Sejarah Filsafat Aturan Pada Zaman Yunani (Kuno)
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno) : Berbicara sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, alasannya ialah waktu yang sangat memilih terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang terdiri waktu pada masa lampau, sekarang, dan masa depan. Hal ini berlaku juga pada ketika membicarakan sejarah perkembangan filsafat aturan yang diawali dengan zaman Yunani (Kuno).
Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan sejarah filsaft aturan pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Para filsuf alam yang berjulukan Anaximander (610-547 SM), Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya keharusan alam ini. Untuk itu diharapkan keteraturan dan keadilan yang hanya sanggup diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada yang kuasa tetapi logos (rasio). Anaximander beropini bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia. Tetapi terang baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus diubahsuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah keadilan (dike).
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup insan harus sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup insan telah digabungkan dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.
Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia beropini bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup menerima suatu keteraturan yang terang dan tetap.
Kondisi masyarakat pada ketika kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak memilih isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, alasannya ialah dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut beropini bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif, alasannya ialah manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak oke dengan pendapat yang demikian ini. Socrates beropini bahwa aturan dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas dari aturan itu mempunyai kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari kesediaannya untuk dieksekusi mati, sekalipun ia meyakini bahwa aturan negara itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa untuk sanggup memahami kebenaran objektif orang harus mempunyai pengetahuan (theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato beropini bahwa penguasa tidak mempunyai theoria sehingga tidak sanggup memahami aturan yang ideal bagi rakyatnya, sehingga aturan ditafsirkan berdasarkan selera dan kepentingan penguasa. Oleh alasannya ialah itu, Plato menyarankan biar dalam setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya. Tujuannya tidak lain biar penguasa tidak menafsirkan aturan sesuai kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan dari aturan dan negara yang ideal.
Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles beropini bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran Aristoteles sudah membawa kepada aturan yang realistis. Menurut Aristoteles, insan tidak sanggup hidup sendiri alasannya ialah insan ialah mahkluk yang bermasyarakat (zoon politikon). Oleh alasannya ialah itu, perlu ketaatan terhadap aturan yang dibentuk penguasa polis.
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni aturan alam dan aturan positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian aturan alam dan aturan positif muncul, kedua aturan tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Menurut Aristoteles, aturan alam ditanggapi sebagai suatu aturan yang selalu berlaku dan di mana-mana, alasannya ialah hubungannya dengan aturan alam, sehingga aturan tidak pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya.
Hukum alam berbeda dengan aturan positif yang seluruhnya tergantung pada ketentuan manusia. Misalnya, aturan alam menuntut pemberian warga negara bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya pemberian ditentukan oleh aturan positif, yakni undang-undang negara, yang gres berlaku sesudah ditetapkan dan diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa.
Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh anutan Epikurisme (berasal dari nama filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno). Kedua anutan ini menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian, dari Epikurisme muncul konsep penting perihal undang-undang (hukum posistif) yang mengakomodasi kepentingan individu sebagai perjanjian antar individu, sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio dari teori perjanjian masyarakat.
Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan insan dalam hukum. Ide dasar anutan ini terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang bersumber dari jiwa dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya. Dengan kata lain, telah timbul keterikatan antara insan dengan logos, yang selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh alasannya ialah itu, berdasarkan Stoisisme, tujuan aturan ialah keadilan berdasarkan logos, bukan berdasarkan aturan positif. Sehingga ketaatan berdasarkan aturan positif gres sanggup dilakukan sepanjang aturan positif sesuai dengan aturan alam.
1. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan
Perkembangan sejarah filsafat aturan pada zaman pertengahan dimulai semenjak runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada era ke-5 SM (masa gelap/the dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa scholastic), dan mulai berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman pertengahan terdapat suatu fase yang disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada ketika Kekaisaran Romawi runtuh dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga tidak ada satupun peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga masa ini dikenal sebagai masa gelap.
Tokoh-tokoh filsafat aturan yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus (354-430) dan Thomas Aquino/Thomas Aquinas (1225-1275). Dalam perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan tidak terlepas dari imbas filsuf pada zaman Yunani, contohnya saja Augustinus menerima imbas dari Plato perihal kekerabatan antara ide-ide infinit dengan benda-benda duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang diketemukan dalam jiwa manusia.
Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Kristen telah meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu Tuhan (Lex Aeterna), aturan yang dijangkau nalar kecerdikan insan (Lex Divina), aturan yang berdasarkan nalar kecerdikan insan (Lex Naturalis), dan aturan positif (Lex Positivis). Pembagian aturan atas keempat jenis aturan yang dilakukan oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas dalam pelbagai anutan filsafat aturan pada bab lain dari goresan pena ini.
2. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern
Pada zaman ini para filsuf telah meletakkan dasar bagi aturan yang mandiri, yang terlepas sama sekali dari aturan infinit yang berasal dari Tuhan. Tokoh-tokoh yang berperan sangat penting pada era pertengahan ini, antara lain: William Occam (1290-1350), Rene Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), Francis Bacon (1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius (1655-1728), Wolf (1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau (1712-1778), dan Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga disebut Renaissance. Terlepasnya alam pikiran insan dari ikatan-ikatan keagamaan menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya.
Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio insan tidak lagi sanggup dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio insan sama sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio insan ini dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini terang dikumandangkan oleh para penganut aturan alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme hukum.
3. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Sekarang
Yang dimaksud dengan zaman kini dimulai pada era ke-19. Filsafat aturan yang berkembang di zaman modern berbeda dengan filsafat aturan yang berkembang pada zaman modern. Jika pada zaman modern berkembang rsionalisme, maka pada zaman kini rasionalisme yang berkembang dilengkapi dengan empirisme, menyerupai Hobbes. Namun, anutan ini berkembang pesat pada era ke-19, sehingga faktor sejarah juga menerima perhatian dari para pemikir aturan pada waktu itu, menyerupai Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883), juga von Savigny sebagai penggagas mazhab sejarah.
Hegel merupakan tokoh utama dalam idealisme Jerman, ia merupakan penerus rasionalisme yang dikembangkan oleh Immanuel Kant. Menurut Hegel, rasio tidak hanya rasio individual melainkan juga rasio Keilahian. Teorinya disebut Dialektika, yang popularitasnya mengalahkah mahir pikir di zamannya, menyerupai J.F. Fichte (1762-1814) dan F.W.J. Schelling (1775-1854).
Menurut teori dialektika Hagel, setiap fase dalam perkembangan dunia merupakan rentetan dari fase berikutnya, artinya setiap pengertian mengandung lawan dari pengertian itu sendiri. Perkembangan dari yang ada kepada yang tidak ada atau sebaliknya mengandung katagori yang ketiga, yaitu akan menjadi. Tritunggal tersebut terdiri dari these-antithese-synthese, yang pada alhasil dari setiap synthese merupakan titik tolak dari tritunggal yang baru.
Selain Hegel, masih ada beberapa mahir pikir lain, menyerupai Karl Marx dan Engels yang menyatakan bahwa aturan dipandang sebagai pernyataan hidup dalam masyarakat. Di samping Marx dan Engels, juga von Savigny yang menyatakan bahwa aturan tidak dibentuk tetapi tumbuh gotong royong dengan perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny ini telah memasukkan faktor sejarah ke dalam pemikiran aturan yang selanjutnya melahirkan pandangan relatif terhadap hukum. Sehingga pandangan dari Savigny melahirkan Mazhab Sejarah
Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com
0 Response to "Sejarah Filsafat Aturan Pada Zaman Yunani (Kuno)"
Posting Komentar