Filsafat Aturan Menurut Pancasila
Filsafat Hukum Berdasarkan Pancasila
a. Pemahaman ukum yang bersifat normatif sosiologis yang melihat huku tidak hanya sekumpulan kaidah dan asas yang mengatur kekerabatan insan dalam masyarakat, tetapi juga mencakup lembaga-lembaga dan proses yang diharapkan untuk mewujudkan berlakunya aturan itu. Sejalan dengan konsep tersebut maka fungsi aturan dalam masyarakat ialah untuk terwujudnya ketertiban dan kepastian sebagai prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan training kesatuan bangsa, serta sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh.
b. Tujuan aturan yang merupakan belahan yang tidak terpisahkan dari tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang sekaligus juga merupakan perwujudan sila-sila Pancasila.
c. Cita-cita falsafah yang telah dirumuskan oleh para pendiri Kenegaraan dalam Konsep Indonesia ialah Negara Hukum dan setiap orang sama di depan hukum, mengandung arti:
1) Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas aturan memilih bahwa dalam kekerabatan antara aturan dan kekuasaan, kekuasaan tunduk pada aturan sebagai kunci kestabilan politik yang berkesinambungan.
2) Persamaan kedudukan setiap orang di hadapan aturan memilih bahwa aturan tidak membeda-bedakan antara orang berdasarkan status, sosial, kekuasaan, agama, atau keturunan. Setiap orang mendapat kesempatan yang sama untuk mendapat proteksi dan melaksanakan pembelaan di muka pengadilan.
Dalam pengembangan aturan dan ilmu hukum, falsafah aturan memiliki peranan penting dalam memperlihatkan dasar dan instruksi melalui aspek-aspek:
a. Ontologi, mencakup permasalahan apa hakekat ilmu, apa hakekat kebenaran, dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan.
b. Epistemologi, mencakup aneka macam sarana dan tata cara dan sumber pengetahuan untuk mencapai kebenaran atau kenyataan.
c. Aksiologi, mencakup nilai-nilai normatif parameter bagi apa yang disebut kebenaran atau kenyataan dalam konteks dunia simbolik, dan sebagainya.
Pengembangan filsafat aturan nasional harus diarahkan menjadi falsafah aturan Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang juga merupakan dasar falsafah aturan nasional memiliki sifat imperatif yang tidak saja dijadikan dasar dan arah pengembanganfalsafah aturan nasional kita, melainkan sekaligus juga menjadi contoh dalam penyusunan, membina dan menyebarkan falsafah aturan yang konsisten dan relevan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Sehubungan dengan itu, maka falsafah Pancasila melalui tafsiran falsafatinya harus dikembangkan supaya bisa memperlihatkan nilai-nilai yang konkret dan relevan dengan kemajuan dan mengarahkan kemajuan itu sesuai dengan apa yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Untuk itu, Pancasila harus tetap terbuka , tidak difahami secara doktriner dan dogmatis tanpa kehilangan substansi falsafahnya ditafsirkan secara kreatif dan dinamis dalam perspektif ke masa sekarang dan masa depan.
Dalam kekerabatan dengan perkembangan filsafat aturan nasional, perlu dikembangkan critical mass, yaitu suatu masyarakat akademik yang mau dan bisa menukik ke dalam masalah-masalah yang bersifat falsafati untuk bersikap kritis, radikal, kreatif, dan eksploratif. Dalam suasana yang demikian, maka nilai-nilai falsafati universal perlu digali untuk memilih unsur-unsur yang relevan bagi sumber aturan pada umumnya dan falsafah aturan pada khususnya. Untuk itu, perlu dikembangkan kondisi yang makin aman untuk menyebarkan falsafah aturan Pancasila tersebut.
Sistem aturan nasional yang juga merupakan sistem aturan Pancasila harus merupakan pembagian terstruktur mengenai dari seluruh sila-sila Pancasila secara keseluruhan.
Mengenai asas persamaan kedudukan di muka aturan ada yang melihat bahwa training perlakuan yang sama dalam kondisi yang berbeda ialah sebuah ketidakadilan, sehingga untuk hal-hal tertentu adanya berbagais tudi masih sangat diperlukan.
Hukum dan kekuasaan dalam kenyataan masih sering tidak saling melengkapi antara satu dengan yang lain.
Filsafat Hukum dan Pancasila
Untuk mengetahui keterkaitan antara Pancasila dengan aneka macam fatwa dalam filsafat hukum, perlu dipahami mengenai hakekat dari Pancasila hingga sedalam-dalamnya. Di dalam mengupas hakekat Pancasila hingga kedalamannya, sanggup dipergunakan pendekatan filosofis. Adapun pendekatan filosofis yang digunakan ialah metode dialektis dan analitis.
Metode deduktif paralel dengan metode sintesis sebagaimana dikemukakan oleh Hegel pada era XIX (zaman Modern), mengemukakan teorinya yang disebut “Teori Dialektika”. Dalam Teorinya, Hegel beropini bahwa proses perkembangan rohani berjalan dialektis, yang berdasarkan Hegel ide-ide saling berlawanan dan sekalian rohani melemah untuk menjadi kesatuan dalam suatu pandangan gres baru, yang merangkap kebenaran yang terkandung dalam dua pandangan gres tadi. Sebagai contoh, pandangan gres tadi berawal daru suatu yang “ada”, kemudian diperkirakan sesuatu yang ada, akan tetapi belum ada secara menyeluruh, yakni pandangan gres “menjadi” memiliki pikiran melalui tesei, anti tesis, dan sintesis, sehingga cara berfikir yang demikian ini disebut dialektis. Hal ini berlangsung secara terus-menerus. Menurut Hegel pula, teori dialektis berlaku tidak hanya bidang logika, tetapi juga dalam bidang realitas, dan yang paling banyak ialah bidang sejarah.
Pancasila yang kita kenal sebagai dasar negara Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Notonegoro yang memakai teori Causalis untuk menuntaskan Pancasila. Teori ini menyampaikan bahwa semua yang ada memiliki sebab, lebih lanjut dikemukakan pula, berdasarkan teori causalis, Pancasila juga sanggup dipahami secara mendalam, yaitu:
Pertama, dilihat dari causa materialis, Pancasila berdasar moral kebiasaan, kebudayaan, dan agama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Adat kebiasaan di sini ialah moral kebiasaan dalam arti luas yang mencakup moral kebiasaan politik, kewarganegaraan, ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Causa Formalis Pancasila, berdasarkan Notonegoro, ialah anggota BPUPKI, yaitu Soekarno dan Hatta yang kemudian disebut sebagai pembentuk negara. Causa Finalis, Pancasila ialah calon dasar filsafat negara. Hal ini tertuang dalam pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang secara tegas menyebutkan bahwa tujuan dari pidatonya wacana Pancasila ialah untuk merumuskan dasar Indonesia merdeka yang disebut sebagai Filosofische Grondslag. Hal ini sanggup juga disebutkan untuk Pancasila dalam Piagam Jakarta yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 yang selanjutnya digunakan sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga dalam hal ini sanggup dikatakan bahwa Causa Finalis Pancasila ialah dasar filsafat negara, alasannya ialah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI dimaksudkan sebagai dasar filsafat negara.
Causa Efficient Pancasila ialah PPKI, lantaran PPKI secara resmi memutuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berintikan Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Dengan demikian, causa efficient Pancasila sebagai dasar filasafat negara ialah pembentuk negara Indonesia, dalam hal ini PPKI.
Pancasila merupakan kesatuan yang tidak sanggup dipisahkan dan dijungkirbalikkan tanpa mengubah inti dari isinya, lantaran susunan Pancasila berbentuk hirarkis piramidal. Dikatakan hirarkis, lantaran jikalau dilihat dari isinya, urut-urutan lima sila tersebut memperlihatkan satu rangkaian tingkatan dalam luas dan isinya. Selanjutnya, dikatakan piramidal, lantaran tiap-tiap sila yang ada di belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila/sisla-sila yang ada di depannya. Penjelasan selanjutnya, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis dari Kemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial. Sebaliknya, Ketuhanan Yang Maha Esa ialah Ketuhanan yang berperikemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilans osial, demikian seterusnya. Sehingga tiap-tiap sila yang ada di dalamnya terkandung sila-sila lainnya. Kecuali itu, ditegaskan bahwa sila ketuhanan dan kemanusiaan mencakup seluruh hidup insan dan menjadi dasar dari sila-sila persatuan, kerakyatan, keadilan sosial. Mengenai susunan hirarki Pancasila bahwa nilai-nilai Ketuhanan lebih tinggi dari nilai kemanusiaan, nilai kemanusiaan lebih tinggi daripada nilai kerakyatan, dan nilai kerakyatan lebih tinggi daripada nilai keadilan sosial. Namun mengenai bentuk piramid sanggup dijelaskan bahwa tiap-tiap sila yang berada di belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila-sila yang ada di depannya. Makara kalau diterapkan dalam sila-sila pada Pancasila sanggup dijelaskan sebagai berikut: Bahwa sila kemanusiaan merupakan pengkhususan dari sila Ketuhanan, sila kerakyatan merupakan pengkhususan dari sila persatuan Indonesia dan sila keadilan sosial merupakan pengkhususan dari sila kerakyatan.
Pancasila sebagai pandangan hidup, Ideologi Nasional dan Dasar Negara pada esensinya ialah perwujudan dari pelaksanaan hak dan kewajiban individu sebagai anggota masyarakat untuk mengejawantahkan pola sikap sebagaimana tercermin dalam masing-masing kelima sila tersebut. Demikian pula sebagai bangsa Indonesia dan warga negara. Pancasila dengan dimensinya pada hakekatnya selaras dengan fatwa dalam filsafat hukum, yaitu Sociological Jurisprudence, sebagaimana keinginan dan tujuan dari tiga dimensi Pancasila yang bertujuan membuat harmoni berupa keserasian pelaksanaan hak dan kewajiban sehingga secra optimal kebutuhan dan kepentingan insan dalam masyarakat sanggup terpenuhi secara tidak memihak, yang oleh Roscoe Pound dikatakan terdapat 3 kepentingan aturan yang perlu mendapat perlindungan, yaitu:
a. Kepentingan Umum.
b. Kepentingan Masyarakat.
c. Kepentingan Individu.
Aliran Sociological Jurisprudence timbuld ari proses dialektika antara positivisme aturan dan mazhab sejarah. Pada fatwa Positivisme Hukum, memandang tidak ada aturan kecuali perintah yang diberikan penguasa, sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan aturan timbul dan berkembang bersama masyarakat. Kedua mazhab tersebut sanggup dilihat pada kepentingannya, yaitu: Positivisme mementingkan logika, sedang mazhab Sejarah mengutamakan pengalaman. Namun Sociological Jurisprudence mementingkan keduanya. Oleh lantaran itu dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai pandangan hidup, ideologi negara, dan dasar negara, terdapat kesamaan dengan mazhab Sociological Jurisprudence, lantaran adanya kesamaan tujuan yang ingin dicapainya. Seperti yang dikatakan Roscoe Pound yang menganggap aturan sebagai alat untuk rekayasa sosial/masyarakat, dan ini tercermin dalam kelima sila dari Pancasila, yang di dalamnya terkandung keinginan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian, pencerminan kedua fatwa tersebut terdapat kesesuaian dengan apa yang terkandung di dalam Undang-Undang Dasar 1945, baik pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya.
Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com
0 Response to "Filsafat Aturan Menurut Pancasila"
Posting Komentar