Traveling Mataram-Majapahit: Catatan Perjalanan Ke Sentra Peradaban Nusantara
Nusantara kala 14 masehi. Sesaat sehabis Mahapatih Gajah Mada menggelorakan sumpah palapa yang populer itu, raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk tersentak kemudian berdiri, dengan sorot mata yang tajam menatap Gajah Mada. Hayam Wuruk bertitah “lakukan!”. Misi besar menyatukan nusantara pun dimulai. Prabu Hayam Wuruk ketika itu berusia 23 tahun, Gajah Mada 46 tahun.
Para leluhur kita ialah orang-orang pemberani yang tercatat dalam sejarah sebagai penjelajah, penakluk, pemimpin besar yang patut dibanggakan. Tak dipungkiri, dahulu negeri kita termashyur ketika dunia mengenal dengan nama Majapahit. Dan bahkan 7 kala sebelumnya, ketika kita dikenal dengan nama Sriwijaya.
Kini, demi menghirup kembali udara kemashyuran nusantara, gerombolan anak muda, yang bernama Prabu Lupet, Prabu Gufron, Gus Yus, dan Tumenggung Chandra tetapkan untuk melaksanakan sebuah perjalanan. Perjalanan dari tanah Mataram menuju bumi Majapahit, kami menuju sentra peradaban nusantara.
Selasa, 3 Juni, waktu luang menjadi pijakan kami untuk menjadi utusan Mataram meski tanpa klaim siapapaun kecuali dari kami sendiri. Kami traveling mengunjungi Majapahit. Awalnya kami ingin naik kuda ke sana, tapi kami pikir tidak memungkinkan, kemudian kami naik Avanza. Menyusuri malam yang gelap, sempurna tengah malam kami tiba di gung liwang-liwung Ngawi. Perjalanan kian menantang lantaran aspalnya ngombak. Saking ngombaknya, saya yang nyenyak tidur di bangku belakang sering kali terbangun kaget. Tapi tak masalah, hanya rintangan kecil.
Kecuali supir kami Prabu Lupet, malam hari kami lalui dengan tidur. Singkat cerita, sempurna pada pagi buta, tibalah kami di pengisian materi bakar di tempat Jombang. Itu artinya kami sudah memasuki area bumi Majapahit lantaran dahulu wilayah Majapahit meliputi dua kabupaten yang kini berjulukan Jombang dan Mojokerto. Setelah beristirahat sejenak dan melaksanakan ritual sholat subuh, kami melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba, kami melihat tulisan ‘Trowulan’ di pinggir jalan. Artinya, kami telah hingga di lokasi tujuan. Trowulan dahulu ialah kota paling indah dan makmur se-Nusantara. Di buku sejarah yang kami pinjam tapi tidak dikembalikan, Trowulan ialah ibu kota kerajaan Majapahit. Kami menepi, tanya orang di pinggir jalan. Dan benar, ini Trowulan, ada beberapa tempat wisata berupa candi, pendopo, museum, dan kolam yang kata masyarakat setempat ialah peninggalan Kemaharajaan Majapahit.
Sesuai petunjuk warga yang memberi tahu kami lokasi-lokasi warisan Majapahit itu, kami menuju sentra area Trowulan, yaitu Pendopo Agung. Saya kira, pendopo itu dahulu ialah Tatag Rambat Bale Mangguntur, tempat Gajah Mada menggelorakan sumpah untuk menyatukan nusantara. Tapi ternyata pendopo Pemda, ya sudah lah. Akhirnya kami berhenti di pinggir kolam, namanya kolam Segaran. Kolam peninggalan Majapahit. Kali ini kami yakin ini benar-benar kolam peninggalan Majapahit.
Sekeliling kolam tersusun bata merah tanpa semen, menyerupai susunan candi yang direkatkan. Dekat dengan kolam kami melihat sebuah bangunan bau tanah menyerupai pos jaga prajurit. Barangkali warisan satpam Majapahit.
Di pinggiran kolam banyak orang yang memancing, padahal hari itu hari Selasa pagi. Betapa selo-nya mereka, mungkin mereka abdi dalem, tapi bukankah raja Majapahit sudah tidak ada lagi? Jadi, mereka abdi ke siapa? Pertanyaan itu menjadi kian misterius dibenak kami lantaran ternyata raja Majapahit masih ada, masih hidup! –soal raja ini saya ceritakan dibelakang-.
Separuh mengelilingi kolam, kami lihat papan kayu bertuliskan makam Putri Campa. Wow… Putri Campa, permaisuri Majapahit dari kerajaan Campa yang populer itu? Akhirnya kami menuju makam, berharap sanggup melihat Putri Campa yang konon paras cantiknya tak tertandingi. Tapi ketika memasuki area makam, tak ada Putri Campa, hanya ada kerikil nisan, sungguh menyedihkan.
Oleh lantaran Putri Campa tidak ada, kami segera keluar makam. Di pinggir jalan, ada sebuah rumah bertuliskan ‘Hindu Centre of Majapahit’ di depannya, sentra informasi Majapahit. Nah ini yang kami cari. Sebagai utusan dari Mataram, kami harus menemui orang yang masih ada asal-usul dengan Majapahit, barangkali informasi dari situ memberi kami pentunjuk.
Kami melongok-longok ke dalam rumah, pintunya terbuka sedikit. Ternyata ada Gajah Mada di situ, tapi hanya sepertiga badan. Patung, keris juga berjejer dipajang di tembok, sungguh mengagumkan.
Hampir setengah jam kami melongok, hingga akhirnya, ada orang beneran dari belakang yang menampakkan dirinya. Ia berjalan mendekat kemudian bertanya sedikit heran ada orang gila datang, “siapa ya?” kami merasa kepergok, “mau tanya-tanya” jawab kami. “oh mari, mari silahkan masuk”. Kami dipersilahkan masuk dan duduk di bangku yang terbuat dari kayu jati kuno. “Rombongan dari mana ini?” ia bertanya. Ternyata kami disambut baik, dengan tegas kami menjawab “perkenalkan kami rombongan dari Mataram”.
Lalu kami dibawa ke ruang dimana Gajah Mada tadi sudah stand by. Orang yang menemui kami itu berjulukan Wawan, agamanya Islam, keyakinannya Siwa Buda, ia menjabat humas di Hindu Centre. Usianya lebih muda dari Gajah Mada tapi lebih bau tanah dari Hayam Wuruk. Kami mengobrol perihal sejarah Majapahit kira-kira se-jam lamanya.
Sejarah mulut perihal Majapahit kami peroleh dari sepengetahuannya. Banyak informasi yang kami peroleh di luar buku-buku sejarah, menyerupai misalnya, persamaan antara Dewi Kwan In dengan Nyi Roro Kidul.
“Dewi Kwan In dan Nyi Roro Kidul itu sama, di Jawa itu namanya Nyi Roro Kidul, di Cina Dewi Kwan In, nah di Bali, Ratu Mas Magelung. Itu sama saja, penguasa laut.”
Sesuai misi kami untuk mengulik sejarah Majapahit, Wawan kami tanya banyak hal, kemudian ia mulai bercerita.
“Di sini tulisannya ‘Hindu Centre’ memang, tapi ini bukan Hindu, itu hanya tanda ratifikasi orang Hindu pada rumah ini. Di sini keyakinannya Siwa Buda. ‘Siwa’ itu dari bahasa Jawa artinya bapak, ‘Buda’ itu ibu, Siwa Buda ialah keyakinan dari Cina yang sanggup diartikan sebagai dedikasi pada leluhur. Jadi, bukan agama. Agama saya Islam tapi keyakinan saya Siwa Buda, abdi marang leluhur.”
Ketika mengobrol, kami juga melihat foto-foto yang terpajang di dinding. Tampak foto yang menonjol, yaitu seseorang yang berpakaian layaknya tokoh dari Cina, kami pun bertanya, “siapa itu?”
“Itu foto keturunan raja Majapahit, Brahmaraja XI. Orangnya masih ada di sini, hobinya naik sepeda, ngoleksi sepeda onthel. Kebetulan kini orangnya tidak sedang dirumah.”
Makin tertarik dengan ceritanya, kami pribadi mengutarakan maksud kedatangan kami. “Sesungguhnya kami diutus kesini untuk mencari informasi penting perihal sejarah bangsa ini. Ceritakan pada kami sejarah Majapahit.”
Ia pun mulai bercerita perihal sejarah Majapahit bersumber dari arsip-arsip yang tersimpan di Cina.
“Kalau sejarah Majapahit yang saya baca itu dari Takonswi, bersumber dari Cina. Takonswi menjelaskan kisah wali sembilan tiba ke Jawa. Dahulu, semasa kerajaan Demak berkuasa, buku goresan pena cina menyerupai karya Sabdo Darmo dihentikan beredar, semua dibumihanguskan. Lalu, sehabis Demak, berdirilah Majapahit Islam, yaitu Mataram. Arsip-arsip yang berhasil diselamatkan dibukukan, dimulai dengan mencari pujangga. Beberapa arsip yang orisinil masih ada di Cina, masih berupa lontar. Orang Mataram itu sebenarnya dari Majapahit. Mereka orang Majapahit yang lari ke Bali, Tengger, dsb untuk melaksanakan pemberontakan ke Demak, meski hasilnya kalah juga. Adat Jawa yang orisinil itu kini di Bali, kalau mau lihat Majapahit, lihatlah Bali.”
“Lalu bagaimana dengan raja Majapahit yang masih hidup itu?” Tanya kami.
“Nah Brahmaraja XI ini memang keturunan Majapahit. Mustakanya sudah ada, senjatanya cakra, batara wisnu. Penyerahan mahkotanya itu di museum di Singapura. Dikembalikan oleh Sukmawati Sukarno dan putri dari Singapura. Ada banyak patungan untuk menebus mahkota itu. Awal ditemukan mahkota itu lantaran penjaga museum dihantui bunyi misterius yang pada dasarnya mahkota itu minta dipulangkan. Putri Singapura itu mencari tahu kemana mahkota itu musti dikembalikan. Lalu dibawa oleh Sukmawati ke Bali. Di sana sudah ada ada pangeran dari Aborigin, pangeran dari Belanda, dsb semuanya dicoba menggunakan mahkota. Ternyata yang pas digunakan di kepala Brahmaraja. Ketika digunakan itu dibarengi oleh kilat menyambar. Barahmaraja itu juga ada trahnya. Seperti sampeyan dengan bapak-ibu sampeyan. Kalau di Jawa kan ada asal-usul. Kalo trahnya Hamengkubuwono, ya Hamengkubuwono, gak mungkin sampeyan jadi Hamengkubuwono.”
“Foto-foto di dinding banyak menunjukkan keluarga Sukarno, seolah menyampaikan kedekatan antara trah Majapahit dengan keluarga Sukarno. Bagaimana relasi mereka?”
“Ceritanya kan pak Sukarno itu menggolah lagi budaya leluhur. Sukarno ialah presiden dengan gelar terbanyak, yakni 26 gelar. Di jaman Majapahit ada Patih Gajah Mada yang menyatukan nusantara, diteruskan oleh pak Sukarno. Oleh lantaran itu mungkin ada unsur gen atau trah. Tidak sanggup dipungkiri lantaran Sukarno menggali kitab Sutasuma, yang diterapkan pada dasar negara Pancasila, Bineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrua. Makanya, anak-anaknya ini meneruskan adat budaya yang dijalankan Sukarno, makanya bersahabat dengan keturunan Sukarno. Pak Sukarno ialah presiden terpandai dengan gelar terbanyak.”
“Sejarah nusantara tak sanggup lepas dari imbas budaya luar menyerupai dari Cina. Bahkan hingga hari ini catatan-catatan sejarah nusantara banyak yang tersimpan di Belanda. Bagaimana ceritanya?”
“Belanda berandil besar dalam hal ini. Jogja itu kini berbentuk kesultanan, setahu saya, itu bentukan Belanda, dulunya kan Mataram. Coba kalau Belanda nggak jajah sini, mungkin nggak ada sisa-sisa sejarahnya. Di Suriname banyak orang berbahasa Jawa, malah halus-halus bahasanya. Kayak buku kitab-kitab, patung-patung itu kebanyakan disimpan di Belanda, yang menyelamatkan arsip itu Belanda. Terus Cina, kita nggak sanggup dipisahkan dengan Cina, Nggak sanggup kita anti Cina, tumpuan ditemukannya fosil di Pening, menunjukkna kalau di sini peradaban tertua, sama dengan fosil yang ditemukan di Beijing. Umurnya 1.700.000 tahun. Sedangkan Adam ditemukan berupa mumi, umurnya kisaran 6000 tahun, bau tanah mana? silahkan dipikir. Siapa bilang Adam orang pertama, mungkin untuk di tempat lain di luar sana. Kalau di Jawa bukti sudah menyampaikan ditemukannnya fosil insan purba. Pening itu di Mojokerto.”
Wawan ialah orang yang ‘abdi marang leluhur’, kami tentu saja ingin tau dengan ritual-ritual yang dijalaninya. “Ceritakan pada kami menyerupai apa ritual abdi marang leluhur”.
“Kalau di Jawa, yang diajarkan oleh keturunan-keturunan saya itu ‘laku’, istilah ‘laku prihatin’, itu ya berdiam diri, menyendiri, nggak makan, nggak minum. Tapi untuk trah mana dulu, kalau untuk trah Brahmana, itu ‘laku resi’. Orang biasa, laku-nya hanya nggak makan nggak minum alias puasa, untuk mendapat apa yang diinginkan. Resi itu artinya orang yang mendoakan dari Siwa. Kalau ‘topo’ itu semedi di tempat yang sepi. Topo itu jaman dulu, kalo sekarang, bersosial itu tetap ada. Kita kan harus mengikuti perkembangan jaman. Nggak mungkin sampeyan topo, mau nyepi kemana? Lha tempat kini ramai semua. Di gunung aja rame anak pacaran, orang bangkit villa, dsb. Kalau jaman dulu itu nyepi di gunung, di goa, Lha di goa kini aja udah jadi wisata. Tetep kita harus ikut bersosial, menyesuaikan perkembangan jaman. Kalo laris tetep, nggak makan nggak minum, puasa. Kalau saya itu nggak sanggup nahan lapar, lapar ya makan. Sedangkan laris yang dijalankan Gajah Mada saya nggak tau, setau saya hanya patih yang menyatukan nusantara. Dia ialah orang dari kawulo yang memang punya impian jadi prajurit, kemudian tiba ke Majapahit, menolong atasannya terus diangkat. Nah dari situ perannya dimulai, diangkat jadi patih, hingga mahapatih.”
Setelah se-jam mengobrol, kami merasa lapar. Wawan memberitahu kami tempat makan di sekitar situ. Kami mencari makanan khas Majapahit. Suasana masih pagi, sinar surya masih bersinar hangat. Kami berpamitan pada Wawan dengan berfoto bersama.
Berjalan beberapa meter di bersahabat kolam kami dapati makanan orisinil Majapahit, yaitu iwak wader plus nasi.
Hanya beberapa meter dari warung tempat kami makan, berdiri museum Majapahit. Kami mampir sejenak untuk melihat bagaimana orang mengelola museum. Seperti museum lokal pada umumnya, sepi, lebih banyak pegawai ketimbang pengunjung. Beberapa peninggalan Majapahit berupa arca, nisan, keris, uang koin, dsb, sanggup disaksikan melalui meja dan lemari kaca. Tidak ada guide yang menemani kami, jadi kami menafsir sendiri kisah dari benda apa-benda museum yang kami lihat.
Di luar gedung museum terdapat reruntuhan bekas galian arkeolog. Reruntuhan di dalam tanah tampak menyampaikan bahwa di dahulu di situ pernah berdiri sebuah peradaban besar. Saat ini, reruntuhan itu sedang diteliti, jadi kami belum sanggup kisah niscaya perihal peradaban apa yang dimaksud.
Dekat dengan reruntuhan itu, kami melihat sebuah pohon yang menyerupai beringin tapi tanpa akar gantung yang buahnya bulat, hijau, dan keras. Seorang pegawai museum yang sedang di sekitar taman memberitahu kami bahwa itu ialah pohon maja.
Saya teringat pelajaran sejarah kelas 4 SD, awal berdirinya Majapahit ialah ketika seseorang berjulukan Rade Wijaya tiba di sebuah hutan. Di hutan itu ada pohon maja yang buahnya pahit. Hutan itulah yang dibabat, kemudian dibangunlah sebuah kerajaan yang namanya diambil dari nama buah itu, Majapahit.
Terlintas dalam benak kami untuk meminta buah maja sekaligus bibitnya. Terlihat seseorang jongkok di bawah pohon maja dengan membawa golok. Rupanya seorang pekerja taman. Pekerja taman itu mengijinkan kami untuk memetik sebanyak-banyaknya buah maja. Katanya buah itu tidak dikelola lantaran kalau dimakan pahit. Katanya, buah itu menghasilkan minyak tapi sangat sedikit sekali takarannya, sehingga jarang masyarakat yang memanfaatkannya. Pekerja taman menyampaikan bahwasanya pohon maja sanggup ditanam dengan batang, maka kami minta batangnya. Akhirnya kami pulang membawa buah dan batang pohon maja. Buahnya untuk kami pamerkan pada teman-teman, batangnya untuk membangun peradaban.
Perjalanan di Majapahit kami akhiri hari itu juga. Keesokan harinya kami harus tiba kembali ke tanah Mataram. Traveling Mataram-Majapahit memang berlangsung singkat, hanya satu hari dua malam, tapi kami mengemban misi besar membangun peradaban. Setelah kembali dari sentra peradaban nusantara, kami yakin akan hadirnya kembali kemashyuran di negeri kami tercinta, yang kini dikenal dengan nama Indonesia. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya. Salam Nusantara!
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
0 Response to "Traveling Mataram-Majapahit: Catatan Perjalanan Ke Sentra Peradaban Nusantara"
Posting Komentar