-->

iklan banner

Pemilihan Umum Tahun 1955 (Latar Belakang, Pelaksanaan, Perkembangan Pemerintahan Dan Puncak Krisis)


Latar Belakang Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 1955

Pemilihan Umum (Pemilu) ialah salah satu prasyarat supaya sistem pemerintahan yang demokratis berfungsi. Pemilu tercantum sebagai salah satu kegiatan dari kabinet parlementer RI.

Persiapan fundamental pemilu sanggup diselesaikan di masa pemerintahan Kabinet Ali-Wongso. Kabinet ini diresmikan pada tanggal 31 Juli 1953. Salah satu duduk kasus di dalam negeri yang harus diselesaikan ialah persiapan pemilihan umum yang rencananya akan diadakan pada pertengahan tahun 1955.

Pada tanggal 31 Mei 1954, Panitia Pemilihan Umum Pusat dibentuk. Panitia ini diketuai oleh Hadikusumo (PNI). Pada tanggal 16 April 1955, Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilihan umum untuk parlemen akan diadakan pada tanggal 29 September 1955. Pengumuman ini mendorong partai-partai untuk meningkatkan kampanyenya. Mereka masing-masing berusaha untuk mendapat bunyi yang terbanyak, Kabinet Ali-Wongso berakhir pada tanggal 24 Juli 1955.

Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 1955

Pada tanggal 29 Juli 1955, Moh. Hatta mengumumkan tiga orang formatur (tim) untuk membentuk kabinet baru. Ketiga formatur itu terdiri dari Sukiman (Masyumi), Wilopo (PNI) dan Assaat (non-partai). Ketika itu, presiden Soekarno sedang menjalankan ibadah haji ke tanah suci.

Kabinet gres ini bertugas untuk melaksanaan hal-hal berikut :

- Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan angkatan darat dan masyarakat kepada pemerintah.
- Melaksanakan pemilihan umum berdasarkan planning yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen (badan legislatif) baru.

Ketiga formatur itu mencapai janji dan persetujuan akan menempatkan Hatta sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan. Namun, dikala Moh. Hatta masih menjabat sebagai Wakil Presiden, timbul kontradiksi pendapat antara PNI dan Masyumi. Formatur mengusulkan kepada presiden Soekarno untuk menonaktifkan Hatta dari jabatan wakil presiden selama ia menjadi perdana menteri.

Dalam pembahasan kasus ini, ketiga formatur tidak penah mencapai titik temu. Pada tanggal 3 Agustus 1955, ketiga formatur mengembalikan mandat. Hatta pun menunjuk Mr. Burhanuddin Harahap (Masyumi) untuk membentuk kabinet.

Dalam kegiatan Kabinet Burhanuddin Harahap, kasus pemilihan umum juga menjadi perhatian. Sesuai dengan planning semula, pemilihan untuk anggota parlemen diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955 dan pada tanggal 15 Desember 1955 diadakan pemilihan umum untuk anggota Konstituante.

Konstituante ialah forum negara Indonesia yang bertugas membentuk Undang-Undang Dasar untuk menggantikan UUDS 1950.

Hasil dari pemilihan umum pertama ini ternyata dimenangkan oleh 4 partai, yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Sedangkan partai-partai lainnya mendapat bunyi jauh lebih kecil dari keempat partai tersebut.

Pada tanggal 15 Desember 1955, diselenggarakan pemilihan umum untuk menentukan anggota-anggota Konstituante. Dengan keberhasilan pelaksanaan pemilihan umum tahun 1955, maka kiprah Kabinet Burhanuddin Harahap dianggap selesai. Dan oleh lantaran itu, perlu dibuat kabinet gres yang akan bertanggung jawab terhadap parlemen yang baru.

Perkembangan Pemerintahan Setelah Pemilihan Umum 1955

Dalam bidang pemerintahan terjadi ketegangan-ketegangan jawaban banyaknya mutasi yang dilakukan di beberapa kementerian, menyerupai dalam Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perekonomian. Hal ini menjadi salah satu faktor adanya desakan supaya perdana menteri mengembalikan mandatnya.

Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1956, Kabinet Burhanuddin Harahap jatuh dan presiden Soekarno menunjuk Ali Sastroamidjojo untuk membentuk kabinet baru. Kabinet yang dibuat itu merupakan kabinet koalisi (persekutuan) tiga partai, yaitu PNI, Masyumi, NU dan beberapa partai kecil lainnya.

Pada tanggal 20 Maret 1956, secara resmi diumumkan terbentuknya kabinet gres yang disebut dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Kabinet ini mendapat tantangan dari PSI dan PKI lantaran kedua partai ini tidak diikutsertakan. Sedangkan saingan dari partai-partai lainnya tidak begitu besar. Jumlah menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II ialah 24 orang.

Program Kabinet Ali Sastroamidjojo II disebut Rencana Lima tahun. Program ini memuat duduk kasus jangka panjang, menyerupai :

- Usaha memperjuangkan Irian Barat ke wilayah Republik Indonesia.
- Melaksanakan pembentukan daerah-daerah otonomi.
- Mempercepat pemilihan anggota-anggota DPRD.
- Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
- Menyehatkan keuangan negara, sehingga tercapai imbangan anggaran belanja serta berusaha untuk mewujudkan pergantian ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.

Kabinet yang gres berdiri ini mendapat kepercayaan penuh dari presiden Soekarno. Hal ini terlihat dari pidatonya di depan parlemen pada tanggal 26 Maret 1956 yang menyebutkan bahwa kabinet ini sebagai titik tolak periode planning dan investment. Namun, kabinet ini juga tidak luput dari banyak sekali kesulitan. Di antaranya ialah berkobarnya semangat anti-Cina di masyarakat dan adanya kekacauan di beberapa daerah.

Sementara itu, dengan ditandatanganinya Undang-Undang Pembatalan KMB oleh Presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1956, timbul duduk kasus baru, yaitu wacana nasib modal Belanda yang ada di Indonesia.

Ada tawaran untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda tersebut. Tetapi, sebagian besar dari anggota kabinet menolak tindakan tersebut. Dalam hal ini banyak orang Belanda yang menjual perusahaannya terutama kepada warga negara Cina yang berkedudukan besar lengan berkuasa dalam ekonomi Indonesia lantaran harta yang mereka miliki.

Pada tanggal 19 Maret 1956, Mr. Assaat di depan Kongres Nasional Importir Indonesia di Surabaya menyatakan bahwa pemerintah perlu mengeluarkan peraturan-peraturan yang sanggup melindungi pengusaha-pengusaha nasional.

Pernyataan Assaat mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Dan lahirlah gerakan Assaat di banyak sekali tempat. Untuk itu, dikeluarkanlah pernyataan dari Menteri Perekonomian Burhanuddin (NU) bahwa pemerintah akan memberi santunan terutama pada perusahaan-perusahaan nasional atau pribumi.

Puncak Krisis Setelah Pemilihan Umum 1955

Hasil dari pemilihan umum pada tanggal 29 September 1955 untuk Parlemen dan tanggal 15 Desember 1955 untuk Konstituante, memberikan luasnya efek masing-masing partai. Partai NU dan PKI sebagai partai-partai besar di samping PNI dan Masyumi.

Setelah pemilihan umum dibentuklah Kabinet Ali Sastroamijojo II pada tanggal 24 Maret 1956 berdasarkan perimbangan partai-partai dalam parlemen. Namun, kabinet ini tidak usang bertahan lantaran adanya oposisi (partai penentang yang menentang dan mengkritik pendapat atau budi politik suatu golongan yang berkuasa) dari daerah-daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah.

Oposisi yang didukung oleh para panglima kawasan lalu dilanjutkan dengan gerakan-gerakan separatis (orang/golongan yang menghendaki memisahkan diri dari suatu persatuan). Dengan dalih pembangunan daerah, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah mengadakan perdagangan barter. Gerakan-gerakan dari daerah-daerah ini mendapat simpati dari Partai Masyumi, PSI dan partai-partai lainnya.

Pada bulan Februari 1957, presiden Soekarno memanggil semua pejabat sipil dan militer serta semua pimpinan partai politik ke Istana Merdeka. Dalam pertemuan ini untuk pertama kalinya, presiden Soekarno mengajukan konsepsinya yang berisi sebagai berikut :

- Dibentuk Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari wakil-wakil semua partai ditambah dengan golongan fungsional.
- Dibentuk Dewan Nasional (kemudian berjulukan Dewan Pertimbangan Agung). Anggota-anggotanya ialah wakil-wakil partai dan golongan fungsional dalam masyarakat. Fungsi dewan ini ialah memberi nasehat kepada kabinet, baik diminta maupun tidak.

Konsepsi ini ditolak oleh beberapa partai, yakni Masyumi, NU, PSII, Kristen dan PRI. Mereka beropini bahwa mengubah susunan ketatanegaraan secara radikal harus diserahkan kepada Konstituante.

Dalam peringatan Sumpah Pemuda 1957, presiden Soekarno menyatakan bahwa segala kesulitan yang dihadapi negara pada waktu itu disebabkan banyaknya partai politik, sehingga persatuan negara rusak. Oleh lantaran itu, partai-partai dibubarkan supaya kondisi membaik.

Dengan alasan menyelamatkan negara, presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi, yaitu Demokrasi Terpimpin. Konsepsi ini mendapat tantangan yang hebat. Konsepsi ini menimbulkan reaksi berupa gerakan-gerakan separatis, menyerupai Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.

Akhirnya, presiden Soekarno mengumumkan keadaan Darurat Perang bagi seluruh wilayah Indonesia. Gerakan-gerakan yang muncul di daerah-daerah mencapai puncaknya dengan munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta.



Pada tanggal 22 April 1959 di hadapan Konstituante, presiden Soekarno memberikan pidato yang menganjurkan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Anjuran presiden ini diberikan sehabis Konstituante tidak berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar gres sebagai pengganti UUDS 1950. Mengenai tawaran presiden ini, Konstituante tidak sanggup berbuat apa-apa. Hal ini memperkuat kesan bahwa partai-partai politik tidak bisa menembus jalan buntu dengan cara-cara parlementer.

Sumber http://ratukemalalaura.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pemilihan Umum Tahun 1955 (Latar Belakang, Pelaksanaan, Perkembangan Pemerintahan Dan Puncak Krisis)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel