-->

iklan banner

Gerakan 30 September (G-30-S)/Pki


Dalam doktrin komunis telah dinyatakan dengan terang bahwa setiap partai komunis di mana pu Gerakan 30 September (G-30-S)/PKI
Dalam doktrin komunis telah dinyatakan dengan terang bahwa setiap partai komunis di mana pun ia berada selalu bertujuan untuk merebut kekuasaan negara dengan menyingkirkan kekuatan politik lainnya. Hal ini ditempuh dalam rangka menegakkan “diktator proletariat” atau “diktator kaum buruh”. 

Usaha yang ditempuh dalam merebut kekuasaan selalu dilakukan dengan cara kekerasan menyerupai yang berlangsung di aneka macam negara lain, tidak terkecuali di Indonesia.

Pada dikala usia Republik Indonesia masih muda, tepatnya tahun 1948, PKI (Partai Komunis Indonesia) pernah mencoba untuk merebut kekuasaan dari pemerintah Republik Indonesia yang sah. Gerakan PKI itu dikenal dengan nama Pemberontakan PKI Madiun.

Pemberontakan PKI Madiun berhasil ditumpas berkat kolaborasi ABRI dan rakyat yang setia pada Pancasila dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Setelah itu, PKI bergerak di bawah tanah. Kemudian PKI muncul kembali pada tahun 1950 dalam kehidupan politik Indonesia dan ikut serta dalam Pemilihan Umum I tahun 1955.

Sejak D.N. Aidit terpilih menjadi Ketua PKI tahun 1951, ia dengan cepat membangun kembali PKI yang porak poranda akhir kegagalan pemberontakan tahun 1948. 

Usaha yang dilakukan oleh D.N Aidit berhasil dengan baik, sehingga dalam Pemilihan Umum 1955 PKI berhasil meraih pemberian rakyat dan menjadi salah satu dari empat partai besar Indonesia bersama dengan partai PNI (Partai Nasional Indonesia), Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan NU (Nahdlatul Ulama).

Berikut Sekilas Tentang Ketiga Partai Besar Tersebut

Partai Nasional Indonesia (PNI)

Pada tanggal 4 Juli 1927 berdiri Perserikatan Nasional Indonesia. Pada tahun 1928, partai ini berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada tanggal 24 Desember 1929, Belanda memerintahkan untuk melaksanakan penangkapan terhadap tokoh-tokoh PNI lantaran partai tersebut dianggap membahayakan kedudukan Belanda lantaran partai tersebut telah membuatkan ajaran-ajaran pergerakan kemerdekaan.

Pada tanggal 29 Desember 1929, tokoh-tokoh PNI, menyerupai Ir. Sokarno, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata dan Maskun Sumadiredja berhasil ditangkap ketika berada di Yogyakarta. 

Sidang pengadilan Belanda terhadap keempat tokoh PNI ini dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1930. Keempat tokoh PNI ini dimasukkan ke dalam penjara Sukamiskin di Bandung menurut hasil pengadilan Belanda tersebut.

Mr. Sartono menggantikan kedudukan Ir. Soekarno sebagai pemimpin PNI. Mr. Sartono kemudian membubarkan PNI dan membentuk Partindo pada tanggal 25 April 1931. Setelah dibebaskan, Ir. Soekarno bergabung dengan Partindo.

Masyumi

Pada tanggal 24 Oktober 1943, Jepang mendirikan Masyumi untuk menggantikan MIAI (Madjlisul Islamil A’laa Indonesia). Tujuan mendirikan Masyumi ialah untuk membantu Jepang menggalang pemberian masyarakat Indonesia melalui forum agama Islam.

Pada tahun 1958, beberapa anggota Masyumi bergabung dengan pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) terhadap Ir. Soekarno. Akibatnya, pada tahun 1960, Masyumi dihentikan berdiri. Para anggota dan pengikut Masyumi kemudian mendirikan Keluarga Bulan Bintang.


Nahdlatul Ulama (NU)

Partai NU disebut juga Partai Kebangkitan Ulama atau Partai Kebangkitan Cendekiawan Islam. Partai ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926.

Faktor yang melatarbelakangi berdirinya partai NU, yaitu pemikiran semoga umat Islam kembali pada aliran Islam yang murni, yaitu dengan cara melepaskan diri dari sistem bermadzhab (suatu jalan tujuan yang dilalui).

PKI tampak hendak berkuasa melalui dewan legislatif pada zaman Demokrasi Terpimpin. Selain itu, PKI juga mempersiapkan diri untuk melaksanakan tindakan dengan jalan kekerasan dalam upaya mencapai tujuan, yaitu berkuasa atas wilayah Republik Indonesia.

Untuk itu dibuat biro khusus yang secara belakang layar bertugas mempersiapkan kader-kader (kelompok kepengurusan sebuah organisasi) di aneka macam organisasi politik, termasuk dalam tubuh ABRI. PKI juga berusaha untuk memengaruhi presiden Soekarno untuk menyingkirkan dan melenyapkan lawan-lawan politiknya.

Hal ini terlihat dengan dibubarkannya partai Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) oleh presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960. Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) juga dibubarkan pada September 1965 atas tuduhan mendapatkan uang US$ 100 juta dari CIA (Central Intelligence Agency) untuk menggulingkan presiden.

CIA merupakan organisasi yang bertugas mengumpulkan informasi mengenai pemerintah, perusahaan dan individu asing, kemudian menganalisis informasi tersebut beserta hasil intelijen dari tubuh intelijen Amerika Serikat.

Di samping itu, PKI juga berhasil memecah PNI menjadi dua kelompok. Upaya itu ditempuh oleh PKI dengan menyusupkan Ir. Surachman, seorang tokoh PKI ke dalam PNI.

Setelah merasa cukup kuat, PKI membuatkan fitnah bahwa pimpinan Angkatan Darat (AD) membentuk Dewan Jenderal yang akan melaksanakan perebutan kekuasaan (perebutan kekuasaan secara paksa) terhadap presiden Soekarno pada dikala memperingati Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. PKI juga menyebutkan bahwa anggota Dewan Jenderal itu ialah biro Nekolim (Neokolonialisme-Kolonialisme-Imperialisme) dari Amerika Serikat/Inggris.

Tuduhan itu ditolak oleh Angkatan Darat. Angkatan Darat sebaliknya menuduh PKI akan melaksanakan perebutan kekuasaan. Dalam rangka mempersiapkan peringatan Hari Angkatan Bersenjata pada tanggal 5 Oktober, semenjak final bulan September puluhan ribu tentara berkumpul di Jakarta. Dengan ini, dugaan-dugaan ihwal akan terjadinya perebutan kekuasaan semakin santer.

Gerakan 30 September

Di tengah-tengah kecurigaan dan persaingan politik yang semakin tinggi, sekelompok pasukan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung melaksanakan agresi bersenjata di Jakarta.

Sebagai pimpinan atas gerakan itu, Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) itu mengambil suatu keputusan dan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk siap dan mulai bergerak untuk mengadakan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat.

Mereka dibawa ke Lubang Buaya, yaitu sebuah tempat yang terletak di sebelah selatan pangkalan udara utama Halim Perdana Kusuma dan dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua, kemudian ditimbun dengan sampah dan tanah.

Ketujuh korban dari Angkatan Darat ialah sebagai berikut :

1. Letnan Jenderal Achmad Yani (Menteri/Panglime Angkatan Darat atau Men/Pangad).
2. Mayor Jenderal R. Soeprapto (Deputy II Pangad).
3. Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputy III Pangad).
4. Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisten I Pangad).
5. Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan (Asisten IV Pangad).
6. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo (Inspektur Kehakiman/Oditur).
7. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H. Nasution).

Dalam gerakan penculikan itu, Jenderal A.H. Nasution yang gotong royong juga menjadi sasaran, berhasil menyelamatkan diri, tetapi putrinya yang berjulukan Ade Irma Suryani menjadi korban kaum pemberontak. Ia gugur lantaran tertembak peluru. Ajudan beliau, Letnan Satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban.

Korban lainnya ialah Pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubun. Ia gugur dikala melaksanakan perlawanan terhadap gerombolan yang berusaha menculik Jenderal Nasution.

Pada waktu meletusnya Gerakan 30 September, di antara daerah-daerah di seluruh Indonesia yang paling gawat keadaannya ialah Jakarta dan Jawa Tengah. Berdirinya Dewan Revolusi di Yogyakarta yang dipimpin oleh Mayor Mulyono diumumkan melalui RRI (Radio Republik Indonesia) pada tanggal 1 Oktober 1965. Mereka telah menculik Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono. Kemudian, dibunuh di Desa Kentungan yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta.

Radio Republik Indonesia berdiri tanggal 11 September 1945 dan mempunyai slogan “Sekali di udara, tetap di udara”.

Berdasarkan aneka macam bukti yang berhasil dikumpulkan, masyarakat dan Angkatan Darat segera menghubungkan perjuangan perebutan kekuasaan yang dilakukan Gerakan 30 September dengan PKI. Selama masa Orde Baru, tragedi ini dikenal sebagai G-30-S/PKI atau Gestapu (Gerakan Semptember Tiga Puluh).

Penumpasan Gerakan 30 September

Berita ihwal Gerakan 30 September segera menyebar pada tanggal 1 Oktober 1965. Berita itu menjadikan kebingungan dalam masyarakat. Sementara itu, nasib Kepala Staf Angkatan Bersenjata dan Menteri/Panglima Angkatan Darat belum diketahui.

Pimpinan Angkatan Darat kemudian diambil alih oleh Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad), Mayor Jenderal Soeharto. Soeharto kemudian mulai memimpin penumpasan terhadap agresi Gerakan 30 September.

Aksi kelompok Gerakan G-30-S ternyata tidak menerima pemberian baik dari anggota ABRI lainnya maupun dari masyarakat. Pada tanggal 2 Oktober 1965, pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang dipimpin oleh Sarwo Edhie Wibowo berhasil menguasai pemberontakan di Jakarta. Keberhasilan ini kemudian disusul di daerah-daerah, menyerupai Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Sumber http://ratukemalalaura.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Gerakan 30 September (G-30-S)/Pki"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel