Anatomi Ajaran Michel Foucault : Tentang Dan Kekuasaan (Discourse And Power)
1. Konteks Sosial
Sebagian besar pemikiran muncul dan berkembang dilatari oleh kondisi sosiokultural daerah sang pemikir atau filsuf itu hidup. Bisa dikatakan para pemikir yakni hasil karya zamannya, hasil karya mereka yang berupa pemikiran, gagasan dan ide-ide tersebut bisa menembus ruang dan waktu. Pemikir dan pemikirannya yakni kepingan dari kesatuan organik (gestalt) atau dalam sejarah diartikan sebagai jiwa zaman, ketika akan memahami pemikiran pemikiran Michel Foucault, berarti juga harus memahami jiwa zaman-nya, sebagai salah satu unsur pembentuk corak dan kekhasan pemikiran-pemikiran Michel Foucault.
Michel Foucault yakni salah satu pemikir yang sangat luar biasa. Pemikirannya tidak mengenal batas ilmu. Hasil pemikirannya mencakup ilmu sejarah, filsafat, ilmu sosial dan politik, sampai ranah medis yang digeluti oleh keluarganya. Foucault sering dijuluki sebagai post-modernis, post-strukturalis, bahkan sebutan filosof, lantaran hasil-hasil pemikirannya menentang pemikiran-pemikiran modernis yang sudah mapan pada ketika itu, namun ia menolak semua julukan yang diberikan kepadanya. Kelebihan lain dari pemikiran Foucault terletak pada ketertarikannya pada isu-isu kemanusiaan, marginalitas, ketidaknormalan, dan pandangannya wacana kebenaran.
Meski demikian, konteks sosial dan politik yang krusial bagi karir Foucault yakni Perancis. Sebagaimana belum dewasa kecil Perancis lainnya di tahun 40-an masa kecil Foucault yakni masa kecil yang penuh kenangan ketakutan akan datangnya musuh yang akan menghancurkan kota mereka. Masa kecil Foucault yakni masa ketika Jerman melaksanakan pendudukan di Perancis. Di Pointier – dari waktu ke waktu pesawat terbang Jerman melayang rendah terbang keliling kota mencari sasaran sasaran stasiun-stasiun kereta api. Pointier sendiri yakni sebuah kota yang selalu dalam pengawasan serta control resmi dari pasukan Jerman. Secara periodik serdadu-serdadu Jerman berpatroli di Pointier untuk menangkapi orang-orang Yahudi dan mengirimnya ke barak-barak konsentrasi untuk disiksa. Dia yakni kepingan dari gerakan sosial yang sedikit banyak terlibat dalam Peristiwa 1968 yang populer itu. Secara umum periode ini ditandai dengan semangat anti-kemapanan yang luas tidak hanya di Perancis dan Eropa umumnya tetapi juga di belahan dunia lainnya.[1]
Hidup di era modern tidak serta merta membuat Foucault terbawa arus/mainstream di jaman tersebut, justeru ia keluar sebagai pengkritik yang tajam terhadap hal hal yang di anggap masuk akal pada ketika itu bahkan ketika ini. Foucault melihat ada problematika dalam bentuk modern pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subyektivitas. Semua itu, menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua itu yakni “serombongan konstruk sosiokultural wacana kekuasaan dan dominasi”. Selanjutnya, berdasarkan argumentasinya bahwa korelasi antara bentuk kekuasaan modern dan pengetahuan modern telah membuat bentuk dominasi baru. Bagi Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan oleh suatu diskursus, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu, mirip pasien pada psikiater).[2]
2. Pemikiran yang Mempengaruhi Michel Foucault
Salah satu tokoh yang ikut andil dalam mepengaruhi pemikiran foucault yakni Nietzsche. Namun sebelum membahas mengenai dampak pemikiran nietzsche terhadap foucault, akan lebih baik jikalau mengulas sedikit mengenai sosok Nietzsche.
Nietzsche lahir di rocken, 15 oktober 1844. Dimana hari kelahirannya sama dengan hari kelahiran raja Friedrich Wilhem, raja Prusia ketika itu. Jika diperhatikan latar belakang keluarganya, akan terasa sangat mengherankan filsuf ini mempunyai pemikiran yang kontroversial , radikal, frontal dan ateistik (hampir sama dengan latar kehidupan Karl Max). Kakek Nietzsche yakni seorang pejabat tinggi dalam gereja luteran, dimana jabatannya bisa disejajarkan dengan uskup dalam gereja katolik. Sedangkan ayahnya yakni seorang pendeta di desa rocken, dan ibunya juga lutheran yang berasal dari keluarga geraja.
Kehidupan Nietzsche penuh dengan kepedihan, dimulai dari meninggalnya sang ayah ketika Nietzsche berusia 4 tahun. Pada usia 14 tahun pindah sekolah ke Pforta. Di sekolah ini ia mulai mengagumi karya karya klasik yunani, selama menempuh pendidikan, pemikiran Nietzsche terus berkembang, hingga ia memperoleh kesempatan menjadi dosen di Basel, atas promosi dari gurunya lantaran kejeniusan Nietzsche.
Kehidupan Nietzsche yang sakit-sakitan membuat di berhenti mengajar, namun dalam kesendirian dan kesepian Nietzsche tidak berhenti menghasilkan karya karya fenomenal seperti “tentang asal undangan moral, suatu polemik” dan masih banyak lagi, sedangkan ada beberapa buku pada tahun 1888 yang belum sempat diterbitkan diantaranya “pudarnya para dewa” , “lihatlah manusia”, “antikristus”, ecce homo”. [3]
Tahun 1889 Nietzsche yakni tahun terburuk baginya karena, Nietzsche ditimpa sakit jiwa. Berbagai usaha dilakukan sahabatnya Franz Overbeck untuk menyembuhkan penyakit jiwa Nietzsche tidak berhasil, kemudian Nietzsche dipindah ke Naumburg dan dirawat oleh ibunya. 3 tahun kemudia saudarinya tiba dari paraguy, lantaran suaminya, Foster, bunuh diri pada tahun 1889. Pada tanggal 20 april 1897 ibunya meninggal, kemudian Nietzsche di pindah ke Weimar dan meninggal disana pada tanggal 25 agustus 1990. [4]
Pemikiran Nietzsche yang menghipnotis foucault yakni hipotesis wacana kehendak untuk berkuasa, pejelasan mengenai hipotesisnya terdapat pada karyanya yang berjudul “ the will to power : attempt at a revaluation of all value” dalam karyanya dibahas mengenai nilai-nilai yang diajukan oleh agama, moral, dan filsafat. Kritik dalam karyanya tersebut berakhir dengan apa yang disebut nihilisme. Secara sederhana dapat diartikan nihilisme sebagai runtuhnya nilai-nilai tertinggi dan kegagalan insan dalam menjawab dilema “ untuk apa ?” dengan runtuhnya nilai nilai tersebut insan mulai dihadapkan pada dilema bahwa segalanya menjadi tidak bermakna dan tak ternilai. Nietzsche juga mengajukan prinsip-prinsip untuk mengevaluasi seluruh nilai supaya sanggup melihat “ nilai baru”. [5] Di sini nietzsche menggunakan pendekatan yang disebutnya genealogi dalam melihat “nilai baru” tersebut
Foucault memang seorang penganut Nietzschean. Hal itu diakuinya terus terang dalam wawancara dengan Gilles Barbadette and Andre Scala. Di masa studinya di tahun enam puluhan, ketika orang ramai-ramai meminati Marxisme, Hegelianisme, dan Fenomenologi, Foucault menimba ide untuk studinya justru dari buku-buku Nietzsche. Seperti yang ketahui, Nietzsche menggunakan pendekatan yang disebutnya genealogi, terutama hal itu diterapkan pada penelusuran asal-usul moral. Metode genealogi yakni metode yang menolak cara tafsir historigrafi yang seperti bisa melihat rentetan kejadian-kejadian secara objektif belaka. Maka kalau sejarah mau merunut asal-usul dari sesuatu hal secara objektif begitu saja, genealogi mau merunut juga motivasi-motivasi di balik munculnya hal-hal itu. Genealogi juga berbeda dari pendekatan hermeneutik agama, maupun fenomenologi yang beranggapan seperti sesuatu hal sanggup dirunut hingga pada asal-usul terakhir, kebenaran yang mutlak. Boleh dikata, genealogi merupakan cara pendekatan hermeneutik yang penuh kecurigaan. [6]
Melalui penelusuran genealogi moral Nietzsche hingga pada kesimpulan, bahwa moral bukanlah sesuatu yang diberikan oleh Allah, sebagai yang suci dan sempurna, bersifat tetap, abadi dan orang-orang tinggal menaati saja. Moral yakni bentukan manusia. Pemahaman genealogi moral pada Nietzsche dengan demikian sanggup dikaitkan dengan segera pada posisinya sebagai ateis. Budaya Katolik Barat beranggapan telah mewarisi bebuyutan anutan moral sebagai perintah suci dari Allah. Genealogi yakni cara tafsir yang berhati-hati, menolak pengelabuan metafisis maupun mitis yang beranggapan adanya hal-hal yang suci atau yang tetap, asasi sebagai awal dari sesuatu hal. Genealogi mau memasukkan dimensi historis dari asal-usul dan tidak mau berhenti pada kepercayaan mitis dan metafisis, sebagaimana dipegang para penganut agama dan filsuf. [7]
Pemikiran Foucault memang dipengaruhi Nietzsche, namun ia tidak sepenuhnya sebagai pengikut Nietzsche, lantaran baginya, Nietzsche yang diikutinya yakni seseorang yang orisinal, begitu pun dengan ia yang harus orisinal dengan pandangan pribadinya. Foucault dikemudian hari menyebarkan metode genealogi Nietzsche, dengan melihat kaitan antara makna atau pemahaman sesuatu dengan kekuasaan yang membenarkan.
3. Latar Belakang kehidupan Michel foucault
Michel Foucault lahir di Poiters, Perancis pada tahun 1926. Ia berasal dari kalangan medis, ayahnya spesialis bedah, mirip juga saudara dan kakeknya. Orang bau tanah Foucault mengharap anaknya mengikuti jejak yang sama, tetapi ia “membangkang” dan menentukan berguru filsafat, sejarah dan psikologi. Sikap ini mengisyaratkan bahwa semenjak usang Foucault memang tidak menyukai sesuatu yang mapan. Ia menempuh masa studinya di Ecole normalle superiure pada 1945 dan mendapat license pada bidang filsafat (1948), psikologi (1950) dan psikopatologi (1952). Pada 25 Juni 1984, ia meninggal dunia di Paris, dari beberapa sumber dikatakan bahwa Foucault meninggal akhir HIV AIDS.[8]
Foucault cukup aktif dalam dunia akademis. Pada tahun 1954 hingga 1961, secara produktif ia menghasilkan karya-karya mirip Maladie et Personnalite (Penyakit Jiwa dan Kepribadian), Folie et deraison. Histoire de la folie a l’age classique (Kegilaan dan “Unreason”, Sejarah Kegilaan dalam Zaman Klasik), menjadi dosen di Universitas Uppsala (Swedia) di bidang sastra dan kebudayaan, mengerjakan buku yang akan menjadi disertasinya, serta menjadi administrator Pusat Kebudayaan Prancis di Warsawa (Polandia) dan di salah satu forum sejenis di Hamburg (Jerman). Pada tahun 1961, di bawah bimbingan G. Canguilhem, ia memperoleh gelar “doktor negara”. Karya-karyanya yang populer antara lain, Maladie mentale et psychologie (Penyakit Jiwa dan Psikologi), Histoire de la folie (Sejarah Kegilaan), Raymond Roussel (tentang seorang sastrawan Prancis), dan Naissance de la Clinique. Une archeologie du regard medical (Lahirnya Klinik. Sebuah Arkeologi wacana Tatapan Medis) dan buku ini membuat nama Foucault menjadi masyur yakni Les mots et les choses. Une archeologie des sciences humaines (1966) (Kata-kata dan Benda-benda. Sebuah Arkeologi wacana Ilmu-ilmu Manusia), buku filsafat yang mengalami kesuksesan terbesar di Prancis setelah Ada dan Ketiadaan (1943), karangan J.P Sartre. Terutama semenjak buku ini, Foucault dianggap filsuf terpenting dalam aliran strukturalisme. Tahun 1969, ia juga menghasilkan L’archeologie du savoir (Arkeologi Pengetahuan). [9]
Tahun 1960-an, Foucault mengajar di universitas-universitas di Montpellier, Tunis (Afrika Utara), Clermond-Ferrand, Paris-Nanterre. Ia juga menjadi salah seorang pendiri Univeritas Paris-Vincennes (yang kemudian disebut Universitas Paris VII), universitas eksperimental yang didirikan dalan rangka pembaruan pendidikan universitas setelah kericuhan 1968. Ia tidak usang mengajar di sana lantaran bulan Mei 1969, ia dipilih sebagai profesor di College de France. Pidato pelantikannya ketika itu kemudian diterbitkan sebagai buku kecil L’ordre du discours (1970) (Susunan Diskursus). Pada tahun 1975, ia menerbitkan buku Surveiller et Punir. Naissance de la prison (Menjaga dan Menghukum. Lahirnya Penjara). Ia mempelajari asal undangan historis dari forum pemasyarakatan dan sistem hukuman. Buku ini merupakan pengungkapan teoretis dari suatu keprihatinan yang melibatkan Foucault juga secara praktis, lantaran beberapa tahun lamanya ia aktif dalam suatu kelompok yang memperjuangkan sistem kepenjaraan di Prancis. Dalam kerjasama dengan beberapa orang lain, Foucault juga menerbitkan sejumlah kumpulan dokumen-dokumen historis wacana salah satu perkara yang berkaitan dengan pokok pembicaraan buku-bukunya. [10]
4. Tema atau Pertanyaan
Pemikiran Foucault wacana kekuasaan mau menyidik salah satu segi proses peradaban Barat, yaitu aksi rasio dengan kepastian-kepastian filsafat "Pencerahan". Agresi rasio dengan kepastian-kepastian yang dibawa oleh filsafat Pencerahan ini' mendapat kritik tajam dari Foucault, yakni terhadap filsafat sejarah yang terlalu percaya pada sistem dan terhadap metode pembahasannya.
Di balik kekacauan kejadian-kejadian sejarah, terungkap kiprah para filsufsejarah yang terlalu beorientasi pada sistem. Persoalan sejarah bukan untuk mengakibatkan koheren apa yang tidak koberen. Sejarah bukan untuk mempertahankan rasionalitas yang bertentangan dengan reahtas konflik kekuasaan dan ideologi. Kritik ini terperinci diarahkan pada konsepsi Hegel wacana sejarah sebagai dialektika. Kehebatan dialektika terletak dalam kemampuannya mengubah dari kekurangan menjadi kekuatan, yang jahat menjadi sarana kebaikan, perbedaan pendapat menjadi momen di mana kesadaran menjadi lebih jelas. Menurut Foucault, sintesis yang dianggap sebagai jalan keluar dialektika itu tidak lain hanyalah imajinasi pemecahan antisipatif terhadap kontradiksi-kontradiksi atau konflik-konflik. Kebenaran semacam itu diberlakukan sebagai jalan keluar bagi perbedaan kepentingan dan hubungan-hubungan pertarungan kekuatan. Bukankah pertentangan atau konflik tidak selalu harus ada jalan keluarnya?[11]
Tujuan utama Foucault yakni mempertanyakan cara masyarakat modern mengontrol dan mendisiplinkan anggota-anggotanya dengan mendukung klaim dan praktik pengetahuan ilmu manusia: kedokteran, psikiatri, psikologi, kriminologi dan sosiologi. Ilmu insan telah memutuskan norma-norma tertentu dan noram tersebut direproduksi serta dilegitimasi secara terus-menerus melalui praktik para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan petugas administrasi. Ilmu insan menempatkan insan menjadi subyek studi dan subyek negara. Terjadi perluasan sistem manajemen dan kontrol sosial yang dirasionalkan secara terus-menerus.
5. Proposisi yang ditawarkan
Tulisan ini intinya berusaha menyajikan sedikit pemikiran Foucault, khususnya mengenai konsep kekerabatan kekuasaan. Sehingga hanya sebagian kecil pemikiran Foucault saja yang sanggup dipaparkan oleh penulis.
5.1. Konsep Kekuasaan
Kekuasaan yang menjadi dasar realitas sosial dalam pandangan Foucault bersifat produktif dan tidak kelihatan lantaran ia ada di mana-mana, menyebar dan menyusup dalam setiap aspek kehidupan, serta terserap dalam ilmu pengetahuan dan praktik sosial yang untuk selanjutnya membuat rezim kebenaran.
Pemikiran Foucault yang utama yakni penggunaan analisis diskursus untuk memahami kekuasaan yang tersembunyi di balik pengetahuan. Analisisnya terhadap kekuasaan dan pengetahuan memperlihatkan pemahaman bahwa kiprah pengetahuan pembangunan telah bisa melanggengkan dominasi terhadap kaum marjinal. Ia mencontohkan bahwa pembangunan di negara Dunia Ketiga merupakan daerah aneka macam kekuasaan dunia sekaligus adanya korelasi penting wacana berperanannya kekuasaan di negara-negara tersebut. Dalam karyanya wacana A Critique of Our Historical Era , Foucault melihat ada problematika dalam bentuk modern pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subyektivitas. Semua itu, menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua itu yakni “serombongan konstruk sosiokultural wacana kekuasaan dan dominasi”. Selanjutnya, berdasarkan argumentasinya bahwa korelasi antara bentuk kekuasaan modern dan pengetahuan modern telah membuat bentuk dominasi baru. Bagi Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan oleh suatu diskursus, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu, mirip pasien pada psikiater). Oleh lantaran itu, yang perlu dipelajari yakni upaya untuk membangkitkan kembali local centres dari power knowledge, pola transformasinya, dan upaya untuk masukkan ke dalam seni manajemen dan akhirnya mengakibatkan pengetahuan bisa mensupport kekuasaan. Menurut pemikirannya, bahwa setiap seni manajemen yang mengabaikan aneka macam bentuk power tersebut maka akan terjadi kegagalan. Untuk melipakgandakan power, harus berusaha bertahan dan melawan dengan jalan melipatgandakan resistensi dan kontra-ofensif. Localize-resistence tersebut haruslah bersifat radikal dan tanpa kompromi untuk melawan totalitas kekuasaan (daripada menggunakan cara revolusi massa), dengan seni manajemen yang ditujukan untuk menyebarkan jaringan kerja perjuangan, kantong-kantong resistensi dan popular base. Yang perlu mendapat perhatian yakni analisis power tertentu (antar individu, kelompok, aktivitas dan lain-lain) dalam rangka menyebarkan knowledge strategies dan membawa sketsa gres politisi, intelektual, buruh dan kelompok tertindas lainnya, dimana power tersebut akan digugat.[12]
Harus diakui bahwa kekuasaan itu mempesona lantaran setiap orang tergila-gila dengan kekuasaan dan bahkan berusaha untuk memilikinya. Kekuasaan dalam arti ini lebih mempunyai makna sebagai “milik” artinya kekuasaan hanya disempitkan sebagai milik pemerintah atau institusi tertentu sehingga muncul terminologi adanya perebutan dan peralihan kekuasan dalam bangku pemerintahan. Bagi penulis, Foucault sama sekali tidak memaksudkan makna kekuasaan mirip ini. Gagasan Foucault wacana kekuasaan lebih orisinal dan realistis. Dengan latar belakang sebagai seorang sejarawan, Foucault sama sekali tidak mendefenisikan secara konseptual apa itu kekuasaan tetapi lebih menekankan bagaimana kekuasaan itu dipraktikan, diterima dan dilihat sebagai kebenaran dan berfungsi dalam aneka macam bidang kehidupan.[13] Dalam arti inilah, kekuasaan tidak hanya disempitkan dalam ruang lingkup tertentu atau menjadi milik orang atau intitusi tertentu mirip pandangan umum bahwa kekuasan itu selalu dikaitkan dengan negara atau institusi pemerintah tertentu. Atau dalam konteks Indonesia, kekuasaan tidak hanya menjadi milik Presiden Bambang Yudhoyono, DPR-MPR, Gubernur dan sebagainya tetapi kekuasaan menyangkut kekerabatan antara subyek dan kiprah dari lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi tertentu dalam masyarakat. Sumbangan kekuatan dari setiap subyek dan lembaga-lembaga yang menjalankan kiprah sebaik-baiknya, itulah yang mengambarkan arti kekuasaan.[14]
Pemahaman kekuasaan diatas, terperinci bertolak belakang dengan pemahaman Karl Marx yang melihat kekuasaan hanya menjadi milik masyakat kelas atas. Dominasi dan monopili kaum borjuis menentukan kehidupan seluruh masyarakat. Atau juga bertentangan dengan gagasan Thomas Hobbes yang mengartikan kekuasaan hanya menjadi milik forum yang disebut negara dan negara mempunyai kuasa mutlak untuk menentukan kehidupan masyarakat.[15] Berdasarkan kedua gagasan ini, penulis mengamini apa yang dikatakan Foucault dimana kekuasaan tidak hanya menjadi milik pemimpin atau entitas yang besar lengan berkuasa dalam masyarakat tetapi kekuasaan berangkat dari kekuatan dan pinjaman pemikiran setiap subyek
5.2.Mekanisme dan Strategi Kekuasaan
Konsekuensi dari paham kekuasaan Marxian yakni tidak adanya kekerabatan kekuasaan antara subyek, yang ada hanya monopoli kaum kelas atas dan perampasan segala hak milik kaum kecil. Dan akhir dari paham kekuasaan Thomas Hobbes ialah adanya tindakan represif yang tiada hentinya, kekerasaan, diktatorial dan sebagainya. Kondisi mirip ini yang menodai makna kekuasaan itu sendiri. Bagi penulis, mungkin berangkat dari keprihatinan mirip ini, Foucault akhirnya menrefleksikan dan mengkritisi makna kekuasaan. Bagi Foucault kekuasaan lebih menunjuk pada mekanisme dan strategi dalam mengatur hidup bersama.[12] Dalam arti ini kekuasan mengasalkan diri dari aneka macam sumber dan mempunyai keterkaitan satu terhadap yang lain. Adanya akreditasi struktur-struktur yang menjalankan fungsi tertentu dan dalam struktur itulah kekuasaan mengasalkan dirinya. Dari gagasan kekuasaan sebagai suatu seni manajemen dan mekanisme; penulis memaparkan beberapa metedologis kekuasaan yang menjadi fokus perhatian Foucault.
Pertama; kiprah aturan dan aturan-aturan. Foucault menyampaikan “kuasa tidak selalu bekerja melalui represif dan intimidasi melainkan pertama-tapa bekerja melalui aturan-aturan dan normalisasi”.[13] Segala aturan dan aturan pertama tidak dilihat sebagai hasil dari ketentuan pemimpin atau institusi tertentu tetapi sebagai sintesis dari kekuasaan setiap orang yang lahir lantaran perjanjian. Segala aturan yang lahir lantaran konsensus bersama mempunyai kekuatan yang lebih dalam hidup bersama. Kedua, tujuan kekuasaaan. Tujuan dari adanya mekanisme kekuasaan ialah membentuk setiap individu untuk mempunyai pengabdian dan disiplin diri biar menjadi pribadi yang produktif.[14] Setiap orang diberi ruang untuk berpikir, berkembang dan dengan bebas memberikan aspirasinya demi kemajuan bersama.
Ketiga, Kekuaaan itu tidak dilokalisasi tetapi terdapat di mana-mana. Kesadaran akan kekuatan dari suatu negara dan masyarakat tidak dibatasi hanya dari para pemimpin tetapi atas kerjasama setiap pribadi dan forum yang mempunyai orientasi produktif. Misalnya, dengan adanya ruang komunikasi antara pemimpin dan warganya, kesatuan tercipta dalam suasana dialogis dan mengarah kepada harapan bersama. Keempat, kekuasaan yang mengarah ke atas.[15] Dalam arti ini, kekuasaan setiap orang dan forum dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga membentuk konsensus bersama. Atau dengan kata lain hasil dari proses komunikasi kekuasaan bersama akan menghasilkan kekuasaan bersama atau dalam bahasa, Thomas Kuhn, adanya paradigma bersama.[16] Kelima, kombinasi antara kekuasaan dan Ideologi. Setiap anggota dalam masyarakat kurang lebih mempunyai impian yang sama yaitu adanya akreditasi hal setiap orang yang terarah pada kesejahteraan bersama. Harapan ini harus berjalan bersama dengan kekuasaan bersama. Segala aturan dan aturan diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Dari kelima point di atas, kita melihat dengan terperinci adanya perbedaan menyolok antara gagasan Foucault dengan para pemikir kurun modern. Misalya, Machiavelli yang melihat kesejahteraan bersama tidak ditentukan oleh konsensus bersama tetapi oleh penguasa. Machievelli menyampaikan “Orientasi kekuasaan tertuju kepada apa yang dinamakan penguasa artinya merujuk pada pemimpin negara. Dimana dikatakan bahwa seorang penguasa harus bisa membentuk opini umum dalam mengendalikan tingkah laris warganya.[17] Dalam arti ini, penguasa mempunyai kuasa mutlak untuk mengatur negara. Tidak ada aturan dan hukun yang muncul sebagai akhir perjanjian setiap subyek. Dengan membandingkan kedua gagasan ini, kita sanggup melihat bahwa arti kekuasaan dan jiwa yang menggerakan hidup bersama mempunyai titik tolak yang berbeda. Bagi penulis, Foucault menjunjung tinggi pada proses kreatif dan kritis setiap orang dalam membangun ideologi bersama.
Gagasan mengenai kekuasaan dalam karya foucault yakni tanggapan atas dilema bagaimana dan mengapa deretan formasi diskursif berubah. Pandangan mengenai otonomi kebudayaan dalam kaitannya dengan koheresi internal dalam deretan formasi diskursif akhirnya tergusur seiring dengan bergesernya pementingan menuju “relasi kekuasaan” sebagai sendi terpenting. Hal tersebut lantas menjadikan pengetahuan sebagai situs bagi seni manajemen , pergulatan dan konflik demi kekuasaan. Gagasan foucault wacana “kekuasaan disipliner” dengan demikian harus dibaca sebagai upaya pembacaan teoritis-kekuasaan. Pada periode karya ini sepertinya akrab dengan pemikiran Weber. [16]
Menurut foucault, “ posisi liminal” penderita kegilaan di kurun pertengahan terlihat dari disingkirkannya mereka secara sosial ke dalam rumah sakit jiwa. Embarkasi penderita kegilaan tersebut berarti tersisihkan ia dari kota, terdesak kewilayah perbatasan, atau lebih tepatnya, dari rasio menuju kegilaan. Pada konteks zaman Renaisance memainkan kiprah penting dalam menyiapkan dasar bagi pengalaman kegilaan zaman klasik dengan cara berangsur angsur menggabungkan kegilaan kedalam rasio dengan tujuan untuk mengontrolnya. Dalam Birt of the clinic foucault menjalankan suatu “ arkeologi tatapan medis”. Masalah yang membangkitkan minatnya disini adalah pergeseran konsep ilmu kedokteran, dari yang fokus pada kesehatan dan masih menyediakan ruang bagi pasien untuk menjadi dokter bagi dirinya sendiri pada abad-18, menuju konsepsi ilmu kedokteran yang berokur pada normalitas dimana tubuh pasien menjadi subjek tatapan yang berdaulat dari sang dokter dalam tatanan klinis rumah sakit modern. [17]
Foucault mendefinisikan seni manajemen kekuasaan sebagai yang menempel pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk mengartikulasikan kekuasaan pada ketika kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan, lantaran ilmu-ilmu terumus dalam bentuk pernyataanpemyataan. Kekuasaan-pengetahuan terkonsentrasi di dalam kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah. Oleh lantaran itu semua masyarakat berusaha menyalurkannya, mengontrol dan mengatur wacana mereka biar sesuai dengan tuntutan ilmiah. Wacana macam ini dianggap mempunyai otoritas. Pengetahuan tidak bersumber pada sumbjek, tetapi dalam korelasi hubungan kekuasaan. “ kekuasaan menghasilkan pengetahuan... kekuasaan dan pengetahuan salin terkait... tidak ada korelasi kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan dan tidak pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk korelasi kekuasaan”.
6. Jenis Realitas Sosial (tidak terlihat)
Foucault beranggapan bahwa setiap korelasi social selalu merupakan korelasi kekuasaan (hegemoni Kekuasaan). Kekuasaan ada dalam setiap korelasi sosial. Dengan kata lain, Power being the ultimate principle of social reality (Basrowi, 2004: 73). Kekuasaan yang menjadi dasar realitas sosial dalam pandangan Foucault bersifat produktif dan tidak kelihatan lantaran ia ada di mana-mana, menyebar dan menyusup dalam setiap aspek kehidupan, serta terserap dalam ilmu pengetahuan dan praktik sosial yang untuk selanjutnya membuat rezim kebenaran. Dengan sifat yang demikian itu, keberlangsungan kekuasaan itu seolah-olah menjadi tidak disadari lagi oleh seseorang. seseorang rela melaksanakan apa yang dikehendaki oleh kekuasaan tanpa orang itu sendiri menyadari bahkan orang itu sedang dikuasai.[18]
Jenis kekuasaan mirip ini disebut sebagai kekuasaan kedisiplinan atau disciplinary power. Ia membawa imbas kepatuhan kepada guru untuk patuh berada dalam wacananya disiplin. Dengan kata lain, suatu cara menegakkan kekuasaan yang bekerja melalui normalisasi. Ia merupakan suatu teknologi untuk menormalisasi kehidupan masyarakat. Jadi, ide wacana kenormalan tidak lain merupakan konstruksi sosial yang dibangun melalui wacana dominan. Wacana ini kemudian melahirkan praktik-praktik mirip mendifinisikan, mengkategorikan, dan mengukur kenormalan itu sendiri. Semua itu kemudian menjadi rutin dan diterima begitu saja sebagai sebagai suatu keharusan yang hendak dilakukan.[19]
7. Lingkup Realitas Sosial (makro dan Mikro)
Kekuasaan yang menjadi dasar realitas sosial dalam pandangan Foucault bersifat produktif dan tidak kelihatan lantaran ia ada di mana-mana, menyebar dan menyusup dalam setiap aspek kehidupan, serta terserap dalam ilmu pengetahuan dan praktik sosial yang untuk selanjutnya membuat rezim kebenaran. Dengan sifat yang demikian itu, keberlangsungan kekuasaan itu seperti menjadi tidak disadari lagi oleh seseorang.
Berkaitan dengan wacana, Foucault lebih tertarik melihat realitas tersebut sebagai praktik sistematik yang sanggup di-bentuk dan dikendalikan oleh orang -orang tertentu. Acuan dan makna sebuah wacana dalam kehidupan bermasyarakat sangat berpotensi dibuat oleh si insan kehendak yang relatif mempunyai keleluasaan untuk melakukannya. Dalam aneka macam aspek kehidupan manusia, wacana secara umum tidak pernah netral dan lahir berdasarkan perkiraan alamiah. Wacana intinya sengaja dibuat dan dikondisi-kan oleh institusi-institusi yang lebih lebih banyak didominasi atas aspek-aspek yang didominasinya. Menurut Foucault, discourse is political commodity, a phenomenon of exclusion, limitation, prohibition (Gordon, 1980:245).
8. Aktor (tidak otonom)
Foucault pada akhirnya hingga pada penyingkapan karakteristik dunia modern yang menjungkir balikkan asumsi-asumsi filosof pencerahan. Dalam pandangan filosof pencerahan, insan dipandang sebagai subjek otonom, sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan bisa menentukan diri sendiri. Mereka juga percaya adanya pemilihan yang tegas antara pengetahuan sejati dan murni (rasional, objektif dan tidak terdistorsi oleh mitos atau korelasi kekuasaan yang menindas) dengan pengetahuan palsu dan tidak murni (irasional, subjektif dan ideologis/cerminan dari kekuasaan tertentu).
Pandangan demikian ditolak keras oleh Foucault. Dalam disiplin dan hukuman, Foucault secara genial melukiskan bagaimana individu modern sebagai subjek maupun objek, bahwasanya lahir dan diciptakan oleh multiplisitas dalam jaringan kuasa. Lewat teknik disiplin dan normalisasi, individu diciptakan sebagai objek. Foucault juga menegaskan bahwa distingsi antara pengetahuan murni (yang bebas kekuasaan) dan pengetahuan ideologi (yang bias kekuasaan) hanyalah delusi belaka. Sebab berdasarkan Foucault, pengetahuan dan kekuasaan terpilih dalam kesatuan tunggal.[20]
Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah mirip apa yang dikatakan kaum Weberian, yakni kemampuan subjektif untuk menghipnotis oranglain. Kekuasaan bukan pula mirip apa yang dikatakan kaum Marxis sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan dipakai oleh kelas tertentu untuk mendominasi dan menindas kelas lain. Kekuasaan bukan institusi, struktur atau kekuatan menundukkan. Kekuasaan yakni label nominal bagi kekerabatan seni manajemen yang kompleks dalam masyarakat. Dalam relasi, tentu saja ada yang di atas ada yang di bawah, ada yang di pusat ada yang pinggir, ada yang di dalam ada yang di luar. Tapi bukan berarti kekuasaan semata-mata terletak di atas, di pusat, atau di pinggir, sebaliknya, kekuasaan menyebar, terpencar, dan hadir dimana-mana menyerupai jaring yang menjerat kita semua. Kekuasaan berada di semua lapisan, kecil dan besar, laki dan perempuan, yang shaleh dan laknat.
9. Metode yang Ditawarkan
Analisis wacana secara epistimologi menjadi kepingan dari kekayaan khasanah metodologi kualitatif yang berperspektif posmodernisme. Ia beroperasi dengan sejumlah perkiraan yang amat berbeda, untuk banyak hal bertentangan, dengan metode konvensional kuantitatif. Apabila metode kualitatif (yang asumsi-asumsi dasarnya wacana realitas amat ditentukan oleh paradigma positivisme itu) amat percaya pada kebenaran universal, metode kualitatif generasi selesai ini menjungkirbalikkan hampir seluruh kepercayaan dasar yang secara kukuh dipertahankan oleh paradigma positivisme. Beberapa perbedaan pokok di antara dua metode ini terletak di antaranya pada bagaimana mereka melihat individu dalam konteks sosial.
Bagi metode positive-kuantiantif, individu yakni representasi dari beroperasinya struktur sosial yang eksistensinya berada diluar kesadaran individu. Perilaku individu dalam konteks sosial, dalam pandangan paradigma ini, sepenuhnya dilihat sebagai hasil determinasi struktur atas individu. Individu dilihat sebagai bintang film yang berperilaku, bahkan berperasaan, berdasarkan script (naskah) yang terdapat dalam struktur. Apa yang dibayangkan sebagai struktur itu (yang didalamnya di antaranya berupa nilai, kepercayaan, ideologi, norma dan institusi) menjadi penentu wacana bagaimana individu merespon sebuah kejadian sosial. Bisa dipahami apabila semangat utama dari penelitian yang berparadigma ini yakni memetakan pola-pola dan kecenderungan-kecenderungan umum wacana bagaimana struktur sosial yang berbeda itu menghasilkan disposisi dan sikap individu, atau kelompok yang berbeda, ujung dari pengelanaan intelektual insan semacam ini yakni ditemukannya dalil-dalil umum yang dihasilkan melalui upaya generalisasi atau fakta-fakta empiris yang dihasilkan melalui aneka macam pengamatan yang terukur secara cermat dan yang terbandingkan dari satu daerah ketempat yang lain, dari satu waktu ke waktu lain.
Sementara itu, metode kualitatif berperspektif postmodernisme ini melihat realitas sosial dalam wajah-ganda (multifaces, multidimensional, multilayer, dan multitruth). Kebenaran tidak pernah tunggal dan selalu dipengaruhi oleh konteks yang didalamnya melibatkan proses evaluasi-reevaluasi, posisi-reposisi, dan negoisasi-renegoisasi. Individu tidak pernah dilihat sebagai distributor yang secara aktif melaksanakan interpretasi atas struktur dan secara kreatif melaksanakan negoisasi terhadap makna yang dibangunnya berdasarkan harapan-harapan dan pengalaman-pengalaman subjektifnya sebagai individu.
Dalam konteks sosial, individu selalu dilihat sebagai pribadi yang unik dan spesifik. Unik lantaran ia mempunyai pengalaman-pengalaman yang khas, spesifik lantaran ia mempunyai harapan-harapannya sendiri. dalam perspektif semacam ini, para penganut metode ini tidak pernah berhasrat untuk menemukan kedalaman (depth), kekayaan (richness), dan kompleksitas (complexity) dari sebuah realitas yang dilihatnya sebagai hasil konstruksi sosial melalui individu-individu yang secara aktif melaksanakan interpretasi subjektif dan intersubjektif atas struktur.
Untuk melaksanakan sebuah analisis wacana, lantaran itu, penguasaan teori dan konsep menjadi satu hal sentral. Teori-teori dan konsep-konsep wacana bagaimana sebuah realitas sosial itu bermakna secara sosial dalam sebuah nexus interaksi sosial dan kekuasaan menjadi kepingan yang tidak terpisahkan dari metode ini. Metode tidak lagi diharapkan semata-mata sebagai mekanisme dan teknik, strategi, melainkan juga dan terutaman sebagai hasil. Sebagai penutup, teks yang dipelajari dalam analisis wacana selalu dilihat sebagai kepingan yang tidak terpisahkan dari usaha memahami indivdu (sebagai mekanisme teks) yang tengah membangun makna dan menghadirkan realitas berdasarkan konstruksi sosial dari mana ia menjadi kepingan dan terlibat dalam prose itu. Teks, lantaran itu, selalu diperlakukan juga sebagai sebuah konteks yang merepresentasikan kompetisi makna yang amat beragam dan yang selalu berimplikasi kepada korelasi yang berdimensi kekuasaan di antara mekanisme teks dan audience yang untuk ketika yang lain juga menjadi mekanisme teks.
Semua pengetahuan yakni politik karena syarat syarat kemungkinannya besumber pada kekerabatan kekuasaan. Anatomi politik mengambarkan bahwa teknik kekuasaa, produksi, dan pengetahuan lahir dari sumber yang sama. Memang anatomi politik tidak membuat pengetahuan, tetapi genealogi. Dengan metode genealogi ditunjukkan bahwa kebenaran yang mengambil bentuk objektivitas ilmu hanya ilusi. Setiap pengetahuan terkait dengan objek kekuasaan : orang gila, kriminal, anak remaja, orang sakit, buruh. Kaitanya terletak pada kemampuan pengetahuan mendefinisikan realitas objek tersebut. Dengan mendefinisikan realitas, karenanya pengetahuan merubah konstelasi sosial.
Dalam karyanya Discourse on Language. Genealogi tersebut muncul untuk melengkapi analisis wacana aspek diskursus yang mirip-sistem dengan suatu analisis bagaimana aspek tersebut sanggup terbentuk. Namun genealogi justerru menggantikan kiprah arkeologi. Tugas genealogi kekuasaan sesungguhnya berfungsi untuk menganalisis silsilah pengetahuan, pembedaan Nietzsche antara asal-usul dan silsilah yakni pembedaan antara presentasi sejarah sebagai terbentangnya suatu gagasan secara terperinci serta sebagai fenomena yang murni kebetulan. Disamping itu gagasan Nietzschean wacana kemunculan untuk memperlihatkan bahwa mode-mode pengetahuan mempunyai erat dengan meluapnya aneka macam kekuatan. Dengan demikian Foucault hingga pada gagasan wacana pasangan kekuasaan-pengetahuan : suatu pasangan yang secara dramatis menggambarkan terikatnya diskursus secara erat pada kekerabatan antara kekuatan dan kekuasaan, maupun mengekspresikan kapasitas produktif kekuasaan untuk membuat diskursus. [21]
Sedangkan dengan metode arkeologis Foucault menemukan bahwa semua wacana mempunyai pretensi objektivitas ilmu yaitu wacana sesorang yang mempunyai kekuasaan. Cara psikiatri memdefinisikan adanya penyakit jiwa membawa pemisahan antara orang abnormal dan orang normal. Definisi yang diberikan dokter wacana penyakit membawa pemisahan yang dilembagakan dalam bentuk perbedaan orang sehat dengan orang sakit, kemudian diciptakan rumah sakit. Kriminolog merubah konstelasi masyarakat dengan memisahkan antara orang baik-baik dengan penjahat, yang dicurigai dan tidak terlibat. Diciptakannya penjara berakibat kekuasaan yang dijalankan polisi semakin besar. [22]
Kekuasaan bagi Foucault tidak tercipta dalam bentuk tunggal. Kekuasaan hadir dimana-mana, ada didalam semua kekerabatan sosial dan dilaksanakan pada titik titik yang tidak terkira banyaknya dalam bentuk bentuk yang heterogen. [23]
Kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Salah satu bidang normalisasi yakni tubuh. Senam dan latihanlatihan militer, kelincahan, dan keluwesan yang menyangkut tingkah laris serta gerak gerik, mengikuti norma wacana keadaan tubuh (langsing, gemuk, kurus dll), cara berpakaian dan kesehatan: dalam semuanya itu berlangsung normalisasi dan dengan itu juga seni manajemen kuasa. Contoh lain yang lebih terperinci wacana seni manajemen kuasa yakni seluruh wilayah yang menyangkut kesehatan badani dan psikis dengan norma-normanya untuk menyatakan seseorang sakit atau sehat. Juga aturan-aturan yang mengiringi cara kita berbicara dengan ketentuan-ketentuan wacana lafalan dan ejaan merupakan pola normalisasi.
Secara sederhana pemikiran Foucault sanggup didiskripsikan sebagai berikut, kekuasaan tidak bertumpu pada satu titik sentral termasuk tidak hanya pada pihak-pihak yang dominan, melainkan tersebar di seluruh masyarakat (tidak ada seorang pun yang memilikinya). Kuasa bukanlah milik raja, presiden, atau pejabat, tetapi dalam bentuk strategi. Kekuasaan tidak bekerja melalui penindasan atau represi, melainkan melalui normalisasi yang positif dan produktif, yaitu melalui wacana. Salah satu subjek penting yang diamati Foucault menyangkut kekuasaan yakni tubuh, lantaran baginya untuk memperlihatkan bagaimana kuasa melaksanakan normalisasi dan menyebar, maka haruslah melihat dari tubuh manusia. Bahkan bagi Foucault tubuh telah menjadi ”pertarungan wacana” terus menerus.
Di sini penulis mencoba mengambil pola penyebaran wacana pada masa orde baru. Pada masa Soeharto wacana guna menguasai dan mengontrol pikiran masyarakat hampir dilakukan disegala lini baik itu media massa yang berupa elektronik maupun cetak, juga dalam lingkup pendidikan, ambillah pola wacana G30S, pada masa Soeharto hampir semua media selalu memutar dan menampilkan kekejaman yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, buku buku paket di sekolah dikarang sedemikian rupa dengan menanamkan kebencian pada PKI, dan buku buku dan media Cetak yang tidak mencantumkan goresan pena PKI pada gerakan 30 september pribadi di brendel, tentu saja wacana-wacana yang digulirkan oleh ORBA tidak lain yakni mengarahkan masyarakat biar selalau beranggapa bahwa pemeritahan ORBA telah berhasil menjaga keutuhan NKRI dan lain sebagainya. Di sini tengah berlangsung bergulirnya seni manajemen kuasa yang diproduksi terus menerus.
Wacana yang dihembuskan ini secara perlahan-lahan membuat kategorisasi, mirip aturan-aturan mengenai sikap baik atau jelek yang bahwasanya mengendalikan sikap masyarakat yang pada akhirnya dianggap kebenaran yang telah ditetapkan. Atas hal ini, bukan tubuh fisik lagi yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan kehendak individu. Pada akhirnya iklan menormalkan individu biar perilakunya sesuai dengan yang diinginkan si pembuat wacana.
10. Keberpihakan (Cartesian)
Foucault melaksanakan kritik terhadap tatanan pengetahuan terutama kritik terhadap positivisme yang mendewakan kemapanan pengetahuan. Ia sangat menjiwai ilmu yang terkait dengan insan lantaran bagi Foucault tidak ada sesuatu yang objektif, segala sesuatu itu subjektif, segala sesuatu mempunyai ruang cipta baik sadar atau tidak.
Di dalam buku yang ia tulis yaitu order of thing, ia ingin memaparkan arkeologi ilmu-ilmu kemanusiaan bahwa pengetahuan insan tidak lagi mengambil bentuk dalam masa pencarian kita akan kesamaan dan kemiripan tetapi lebih pada permukaan dan kedalaman yang dibangkitkan kembali pada kesadaran ‘keheningan’ tak berjulukan yang mendasari dan memungkinkan bentuk-bentuk semua diskursus, bahkan dari ‘ilmu pengetahuan’ itu sendiri.
[1] Syafieh. Pengetahuan Dan Kekuasaan Dalam Perspektif Foucault. 2013. (online) sumber: cerciterismah.blogspot.com/search?q=pengetahuan-dan-kekuasaan-dalam
[2] Slamet Santoso. Pemikiran Michel Foucault (1926 – 1984). (online) sumber: http://ssantoso.blogspot.com /2007/08/ pemikiran-michel-foucault-1926-1984.html
[3] Sunardi. Nietzsche. 2006, halaman 17. LKiS
[4] Ibid. hal 18.
[5] Ibid. hal 22.
[6] Sudiarja. Re: Nietzsche dari Kacamata Foucault. http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp? Id=2004042901343827. (diunduh 15 april 2013)
[7] Ibid.
[8] Sejarah UNJ. Kritik Foucault Terhadap Positivisme: Pembacaan Arkeologis dan Geneanologis atas Rezim Kuasa. Mei 3, 2010. (online) sumber: http://sejarahunj.wordpress.com/page/4/
[9] Agustin, Sari Monik. Foucault & Komunikasi (Telaah Konstruksi Wacana Dan Kuasa Foucault Dalam Lingkup Ilmu Komunikasi). - : Universitas Al Azhar Indonesia
[10] ibid .
[11] Haryatmoko. Foucault dan Kekuasaan dalam majalah.Basis. No.01-02, Thn ke-51, Januari-Februari 2002. Hal 12. Yogyakarta.
[12] Rizki Wulandari. Foucault. 2012. (online) sumber: http://afidburhanuddin.files.wordpress.com /2012/11/foucault2_ed.pdf. halaman 3-4
[13] Dr. Konrad Kebung, SVD, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), hal. 212.
[14] -.Kekuasaan (Kuasa) Menurut Michel Foucault. 2011. (online) sumber: http://sangkebijaksanaan. blogspot.com/2011/09/kekuasaan-kuasa-menurut-michel-foucault.html
[15] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2007), hal. 71.
[16] Beilharz, Peter. Teori-Teori Sosial : observasi kritis terhadap para filosof terkemuka. 2005. Hal 128-129. Yogyakarta.
[18] Siskandar. Kesiapan Daerah Dalam Melaksanakan Ujian Nasional. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 5 Nomor 1, April 2008. Halaman 100-101
[19] Ibid. Halaman 100-101
[20] Dra. Nuryanah, M.Ag. Dekonstruksi Dan Rekonstruksi. 2011. (online) sumber: http://nuryanahsmkn7.blogdetik.com/2011/07/19/.
[21] Ibid. Hal 132.
[22] Haryatmoko. Ibid. Hal 13.
[23] Ritzer & Smart. Handbook Teori Sosial. 2012. Hal 649. bandung.
Sumber http://febasfi.blogspot.com
0 Response to "Anatomi Ajaran Michel Foucault : Tentang Dan Kekuasaan (Discourse And Power)"
Posting Komentar