-->

iklan banner

Macam Macam Etnografi Dan Pendekatannya


APA TIPE-TIPE RANCANGAN ENOGRAFIS?   
Dengan perkembangan menyerupai digambarkan di atas, pendekatan eklektif menjadi suatu ciri dari penelitian etnografis pendidikan ketika ini. Bagi seorang peneliti yang gres terhadap etnografi, panjangnya daftar tidak menjadi penting ketimbang fokus terhadap bentuk-bentuk utama menyerupai yang dipublikasikan dalam laporan-laporan penelitian pendidikan. Tanpa diragukan lagi, penelitian etnografis tidak selamanya cocok (pas) untuk kategori-kategori, akan tetapi ada tiga bentuk yang jelas:
v  Etnografi Realis
v  Studi kasus
v  Etnografi Kritis

Etnografi Realis
Etnografi realis yaitu sebuah pendekatan yang terkenal yang dipakai oleh para antropologi budaya. Dicirikan oleh Van Maanen (1988), ia mencerminkan sebuah pandangan tertentu yang diambil oleh si peneliti terhadap para individu yang sedang diteliti. Etnografi realis adalah sebuah dongeng yang ditampilkan secara objektif dari suatu situasi, biasanya ditulis dari sudut padangan orang ketiga, yang melaporkan secara objektif informasi yang dipelajari dari para partisipan di situs (lapangan). Dalam rancangan etnografis ini:
v  Para etnografer realis menarasikan penelitiannya dalam bunyi orang ketiga yang tidak memihak dan melaporkan observasinya terhadap para partisipan serta pandangan mereka. Si etnografer tidak memperlihatkan refleksi-refleksi eksklusif dalam laporan penelitiannya dan tetap berada di latar belakang sebagai pelapor “fakta” yang “omniscient” (yang serba tahu).
v  Si peneliti melaporkan data-data objektif dalam gaya yang terukur tanpa tercemar oleh bias pribadi, tujuan-tujuan politis, dan pertimbangan. Si peneliti boleh mengatakan detil keseharian dari orang-orang yang sedang diteliti. Si etnografer juga memakai kategri-kategori standar berkaitan dengan deskpripsi budaya (seperti kehidupan di lingkungan keluarga, kehidupan di lingkungan kerja, jejaring sosial, sistem status).
v  Para etnografer mengungkapkan pandangan-pandangan para partisipan melalui pengeditan secara ketat kutipan-kutipan dan mengatakan kata-kata selesai berupa interpretasi dan penyajian budaya (Van Maanen, 1988).
Jenis etnografi menyerupai ini sudah usang menjadi tradisi dalam antropologi budaya dan pendidikan. Contoh, Wolcott (1974, 1994) memakai pendekatan realis terhadap etnografi untuk meneliti aktivitas-aktivitas sebuah komite yang ditunjuk untuk menyeleksi seorang kepala sekolah. Penelitian tersebut berkaitan dengan proses yang dialami oleh sebuah komite pemilihan sekolah ketika mereka mewawancarai para calon. Wolcott memulai dengan seorang calon hingga balasannya individu terakhir diidentifikasi. Dengan mengikuti deskprisi proses wawancara ini, Wolcott mengatakan interpretasi terhadap tindakan-tindakan komite dalam batas-batas kurangnya pengetahuan profesional, tingkah laris mereka yang tak kondusif, dan keengganan sekolah untuk beruah.
Sebagai seorang etnografer yang realis, Wolcott mengatakan sebuah dongeng perihal keputusan yang dibentuk oleh komite seakan-akan ia sedang milihat ke dalam dari luar, melaporkan mekanisme secara objektif, dan juga meliputi pandangan para partisipan. Interpretasi pada balasannya menampilkan penyajian pandangan Wolcott perihal pola-pola yang beliau lihat yang dilakukan oleh komite pemilihan kelompok budaya.

Studi Kasus
Para penulis sering memakai istilah studi kasus sehubungan dengan etnografi (misalnya lihat LeCmpte & Schensul, 1999).  Studi masalah merupakan sebuah tipe etnografi yang penting, walaupun ia bergotong-royong berbeda dengan etnografi dalam beberapa hal penting. Para peneliti studi masalah boleh jadi memfouskan diri pada program, peristiwa, atau acara yang melibatkan individu-individu ketimbang semata-mata kelompok (Stake, 1995). Juga, ketika para peneliti studi masalah meneliti sebuah kelompok, mereka boleh jadi lebih tertarik pada mendeskripsikan aktivitas-aktivitas kelompok ketimbang mengidentifikasi pola-pola bertingkah laris yang diperlihatkan oleh kelompok tersebut. Para etnografer berusaha menemukan pola-pola kebersamaan yang bekembang sebagai sebuah kelompok yang saling berinteraksi untuk jangka waktu tertentu. Akhirnya, para peneliti studi masalah akan cenderung kurang mengidentifikasi tema-tema budaya untuk dikaji pada awal dari sebuah penelitian, terutama dari sisi antropologi; sebaliknya, mereka akan terfokus pada eksplorasi mendalam perihal “kasus” aktual.
Walaupun beberapa orang peneliti mngidentifikasi “kasus” sebagai sebuah objek kajian (Stake, 1995), yang lainnya menganggap ini sebagai mekanisme inkuiri (seperti Merriam, 1998). Studi kasus yaitu sebuah eksplorasi mendalam perihal bounded system (suatu sistem tertutup) menyerupai aktivitas, peristiwa, proses, atau individu berbasis pengumpulan data yang ekstensif (Creswell, 2007). Bounded (tertutup) bermakna bahwa masalah itu terpisah (berdiri sendiri) untuk diteliti dalam hal waktu, tempat, atau batas-batas fisik tertentu.
Penting kiranya diingat bahwa tipe-tipe masalah yang sering diteliti oleh para peneliti kualitatif adalah:
v  “Kasusnya” bisa jadi seseorang individu, beberapa orang individu secara terpisah atau dalam sebuah kelompok;
v  “Kasusnya” boleh jadi merupakan repsentasi sebuah proses yang terdiri dari serentetan langkah (seperti proses pengembangan kurikulum sekolah tinggi tinggi) yang terdiri dari serentetan aktivitas;
v  Seperti diperlihatkan pada Diagram 15.1, sebuah masalah boleh jadi dipilih untuk diteliti alasannya masalah tersebut luar biasa dan mempunyai manfaat di dalam dan untuk dirinya sendiri. Apabila masalah itu sendiri diminati, masalah tersebut disebut intrinsic case (kasus intrinsik). Penelitian perihal sekolah bilingual (dwibahasa) mengilustrasikan bentuk studi masalah menyerupai ini (Stake, 2000). Alternatif lain yaitu fokusnya diberikan pada gosip spesifik, dengan sebuah atau lebih masalah yang dipakai untuk mengilustrasikan sebuah isu. Tipe masalah menyerupai ini disebut instrumental case (kasus instrumental), alasannya masalah tersebut diarahkan untuk memenuhi tujuan untuk mengiluminasikan gosip tertentu. Studi masalah “gunman incident  (Asmussen & Creswell, 1995) menggambarkan sebuah masalah instrumental dari sebuah kampus dalam rangka memperlihatkan reaksi kampus terhadap tindakan kekerasan di kampus. Studi-studi masalah boleh jadi juga meliputi kasus-kasus jamak, yang disebut collective  case studies (Stake, 1995), di mana kasus-kasus jamak dideskripsikan dan dibandingkan dalam rangka mengatakan pemahaman terhadap sesuatu isu. Seorang peneliti studi masalah boleh jadi meneliti beberapa sekolah guna mengilustrasikan pendekatan-pendekatan alternatif terhadap pilihan sekolah bagi para siswa.
v  Para peneliti berupaya berbagi sebuah pemahaman mendalam perihal masalah dengan jalan mengumpulkan bermacam ragam bentuk data (seperti gambar, klipingan, videotape, dan e-mail). Memberikan pemahaman yang  mendalam memerlukan hanya beberapa masalah saja yang diteliti, alasannya untuk setiap masalah yang diteliti, si peneliti akan memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menelusuri secara mendalam setiap masalah tersebut.
v  Si peneliti juga menempatkan “kasus” atau “kasus-kasus” itu di dalam konteks yang lebih luas, menyerupai seting-seting geografis, politik, sosial, atau ekonomi (seperti konstelasi keluarga yang terdiri dari kakek nenek, saudara kandung, dan anggota-anggota keluarga yang “diadopsi”).
Sebuah pola dari studi masalah yaitu penelitian oleh Kos (1991) perihal empat orang siswa sekolah menengah yang mempunyai ketidakmampuan membaca. Penelitian ini mengkaji faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kesulitan membaca pada para remaja. Peneliti mengatakan tutorial kepada keempat siswa tersebut, mengamati kegiatan membacanya sendiri dan kegiatan membacanya di kelas, melaksanakan wawancara, dan mengumpulkan catatan-catatan sekolah untuk masing-masing siswa dimaksud. Keempat anak tersebut, yang umurnya berada antara 13 dan 15 tahun, tidak bisa membaca bahan-bahan bacaan lebih tiggi dari bahan-bahan bacaan untuk belum dewasa kelas 3. Setelah mendeskripsikan masing-masing anak, peneliti mengidentifikasi empat tema yang mencuat perihal maing-masing anak tersebut: tingkah lau membaca, pengalaman-pengalaman negatif dan mengesalkan (frustrated), rasa khawatir (anxiety) terhadap bacaan, dan riwayat membacanya di taman kanak-kanak dan kelas satu. Dari analisis perihal kasus-kasus individual ini, peneliti kemudian membandingkan keempat anak tersebut dan menemukan bahwa keempat siswa tersebut menyadari kelemahan-kelemahan (kekurangan-kekurangan) mereka, memperlihatkan koneksi antara ketidakmampuan membaca dan stress (tekanan), dan ketidakmampuan mengintegrasikan banyak sekali ragam taktik membaca.
Studi masalah ini memperlihatan sebuah penelitian berkenaan dengan empat buah bounded system (sistem terpisah) – individu-individunya spesifik—dan evaluasi terhadap pola-pola tingah laris masing-masing individu dan keempat mereka. Si peneliti memfokuskan diri pada gosip perihal ketidakmampuan membaca dan melaksanakan pengkajian mendalam perihal keempat masalah ini dalam rangka mengilustrasikan gosip perihal ketidakmampuan membaca ini. Berbagai bentuk data dikumpulkan, dan analisisnya terdiri dari pengembangan deskripsi dan tema-tema.
Contoh lain yaitu studi masalah oleh Padula dan Miller (1999) perihal empat orang perempuan yang kembali kuliah sebagai mahasiswa acara doktor. Dalam studi masalah ini, para peneliti mengajukan pertanyaan perihal keputusan mereka untuk kembali ke dingklik kuliah, bagaimana mereka mendeskripsikan pengalama-pengalaman mereka berkuliah, dan bagaimana pengalaman-pengalaman mereka selama mengikuti acara pasca sarjana tersebut mengubah kehidupan mereka. Melalui wawancara dan observasi terhadap para perempuan ini, para peneliti menemukan beberapa tema yang mencuat perihal keyakinan-keyakinan yang mereka pegang. Contoh, para perempuan tersebut meyakini bahwa pengalaman-pengalaman di pasca sarjana tidak akan memenuhi kebutuhan mereka, mereka membandingkan diri mereka sendiri dengan mahasiswa-mahasiswa yang masih muda belia, dan mereka mencicipi adanya kebutuhan umum untuk menuntaskan perkuliahan mereka secepat mungkin.

Etnografi Kritis
Ketika Denzin (1997) berbicara perihal krisis kembar antara reprsentasi dan legitimasi, ia bergotong-royong mengatakan respon terhadap perubahan yang menyolok di dalam masyarakat, menyerupai masyarakat menjadi lebih multi-nasional, bergabung dengan perekonomian dunia, dan mengubah aspek-aspek demografis menjadi kelompok-kelompok yang lebih multi ras. Faktor-faktor ini telah mnciptakan sistem kekuasaan, prestise, keistimewaan, dan otoritas yang berperan memarjinalkan individu-individu dari banyak sekali kelas, ras, dan jender dalam masyarakat. Dengan berakar pada pemikiran Jerman tahun 1920-an, problem historis yang ditimbulkan oleh dominasi, elienasi, dan usaha sosial kini memainkan peranan dalam penelitian pendidikan dan dan ilmu-ilmu sosial.
Bibliografi kini memadukan pendekatan “kritis” (Carspecken, 1995; Carspecken & Apple, 1992; Thomas, 1993) untuk menampung perspektif advokasi di dalam etnografi. Critical ethnographies (etnografi kritis) yaitu sejenis penelitian etnografis di mana para peneliti tertarik pada pemberian advokasi dalam rangka emansipasi kelompok-kelompok yang terminalkan di dalam masyarakat (Thomas, 1993). Para peneliti kritis biasanya yaitu individu-individu yang berpikiran politis yang mencoba mencari, melalui penelitian mereka, advokasi terhadap ketidaksederajatan dan dominasi (Carspecken & Apple, 1992). Contoh, para etnografer kritis boleh jadi meneliti sekolah-sekolah yang mengatakan keistimewaan-keistimewaan kepada kelompok-kelompok siswa tertentu,  menciptakan situasi-situasi ketidaksederajatan diantara masing-masing anggota dari banyak sekali kelas sosial, dan memperbesar “suara” perjaka dan para cewek menjadi partisipan yang bisu di daam kelas.
Komponen utama etonografi kritis disarikan dalam Diagram 15.2. Faktor-faktor ini, menyerupai orientasi bernilai sama (tanpa membedakan), pemberdayaan orang dengan jalan mengatakan mereka lebih banyak otoritas, menantang status quo, dan perhatian terhadap kekuasaan dan kontrol, memainkan peranan dalam sebuah etnografi dalam karakterisk proseduralnya, menyerupai berikut:
v  Peneliti-peneliti etnografi kritis mengkaji isu-isu sosial terkait dengan kekuasaan, pemberdayaan, ketidaksederajatan, ketidakadilan, dominasi, represi (penindasan), hegemoni, dan victimization (membuat orang lain jadi korban);
v  Para peneliti melaksanakan penelitian etnogafi kritis untuk menjaga semoga penelitian mereka itu tdak selanjutnya malah memarjinalkan individu-individu yang sedang diteliti. Dengan demikian, para peneliti berkerjasama, secara aktif berpartisipasi, bernegosiasi dengan para partisipan dalam menuliskan laporan selesai mereka, memakai kecermatan dan kehati-hatian dalam memasuki dan meninggalkan situs, dan secara timbal balik melaksanakan pengecekan terhadap para partisipan.
v   Etnografer kritis harus mempunyai kesadaran diri tentag interpretasinya, mengetahui bahwa interpretasi-interpretasinya itu mengatakan refleksi kesejarahan dan kebudayaan. Interpretasi hanya bisa tentatif dan mempertanyakan dan menjadi bahan  bagaimana para pembaca dan partisipan akan memandanganya.
v  Para peneliti kritis memposisikan diri mereka, di dalam teks, semoga refleksif  dan sadar akan peranan mereka, dan berada di depan dalam menulis laporan penelitian mereka. Ini bermakna mereka harus mengidentifikasi adanya bias dan nilai; mengakui pandangan-pandangan orang lain, dan membedakan antara penyajian tetkstual oleh si peneliti, para partisipan,, dan para pembaca. Seorang etnografer bukan lagi seorang pengamat yang “objektf”, menyerupai pada pendekatan realis.
v  Posisi yang netral ini juga bermakna bahwa si etnografer akan merupakan advokat bagi perubahan guna membantu menstransformasikan masyarakat sehingga orang-orang menjadi merasa kurang tertekan dan termanijalkan.
v  Pada akhirnya, laporan enografi kritis akan menjadi sebuah pendekatan penelitian yang “messy, multimethod(berantakan; multi metoda), penuh dengan kontradiksi, faktor-faktor yang tidak sanggup diperhitungkan, dan penuh ketegangan) (Denzin, 1997).
Penelitian etnografis kritis perihal sebuah sekolah dasar “inklusif”  (Keyes, Haney-Maxwell, & Capper, 1999) mengilustrasikan banyak diantara aspek ini. Tujuannya secara menyeluruh yaitu untuk mendeskripsikan dan mendefenisikan peranan kepemimpinan adminsitratif pada sebuah sekolah inklusif dengan para siswa yang banyak mengalami peristiwa disablity classification (kegagalan mengklasifikasi), menyerupai kognitif, emosional, pembelajaran, berbicara, dana bahasa. Dengan tujuan untuk menghasilkan teori gres yang akan memberdayakan para individu di sekolah, para peneliti memulai dengan sebuah kerangka pemberdayaan kepemimpinan: pemberian dukungan, fasilitasi, dan peluang.
  Didasarkan pada kerja lapangan yang ekstenif yang terdiri dari membuntuti kepala sekolah (Marta), mengobservasi ruang-ruang kelas, melaksanakan wawancara secara individual dan wawancara kelompok terfokus, dan meganalisis pengumuman-pengumuman mingguan, para peneliti mengkompilasi sebuah citra perihal kepemiminan Maria yang meliputi sistem keyakinan sprititual pribadi. Spiritualitas Maria memungkinkannya menilai usaha pribadi, mendukung martabat para individu, memadukan problem eksklusif dan problem profesi, meyakini bahwa bekerja keras, dan memberi pementingan pada pentingnya mendengarkan dan berkhayal. Pada akhirnya, Keyes et al., (1999) mengatakan sebuah “visi keadilan yang ditopang oleh “keyakinan-keyakinan” spirtual (halaman 233) dan kmudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan konklusif ”Reformasi sekolah untuk apa?” dan “Pemberdayaan kepemimpinan untuk siapa” (halaman 234).
Sebagai sebuah kajian etnografis perihal sebuah sekolah yang menerapkan perspektif  kritis, proyek kegiatan ini memfokuskan diri pada gosip pemberdayaan yang dirasakan oleh para siswa dan para guru yang termarjinalkan di sekolah.  Kepala sekolah secara aktif berupaya mencari partisipasi kolaboratif melalui dialog-dialog bersama dengan para guru dan para siswa. Para peneliti mengadvokasi demi wujudnya sebuah prubahan dan menggarisbawahi ketegangan yang memungkinankan terbukanya pertanyaan-pertanyaan gres ketimbang menutup pembicaraan. Walaupun pandangan para peneliti tidak dibentuk secara eksplisit di dalam teks, perhatian dan minat mereka terhadap perubahan dan terhadap visi gres dalam kepemimpian sekolah bagi para individu dengan banyak sekali kegagagalan/ketidakmpuan menyerupai dinyatakan terdahlu terang adanya.

Baca Juga


Sumber http://partunto.blogspot.com/

Related Posts

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Macam Macam Etnografi Dan Pendekatannya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel