Masalah Negara Kamboja
Invasi (serbuan) Vietnam ke Kamboja pada tahun 1978 segera menarik perhatian dunia. Negara-negara Barat yang dipelopori oleh Amerika Serikat mengutuk invasi Vietnam tersebut, sedangkan negara-negara Blok Timur yang dipelopori oleh Uni Soviet mendukung perilaku Vietnam itu.
Sikap Vietnam juga dikecam keras oleh negara-negara ASEAN. Para menteri luar negeri ASEAN mengeluarkan suatu komunike (pemberitahuan resmi dari pemerintah) bersama tanggal 7 Januari 1979 di Jakarta. Dalam komunike itu dinyatakan bahwa ASEAN mengutuk invasi bersenjata Vietnam ke Kamboja, serta menegaskan hak-hak rakyat Kamboja untuk menentukan masa depannya yang terbebas dari campur tangan pihak luar dan menyerukan penarikan pasukan absurd dari Kamboja.
Pernyataan ASEAN itu ditolak oleh Vietnam. Penolakan itu menjadikan munculnya perilaku pro dan kontra yang diikuti oleh pernyataan-pernyataan perang yang muncul hampir di seluruh wilayah Kamboja.
Konflik Kamboja itu dengan terang mengganggu stabilitas Asia Tenggara. Oleh alasannya itu, ASEAN sebagai suatu organisasi di tempat Asia Tenggara merasa cemas dan khawatir terhadap ekspansi efek Vietnam yang berpaham komunis tersebut. Kecemasan itu mulai tampak semenjak masuknya pengungsi Kamboja ke Thailand (wilayah negara anggota ASEAN).
Menteri Luar Negeri Thailand, Marsekal Sidhi Savetsila, mengemukakan bahwa situasi Kamboja sanggup mengakibatkan bahaya yang serius bagi stabilitas Thailand dan juga Asia Tenggara.
Di pihak lain, Pangeran Norodom Sihanouk, mantan perdana menteri Son San (pemimpin Front Pembebasan Nasional Rakyat Kamboja) dan Khiu Samphan (presiden Republik Demokrasi Kamboja) menandatangani suatu komunike bersama dengan proteksi Pejabat Pemerintahan Singapura untuk membentuk sebuah Pemerintahan Koalisi Demokrasi Kamboja.
Koalisi (persekutuan) ini bertujuan untuk melanjutkan usaha dalam segala bentuk, sehingga Kamboja bebas dari segala bentuk aksi Vietnam. Dalam komunike tersebut juga dikemukakan bahwa semua kelompok anti Vietnam harus menghindarkan diri dari pertikaian dan pertentangan.
Suara ASEAN yang diwakili oleh perdana menteri Singapura Siunathamby Rajaratnam menyatakan bahwa ASEAN mendukung ketiga kekuatan di Kamboja yang terdiri dari semua unsur di atas pimpinan Son San. Rajaratnam juga menyatakan bahwa ASEAN sebagai organisasi regional yang anti terhadap komunis, tetapi bukan bertujuan menghancurkan Vietnam.
ASEAN hanya menginginkan semoga Vietnam menarik pasukannya dari Kamboja, tanpa syarat apa pun. Selanjutnya, ASEAN bersedia mendapatkan segala keputusan rakyat Kamboja, apakah mereka menentukan Heng Samrin yang berkuasa atas dukungan Vietnam atau menentukan Pol Pot, seorang revolusioner Kamboja yang memimpin rezim Khmer Merah dari tahun 1963-1997. Pol Pot mempunyai nama lahir, yaitu Saloth Sar. Khmer Merah merupakan partai komunis Kamboja yang beraliran Maoisme.
Maoisme ialah paham yang dikembangkan oleh Mao Zedong, pemimpin anutan komunis di Tiongkok. Paham ini memusatkan perhatian pada kaum buruh-tani sebagai kekuatan revolusioner.
Masalah Kamboja lalu menjadi kompleks akhir campur tangan pihak-pihak tertentu, menyerupai Republik Rakyat Cina dan Amerika Serikat. Campur tangan tersebut menjadikan duduk kasus Kamboja bukan hanya menjadi duduk kasus nasional rakyat Kamboja atau duduk kasus regional Asia Tenggara, melainkan menjadi duduk kasus internasional. Oleh alasannya itu, untuk mengatasinya ialah dengan mengadakan konferensi internasional yang melibatkan semua pihak yang terlibat.
Untuk memecahkan duduk kasus Kamboja, dunia internasional melaksanakan banyak sekali upaya. Pada bulan Juli 1988 di Istana Bogor, Indonesia berkumpul banyak sekali pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam penyelesaian duduk kasus Kamboja. Acara itu dikenal dengan Jakarta Informal Meeting (JIM).
Pada bulan Februari 1989, pertemuan itu dilanjutkan dengan mengadakan JIM II yang mengundang cita-cita untuk sanggup mencapai kesepakatan di antara semua pihak. Walaupun bersifat informal (tidak resmi), tetapi pertemuan itu berhasil menemukan dua duduk kasus yang dianggap penting dalam penyelesaian duduk kasus Kamboja.
Kedua duduk kasus tersebut ialah sebagai berikut :
a. Penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja akan dilaksanakan dalam kaitannya dengan penyelesaian politik menyeluruh. Vietnam mulai memperlihatkan komitmen dan bersedia menarik pasukannya dari Kamboja.
b. Munculnya upaya untuk mencegah kembalinya rezim Pol Pot yang semasa berkuasa di Kamboja telah melaksanakan pembantaian keji terhadap sekitar sejuta rakyat.
Upaya menuntaskan konflik Kamboja mulai memasuki tingkat internasional, yaitu dengan mengambil tempat di Paris. Dalam konferensi ini hadir wakil dari 20 negara, termasuk ASEAN dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Konferensi ini disebut dengan ICK (International Conference on Kampuchea atau Konferensi Internasional mengenai Kamboja). Konferensi ini berlangsung dari tanggal 30-31 Juli1989.
ICK dibutuhkan bisa membentuk suatu tubuh untuk mengawasi penarikan mundur pasukan Vietnam dari Kamboja dan melaksanakan perjanjian perdamaian. Namun, para pengamat percaya bahwa keberhasilan ICK bergantung pada hasil pertemuan sebelumnya pada tanggal 24 – 25 Juli 1989.
Perjalanan panjang upaya penyelesaian duduk kasus Kamboja akibatnya menemui titik cita-cita perdamaian. Pada tahun 1991, pasukan perdamaian PBB memprakarsai gencatan senjata pihak-pihak yang bertikai. Pada tahun itu juga, Pangeran Norodom Sihanouk kembali duduk sebagai kepala negara. Pada tahun 1993, Pangeran Norodom Sihanouk diangkat sebagai raja. Pada tahun itu juga diadakan pemilihan umum. Dalam pemilihan umum itu, Norodom Ranariddh dan Hun Sen terpilih sebagai perdana menteri.

0 Response to "Masalah Negara Kamboja"
Posting Komentar