Bhinneka Tunggal Ika
Sejarah Bhinneka Tunggal Ika
Bunyi lengkap dari uangkapan Bhinneka tunggal ika sanggup ditemukan dalam kitab sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada kurun ke XIV dimasa kerajaan Majapahit. Dalam kitab tersebut Mpu Tantular menulis “Rwaneka dhatuwinuwus Buddha Wisma, Bhineki rakwa ring apan kena, parwanosen, mangka ng Jinatwa kalawan Siwatawa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrawa” (Bahwa agama Budha dan Siwa (hindhu) merupakan zat yang berbeda, tetapi nilai nilai kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa ialah tunggal. Terpecah belah tetapi satu jua, artinya tak ada dharma yang mendua). Nama Mpu Tantular sendiri terdiri dari Tan (tidak) dan tular (terpengaruh), dengan demikian, Mpu Tantular ialah seorang Mpu (cendikiawan, pemikir) yang berpendirian teguh, tidak gampang terpengaruh oleh siapapun (suhandi sigit, 2011)
Uangkapan dalam bahasa jawa kuno tersebut, secara harfiah mengandung arti bhinneka (beragam), tunggal, (satu), ika (itu) yaitu bermacam-macam satu itu. Doktrin yang bercorak teologis ini semula dimaksudkan semoga antar beragama Buddha (jina) dan agama Hindhu (siwa) sanggup hidup berdampingan dengan hening dan harmonis, lantaran hakikat kebenaran yang terkandung dalam pedoman keduanya ialah tunggal (satu). Mpu Tantular sendiri ialah penganut Buddha Tantrayana, tetapi merasa kondusif hidup dalam kerajaan Majapahit yang lebih bercorak Hindhu (Ma’arif A. Syafii, 2011)
Dalam proses perumusan Konstitusi Indonesia, jasa Muh.Yamin harus dicatat sebagai tokoh yang pertama kali mengusulkan kepada bung karno semoga Bhinneka tunggal ika dijadikan semboyan sesanti negara. Muh.Yamin sebagai tokoh kebudayaan dan bahasa dikenal sudah usang bersentuhan dengan seagal hal yang berkenaan dengan kebesaran Majapahit, (Prabaswara, I Made, 2003). Konon, disela-sela sidang BPUPKI atara Mei-Juni 1945, Muh.Yamin menyebut-nyebut ungkanpan Bhineka Tunggal Ika itu sendirian. Amun I Gusti Bagus Sugriwa (temannya dari Buleleng) yang duduk disampingnya sontak menyambut sambungan ungkapan itu dengan “tan hana dharma mangrawa.: sambungan impulsif ini disamping menyenangkan yamin, sekaligus mengatakan bahwa di bali ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu masih hidup dan dipelajari orang (Prabaswara, I Made, 2003). Meskipun kitab Sutasomo ditulis oleh seorang sastrawan Buddha, pengaruhnya cukup besar dilingkungan masyarakat Intelektual Hindhu Bali.
Para pendiri bangsa ini yang sebagian besar beragama islam sepertinya cukup toleran untuk mendapatkan warisan Mpu Tantular tersebut. Sikap toleran ini merupakan perilaku dasar suku-suku bangsa indonesia yang telah mengenal bermacam-macam agama, berlapis-lapis doktrin dan tradisi, jauh sebelum islam tiba ke nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya kerajaan Majapahit kurun XV, imbas Hindhu-Buddha secara politik sudah sangat melemah, secara kultural imbas tersebut tetap lestari hingga hari ini (Ma’arif A. Syafii, 2011).
Bhinneka Tunggal Ika dalam Kontesk Indonesia
Sejak indonesia merdeka, para pendiri bangsa dengan pertolongan penuh seluruh rakyat indinesia bersepakat mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal Ika pada lambang Garuda pancasila yang ditulis dengan aksara latin pada pita putih yang dicengkramkan burung garuda. Semboyan tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Kalimat itu sendiri di ambil dari falsafah nusantara yang semenjak jaman kerajaan Majapahit sudah digunakan sebagai semboyan pemersatu wilayah nusantara. Dengan demikian, kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa semangat anak anak bangsa, jauh sebelum jaman modren.
Ketika sumpah perjaka di ikrarkan pada 28 oktober 1928, di Gedung Indonesische Clubgebouw, Weltevreden (kini gedung Sumpah Pemuda, jalan kramat 106 Jakarta) milik seorang Thionghoa berjulukan Sie Kok Liong, para tokoh perjaka dari aneka macam etnik dan kawasan menyadari sepenuhnya kekuatan yang sanggup dibangun dari persatuan dan kesatuan nasional. Dengan sumpah perjaka mereka bersatu dan menengaskan persatuan dengan satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa persatuan, yaitu Indonesia.
Kesadaran terhadap tantangan dan keinginan untuk membangun sebuah bangsa telah dipikirkan secara mendalam oleh para pendiri bangsa indonesia. Keberagaman dan kekhasan sebagai sebuah realitas masyarakat dan lingkungan serta cita cita untuk membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ke-binnhieka-an merupakan realitas sosial, sedangkan ke-tunggal ika-an ialah sebuah keinginan bangsa. Wahana yang digagas sebagai “jembatan emas” untuk menuju pembentukan sebuah ikatan yang merangkul keberagaman dalam sebuah bangsa ialah sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Dalam Undang-undang Dasar sebelum di ubah, ratifikasi atas keberagaman dicantumkan pada pasal 18 yang menyatakan bahwa pembagian kawasan indonesia atas kawasan besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya diterapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sidang pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam kawasan daerah yang bersifat istimewa.
Penjelasan dalam pasal 18 diatas menyatakan bahwa ‘Dalam teritori’ Negara indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landscheppen dan volksgemeenschappen, menyerupai desa di jawa dan bali, negeri di minangkabau, dusun dan marga di palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu memiliki susunan asli, dan oleh akhirnya sanggup dianggap sebagai kawasan yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan kawasan daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul kawasan tersebut.
Rumusan pada pasal 6A ayat (3) yang memutuskan bahwa “pasangan calon presiden dan wakil presiden” yang mendapatkan bunyi lebih dari lima puluh persen dari jumlah bunyi dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suarat di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Pertimbangan adanya ketentuan ini ialah untuk menyesuaikan dengan realitas negara indonesia yang sangat majemuk, baik dari segi suku, agama, ras, budaya, maupun domisili lantaran persebaran penduduk tidak merata diseluruh wilayah negara yang terdiri atas pulau-pulau. Dengan demikian Presiden Republik Indonesia ialah pilihan mayoritas rakyat indonesia yang secara relatif tersebar di hampir seluruh wilayah. Hal itu sebagai wujud bahwa figur presiden dan wakil presiden selain sebagai pimpinan penyelenggara pemerintahan, juga merupakan simbol persatuan nasional.
Selanjutnya, dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 18, pasal 18A, dan pasal 18B merupakan suatu pendekatan gres dalam mengelola negara. Disatu pihak ditegaskan tentang bentuk negara kesatuan republik indonesia dan di pihak lain ditampung kemajemukan bangsa sesuai dengan sasanti Bhinneka Tunggal Ika.
Akibat kebijaka yang cendrung sentralistis itu, pemerintah pusat menjadi sangat lebih banyak didominasi dalam mengatur dan mengendalikan kawasan sehingga kawasan diperlakukan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri sesuai dengan potensi dan kondisi objektif yang dimilikinya.
Kesadaran akan kebhinnekaan juga dimuat dalam rumusan pasal 25A Undang-undang Dasar republik indonesia tahun 1945 yang memutuskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah-wilayah ditetapkan dengan Undang-undang.
Pengakuan akan keberagaman, juga tercamtum pada pasal 26 ayat (1) Undang undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang memutuskan bahwa yang menjadi warga negara ialah orang orang bangsa indonesia orisinil dan orang orang bangsa lain yang disahkan dengan undang undang sebagai warga negera.
Sebenarnya masih banyak pasal yang mengatur wacana kebhinnekaan ini, mengingat masih cukup panjang saya cukupkan hingga disini.
Demikian wacana sejarah lahirnya Bhinneka Tunggal Ika yang berasal dari kitab sutasoma yang ditulis oelh Mpu Tantular pada kurun ke XIV dimasa kerajaan Majapahit, semoga bermanfaat.
0 Response to "Bhinneka Tunggal Ika"
Posting Komentar