimensi direalisasikan melalui program-program 3 (tiga) mesin globalisasi yaitu, pertama forum keuangan internasional (International Financial Institutions/IFI’s), kedua Organisasi Perdangangan Dunia (World Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan multinasional (Multinational Corporation/MNC atau Transnational Corporation/TNC).
Melalui mesin-mesin globalisasi di atas, negara-negara maju semakin memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol sumber-sumber di dunia. Lewat tangan WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia. Melalui forum keuangan multilateral, mereka sanggup menentukan negara mana yang sanggup menikmati kucuran uang. Kemudian dengan meminjam kekuatan IMF, mereka menekan negara-negara untuk melaksanakan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Padahal skenario tersebut bertujuan untuk menerapkan 3 (tiga) kebebasan mendasar dari neo-liberalisme :
- Kebebasan sirkulasi modal;
- Kebebasan perdagangan atas barang dan jasa;
- Kebebasan investasi.
Dampak dari penerapan skenario tersebut mereduksi kekuasaan negara atas pengelolaan sumber daya alamnya. Proses reduksi kekuasaan tersebut nampak dari kegagalan pemerintah untuk mengambil tindakan politis yakni : (i) membatasi pasar pada daerah yang tepat; dan (2) memperkuat kembali tugas esensial atas barang public dan negara demokratis.
Kondisi di atas jikalau dilihat dari kekerabatan kepentingan antara 3 (tiga) pelaku yakni negara, pasar, dan masyarakat sipil (civil society), dalam tatanan ekonomi politik dikala ini, maka sanggup dipastikan masyarakat sipil menjadi korbannya. Dalam situasi dan kondisi demikian, masyarakat sipil yang tuna kuasa (powerless) harus berhadapan vis a vis dengan 2 (dua) pihak yang berpotensi melaksanakan pelaku pelanggaran HAM yakni ; pertama negara; dan kedua, pemilik modal. Namun realitanya, kecenderungannya yang terjadi pasar melalui kekuatan modalnya malah memanfaatkan otoritas yang dimiliki negara untuk tetapkan kebijakan publik yang menguntungkan kepentingannya dan sekaligus mereduksi otoritas negara dalam mengurusi sektor-sektor kesejahteraan.
Dalam konteks Indonesia, gejala hal ini sudah semakin terang dengan adanya (1) tekanan internasional untuk membuat suatu tata pemerintah gres yang disebut dengan good governence dan memperkecil tugas negara – dengan tekanan penurun subsidi dalam segala bidang, serta abolisi kegiatan negara yang berorientasi social; (2) derasnya TNC untuk berinvestasi dilapangan agraria, baik pada sektor pertanian, pertambangan, perkebunan, dan kehutanan; (3) dirancangnya dan kemudian dijalankannya program-program pemerintah dengan utang (debt related programs) yang secara pribadi maupun tidak pribadi menyediakan akomodasi yang subur untuk melayani kepentingan investasi dalam negeri maupun laur negeri; dan (4) ikatan-ikatan perjanjian internasional yang memaksa pemerintah menghilangkan arus transaksi pasar.
Dalam konteks perolehan dan penikmatan hak atas lingkungan yang layak, dampak operasionalisasi TNC dalam mengeksploitasi sumber daya alam menempatkan korporasi sebagai pelaku pelanggaran HAM (non state actor), disamping negara (state actor). Setidaknya ada 3 (tiga) jenis perusak lingkungan yang hadir di dunia dan mengancam keselamatan dan kesejahteraan masyarakat lokal di negara-negara berkembang: pertama, ialah industri pertanian global; kedua, industri pertambangan; dan ketiga, ialah industri kehutanan. Karena potensi pelanggaran HAM begitu besar, Matthew Lippman mengetengahkan 4 (empat) factor bagi masuknya korporasi global sebagai actor yang berkewajiban menjamin dan melindungi HAM yang tertuang dalam banyak sekali konvensi HAM. Keempat argument tersebut meliputi : (i) kekuasaan ekonomi perusahaan multi nasional; (ii) sifat internasional dari perusahaan multinasional; (iii) dampak operasi perusahaan multi nasional; dan (iv) terbatasnya kemampuan negara-negara berkembang dalam mengatur tingkah laris perusahaan multinasional.
Ketidakmampuan negara untuk mengatur TNC dalam anutan HAM sanggup melalui, pertama, act of commission, yaitu tindakan-tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan HAM rakyatnya. Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang memperlihatkan izin kepada 13 perusahaan pertambangan untuk meneruskan kegiatan penambangan secara terbuka (open-pit mining) di hutan lindung, merupakan bentuk pelanggaran HAM melalui act of commission. Pembiaran negara atas penebangan ilegal, terjadinya pencemaran lingkungan di Teluk Buyat oleh PT Newmont Minahasa Raya, rusaknya lingkungan di wilayah Timika oleh PT Freeport merupakan bentuk pelanggaran HAM melalui act of ommission. Dalam titik ini pula negara berati telah melanggar hak menentukan nasib sendiri secara internal lantaran negara dalam pemanfaatan sumber daya alam merugikan kepentingan publik.
Kemudian, terdapat satu dokumen penting yang dikeluarkan Komisi HAM (CHR) Sub Komisi Promosi dan Perlindungan HAM PBB. Dokumen ini berjudul “Norms on the responsibilities of transnational corporations and other business enterprises with regard to human rights”. Membaca dokumen CHR ini, maka ‘corporate crime’ secara sederhana, sanggup diklasifikasikan sebagai kejahatan (crime) yang dilakukan korporasi (badan usaha) meliputi antara lain kejahatan HAM. Dalam hal ini, norma ihwal Tanggungjawab korporasi global menjadi penting lantaran 2 (dua) alasan pokok: pertama, untuk menegaskan prinsip-prinsip aturan internasional (international legal principle) yang sanggup diterapkan pada sektor bisnis. Hukum internasional yang dimaksud, meliputi aturan hak asasi manusia, humaniter, perburuhan, lingkungan hidup, konsumen, dan aturan anti-korupsi. Kedua, dokumen ini memperlihatkan norma sekaligus alat analisis untuk menilai apakah sebuah korporasi melanggar HAM.
Dengan demikian, untuk mengukur hingga sejauh mana TNC melaksanakan pelanggaran HAM maka sanggup memakai instrumen aturan HAM internasional. Oleh lantaran hak atas lingkungan tidak secara spesifik dirumuskan secara aturan dalam instrument internasional HAM, maka eksistensi hak atas lingkungan dihadirkan dengan membuat penafsiran yang luas terhadap isi dari hak atas hidup (right to life) dengan merujuk pada survey R.G. Ramcharan. Berdasarkan survey tersebut keterkaitan antara hak atas hidup dengan hak atas lingkungan sebagai berikut: (i) there is a strict duty upon States, as well as upon the international community as a whole, to take effective measures to prevent and safeguard of human being; (ii) every states, as well as the UN, should establish and operate adequate monitoring and early-warning system to detect hazard or threats before actually occur; (iii) the right to life, as an imperative norm, takes priority above economic considerations and should, in all circumstances, be accorded priority; (iv) States and other responsible entities (corporations or individuals) may be criminally or civilly responsible under international law for causing serious environmental hazard posing grave risks to life.
Kemudian Prinsip 1 Deklarasi Stockholm juga menyatakan hak serupa. Prinsip tersebut berdiri atas dasar keterkaitan antara HAM dengan proteksi lingkungan, pendeklarasian bahwa setiap insan mempunyai hak atas kebebasan, persamaan dan kehidupan yang layak, kualitas lingkungan yang menjamin hidup yang bermatabat sesuai dengan kemanusiaannya. Prinsip ini juga ditegakkan atas dasar responsibilitas setiap orang untuk melindungi dan memanfaatkan lingkungan untuk generasi dikala ini dan generasi yang akan datang. Lebih jauh, prinsip ini diimplementasikan melalui langkah-langkah mekanisme yang luas untuk melindungi lingkungan dan pemenuhan HAM yang terformulasikan dalam Konferensi Rio de Janeiro.
Dengan merujuk konsep di atas, perlu sekiranya menyidik instrument-instrument aturan internasional yang secara substansi memperlihatkan jaminan proteksi dan pemenuhan HAM. Adapun instrumen aturan internasional yang berperspektif lingkungan antara lain sebagai berikut :
1. General Comment U.N. Human Rights Committee Nomor 14 mengenai Nuclear weapons and the right to life (Art. 6 ICCPR)
2. International Covenant on Economis, Social, and Cultural Rights yang mengatur hak atas hak atas standar lingkungan yang layak, tindakan yang diambil untuk mencegah degradasi sumber daya alam, khususnya erosi, dan mengenai tindakn pencegahan terkontaminasinya pangan (Pasal 11)
3. General Comment U.N. Committee on Economic, Social and Cultural Rights Nomor 12 mengenai the Right to Adequate Food. Komentar ini sebagai interpretasi aturan Komisi atas Pasal 11 ICESCR yakni setiap negara semestinya mengadopsi keamanan pangan dan tindakan proteksi lain untuk melindungi terkontaminasinya pangan melalui jaminan atas kesehatan lingkungan
4. General Comment U.N. Committee on Economic, Social and Cultural Rights Nomor mengenai 4 mengenai the Right to Adequate Housing. Komisi dalam komentarnya menyatakan bahwa pembangunan permukinan yang dilakukan oleh setiap negara semestinya tidak berada di lokasi sumber pencemar lantaran terkait dengan hak masyarakat untuk mendapat hunian yang layak.
5. Convention on the Elimination of Discrimination against Women CEDAW. Konvensi ini mengkaitkan lingkungan dengan hak wanita dalam terkait dengan acara industri yang berdampak pada kesehatan perempuan
6. Convention on the Rights of the Child (New York, November 20, 1989), merujuk pada aspek proteksi lingkungan dan penghargaan terhadap hak anak atas kesehatan (Pasal 24(2)(c)). Kemudian informasi dan pendidikan semestinya diberikan kepada setiap elemen masyarakat mengenai kesehatan dan sanitasi lingkungan (Pasal 24 (2)(e)).
7. ILO Convention No. 169 concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries (Geneva, June 27, 1989) substansinya merujuk pada duduk kasus tanah, sumber daya, dan lingkungan hidup masyarakat adat. (Pasal 2, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 12, dan Pasal 15).
Selain hal di atas, dampak kerusakan lingkungan, selain berdampak secara pribadi bagi insan yang berdimensi pelanggaran HAM, lingkungan sebagai locus di mana insan hidup juga terkena dampak dari eksploitasi sumber daya alam. Oleh karenanya aturan internasional telah mengatur proteksi aturan terhadap lingkungan dengan isu-isu yang spesifik. Adapun instrument global yang melindungi lingkungan hidup sebagai :
1. Annex II to the Protocol on Environmental Protection on the Conservation of Antarctic Fauna and Flora (Madrid, 1991)
2. Convention on Climate Change (June 4, 1992)
3. Protocol to amend the International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage and the Protocol to amend the International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (London, November 27, 1992)
4. Convention on Biological Diversity
5. International Convention to Combat Desertification in those Countries Experiencing Serious Drought and/or Desertification, particularly in Africa (Paris, June 17, 1994)
6. IAEA Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and on the Safety of Radioactive Waste Management (Vienna, September 5, 1997)
7. International Convention on Liability and Compensation for Damage in Connection with the Carriage of Hazardous and Noxious Substances by Sea (London, May 3, 1996)
8. UN Convention on the Law of the Non-navigational Uses of International Watercourses (New York, May 21, 1997)
9. Joint Protocol to amend the Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage (21 May 1963) and the Paris Convention on Third Party Liability in the Field of Nuclear Energy (29 July 1960) as amended (September 12, 1997)
10. Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade (September 10, 1998)
11. Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity (Montreal, January 29, 2000),
12. Convention on Persistent Organic Pollutants (Stockholm, May 22, 2001)
Instrument-instrumen aturan internasional yang melindungi lingkungan di atas intinya dibangun dan merupakan implementasi prinsip “common but differentiated responsibility” (tanggung jawab sama namun kewajiban berbeda).
Dengan demikian tanggung jawab negara-negara maju atas kerusakan lingkungan hidup semestinya diletakkan dalam kerangka mewujudkan keadilan lingkungan hidup (environmental justice) yang didasari prinsip-prinsip :
1. Ketidaksepadanan beban proteksi lingkungan hidup;
2. Kemanfaatan proteksi lingkungan bagi semua;
3. Transparansi dan kesempatan untuk memaknai partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan;
4. Setiap orang mempunyak susukan untuk mendapat pemulihan secara efektif akhir pelanggaran hak atas lingkungan hidup dan aturan semestinya ditegakkan dengan mengabaikan kekuatan ekonomi maupun politik pihak yang melanggar;
5. Perlindungan lingkungan hidup untuk keberlanjutan kesehatan insan dan pencapaian dan pemeliharaan keseimbangan ekosistem.
Perwujudan keadilan lingkungan hidup ini sanggup tercapai salah satunya dengan cara menghapus utang finansial negara-negara berkembang lantaran :
1. Negara-negara maju pada masa kolonisasi tidak hanya menganeksasi dan mengokupasi wilayah-wilayah negara-negara berkembang, namun sekaligus mengekspolitasi sumber-sumber kekayaan alam negara-negara berkembang. Pada titik ini negara-negara maju berutang secara historis kepada negara-negara berkembang.
2. Negara-negara maju pada masa globalisasi ekonomi telah menyalahgunakan biosfer, melanggar batas ekologis, dan memaksakan contoh ekstrasi sumber daya alam yang tidak lestari. Pada titik ini negara-negara maju berutang secara ekologis sangat besar kepada rakyat-rakyat di negara-negara berkembang.
3. Negara-negara maju melalui TNC yang beroperasi di negara-negara berkembang melanggar 2 (dua) HAM yang mendasar yakni hak menentukan nasib sendiri dan hak atas lingkungan yang layak. Pada titik ini pula hak-hak individu-individu baik hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya penduduk yang bertempat tinggal di wilayah TNC beroperasi telah dilanggar secara sistematis dan terstruktur.
Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com
0 Response to "Utang Ekologis Dalam Perspektif Hak Asasi Insan"
Posting Komentar