-->

iklan banner

Orde Gres (Latar Belakang Dan Kurun Orde Baru)


Latar Belakang Lahirnya Orde Baru

Setelah Gerakan 30 September berhasil ditumpas, menurut banyak sekali bukti yang berhasil dikumpulkan, di belakang Gerakan 30 September dituding berdiri PKI sebagai dalangnya. Hal ini mengakibatkan kemarahan rakyat.

 Kemarahan rakyat itu diikuti dengan demonstrasi-demonstrasi yang semakin bertambah gencar menuntut pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya (organisasi kemasyarakatan). Di samping itu, mereka juga menuntut biar tokoh-tokoh PKI diadili sesuai dengan aturan yang berlaku di negara Republik Indonesia.

Bentrokan fisik antara masyarakat yang setia dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan massa PKI terjadi di Jakarta dan di banyak sekali kawasan di seluruh Indonesia. Sementara itu, untuk mengisi kekosongan pimpinan Angkatan Darat, pada tanggal 14 Oktober 1965 Panglime KOSTRAD/Pangkopkamtib Mayjen Soeharto diangkat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat. Bersaman dengan itu diadakan tindakan-tindakan pencucian terhadap unsur-unsur PKI dan ormasnya.

Baca Juga

Masyarakat luas yang terdiri dari banyak sekali partai politik, organisasi massa, perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum perempuan secara serentak membentuk satu kesatuan agresi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan pendukung G 30 S/PKI dan meminta penyelesaian politik terhadap mereka yang terlibat dalam G 30 S/PKI.

Kesatuan agresi yang muncul ketika itu antara lain yaitu KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan agresi yang tergabung dalam Front Pancasila kemudian populer dengan sebutan Angkatan 66.

Dalam agresi ini masyarakat menghendaki biar Presiden Soekarno segera menghukum tokoh-tokoh PKI dan membubarkan partainya. Namun kelihatannya, presiden tidak bertindak ke arah itu, sehingga kepercayaan rakyat kepada presiden Soekarno semakin surut.

Sementara itu, keadaan perekonomian semakin bertambah buruk. Barang-barang untuk keperluan hidup sehari-hari semakin susah untuk didapat dan harganya pun semakin tinggi, sehingga inflasi (peningkatan harga-harga di pasar) tidak sanggup dielakkan lagi.

Untuk mengatasi keadaan ini, pemerintah mengambil suatu keputusan pemotongan nilai mata uang rupiah (sanering) dari Rp 1.000,- menjadi Rp 1,-. Akan tetapi, kenyataannya, harga bukan semakin menurun, melainkan tetap tinggi. Pemecahan dilema politik tidak ditanggapi oleh pemerintah. PKI belum dibubarkan oleh pemerintah, sehingga para pemuda, mahasiswa dan pelajar mulai bertindak. Mereka bergabung dengan Front Pancasila dan mengadakan demonstrasi di jalan-jalan raya.

Pada tanggal 8 Januari 1966, mereka menuju ke gedung Sekretariat Negara dengan mengajukan pernyataan bahwa budi ekonomi pemerintah tidak sanggup dibenarkan.

Pada tanggal 12 Januari 1966, banyak sekali kesatuan agresi yang tergabung dalam Front Pancasila berkumpul di halaman Gedung DPR-GR untuk mengajukan Tri Tuntutan Rakyat atau Tri Tuntutan Nurani Rakyat (Tritura) yang berisi sebagai berikut :

- Pembubaran PKI dengan organisasi massanya.
- Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
- Penurunan harga-harga barang.

Pada tanggal 15 Januari 1966 diadakan sidang paripurna Kabinet Dwikora di Istana Bogor. Dalam sidang itu, hadir pula para wakil mahasiswa presiden Soekarno menuduh aksi-aksi mahasiswa didalangi oleh CIA (Central Intelligence Agency) Amerika Serikat.

Pada tanggal 21 Februari 1966, presiden Soekarno mengumumkan perubahan kabinet. Ternyata perubahan itu tidak memuaskan hati rakyat lantaran banyak tokoh yang diduga terlibat dalam Gerakan 30 September/PKI masih bercokol dalam kabinet gres yang populer sebagai Kabinet Seratus Menteri.

Pada ketika peresmian anggota kabinet tanggal 24 Februari 1966, para mahasiswa, pelajar dan cowok memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka. Aksi itu dihadang oleh Pasukan Cakrabirawa. Bentrokan fisik antara pasukan Cakrabirawa dan para demonstran. Dalam bentrokan fisik itu, seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang berjulukan Arief Rachman Hakim gugur.

Gugurnya Arief Rachman Hakim menunjukkan semangat juang kepada para demonstran untuk menuntut perubahan dan perbaikan taraf hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia.

Masa Orde Baru

Dengan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) Soeharto mengatasi keadaan yang serba tidak menentu dan sulit terkendali. Dengan ini mulailah babak sejarah Orde Baru. Pada hakikatnya, Orde Baru bukan penyangkalan terhadap yang lama, bukan pula sekedar pembaruan, melainkan sekaligus merupakan perubahan terhadap segala sesuatu yang diperkirakan menjadi alasannya yang kronis dan telah ikut mengkondisikan yang lama.

Penataan yang gres tidak semata-mata diwujudkan dalam perubahan dan pembaruan di bidang kehidupan ekonomi, kebudayaan maupun politik dan sosial. Akan tetapi, lebih merupakan pembaruan dan perubahan yang paling mendasar, yakni di bidang nilai-nilai kehidupan.

Dengan kata lain, Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 atau koreksi terhadap penyelewengan di masa lampau dan menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.

Program usaha dalam rangka meluruskan kembali jalan yang telah diselewengkan, dicetuskan dalam tuntutan yang dikenal sebagai Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Pada hakikatnya tuntutan ini mengungkapkan keinginan-keinginan rakyat yang mendalam untuk melaksanakan kehidupan bernegara sesuai dengan aspirasi kehidupan dalam situasi yang konkret.

Tuntutan pembubaran PKI bukan sekadar diartikan sebagai pembubaran dari segi yuridis (hukum yang telah disahkan oleh pemerintah) formalnya, bukan hanya mencabut hak hidup organisasi itu, tetapi juga melarang penyebaran faham, falsafah (gagasan, pandangan hidup yang dimiliki seseorang), mentalitas dan cara serta metode politik PKI beserta ormas-ormasnya yang tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Jawaban dari tuntutan ini terdapat dalam ketetapan sebagai berikut :

- Pengukuhan tindakan Pengemban Surat Perintah Sebelas Maret yang membubarkan PKI beserta ormasnya pada sidang MPRS dengan Tap No. IV/MPRS/1966 dan Tap No. IX/MPRS/1966.

- Pelarangan paham dan anutan Komunisme/Marxisme-Leninisme di indonesia dengan Tap No. XXV/MPRS/1966.

- Pelurusan kembali tertib konstitusional menurut Pancasila dan tertib aturan dengan Tap No. XX/MPRS/1966.

Setelah gagalnya G 30 S/PKI, negara dilanda instabilitas (ketidakstabilan) politik akhir tidak tegasnya kepemimpinan presiden Soekarno. Partai-partai politik terpecah belah dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan (antara pendukung dan penentang kebijakan presiden Soekarno). Penyelesaian politis (political solution) yang dijanjikan oleh presiden Soekarno tidak kunjung datang.

Presiden bersikap seperti keadaan masih sama dengan keadaan sebelum terjadinya bencana G 30 S/PKI. Di kalangan masyarakat luas timbul kecemasan bahwa presiden Soekarno hendak memulihkan kembali Orde Lama dengan teror-teror PKI yang dilakukannya.

Akibatnya, timbulah dua contoh pemikiran di kalangan masyarakat. Di satu sisi, sebagian masyarakat hendak melaksanakan koreksi total terhadap segala penyelewengan yang terjadi pada masa lalu. Di sisi lain, ada di antara masyarakat yang hendak memulihkan keadaan yang usang itu.

Karena hal itulah timbul situasi konflik yang membahayakan persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia. Melihat situasi konflik antara Orde Lama dan Orde Baru yang semakin bertambah buruk, DPR-GR beropini bahwa situasi konflik harus segera diselesaikan secara konstitusional.

Pada tanggal 3 Februari 1967, DPR-GR memberikan resolusi (keputusan lingkaran atas seruan atau tuntutan yang ditetapkan dari hasil rapat) dan memorandum (surat yang dipakai dalam satu unit organisasi, bersifat informal dan berisi pemberintahuan, serta permintaan) yang berisi tawaran kepada Ketua Presidium Kabinet Ampera biar diselenggarakan Sidang spesial MPRS.

Pada tanggal 20 Februari 1967, presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto. Penyerahan kekuasaan dari presiden Soekarno kepada Soeharto dikukuhkan dalam Sidang spesial MPRS. MPRS dalam ketetapannya No. XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia.

Dengan adanya ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang merupakan sumber instabilitas politik telah berakhir secara konstitusional. Sekalipun situasi konflik berhasil diatasi, namun kristalisasi Orde Baru belum selesai. Untuk mencapai stabilitas nasional dilakukan proses yang dimulai dari penataan kembali kehidupan politik yang berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Usaha penataan kembali kehidupan politik ini dimulai pada awal tahun 1968 dengan penyegaran DPR-GR. Penyegaran ini bertujuan untuk menumbuhkan hak-hak demokrasi dan mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat.

Komposisi anggota dewan perwakilan rakyat terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan karya. Tahap selanjutnya yaitu penyederhanaan kehidupan kepartaian, keormasan dan kekaryaan dengan cara pengelompokkan partai-partai politik dan golongan karya. Usaha ini dimulai pada tahun 1970 dengan mengadakan serangkaian konsultasi dengan pimpinan partai-partai politik.

Hasilnya lahirlah tiga kelompok di DPR, yaitu kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari partai-partai PNI, Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Katolik, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, serta Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) dan kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari partai-partai, menyerupai NU (Nahdlatul Ulama), Partai Muslimin Indonesia, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah).

Sedangkan kelompok organisasi profesi menyerupai organisasi buruh, organisasi pemuda, organisasi tani dan nelayan, seniman dan lain-lain bergabung sebagai kelompok Golongan Karya.

Selanjutnya pemerintah Orde Baru memurnikan kembali politik luar negeri yang bebas- aktif. Politik konfrontasi dengan Malaysia dihentikan. Bahkan, normalisasi kekerabatan Indonesia-Malaysia berhasil dicapai dengan ditanda-tanganinya Jakarta Accord pada tanggal 11 Agustus 1966.

Kemudian pemerintah menetapkan untuk kembali menjadi anggota PBB semenjak tanggal 28 September 1966, dalam usaha mengembalikan kepercayaan dunia internasional, serta menumbuhkan saling pengertian yang sangat bermanfaat bagi pembangunan. Di samping itu, untuk mempererat dan memperluas kekerabatan kolaborasi regional bangsa-bangsa Asia Tenggara, pada tanggal 8 Agustus 1967, berhasil ditandatangani Deklarasi Bangkok.

Dengan ini, lahirlah Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau Association of Southeast Asian Nation (ASEAN). Ketika itu perhimpunan ini beranggotakan Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina. Kelima negara ini merupakan pendiri ASEAN.

Sumber http://ratukemalalaura.blogspot.com

Related Posts

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Orde Gres (Latar Belakang Dan Kurun Orde Baru)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel