“A Man Without Love Story”: Mengapa Para Filsuf Jarang Membicarakan Soal Cinta
Filsafat cinta, frase yang penuh dugaan. Ada pertanyaan penting yang harus dijawab sebelum kita berfilsafat ihwal cinta. Bukan ihwal apa itu cinta, bukan ihwal mengapa kita mencinta. Tapi ihwal fakta para filsuf, mengapa mereka jarang membicarakan soal cinta?
Setiap perhelatan insiden di masa kemudian selalu menyisakan kesan kalau diingat-ingat kembali. Tentu saja yang biasanya diinginkan hanyalah kisah-kisah yang indah-indah, yang membangkitkan semangat batin, yang layak dikenang. Kalau yang menyedihkan? kembalikan saja pada perspektif personal setiap orang. Tapi dongeng yang menyedihkan juga perlu diingat-ingat semoga kita senantiasa sadar dan menghargai sebuah nilai kehidupan. Biasanya, dongeng terkenal yang banyak bermuatan kenangan indah namun sekaligus menyedihkan ialah soal yang satu ini: cinta.
Saya bukan orang yang berpengalaman soal ini, termasuk pengalaman dari membaca. Buku bacaan yang aku gemari ialah filsafat. Jikalau kau buka buku-buku ihwal filsafat, sangat jarang ditemukan goresan pena bertemakan cinta. Memang sih, Plato dan Aristoteles menulis banyak hal ihwal korelasi emosional antar manusia, soal kebahagiaan, soal persahabatan, soal cinta. Dibuku Lysis dan Nichomachean Ethic misalnya, dituliskan hal-hal sederhana yang dialami oleh insan sehari-hari, tetapi semuanya lebih banyak dikemas untuk kebahagiaan yang sifatnya transendental, ihwal bagaimana seharusnya kita menjalani hidup.
Jikalau menyelidiki karya filsafat yang ditulis oleh para pemikir muslim, khususnya di periode pertengahan, tidak beda jauh dengan bapak-bapak pendahulu dari Yunani. Filsafat Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, Al Ghazali dan kawan-kawan lebih banyak bertemakan teologi-filsafat ketimbang tema sosial-emosional sehari-hari. Ibn Khaldun banyak menulis ihwal korelasi sosial, tapi itu soal peradaban, -meskipun karyanya ‘Mukkadimah’-nya berdasarkan aku wajib dibaca, merugilah mereka yang sempat mampir ke dunia tanpa baca ‘Mukkadimah’-.
Belakangan, para filsuf periode 18 dan 19, mengkritik soal yang satu ini, yakni mengapa para pemikir besar sangat jarang membicarakan soal cinta? padahal cinta ialah dilema sehari-hari yang menempel dalam kehidupan setiap insan. Arthur Schopenhouer ialah salah satu orang yang mengkritik paling keras. Pikirannya yang suka melayang-layang, menuntunnya pada sebuah kesimpulan, “para filsuf sengaja meninggalkan dilema cinta kepada para penyair dan orang-orang yang histeria”, katanya. Menurut saya, dapat jadi. Toh kalau soal cinta diambil juga oleh para filsur, para penyair bahas apa dong? orang histeria makan apa? Schopenhouer benar meski jelas-jelas ngawur.
‘A Man without Love Story’, judul ini ditulis tanpa bermaksud menyinggung siapapun, kecuali bagi yang merasa saja. Saya mem-posting artikel ini sebagai orang yang gelisah sekaligus sepandangan dengan Schopenhouer. Saya juga mau menyampaikan dengan lantang “mengapa para filsuf jarang membicarakan soal cinta? padahal cinta ialah dilema yang serius!”
‘A Man without Love Story’ ialah para filsuf yang mengabaikan soal cinta dalam karya-karyanya. Hampir tak ada filsafat cinta. Meskipun aku terkagum pada karya Plato, tapi sisi lain dari Plato tetap memperlihatkan dirinya sebagai orang biasa. Begitu pula para filsuf lainnya, mereka juga orang biasa. Aristotle lebih patut menjadi pola sepertinya. Ia menikah, mempunyai seorang istri dan anak-anak. Karyanya jauh lebih lengkap ketimbang gurunya itu, termasuk tulisannya yang gayeng ihwal kebahagiaan, persahabatan, dan cinta. Peradaban Yunani sekitar lima abad sebelum masehi memang menginspirasi banyak hal ihwal kehidupan. Di sisi lain itu menunjukkan, meski dikala itu agama yang berkembang politeis, bukan berarti filsafatnya buruk. Hanya sayang, betapa sulit mencari goresan pena jaman itu yang relevan dengan masa kini, terutama soal cinta. Tak ada filsafat cinta. Filsafat oh filsafat.
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
0 Response to "“A Man Without Love Story”: Mengapa Para Filsuf Jarang Membicarakan Soal Cinta"
Posting Komentar