Big Data: Digital Hype, Digital Dystopia?
Big data menjadi istilah yang lagi hype di masa digital ini. Definisi big data sering kali merujuk pada ketersediaan data dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak dibanding masa manapun sebelumnya. Data yang dimaksud yaitu data digital, sehingga boleh dibilang sulit memisahkan antara perkembangan teknologi digital dengan fenomena kemunculan big data.
Para digital natif lahir dengan ketersediaan isu yang melimpah. Problem hidup mereka tentu berbeda dengan generasi sebelumya. Memilah data menjadi problem, bukan mencari data.
Big data merupakan istilah yang menggambarkan keberlimpahan isu yang tersimpan dalam storage. Jejak digital yang melimpah ruah merupakan wujud kehadiran big data yang dinamis dan terus bertambah. Okey, kita sudah paham ini, kita juga tampaknya sudah tidak ajaib lagi dengan istilah big data. Lalu, apa problematisasi yang bisa kita buat dari fenomena ini?
Baca juga: Perbedaan Data dan Informasi
Digital hype
Setiap ketika netizen setor data ke banyak sekali platform digital. Kita memakai media umum untuk berkomunikasi, curhat, nyinyir, atau apapun yang bisa kita lakukan dengannya. Konten yang kita unggah, posting, upload di platform tersebut menjadi jejak digital yang gampang terlacak. Perusahaan digital macam Facebook dan Twitter menyediakan storage untuk setiap konten yang kita posting. Selanjutnya, konten digital yang jumlahnya tak terhitung dan terus bertambah itu menjadi data.
Bagi mereka yang hidup dari pemanfaatan data digital, dengan acara meng-crowling, mengolah dan menganalisis, telah mengubah data menjadi mata uang baru. Sering pula data dikatakan sebagai emas di masa informasi. Data scientist punya nilai tawar yang menjulang tinggi, sehingga para CEO startup mau nggak mau harus menggaji mereka dengan membagi sebagian sahamnya.
Ketersediaan data digital yang melimpah dan munculnya para seorang jago yang piawai mengolah big data menjadi tren gres yang terus mengulik rasa ingin tau kita tentangnya. Seperti apa pengolahan big data itu? Siapa yang diuntungkan dengan adanya big data? Apa implikasinya bagi kehidupan kita? Apa perubahan yang dihasilkannya dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya? Bagaimana kita bisa ambil bab sebagai pemain di masa big data?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu kerap bermunculan. Generasi milenial tampaknya menjadi kelompok sosial yang paling penasaran. Kehadiran big data telah menjadi digital hype yang dirayakan dimana-mana.
Baca juga: Manfaat Internet di Bidang Sosial
Namun demikian, faktanya hanya sedikit orang yang diuntungkan. Ilmu komputer, teknologi dan statistik naik daun seiring tren profesi data analyst yang makin menjanjikan. Apakah membangun skill analisis big data yaitu jaminan menikmati masa depan yang gemilang?
Bagi pragmatis, balasan ‘Ya’ menjadi satu-satunya balasan yang memuaskan. Data digital yang sudah tersedia itu sangat sayang kalau tak dimanfaatkan. Apa maksudnya dimanfaatkan? Bukan sekadar diunduh, diolah, dan dianalisis, tapi juga harus hingga pada tahap di-monetize.
Big data sebagai digital hype dirayakan di banyak arena. Riset ilmiah yang beriorientasi akademik juga mulai melirik big data sebagai objek sekaligus subjek analisis. Bagi banyak analis di dunia akademik, big data dianggap berpotensi melahirkan paradigma gres bagaimana riset ilmiah dilakukan. Sebagai contoh, metode riset yang semula bersandar pada representasi sample, sekarang diambil semuanya. Riset big data tak mengambil sample, namun memanfaatkan totalitas data yang tersedia.
Disamping perayaan potensi big data, kritik tajam juga banyak mengarah padanya. Seperti pendapat yang menyampaikan bahwa femomena big data sebagai jalan kelahiran big brothers society atau panoptikon.
Baca juga: Dampak Negatif Internet
Digital dystopia?
Siapa yang paling diuntungkan dengan adanya big data? Tentu saja salah satunya mereka yang bisa mengolah. Namun di atas itu, laba terbesar lari ke mereka yang punya. Perusahaan semacam Google dan Facebook untung besar alasannya yaitu mereka mengendalikan storage-nya. Netizen menyerupai kita yaitu penyumbang rutin data digital yang siap mereka olah dan jual.
Tim Cook akan merasa bahagia ketika Apple yang diproduksinya kita beli. Kita sanggup Apel krowak, dan Tim Cook sanggup uang. Tapi ketika kita beli Android yang di situ sudah terinstall Google apps dan Facebook apps. Sundar Pichai dan Zukerberg belum happy kecuali kita searching, login, surfing tiap hari. Dengan facebokan dan googling tiap hari, kita menyumbang konten yang sangat berkhasiat bagi mereka. Konten menjadi semacam oksigen untuk mereka hidup.
Google dan Facebook bukan perusahaan mesin pencari dan media. Kita sebut apa mereka? Mungkin sebaiknya kita mulai sebut mereka perusahaan pengiklan. Faktanya sebagian besar pendapatan Alphabet, bapaknya Google diperoleh lewat iklan. Facebook menjual jumlah penggunanya kepada pengiklan dengan cara menyediakan space iklan menurut potensi impression, viewers, engagement dari pengguna.
Dua perusahaan raksasa ini yaitu panutan dari ribuan atau jutaan startup yang bermimpi menyerupai mereka. Pengiklan tertarik pasang iklan di Google dan Facebook alasannya yaitu pasarnya besar. Kedua perusahaan digital tersebut punya pengguna di seluruh dunia. Mereka juga punya data siapa yang menjadi penggunanya, apa yang dicari, apa yang diposting dan seterusnya. Coba pikirkan ihwal Gmail dan profil akun Facebook yang kita buat. Siapa kita dan bagaimana sikap digital kita terpantau secara sistematis di platform mereka.
Baca juga Donna Haraway: Teoritisi Manusia Cyber
Di masa kapitalisme digital, things telah diambil alih oleh konten. Konten menjadi emas gres yang potensial di-mining. Konten digital yang ditambang itulah yang sekarang kita sebut big data. Seberapa angker sehingga big data bisa disebut sebagai tanda-tanda digital dystopia?
Simpel saja, ketika triliunan data yang diproduksi oleh miliaran insan hanya dikuasai oleh segelintir pemain drama menyerupai Google dan Facebook, kita tidak melihat adanya demokrasi dan transparansi bisnis disitu. Era digital menampakkan suatu bentuk sistem eksploitasi gres yang oligarkis. Apa yang dieksploitasi? Data digital. Bagaimana eksploitasinya? Jualan space kepada pengiklan. Apa yang bisa dibutuhkan dari adanya kekuasaan segelintir orang yang menguasai sejumlah besar data manusia?
Google yaitu pioneer pemanfaatan big data. Saya menulis di blog ini bisa dibaca seabagai upaya menyumbangkan konten ke Google. Pada ketika yang sama, Google menyediakan space kepada pengiklan lewat konten ini. Ketika iklan di konten ini dilihat, saya sanggup untung dan Google mengambil sebagian dari laba yang saya dapat. Ketika iklan di konten ini tidak dilihat orang, saya tak sanggup untung, namun Google tetap untung alasannya yaitu sanggup konten gratisan yang space-nya sudah jadi duit.
Baca juga: Dampak Positif dan Negatif Sosial Media
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
0 Response to "Big Data: Digital Hype, Digital Dystopia?"
Posting Komentar