-->

iklan banner

Percik Cinta Di Semangkok Garam

Percik Cinta Di Semangkok Garam 
“mah… kok masih garam goreng sih?” Eulis cemberut melihat hidangan di atas meja makan. Nasi dan semangkok garam yang digoreng dengan bawang merah yang diiris-iris, tak ada yang lain. Garam lagi… garam lagi, sudah seminggu kuliner menyerupai itu menghiasi meja makan, betah kali ya? Selera makan Eulis eksklusif hilang begitu melihat sajian makan siangnya kali ini yang tak kunjung berubah. Huh! Mamah niscaya lupa lagi. “mah..!!” teriaknya kesal.


Mamah yang gres selesai shalat dzuhur tergopoh menghampirinya. “aya naon atuh teh?” masuk rumah teh bukannya ngucap salam, malah teriak-teriak, bikin kaget mamah wae. Pulang sakola teh ganti baju, shalat, gres urus-urus makanan. Buang jauh-jauh kebiasaan burukmu itu, teh!” kata mamah sedikit ngomel. Tangannya masih sibuk melipat mukena.


“makanan yang mamah janjiin tadi pagi mana? Kok lauknya masih garam goreng?” rungut Eulis tanpa peduli omelan mamahnya. Sejenak pandangan mamah beralih ke meja makan. Terdengar helaan nafas yang dalam.


“maafin mamah teh, tadi mamah nggak jadi ke pasar. Upah mamah nyuci dan nyetrika di rumah Bu RT tadi pagi belum dibayar, katanya sekalian besok. Tadi Bu RT sibuk bantu Bu Cicih menyiapkan untuk program pengajian di rumahnya nanti malam, mamah juga tadi sempat bantu sebentar sehabis nyetrika. Teteh kan tahu Pak Maman suami Bu Cicih masih di Bandung ngurusin bisnis ikannya”. Mamah berhenti sebentar. Mencari perubahan di wajah Eulis. Tapi puteri semata wayangnya itu masih saja cemberut.


“Mamah nggak lupa kok teh, tapi upah nyuci dan nyetrika mamah hari ini memang belum dibayar. Makan yang ada saja dulu ya! insyaAllah besok mamah masak kuliner kesukaan teteh!” mamah berusaha membesarkan hati Eulis, tapi anak itu tetap saja cemberut. Maafin mamah ya the! Sekarang shalat saja dulu, nanti mamah temani teteh makan. Belum begitu lapar kan?”. Eulis tahu, ada penyesalan dalam kata-kata mamah tadi. Tapi rupanya setan berhasil manas-manasin hatinya. Eulis belum bias terima alasan mamah. Sudah dua kali mamah tidak memenuhi janjinya. Sebelumnya alasan mamah uangnya tidak cukup, hanya cukup untuk membeli satu kilo gram beras dan bawang merah serta satu bungkus kerupuk, urung lagi deh makan sama capcai, kuliner favoritnya. Padahal semenjak di sekolah tadi Eulis sudah membayangkan makan capcai yang enak.


“kalau mamah sudah lapar, sok atuh mamah duluan”, karenanya itu keputusan Eulis, ia beranjak meninggalkan meja makan. “lho? Kita makan sama-sama saja teh”, mamah tampak terkejut melihat reaksi Eulis.


“Teteh mau beli bubur aja,mah. Ada tabungan dua ribu, sebentar lagi mang Gugun juga lewat”. Eulis masuk ke kamarnya, meninggalkan mamah yang terpekur, menatap hidangan di meja makan. Beberapa menit kemudian hidangan itu disiapkannya dengan terburu-buru. Wanita paruh baya itu kemudian mendekap mukena ke dadanya. Eulis..Eulis, kapan kau mau berubah? 


Penampilanmu yang anggun dengan busana muslimah itu ternyata belum bisa mempermanis akhlaqmu. Ya Allah ampuni anakku, bimbinglah dia untuk menggapai ridha-Mu selalu. Pelan doa itu mengalir dari bibir mamah penuh keikhlasan dan harapan.


Sementara di kamarnya, Eulis masih memendam kekesalan. Ia melepas jilbabnya dan beranjak malas ke daerah tidur. Sejenak dilihatnya ke luar jendela yang tak berkaca, kalau-kalau mang Gugun sudah mangkal di pertigaan jalan depan rumahnya. Masih sepi. Gadis itu kemudian berbaring dan menatap genteng renta yang melindungi rumahnya dari sinar matahari. Menerawang. Kalau saja mamah bikin capcai, nggak akan begini kejadiannya. Aku bosan makan dengan lauk garam goring terus, keluh Eulis dalam hatinya.


Tapi mestinya teteh nggak ngambek gitu, kasiham mamah, capek-capek masak, eeh… teteh nggak mau makan, dosa tahu, menyakiti hati orang tua. Protes bunyi hatinya yang lain.


Aaah!mamah kan sudah komitmen mau bikinin capcai, masuk akal dong bila teteh nagih janjinya. Ia, tapi hargai dong mamah, makan apa adanya dulu kek! Huh! Sok nasehatin. Sudah! sudah! Pokoknya teteh nggak mau makan dengan garam goring, teth mau makan capcai, titik. Bersamaan dengan itu terdengar ketukan yang cukup keras di pintu kamar. Eulis tersentak kaget. Lamunannya pudar seketika. 


“Teh, shalat dulu!” tegas bunyi mamah. Mamah lagi, nggak disuruh juga teteh mau shalat kok, gerutu Eulis kesal. Wajah gadis itu masih merengut dikala keluar dari kamar untuk berwudlu’. Mamah hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya ini.


J # # # J


“Teteh pergi dulu mah, assalaamu’alaikuum!” pamit Eulis yang tampak sudah rapih dengan pakaiannya. Putih abu-abu yang warnanya sudah mulai pudar. Padahal hari masi sangat pagi., gres jam enam. Tentu saja hal ini menciptakan mamah heran. “lho? Teh, nggak sarapan dulu?” Tanya dia sambil menyenderkan sapu lidi di samping pintu rumahnya. Acara menyapu halaman pun terhenti sejenak. “nggak mah, teteh mau shaum insyaAllah”, air muka mamah semakin menampakkan keheranan yang sangat, dikala mendengar balasan Eulis. 


“shaum? Shaum apa? Sekarang kan hari rabu”. Lanjut mamah, masih heran. “ya shaumnya Nabi Daud dong, senin kemarin teteh sudah shaum, mah”. Eulis menghentikan langkahnya, ia menoleh sebentar. Ingin tahu reaksi mamah. Wanita separuh baya itu sedang memandangnya penuh Tanya. “mamah sudah menyiapkan sarapan di dalam. Teteh benar-benar mau shaum?” Tanya mamah lembut. Eulis tidak menjawab. Mamah masih memandangnya, ada kekhawatiran dalam bola matanya.


“insyaAllah teteh kuat, pergi dulu ya mah”. Eulis kembali melangkah. “teh!” panggil mamah cepat. Duh mamah, jangan bikin Eulis kesal lagi dong, dengan setengah merengut, Eulis menoleh. “teteh nggak pergi terlalu pagi?” Tanya mamah menciptakan Eulis berpikir sejenak, ia melirik jam tangannya. Sesaat kemudian … “pagi ini giliran teteh piket, mah”. Sudah ya, teteh pergi dulu”.


“Assalaamu’alaikuum!” pamit Eulis seraya bergegas menuju pintu pagar rumahnya yang terbuat dari bambu. Tampaknya ia tidak mau memperpanjang percakapan. Mamah hanya bisa terpana. “wa’alaikum salaam wa rahmatullaah” jawabnya kemudian. Lirih. Piket? Tanyanya dalam hati. Lalu kemarin? Ya Allah, semoga Engkau mendapatkan shaum anakku, do’a mamah sungguh-sungguh.


J # # # J

Eulis sedang sibuk membereskan buku pelajarannya ketika Fitri dating menghampirinya. “jadi survey daerah baksos? Tanya Fitri. “jadi dong, kita kan sudah janjian” jawab Eulis cepat. Hari ini mereka janjian survei untuk daerah baksos yang akan diadakan oleh OSIS. Teman-teman mereka sudah berhamburan meninggalkan kelas semenjak waktu pulang tadi. Sekolah pun sepi. “nggak apa-apa kan jalan kaki” Fitri tampak khawatir. Ia tahu Eulis masih setia dengan shaum Daud-nya. Padahal pagi tadi Eulis sempat termakan melihat bubur ayam yang disantap Fitri di warung depan sekolah. 


Sebenarnya Fitri heran, kok tumben-tumbennya Eulis shaum Daud. Biasanya kan cuma senin-kamis. Ah, banyak cara untuk mendekatkan diri pada Allah, bukankah Rasulullah pernah mencontohkan hal itu, pikir Fitri, husnudzan.


“insyaAllah Eulis masih kuat, Fit” kata Eulis meyakinkan sahabatnya. Fitri tersenyum lega. “baiklah, kita berangkat sekarang” ajaknya riang. Kedua gadis berjilbab itu kemudian meninggalkan sekolah yang sudah lengang. Tempat baksos yang dituju memang tidak terlalu jauh dari sekolah, sekitar satu kilo meter. Mereka berdua memang kebagian untuk memastikan daerah untuk Bakti Sosial dalam kepanitiaan OSIS kemarin. 


J # # # J

“wah, perkampungan ini jauh lebih memprihatinkan daripada tempatku” komentar Eulis dikala memasuki kampung Babakan. “ya, tampaknya kita tidak salah daerah untuk menyalurkan bakti sosial kita, Lis” lanjut Fitri menimpali. Kedua sahabat ini kemudian mengayunkan langkahnya menuju sebuah rumah kayu bertembok gedeg. Tampak seorang gadis seusia mereka dengan dua anak kecil disampingnya. Adiknya. 


“Assalaamu’alaikum” Eulis dan Fitri serentak memberi salam. “Wa’alaikum salaam, eh ada tamu, mangga calik teh (silahkan duduk)” jawab gadis pemilik rumah dengan ramah. Ternyata Imas, nama gadis itu sedang mengasuh dua adiknya. Ibunya sedang melaksanakan acara rutinnya, menjadi pemulung. Ayahnya sudah wafat. 


“Punten teh, Imas mau masak dulu untuk makan siang adik. Kalau tidak keberatan boleh ditunggu. Atau bila mau ikut ke dapur juga tidak apa-apa teh” pamit Imas dengan senyum manisnya. “wah, dengan senang hati tuh bila boleh menemani Imas masak” sahut Fitri, balas tersenyum. “Imas, kau bias masak?” Tanya Eulis nggak percaya. “Harus! Kita kan calon ibu” sahut Imas bersemangat. Ia bergegas ke dapur rumahnya yang hanya disekat dinding dari gedeg. 


Eulis benar-benar takjub melihat Imas yang begitu terampil menyiapkan makan siang untuk adiknya. Tampaknya Imas sudah terbiasa dengan pekerjaan tersebut. Begitu kiprah masak beres, Imas memanggil dua adiknya yang sedang ditemani Fitri bermain congklak. Dengan terampil pula Imas menyuapi mereka sambil sesekali menjelaskan wacana asal-usul kuliner yang mereka santap.


Hasan dan Husein, menyerupai nama cucu Nabi, adik kembar Imas tampak senang sekali mendengar dongeng kakaknya. Sebentar-sebentar mereka bertanya, kemudian dengan lahapnya memakan suapan nasi yang disodorkan Imas. Padahal mereka Cuma makan dengan lauk-pauk ala kadarnya. Kerupuk, dan…garam goreng! ya, garam goreng, kuliner yang bikin Eulis kesal sama mamahnya. 


Bela-belain shaum Daud alasannya yakni takut hari ini sajian kuliner mamah garam goreng lagi, menyerupai kemarin-kemarin. Ah garam goreng…, ternyata kita bertemu di sini.


Tak sadar Eulis meremas jilbabnya. Ia ingat bencana kemarin dan tadi pagi. Entah kenapa, tiba-tiba ada rasa sesal yang membuatnya ingin menangis. Menyesal akan sikapnya selama ini yang selalu menciptakan susah mamah. Eulis jadi aib sendiri. Ia seusia Imas, tapi perilakuknya tidak semanis Imas, tidak sesantun Imas. Imas anak yang patuh, sedangkan ia? Imas suka membantu ibunya, sebaliknya ia malah sering merepotkan mamah, sering melukai perasaan mamah. Aku…,aku…, ya Allah, tidak sepantasnya saya berbuat menyerupai itu. Maafin Eulis , mah. Ampuni dosa-dosa Eulis ya Allah. Eulis komitmen mau membantu mamah, mau mencar ilmu masak, mencar ilmu menjadi anak yang berbakti, anak yang manis. insyaAllah. Bergetar hati Eulis dikala tekad itu terbersit di hatinya. 


Perlahan Eulis mendekati Imas. “maaf, teh Eulis, kami tak bermaksud mengganggu shaummu” kata Imas begitu tahu Eulis menghampirinya. “nggak apa-apa, Imas” sahut Eulis pelan. Sebenarnya ia masih kikuk sehabis menyadari kekhilafannya selama ini, meski Imas tak tahu itu. “Imas..!” panggil Eulis kemudian. Imas yang sedang menutupi kuliner dengan tudung saji, menoleh. “ada apa teh?” tanyanya. “kalian makan nikmat sekali, padahal…padahal…” Eulis ragu meneruskan kata-katanya. “padahal cuma dengan garam goreng dan kerupuk, begitu kan maksud teteh?” potong Imas tersenyum. Sama sekali ia tidak tersinggung dengan perkataan Eulis. Mau tidak mau, Eulis mengangguk, alasannya yakni memang itu arah pembicaraannya.


“Teteh pernah mendengar salah satu ceramah KH.Zainuddin MZ?” Imas balik bertanya. “apa?” Eulis memandangnya tak mengerti. “semua akan terasa nikmat bila kita mendapatkan apa yang telah Allah berikan kepada kita dengan penuh rasa syukur, dengan ikhlas, dengan cinta” jawab Imas sambil berlalu ke dapur dengan beberapa piring kotor di tangannya. Tinggallah Eulis yang tampak terdiam mendengar balasan Imas. Syukur dan ikhlas? Itu sih ia paham, tapi cinta? Apa hubungannya cinta dengan garam goreng?


J # # # J


“wah, lezat ya, kuliner mamah” puji Eulis. Tangannya kembali menyendok capcai dalam piring yang disodorkan mamah, kemudian beralih mencomot garam goring di mangkok dan dioleskan ke nasi yang sebentar lagi akan melewati lidahnya. Mamah hanya tersenyum. Baru kali ini dia merasa senang mendengar kebanggaan yang dilontarkan putrinya. Sebenarnya bukan hanya alasannya yakni kebanggaan itu mamah bahagia, tapi alasannya yakni sudah tiga hari ini mamah punya sobat masak gres di dapur mungilnya. Biasanya mamah hanya ditemani si Putih, kucing piaraan mereka. 


“Alhamdulillah, terima kasih teh. Tapi kebanggaan itu bukan hak mamah sepenuhnya lho, capcai ini kan bikinan kau juga”. “ah mamah, teteh kan Cuma ikut motong sayuran sama ngulek bumbu, selebihnya mamah yang banyak berperan, lagian dari dulu kuliner mamah memang sudah oke sih” puji Eulis lagi sambil menyuapkan potongan bunga kol ke mulutnya. “apa sih rahasianya, mah?” kali ini mamah tertawa kecil. “pertanyaan teteh kok kayak iklan di TV?”. “Teteh serius, mah. Bahkan teteh curiga bila mamah punya resep khusus selain yang teth racik tadi, iya kan mah?” Tanya Eulis menciptakan mamah semakin geli.


“teteh ini ada-ada saja, resep khusus apa? Dari dulu, bumbu capcai yang mamah bikin ya menyerupai ini” kata mamah sambil menuangkan capcai ke dalam mangkuk. “tapi mungkin alasannya yakni ada perasaan istimewa yang selalu hadir di dikala mamah menunaikan semua kewajiban rumanh tangga” mamah menyerupai sedang berkata pada dirinya sendiri. “perasaan apa sih mah?” Tanya Eulis ingin tahu. Mamah menoleh, kemudian menatap wajah Eulis dalam. “perasaan tulus dan cinta” jawab mamah pelan, namun terasa ada kesan yang mendalam. Kok menyerupai balasan Imas tempo hari, piker Eulis. Apa sih kekerabatan capcai dengan cinta? Mamah bikin ingin tau aja.


“Keikhlasan yakni modal dasar yang akan menciptakan seluruh acara kita mempunyai nilai lebih dalam pandangan Allah. Tentu saja acara baik yang bernilai ibadah”. Jelas mamah tanpa diminta. Eulis menyimaknya dengan penuh perhatian. “suatu perbuatan yang didasari tulus dan cinta akan terasa nikmat dan memuaskan batin kita. Contohnya, menciptakan capcai yakni salah satu wujud bakti mamah sebagai ibu rumah tangga. Mamah melaksanakan dengan penuh keikhlasan, alasannya yakni pada hakikatnya mamah sedang berbakti kepada Sang Pencipta. Semua acara rumah insyaAllah mamah lakukan dengan penuh keikhlasan, dengan penuh kecintaan. Pendek kata, capcai ini yakni wujud cinta mamah pada Allah, pada keluarga, belum dewasa mamah, daan…pada kekasih mamah alias bapakmu” kata mamah sambil tersenyum. “yee..! mamah romantis juga ya?!” Eulis terkekeh geli. Jawaban mamah yang panjang kali lebar sama dengan luas ini membuatnya tersenyum penuh arti. Imas, kini Eulis tahu apa jawabannya. Ternyata ada banyak cinta dan kasih sayang dalam sepiring capcai, ada banyak percikan cinta dalam semangkok garam goreng. Terima kasih ya Allah, telah Engkau kirim Imas sebagai perumpamaan untuk menyadarkanku. Terima kasih ya Allah, telah Engkau karunia hamba keluarga yang penuh cinta.

Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Percik Cinta Di Semangkok Garam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel