Perlawanan Sultan Abdul Khair Sirajuddin Kepada Belanda
Perlawanan Sultan Abdul Khair Sirajuddin kepada Belanda
Pemerintahan Belanda mulai ikut campur dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kesultanan Bima dimulai tahun 1908 yaitu semenjak ditandatanginya surat kontrak politik panjang (Lange Politie Contract) antara Sultan Ibrahim dengan Belanda. Dengan adanya surat ini, maka pemerintahan Bima dipaksa ikut menjadi belahan wilayah Hindia Belanda serta mengakui adanya kekuasaan Belanda (Baca: Sejarah Bima Bagian Ketiga (Zaman Kesultanan)).
Pada 3 Desember 1938 yaitu masa Sultan Muhammad Salahuddin, surat kontrak politik panjang ini diperbarui dimana kekuasaan pemerintahan kesultanan Bima harus berada di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda sedangan untuk jawatan-jawatan masih tetap diserahkan kepada Kerajaan Bima.
Pada masa Sultan Abdul Khair Sirajuddin, Kesultanan Bima berkembang sangat pesat terutama sebagai sentra perdagangan di wilayah Indonesia belahan timur bersama Kesultanan Makassar. Saat itu sultan sudah mempunyai firasat bahwa perkembangan yang pesat ini niscaya suatu ketika akan menimbulkan kekhawatiran Belanda sehingga sangat berpotensi terjadinya perang. Untuk itu, sultan segera menguatkan kemampuan angkatan perangnya.
Kekhawatiran Sultan Abdul Khair Sirajuddin menjadi kenyataan yaitu tahun 1660 ketika tongkat kepemimpinan dipegang oleh saudara iparnya -Sultan Hassanuddin- peperangan dengan penjajah Belanda tidak bisa dielakkan lagi. Saat itu, Belanda sedang melaksanakan peperangan dengan Kesultanan Makassar yang notabene merupakan saudara dari Kesultanan Bima.
Hubungan Kesultanan Makassar dengan Kesultanan Bima sangatlah dekat dimana kekerabatan ini diikat oleh adanya persamaan politik, agama dan darah. Hal inilah yang menciptakan Sultan Hasnuddin memutuskan bahwa Kesultanan Bima juga perlu dan wajib ikut serta berperang melawan penjajah Belanda yang ketika itu sedang berperang dengan Makassar.
Sebab ikut sertanya Kesultanan Bima dalam memerangi Belanda bukan alasannya yakni alasan ini saja. Satu tahun sebelum meletusnya perang yaitu pada tahun 1659, ketika Sultan Abdul Khair Sirajuddin masih memerintah, telah terjadi bencana penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Belanda kepada masyarakat Bima. Saat itu korban memakan 400 jiwa namun Belanda enggan bertanggungjawab. Hal inilah yang menciptakan Sultan Abdul Khair Sirajuddin geram.
Pada tanggal 5 Juni 1660, Belanda mendatangkan armadanya dari Ambon dan hingga di pelabuhan Somba Opu yang merupakan ibu kota Kesultanan Makassar. Selang tiga hari yaitu tanggal 8 Juni 1660, Belanda menyerang Benteng Somba Opu. Pada ketika itu, Sultan Abdul Khair Sirrajuddin ikut berperang bersama Kesultanan Makassar untuk melawan Belanda.
Kegigihan usaha rakyat pribumi mengakibatkan Belanda mengalah dengan melaksanakan negosiasi yaitu negosiasi Bongaya. Perundingan ini sangat menyudutkan dan melemahkan kekuatan Kesultanan Bima dan Makassar. Akibatnya, meski negosiasi ini ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin namun pasal-pasalnya tidak dipatuhi. Adanya negosiasi ini setidaknya memberi kesempatan waktu kepada Sultan Abdul Khair Sirajuddin untuk menciptakan benteng pertahanan yang dinamakan sebagai Benteng Asa Kota serta berbagi seni administrasi peperangan.
Setelah negosiasi Bongaya ditandatangani, Sultan Abdul Khair Sirajuddin beserta putranya yaitu Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Syah pergi meninggalkan Bima menuju Jawa untuk bergabung dengan Trunojoyo melawan Belanda di Mataram. Disini Sultan Abdul Khair bertemu dengan p0juang-p0juang lainnya termasuk bertemu kembali dengan p0juang dari Kesultanan Makassar yaitu Bontomaranu.
Pertemuan Bontomaranu dengan Sultan Abdul Khair Sirajuddin sangat memilukan. Pasalnya, semenjak beredarnya kabar Kesultanan Bima menandatangani negosiasi Bongaya, terjadilah miskomunikasi antara Kesultanan Bima dengan Kesultanan Makassar. Kesultanan Makassar menilai bahwa Kesultanan Bima telah berkhianat sehingga Bontomaranu sempat melaksanakan penyerangan di tempat pesisir Bima sehingga menewaskan panglima perang Kesultanan Bima. Namun berkat pertemuan ini menciptakan miskomunikasi antara Kesultanan Bima dan Makassar bisa diselesaikan sehingga kesalahpahaman bisa diluruskan.
Setelah membantu usaha melawan Belanda di tanah Jawa, Sultan Abdul Khair Sirajuddin pulang lagi ke Bima untuk melawan Belanda serta membangun markas di teluk Palibelo. Saat itu Sultan pulang ke Bima dengan ditemani oleh Syeikh Umar Al Bantani yang merupakan seorang ulama yang bisa menghidupkan kembali semangat jihad masyarakat Bima.
Sultan Abdul Khair Sirajuddin wafat pada tanggal 22 Juli 1692. Kemudian usaha Beliau dilanjutkan oleh puteranya berjulukan Sultan Nuruddin Abubakar Ali Syah (Baca juga: Peninggalan Sejarah Islam di Bima).
[color-box]L. Masier Q. Abdullah dkk. Buku Sejarah Kabupaten Bima yang dijilid oleh Perpustakaan Kota Bima.[/color-box]
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
0 Response to "Perlawanan Sultan Abdul Khair Sirajuddin Kepada Belanda"
Posting Komentar