-->

iklan banner

Berbagai Pedoman Dalam Filsafat Aturan Dan Perbedaannya

Berbagai Aliran Dalam Filsafat Hukum dan Perbedaannya 
Dalam filsafat aturan dikenal pembagian pelbagai aliran atau mazhab, yang dikemukakan oleh beberapa orang sarjana, antara lain F.S.G. Northrop dan Lili Rasjidi.

Northrop membagi aliran atau madzhab filsafat aturan ke dalam 5 (lima) aliran, yaitu:
a. Legal Positivism.
b. Pragmatic Legal Realism.
c. Neo Kantian and Kelsenian Ethical Jurisprudence.
d. Functional Anthropological or Sociological Jurisprudence.
e. Naturalistic Jurisprudence.

Sedangkan Lili Rasjidi membagi aliran/madzhab filsafat aturan ke dalam 6 (enam) aliran besar, masing-masing:
a. Aliran Hukum Alam:
1) Yang Irrasional.
2) Yang Rasional.

b. Aliran Hukum Positif:
1) Analitis.
2) Murni.

c. Aliran Utilitarianisme.
d. Madzhab Sejarah.
e. Sociological Jurisprudence.
f. Pragmatic Legal Realism.

Selain kedua orang tokoh tersebut ada juga sarjana lain, yaitu Soehardjo Sastrosoehardjo yang membagi filsafat aturan ke dalam 9 (sembilan) aliran atau madzhab, yaitu:
a. Aliran Hukum Kodrat/Hukum Alam.
b. Aliran Idealisme Transendental (Kantianisme).
c. Aliran Neo Kantianisme.
d. Aliran Sejarah.
e. Aliran Positivisme.
f. Aliran Ajaran Hukum Umum.
g. Aliran Sosiologi Hukum.
h. Aliran Realisme Hukum.
i. Aliran Hukum Bebas.

Ketiga sarjana tersebut dalam membagi-bagi aliran dalam filsafat aturan tidak sama, lantaran memang tergantung pada penafsiran masing-masing orang dalam memilah-milahkan aliran dalam filsafat hukum.

Dalam goresan pena ini, penulis memakai pembagian aliran/madzhab filsafat aturan berdasarkan pendapat dari Lili Rasjidi, seorang guru besar imu aturan dari Universitas Padjadjaran, Bandung dengan klarifikasi sebagai berikut:

a. Aliran Hukum Alam: 
Aliran ini beropini bahwa aturan berlaku universal (umum). Menurut Friedman, aliran ini timbul lantaran kegagalan insan dalam mencari keadilan yang absolut, sehingga aturan alam dipandang sebagai aturan yang berlaku secara universal dan abadi.

Gagasan mengenai aturan alam didasarkan pada perkiraan bahwa melalui penalaran, hakikat mahkluk hidup akan sanggup diketahui dan pengetahuan tersebut menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib aturan eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari aturan yang sengaja dibuat oleh manusia. Aliran aturan alam ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

1) Irrasional:
Aliran ini beropini bahwa aturan yang berlaku universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain: Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wyclife.

Thomas Aquinas membagi aturan ke dalam 4 golongan, yaitu:
a) Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak sanggup ditangkap oleh pancaindera manusia.
b) Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang sanggup ditangkap oleh insan berdasarkan waktu yang diterimanya.
c) Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai aturan alam dan merupakan penjelmaan dari rasio manusia.
d) Lex Posistivis, aturan yang berlaku merupakan pelaksanaan aturan alam oleh insan berhubung dengan syarat khusus yang dibutuhkan oleh keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam kitab-kitab suci dan aturan positif buatan manusia.

Penulis lain, William Occam dari Inggris mengemukakn adanya hirarkis hukum, dengan klarifikasi sebagai berikut:
a) Hukum Universal, yaitu aturan yang mengatur tingkah laris insan yang bersumber dari rasio alam.
b) Apa yang disebut sebagai aturan yang mengikat masyarakat berasal dari alam.
c) Hukum yang juga bersumber dari prinsip-prinsip alam tetapi sanggup diubah oleh penguasa.

Occam juga beropini bahwa aturan identik dengan kehendak mutlak Tuhan Sementara itu Fransisco Suarez dari Spanyol beropini demikian, insan yang bersusila dalam pergaulan hidupnya diatur oleh suatu peraturan umum yang harus memuat unsusr-unsur kemauan dan akal. Tuhan yaitu pencipta aturan alam yang berlaku di semua daerah dan waktu. Berdasarkan akalnya insan sanggup mendapatkan aturan alam tersebut, sehingga insan sanggup membedakan antara yang adil dan tidak adil, jelek atau jahat dan baik atau jujur. Hukum alam yang sanggup diterima oleh insan yaitu sebagian saja, sedang selebihnya yaitu hasil dari kecerdikan (rasio) manusia. 

1) Rasional:
Sebaliknya, aliran ini menyampaikan bahwa sumber dari aturan yang universal dan abadi yaitu rasio manusia. Pandangan ini muncul setelah zaman Renaissance (pada dikala rasio insan dipandang terlepas dari tertib ketuhanan/lepas dari rasio Tuhan) yang beropini bahwa aturan alam muncul dari pikiran (rasio) insan wacana apa yang baik dan jelek penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Tokoh-tokohnya, antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel Pufendorf. 

Pendasar aturan alam yang rasional yaitu Hugo de Groot (Grotius), ia menekankan adanya peranan rasio insan dalam garis depan, sehingga rasio insan sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh lantaran itu rasio manusialah sebagai satu-satunya sumber hukum.

Tokoh penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik der reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Mudah (kritik der praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya Adirasa (kritik der Urteilskraft yang terkait dengan estetika dan harmoni). Ajaran Kant tersebut ada korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling).

Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat insan (homo noumenon) tidak terletak pada akalnya, beserta corak berfikir yang bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze), tetapi pada kebebasan jiwa susila insan yang bisa secara berdikari membuat aturan kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang penting bukan insan ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada insan ideala berkepribadian humanistis.

Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische Anfangsgruende der Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum merupakan pecahan dari karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah bahwa insan berdasarkan darma kesusilaannya mempunyai hak untuk berjuang bagi kebebasan lahiriahnya untuk menghadirkan dan melakukan kesusilaan. Dan aturan berfungsi untuk membuat situasi kondisi guna mendukung usaha tersebut. Hakekat aturan bagi Kant yaitu bahwa aturan itu merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri dari seseorang sanggup digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah aturan kebebasan umum yang meliputi kesemuanya.

Katagori imperatif Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap mentaati aturan positif negara sekalipun di dalam aturan terebut terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan. Jadi, di sini sudah terdapat larangan mutlak bagi sikap yang tergolong melawan penguasa negara, sehingga dengan katagori imperatif ini aliran dari Immanuel Kant juga sanggup digolongkan ke dalam aliran positivisme. Pendapat Kant ini diikuti oleh Fichte yang menyampaikan bahwa aturan alam itu bersumber dari rasio manusia.

Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah Hegel dari Jerman. Yang dijadikan motto oleh Hegel ialah: Apa yang nyata berdasarkan logika yaitu nyata, dan apa yang nyata yaitu berdasarkan logika (Was vernunftig ist, das ist wirklich ist, das ist vernunftig. What is reasonable is real, and what is real is reasonable). Tidak ada antimoni antara nalar/akal dengan kenyataan atau realitas. Bagi Hegel, seluruh kenyataan kodrat alam dan kejiwaan merupakan proses perkembangan sejarah secara dialektis dari roh/cita/spirit mutlak yang senantiasa maju dan berkembang. Jiwa mutlak mengandung dan meliputi seluruh tahap-tahap perkembangan sebelumnya jadi merupakan permulaan dan kelahiran segala sesuatu. Pertumbuhan dan perkembangan dialektis melalui tesa, antitesa, san sintesa yang berlangsung secara berulang-ulang dan terus-menerus. Filsafat aturan dalam bentuk maupun isinya, penampilan dan esensinya juga dikuasai oleh aturan dialektika. Negara merupakan perwujudan jiwa mutlak, demikan juga dengan hukum. 

b. Aliran Hukum Positif
Sebelum aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu aturan yang disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada aturan di luar undang-undang, dalam hal ini satu-satunya sumber aturan yaitu undang-undang. 

1) Analitis
Pemikiran ini berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan dari daerah asal kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris, berkembang bentuk yang agak lain, yang dikenal dengan aliran Positivisme Hukum dari John Austin, yaitu Analytical Jurisprudence. Austin membagi aturan atas 2 hal, yaitu:
a) Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.
b) Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
- aturan dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai aturan positif yang terdiri dari aturan yang dibuat penguasa, seperti: undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya, aturan yang dibuat atau disusun rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melakukan hak-haknya, teladan hak wali terhadap perwaliannya.
- Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti aturan yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan dalam organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.

Menurut Austin, dalam aturan yang nyata pada point pertama, di dalamnya terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak sanggup dikatakan sebagai hukum. 

2) Murni 
Ajaran aturan murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, lantaran pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan aliran Auistin. Hans Kelsen seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan aturan alam. Stanmmler masih mendapatkan dan menganut berlakunya suatu aturan alam walaupun aliran aturan alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans Kelsen secara tegas menyampaikan tidak menganut berlakunya suatu aturan alam, walaupun Kelsen mengemukakan adanya asas-asas aturan umum sebagaimana tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya. 

Ajaran Kelsen juga sanggup dikatakan mewakili aliran positivisme kritis (aliran Wina). Ajaran tersebut dikenal dengan nama Reine Rechtslehre atau aliran aturan murni. Menurut aliran tersebut, aturan harus dibersihkan dari dan/atau dihentikan dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu (hukum) yaitu susunan formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme aturan ditolak sama sekali, lantaran hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah. Adapun pokok-pokok aliran Kelsen yaitu sebagai berikut:
a) Tujuan teori ilmu aturan sama halnya dengan ilmu-ulmu yang lain yaitu meringkas dan merumuskan bahan-bahan yang serba kacau dan keserbanekaragaman menjadi sesuatu yang serasi.
b) Teori filsaft aturan yaitu ilmu, bukan duduk kasus apa yang dikehendaki, duduk kasus cipta, bukan karsa dan rasa.
c) Hukum yaitu ilmu normatif, bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap) yang dikuasai oleh aturan kausalitas. 
d) Teori/filsafat aturan yaitu teori yang tidak bersangkut paut dengan kegunaaan atau efektivitas norma-norma hukum.
e) Teori aturan yaitu formal, teori wacana ara atau jalannya mengatur perubahan-perubahan dalam aturan secara khusus.
f) Hubungan kedudukan antara tori aturan dengan sistem aturan positif tertentu yaitu hubungan antara aturan yang serba mungkin dan aturan yang senyatanya.

Fungsi teori aturan ilah menjelaskan hubungan antara norma-norma dasar dan norma-norma lebih rendah dari hukum, tetapi tidak memilih apakah norma dasar itu baik atau tidak. Yang disebut belakangan yaitu kiprah ilmum politik, etiika atau agama.

Teori konkretisasi aturan menganggap suatu sistem aturan sebagai atau susunan yang piramidal. Stufentheorie diciptakan pertama kali oleh Adolf Merkl (1836-1896), seorang murid dari Rudolf von Jhering, yang kemudian diambil alih oleh Hans Kelsen. Kekuatan berlakunya aturan tertentu tergantung pada norma aturan yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga hingga pada suatu Grundnorm, yang berfungsi sebagai dasar terakhir/tertinggi bagi berlakunya keseluruhan aturan positif yang bersangkutan. Fungsi aturan tersebut bukan dalam arti aturan kodrat, tetapi sebagai suatu Transcendental Logische Voraussetzung, yaitu dalil yang secara transendental memilih bahwa norma dasar terakhir/tertinggi secara logis harus ada lebih dahulu, yang sekaligus berfungsi sebagai klarifikasi atau pembenaran ilmiah bahwa keseluruhan norma-norma c.q. peraturan-peraturan dalam aturan positif yang bersangkutan itu pada hakekatnya merupakan satu kesatuan yang serasi.

Penulis lain berjulukan Rudolf Stammler (1856-1938) merupakan tokoh kebangkitan kembali filsafat c.q. aturan kodrat gaya baru, yaitu aturan kodrat yang senantiasa berubah yang mengajarkan bahwa filsafat aturan yaitu ilmu/ajaran wacana aturan yang adil (die lehre vom richtigen recht). Apabila ilmu aturan meneliti dan mengkaji, secara positif, maka kiprah dan fungsi filsafat aturan ialah dengan abstraksi bahan-bahan variabel tersebut, meneliti secara transendental kritis (metode yang berasal dari Kant) bentuk-bentuk kesadaran insan hingga menerobos hingga pada landasan/dasar transendental logis penghayatan aturan yang berujud hakekat pengertian hukum.

Hakekat pengertian aturan atau pengertian aturan yang transendental ini mempunyai unsur-unsur: kehendak/karsa, mengikat, berkuasa atas diri dan tidak bisa diganggu (wollen, verbinden, selbstherrlichkeit unverletzbarkeit). Dari hakekat ini lebih lanjut ditarik 8 (delapan) macam kategori hukum, yaitu: subjek hukum, objek hukum, dasar hukum, hubungan hukum, kekuasaan hukum, penundukan hukum, berdasarkan aturan (rechtmatigeheid), dan melawan hukum. Pengertian dasar atau kategori aturan itu berupa metode pikiran formil yang adanya tidak ditentukan oleh atau digantungkan pada isi atau aturan hukum. Asas-asas aturan umum yang memilih kebaikan isi atuan hukum, tidak termasuk pengertian aturan tetapi tergolong pada cita hukum. Hukum yang adil yaitu aturan yang memenuhi syarat atau tertentu “social-ideal”, yakni ujud dari insan dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai kehendak bebas (Gemeinschaft frei wollender Menschen). Cita aturan yang sosial ini berfungsi regulatif terhadap sistem aturan positif, tidak semata-mata pada bentuk hukumnya.

a. Aliran Utilitarianisme
Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Bentham beropini bahwa alam menunjukkan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan yaitu kebahagiaan dan kejahatan yaitu kesusahan. Tugas aturan yaitu memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan. Keberadaan aturan dibutuhkan untuk menjaga biar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jikas tidak demikian, maka akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi insan yang lain). Oleh lantaran itu, aliran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual.

Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan insan ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Mill juga menolak pandangan Kant yang mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada kepentingan umum. Kemudian Mill kemudian menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada hakekatnya, perasaan individu akan keadilan sanggup membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya.

Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, lantaran Jhering dikenal sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial, jadi merupakan campuran antara teori yang dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme aturan dari John Austin. Bagi Jhering, tujuan aturan yaitu untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan tetapi kepentingan individu dijadikan pecahan dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.

b. Aliran Sejarah
Tokoh-tokohnya antara lain Friedrich Carl von Savigny (1778-1861) dan Puchta (1789-1846). Sebagian dari pokok ajarannya ialah bahwa aturan itu tidak dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan rakyat, berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati, manakala rakyat kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke vort, bilden sich aus mit diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen eigentuum lichkeit verliert). Sumber aturan pada dasarnya yaitu aturan kebiasaan yaitu volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat. 

Paton menunjukkan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai berikut:
1) Jangan hingga kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan sebagai volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya.
2) Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja, lantaran dalam kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris yang tidak akan terbentuk tanpa usaha keras.
3) Jangan hingga peranan hakim dan andal aturan lainnya tidak menerima perhatian, lantaran walaupun volksgeist itu sanggup menjadi materi kasarnya, tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk diproses menjadi bentuk hukum.
4) Dalam banyak masalah peniruan memainkan peranan yang lebih besar daripada yang diakui oleh penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang dengan sadar mengambil alih Hukum Romawi dan menerima dampak dari Hukum Perancis.

Tulisan von Savigny bahwasanya merupakan reaksi eksklusif terhadap Thibaut , di samping itu juga hendak memberi daerah yang terhormat bagi aturan rakyat Jerman yang orisinil di negara Jerman sendiri. Von Savigny berkeinginan biar aturan Jerman itu berubah menjadi aturan nasional Jerman. Tantangan von Savigny terhadap kodifikasi Perancis itu telah menyebabkan hampir satu era lamanya Jerman tidak mempunyai kodifikasi aturan perdata. Pengaruh pandangan von Savigny juga terasa hingga jauh ke luar batas negeri Jerman.

Sedang Puchta, termasuk penganut aliran sejarah dan sebagai murid von Savigny beropini bahwa aturan sanggup berbentuk:
1) Langsung, berupa adat-istiadat.
2) Melalui undang-undang.
3) Melalui ilmu aturan dalam bentuk karya para andal hukum.

Namun ketika pembentukan aturan tersebut masih bekerjasama erat dengan jiwa bangsa (volksgeist) yang bersangkutan.

Lebih lanjut, Puchta membedakan pengertian “bangsa” ke dalam dua jenis, yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut “bangsa alam” dan bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara. Adapun yang mempunyai aturan yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan “bangsa alam” mempunyai aturan sebagai keyakinan belaka.

Menurut Puchta, keyakinan aturan yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negera mengesahkan aturan itu dengan membentuk undang-undang, Puchta mengutamakan pembentukan aturan dalam negara sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada daerah lagi bagi sumber-sumber aturan lainnya, yakni praktik aturan dalam adat-istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah aturan oleh ahli-ahli hukum. Adat-istadat bangsa hanya berlaku sebagai aturan sehabis disahkan oleh negara. Sama halnya dengan pengolahan aturan oleh kaum Yuris, pikiran-pikiran mereka wacana aturan memerlukan pengukuhan negara supaya berlaku sebagai hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan apapun. Ia berhak membentuk undang-undang tanpa sumbangan kaum yuris, tanpa menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan sebagai adat-istiadat.

Dengan adanya pemikiran dan pandangan puchta yang demikian ini, berdasarkan Theo Huijbers dikatakan tidak jauh berbeda dengan Teori Absolutisme negara dan Positivisme Yuridis. Buku Puchta yang populer berjudul Gewohnheitsrecht.

c. Aliran Sociological Jurisprudence
Pendasar aliran ini, antara lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika, pada pada dasarnya aliran ini hendak menyampaikan bahwa aturan yang baik yaitu aturan yang sesuai dengan aturan yang hidup dalam masyarakat. Kata “sesuai” diartikan sebagai aturan yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.

Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari aturan sebagai tanda-tanda sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat aturan yang mempelajari dampak timbal balik antara aturan dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi aturan sebagai cabang sosiologi yang mempelajari dampak masyarakat kepada aturan dan dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat sanggup mempengaruhi aturan di samping juga diselidiki juga dampak sebaliknya, yaitu dampak aturan terhadap masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) sanggup dibedakan cara pendekatannya. Sociological jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari aturan kepada masyarakat, sedang sosiologi aturan cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada hukum.

Roscoe Pound menganggap bahwa aturan sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan membuat harmoni dan keserasian biar secara optimal sanggup memenuhi kebutuhan dan kepentingan insan dalam masyarakat. Keadilan yaitu lambang usaha penyerasian yang serasi dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu dibutuhkan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara. 

Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam aturan digantikan dengan primat “pengkajian dan evaluasi terhadap kehidupan insan (Lebens forschung und Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well as public interest).

Roscoe Pound juga beropini bahwa living law merupakan synthese dari these positivisme aturan dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua liran tersebut ada kebenarannya. Hanya aturan yang sanggup menghadapi ujian kecerdikan biar sanggup hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam aturan itu hanyalah pernyataan-pernyataan kecerdikan yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh kecerdikan dan kecerdikan diuji oleh pengalaman . Tidak ada sesuatu yang sanggup bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum yaitu pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.

d. Pragmatic Legal Realism
Salah seorang sarjana berjulukan Friedman membahas aliran ini dalam kaitannya sebagai salah satu subaliran dari positivisme hukum. Sebab, pangkal pikir dari aliran ini bersumber pada pentingnya rasio atau kecerdikan sebagai sumber hukum. Pendasar mazhab/aliran ini ialah John Chipman, Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank, William James dan sebagainya. Friedman juga beropini bahwa Roscoe Pound juga sanggup digolongkan ke dalam Pragmatic Legal Realism di samping masuk ke dalam Sociological Jurisprudence. Hal ini disebabkan oleh pendapat atau pandangan Roscoe Pound yang menyampaikan bahwa aturan itu yaitu a tool of social engineering. Sementara itu, Llewellyn beropini bahwa Pragmatic Legal Realism bukan aliran tapi suatu gerakan yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 
1) Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme yaitu suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja wacana hukum.
2) Realisme yaitu suatu konsep mengenai aturan yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum.
3) Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan sein untuk keperluan suatu penyelidikan biar penyelidikan itu mempunyai tujuan, maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan dihentikan dipenuhi oleh kehendak observer maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
4) Realisme telah mendasarkan pada konsep-konsep aturan tradisional oleh lantaran realisme bermaksud melukiskan apa yang bahwasanya oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-definisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum wacana apa yang akan dikerjakan oelh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini, maka realisme membuat penggolongan-penggolongan kasus dan keadaan-keadaan aturan yang lebih kecil jumlahnya daripada jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.
5) Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap pecahan aturan haruslah diperhatikan dengan secama mengenai akibatnya.

Pendekatan yang harus dilakukan oleh gerakan realisme untuk mewujudkan jadwal tersebut di atas telah digariskan sebagai berikut:
1) Keterampilan dibutuhkan bagi seseorang dalam menunjukkan argumentasinya yang logis atas putusan-putusan yang telah diambilnya bukan hanya sekedar argumen-argumen yang diajukan oleh andal aturan yang nilainya tidak berbobot.
2) Mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan dengan memperhatikan relativitas makna peraturan-peraturan tersebut.
3) Menggantikan katagori-katagori aturan yang bersifat umum dengan hubungan-hubungan khsusus dari keadaan-keadaan yang nyata.
4) Cara pendekatan menyerupai tersebut di atas meliputi juga penyelidikan wacana faktor-faktor/unsur-unsur yang bersifat perseornagan maupun umum dengan penelitian atas kepribadian sang hakim dengan disertai data-data statistik wacana ramalan-ramalan apa yang akan diperbuat oloeh pengadilan dan lain-lain.

Mengenai aliran Pragmatic Legal Realism yang berkembang pada waktu itu sanggup dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1) Aliran Realisme Hukum Amerika
Tokoh-tokohnya yaitu Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank. “The path of Law” berasal dari Holmes, sedang “Law in the modern mind” berasal dari Jerome Frank. Sifat normatif aturan agak dikesampingkan. Hukum pada hakekatnya yaitu berupa pola perilaku/tindakan (pattern of behaviour) nyata dari hakim dan petugas/pejabat aturan (law officials) lainnya. Pendorong utama sikap Hakim atau pejabat-pejabat aturan segarusnya berpijak pada moral positif dan kemaslahatan masyarakat (social advanrage). Bagi Frank, aturan sanggup dibagi menjadi dua, yaitu aturan yang senyatanya dan aturan yang mungkin (actual law and probable law). Peraturan-peraturan aturan dan asas-asas aturan tidak lain yaitu semacam stimuli yang mempengaruhi sikap hakim yang sanggup dilihat dalam putusan-putusan hakim, di samping faktor-faktor lain, yakni, prasangka politis, ekonomis, dan moril, simpati maupun antipati pribadi (Frank). Terhadap sikap yang agak ekstrim dari kedua tokoh tersebut, yakni Roscoe Pound dan benjamin Cardozo dalam bukunya yang berjudul “The nature of the juridical process” mengambil pendirian yang lebih moderat, yakni wawasan sosiologis.

2) Aliran Realisme Skandinavia
Di Skandinavia, para sarjana aturan modern menyebarkan cara berfikir wacana aturan yang mempunyai ciri khas ala Skandinavia yang tidak ada persamaannya di negara-negara lain. Walaupun istilah realisme sering dipergunakan untuk gerakan cara berfikir di Skandinavia akan tetapi persamaan nama dengan gerakan cara berfikir di Amerika Serikat, hanyalah sebatas persamaan nama saja. Realisme Skandinavia yaitu dasar-dasar filsafat yang menunjukkan kritik-kritik terhadap dasar-dasar metafisika aturan (Skandinavian realism is essentialy a philosophical critique of the metaphysical foundations law). Gerakan ini menolak cara pendekatan yang dipergunakan oleh kaum realis Amerika Serikat yang mempunyai nilai rendah. Dalam caranya memberi kritik dan pengupasan prinsip-prinsip pertama yang seringkali sangat abstrak, grakan realis mempunyai ciri-ciri yang menyerupai sekali dengan ciri-ciri Filsafat Hukum Eropa. Adanya persamaan cara pendekatan antara penganut-penganut gerakan relaisme Skandinavia diusebabkan oleh dampak dari Axel Hagestrom terhadap tokoh-tokoh gerakan realisme Skandinavia pada waktu itu, yaitu Oliverscrona, Lundstedt, sekalipun dampak Axel tidak sebesar Ross.

Para andal aturan tersebut di atas menolak adanya pengertian-pengertian mutlak wacana keadilan yang menguasai dan yang memberi pedoman pada sistem-sistem aturan positif. Mengenai nilai-nilai aturan gerakan realisme Skandinaviamempunyai pendirian yang sama dengan filsafat relativisme; mereka menolak pendirian yang menyampaikan bahwa ketentuan-ketentuan wacana aturan sanggup disalurkan secara memaksa dari prinsip-prinsip wacana keadilan yang tidak adapat diubah.

Menureut Friedman, eksistensi realisme Skandinavia telah menunjukkan sumbangan yang amat besar kepada teori hukum, yaitu wacana penggunaan pengertian kehendak kolektif, satu kehendak umum atau kehendak negara (a collective or general will or of the state) oleh ilmu aturan analitis. Menurut Hargerstrom dan kawan-kawan, pengertian-pengertian tersebut yaitu semacam satu pengertian mistik yang dipergunakan mereka untuk memberi dasar aturan pada kemahakuasaan orang-orang yang memegang perintah negara; dan cara mereka menandakan legitimitas (dasar hukum) kekuasaan negara tersebut berdasarkan Hargerstrom dan kawan-kawan yaitu pada dasarnya sama dengan cara-cara yang dipergunakan filsafat aturan kodrat.

Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Berbagai Pedoman Dalam Filsafat Aturan Dan Perbedaannya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel