-->

iklan banner

Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Phedofilia

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan yang sangat penting kiranya untuk membahas perihal Hak Asasi insan (HAM) pada segala aspek kehidupan, khususnya ialah sumbangan terhadap anak di Indonesia. Masalahnya sumbangan anak gres menjadi perhatian masyarakat Indonesia pada kurun waktu tahun 1990an, sehabis secara intensif banyak sekali bentuk kekerasan terhadap anak di Indonesia diangkat kepermukaan oleh banyak sekali kalangan. Fenomena serupa muncul pula diberbagai tempat Asia lainnya, menyerupai di Thailand, Vietnam dan Philipina, sehingga dengan cepat warta ini menjadi regional bahkan global yang memperlihatkan wangsit kepada masyarakat dunia perihal pentingnya permasalahan ini.

Masalah ekonomi dan sosialyang melanda Indonesia berdampak pada peningkatan skala dan kompleksitas yang di hadapi anak Indonesia yang ditandai dengan makin banyaknya anak yang mengalami perlakuan salah, eksploitasi, tindak kekerasan, anak yang didagangkan, penelantaran, disamping anak-anak yang tinggal di daerah rawan konflik, rawan tragedi serta anak yang berhadapan dengan aturan dan lain-lainnya. Dampak kasatmata yang berkaitan dengan memburuknya kondisi perekonomian dan krisis moneter ialah meningkatnya jumlah anak di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) milik masyarakat lebih diperberat lagi dengan menurunnya pendapatan masyarakat yang merupakan salah satu sumber dana.

Dampak negatife dari kemajuan revolusi media elektronik menjadikan melemahnya jaringan kekerabatan keluarga besar dan masyarakat yang dimanisfestasikan dalam bentuk-bentuk fenomena gres menyerupai timbulnya kelompok-kelompok rawan atau marjinal. Misalnya eksploitasi anak di anak-anak 18 tahun sebagai pekerja seks di Indonesia, dimana berdasarkan data DUSPATIN 2002 jumlah anak yang bekerja sebagai pekerja seks komersil di anak-anak 18 tahun ialah 70.000 anak di seluruh Indonesia. Anak-anak yang terjerat pada oknum yang memanfaatkan eksploitasi anak sebagai pekerja seks komersil terus meningkat. Keadaan ini menciptakan anak beresiko tinggi tertular penyakit yang disebabkan korelasi seksual khususnya HIV/AIDS.

Laporan dari UNICEF mengenai upaya sumbangan khusus kepada anak-anak, tercatat bahwa remaja ini banyak anak-anak di Indonesia menerima perlakuan yang sangat tidak layak, mulai dari masalah anak jalanan yang berjumlah lebih dari 50.000 orang, pekerja anak yang dieksploitasikan mencapai sekitar 1,8 juta anak, sehingga kepada permasalahan perkawinan dini, serta anak-anak yang terjerat penyalahgunaan seksual (eksploitasi seksual komersil) yang menempatkan anak-anak itu beresiko tinggi terkena penyakit AIDS. Dalam analisis situasi yang telah disiapkan untuk UNICEF, diperkirakan bahwa setidaknya ada sekitar 30% dari total eksploitasi anak sebagai pekerja seks di Indonesia dilacurkan ke luar negeri.

Berbagai informasi yang valid atau akurat menyangkut perdagangan anak untuk tujuan seksual komersil, dimana selain diperdagangkan dari daerah satu ke daerah lain dalam wilayah aturan Negara Indonesia. Begitu pula terdapat banyak sekali macam indikator mengenai penggunaan anak untuk produksi bahan-bahan pornografi, dan para korban dari eksploitasi seksual komersil itu pada umumnya rata-rata berusia 16 tahun dimana bukan hanya anak-anak wanita yang menjadi korban eksploitasi tetapi juga anak pria yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut.

Masih berkaitan dengan dilema ini ialah bahwa anak-anak yang obyek eksploitasi seksual komersil menjadi menyerupai muara atau alasannya ialah dari segala dilema yang ada. Pekerjaan dan anak-anak jalanan dengan amat gampang sekali terjebak ke dalam jaringan perdagangan seks komersil ini. Diperkirakan 30% dari seluruh pekerja seks komersil dikala ini ialah anak-anak di bawah umur.

Di Batam sehabis terjadi krisis ekonomi jumlah pekerja seks meningkat hampir empat kali lipat menjadi 10.000 anak yang bekerja sebagai pekerja seks komersil. Bisnis pelacuran anak ini sangat menggiurkan bagi para pelaku yang memanfaatkan anak sebagai pekerja seks, di perkirakan jumlah uang yang berputar dalam industri seks ini berkisar antara Rp 1,8 Milyar hingga Rp 3,3 Milyar pertahun, sebuah angka yang fantastis. Di DKI Jakarta anak-anak yang dilacurkan terdapat di Bongkaran tanah abang, Rawa Bebek, Sepanjang bantaran kali dari manggarai- Dukuh Atas, Kali jodoh dan Jatinegara. Dan mulai lima-enam tahun kemudian Indonesia sudah masuk ke dalam peta tujuan kaum pedofil dunia. Anak-anak di anak-anak berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan, bahkan boleh dikatakan mereka berada pada garis ancaman yang akan menggangu tumbuh kembang mereka sebagai seorang anak.

Kasus yang pernah terjadi dan terungkap di Indonesia ialah masalah mantan diplomat AustraliaWilliam Stuart Brown, atas masalah kejahatan seksual yang dilakukan terhadap dua anak di Karangasem, dipandang beberapa pihak sebagai langkah maju bagi penegakan aturan sumbangan anak di Indonesia. Terlepas dari penyesalan dan simpati atas masalah bunuh diri Brown di Lembaga Pemasyarakatan Amlapura, sehari sehabis keputusan vonis itu, ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari kasusnya. Kasus itu menggambarkan bagaimana pedofilia dan kejahatan seksual terhadap anak dipahami masyarakat kita serta bagaimana perangkat aturan kita meresponsnya.

Beberapa polemik yang muncul selama persidangan masalah Brown, menyerupai klaim tidak terjadi masalah pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) dalam masalah ini dengan klaim tidak terjadi kekerasan dan paksaan terhadap korban, memperlihatkan betapa pedofilia masih sering dikacaukan pengertiannya. Ada tidaknya unsur kekerasan fisik masih sering dijadikan kriteria untuk mengategorikan tindak pemerkosaan terhadap anak sebagai bentuk kejahatan atau tidak. Pelecehan seksual terhadap anak sendiri masih cenderung disempitkan artinya, terbatas pada bentuk kontak seksual dengan menafikan bentuk pelecehan nonkontak seksual, menyerupai exhibitionism dan pornografi. Ada tidaknya unsur paksaan sebenarnya tidak signifikan dalam masalah kejahatan seksual terhadap anak karena adanya kesenjangan pemahaman perihal seks antara orang remaja dan anak-anak. Sebagaimana pola yang dikemukakan Gunter Schmidt (2002) dalam artikel The Dilemma of the Male Pedophile, bentuk manipulasi genital yang dilakukan anak-anak, meski menjadikan orgasme, tidak bisa serta-merta disamakan dengan bentuk masturbasi yang dilakukan orang dewasa. Keluguan dan rasa ingin tahu yang berpengaruh terhadap kehidupan seksualitas yang menjadi ciri khas anak-anak inilah yang dimanfaatkan pelaku pedofilia (pedophile) untuk menjerat korbannya. Karena itu, dalam masalah pedofilia, penekanannya lebih pada bentuk eksploitasi dan manipulasi yang muncul sebagai akhir ketidakseimbangan power (imbalance of power) antara pelaku dan anak-anak yang menjadi korbannya.

Anak akan menjadi lost generation dikarenakan orang renta yang tidak cakap dalam mendidik. Hal tersebut menciptakan mereka menjadi sumber daya yang tidak komptitif hingga sangat kecil kemungkinan untuk bisa bekerja disektor formal dan hal yang demikian pada alhasil menciptakan atau menyeret mereka menyerbu sektor informal atau illegal.

Ternyata hak asasi hak tidak pernah diberi melainkan harus direbut dengan suatu gerakan sumbangan aturan terhadap anak-anak, anti kekerasan terhadap anak dan mengambil kembali hak asasi anak-anak yang hilang. Gerakan sumbangan aturan terhadap anak harus digencarkan di tengah-tengan masyarakat. Pencanangan gerakan nasional sumbangan anak ialah dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran bangsa secara nasional guna menghargai hak-hak anak dalam rangka menumbuhkan, membuatkan kepedulian masyarakat biar berperan aktif melindungi anak dari segala macam bentuk gangguan terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya.

Sebagai suatu gerakan nasioanal di dalam upaya memeberikan sumbangan aturan terhadap anak perlu melibatkan seluruh segmen yang ada. Seperti tubuh pemerintah, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), organisasi sosial, abdnegara hukum, tokoh agama, dari kalangan pers serta lembaga-lembaga akademik dan para pakar-pakar untuk bersama-sama, bergotong-royong dalam mewujudkan anak Indonesia yang teguh imannya, berpendidikan, sehat dan tangguh di dalam bersaing serta sanggup memilih masa depannya sendiri.

Dewasa ini di perkirakan jumlah anak yang membutuhkan sumbangan khusus makin besar terutama pasca krisi. Kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak-hak anak makin marak. Suatu permasalahan anak yang membutuhkan sumbangan khusus yang cukup luas. Negara kita sebenarnya telah banyak pula memperlihatkan perhatian terhadap hak-hak anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya banyak sekali peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal perjuangan kesejahteraan anak dan ikut serta Indonesia dal;am menandatangai konvensi perihal anak hak-hak anak (Convention On The Right of The Child) sebagai hasil Sidang Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990. Namun dalam pelaksanaannya masih menghadapi banyak sekali hambatan yang disebabkan oleh banyak sekali faktor, antara lain peraturan pemerintah belum semuanya diwujudkan secara efektif, kesigapan abdnegara dalam penegakan hukum, dan kurangnya perhatian dan tugas serta masyarakat dalam permasalahan anak.

B. Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pengaturan perihal tindak pidana phedofilia dalam peraturan aturan di Indonesia?
2. Apa hukuman bagi pelaku tindak pidana phedofilia sesuai dengan peraturan aturan di Indonesia?



Sumber http://makalahdanskripsi.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Phedofilia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel