Faktor-Faktor Kegagalan Jadwal Penanggulangan Kemiskinan
latar belakang
upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan melalui banyak sekali macam kegiatan pembangunan. kita telah sering mendengar program-program yang ditujukan bagi petani atau warga miskin, ibarat proyek peningkatan pendapatan petani dan nelayan kecil (p4k), koperasi unit desa (kud), supra insus, kupedes, dan kegiatan daerah terpadu (pkt). namum pada kenyataannya kemiskinan tetap bercokol dipedesaan yang ada di indonesia.
salah satu kegiatan gres yang dilaksanakan oleh pemerintah pada tahun 2004 yang merupakan ekspansi dan peningkatan banyak sekali kegiatan penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan selama ini, yakni inpres no. 5 tahun 1993 ihwal “peningkatan penanggulangan kemiskinan” atau yang lebih dikenal dengan nama idt (inpres desa tertinggal).
inpres ini dimaksudkan untuk meningkatkan penanganan kemiskinan secara berkelanjutan di desa tertinggal. melalui inpres ini akan dipadukan kegiatan sektoral ataupun regional yang meliputi desa-desa tersebut sehingga secara efektif akan berdampak besar terhadap penanggulangan kemiskinan.
pelaksanaan kegiatan idt dilakukan eksklusif oleh masyarakat desa tertinggal itu sendiri, dibantu oleh pegawanegeri pemerintah daerah pada tingkat yang paling akrab dengan rakyat. lantaran itu, peranan pegawanegeri pemerintah desa/kelurahan akan sangat penting, yang harus ditunjang oleh forum masyarakat yang ada di desa/kelurahan, ibarat forum ketahanan masyarakat desa (lkmd) dan pemberdayaan kesejahteraan keluarga (pkk).
melalui kegiatan idt juga disediakan dana khusus, yang dimaksudkan sebagai pendorong terhadap kelompok penduduk miskin untuk menumbuhkan, memperkuat kemampuan, serta membuka kesempatan berusaha supaya sanggup meningkatkan taraf hidupnya. perkembangan selanjutnya dari perjuangan penduduk miskin tersebut akan sangat tergantung pada upaya pembangunan lain yang dilaksanakan di desa/kelurahan tertinggal. dengan demikian, keterpaduan dan koordinasi kegiatan pembangunan dalam kaitan penanggulangan kemiskinan sanggup berfungsi sebagai dukungan bagi penduduk miskin untuk mengentaskan diri dari kemiskinan, dan memungkinkan perjuangan yang dilakukan penduduk miskin tersebut berkembang secara berlanjut.
secara konsepsional kegiatan idt sangatlah baik, dilihat dari maksud dan tujuan serta sasaran dari kegiatan ini, akan tetapi dari penilaian kegiatan idt membuktikan bahwa hanya sedikit desa di indonesia yang terbukti berhasil mencapai sasaran sasaran kegiatan idt. dibanyak daerah yang terjadi justru kegagalan lantaran banyak sekali sebab. ibarat yang dikemukakan oleh muhtar sarman dan sayogyo (2000 ; 27) disebutkan bahwa kegagalan kegiatan idt antara lain disebabkan keterisolasian desa lantaran ketiadaan prasarana dasar dan sangat terpencarnya lokasi-lokasi pemukiman penduduk menimbulkan tidak sanggup berkembangnya secara optimal potensi ekonomi rakyat yang berorientasi pasar dan melemahkan kinerja petugas pendamping pokmas dalam melaksanakan tugasnya.
program penanggulangan kemiskinan tampaknya tidak akan selesai, seiring dengan bertambahnya data jumlah orang miskin di indonesia. berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh bps tahun 2005, di indonesia terdapat10 juta rumah tangga miskin atau sekitar 40 juta jiwa penduduk. didalamnya termasuk 4 juta rumah tangga atau sekitar 16 juta jiwa yang tergolong sangat miskin. adapun rumah tangga yang mendekati miskin berjumlah 5,5 juta atau sekitar 22 juta jiwa. dengan demikian jumlah seluruh rumah tangga yang dikatagorikan miskin yakni 15,5 juta rumah tangga atau sekitar 62 juta jiwa yang tersebar di seluruh indonesia baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.
bertepatan dengan kenaikan materi bakar minyak (bbm) dalam negeri pemerintah telah meluncurkan salah satu kegiatan penanggulangan kemiskinan berupa kegiatan kompensasi pengurangan subsidi bbm dengan memperlihatkan subsidi eksklusif tunai (slt) kepada rumah tangga miskin (rtm), sebagaimana ditetapkan dalam intruksi presiden nomor 12 tahun 2005 tanggal 10 september 2005 ihwal pelaksanaan derma eksklusif tunai kepada rumah tangga miskin.
program ini sangat menarik untuk menjadi kajian, dimana bentuk penanggulangan dari kegiatan ini menititik beratkan kepada derma eksklusif uang tunai kepada rumah tangga miskin berdasarkan hasil pendataan bps yang proses pendataannya hanya dilaksanakan kurang lebih 3 bulan. dari proses waktu pendataan rtm hingga dengan penyerahan uang tunai kemasyarakat tampaknya kegiatan ini “tergesa-gesa” dilakukan oleh pemerintah, dimana sebagai alasan pembenar dari pemerintah atas kenaikan bbm berdasarkan beberapa pengamat masalah sosial lebih cenderung kepada upaya dari pemerintah untuk “meredam” aksi-aksi unjuk rasa menentang kebijakan menaikkan harga bbm dalam negeri tanpa memperlihatkan solusi penanggulangan kemiskinan jangka panjang.
dari beberapa kegiatan penanggulangan kemiskinan, kiranya kegiatan subsidi eksklusif tunai merupakan kegiatan yang secara konsepsional sangat buruk yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah. tanpa adanya tujuan yang jelas, sasaran dan tindak lanjut dari kegiatan slt, menjadikan kegiatan ini seperi “obat penenang” disaat masyarakat murka akan kebijakan pemerintah menaikkan harga bbm dalam negeri.
pokok masalah
beberapa kegiatan pemerintah dalam rangka penanggulangan dampak kemiskinan, baik dari kegiatan produk orde gres yaitu inpres desa tertinggal (idt) hingga dengan produk pada masa reformasi berupa kegiatan subsidi eksklusif tunai (slt). secara konseptual, kegiatan idt dirasa cukup memadai untuk pemicu gerakan nasional menanggulangi kemiskinan. begitu pula dengan kegiatan slt bagi peserta derma dirasakan sangat membantu sesaat terhadap dampak kenaikan bbm dalam negeri. namun demikian, dalam pelaksanaan dan kenyataannya ada beberapa hal yang perlu didiskusikan.
paling tidak ada 2 pokok masalah substansial dalam kaitan pelaksanaan kegiatan idt dan kegiatan slt, yaitu :
kemiskinan yakni situasi serba kekurangan yang terjadi bukan lantaran dikehendaki oleh si miskin, melainkan lantaran tidak sanggup dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. kemiskinan antara lain ditandai oleh perilaku tingkah laris yang mendapatkan keadaan yang seperti tidak sanggup diubah, yang tercermin didalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan, dan terbatasnya kesempatan berpartispasi dalam pembangunan.
apabila kondisi tersebut dilihat dari pola hubungan lantaran akibat, orang miskin yakni mereka yang serba kurang bisa dan terbelit di dalam bundar ketidakberdayaan. rendahnya pendapatan menimbulkan rendahnya pendidikan dan kesehatan sehingga mensugesti produktivitas, malah yang lebih membahayakan lantaran faktor ekonomi seseorang bisa melaksanakan apa saja untuk mempertahankan hidupnya ibarat melaksanakan tindakan kriminalitas atau pelanggaran ketertiban umum.
untuk mengentaskan penduduk dari bundar kemiskinan diharapkan kebijaksanaan, komitmen, organisasi dan kegiatan serta pendekatan yang tepat. lebih dari itu, diharapkan juga suatu perilaku yang tidak memperlakukan orang miskin hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek.
baik kegiatan idt dan kegiatan slt secara garis besar tujuannya yakni sama yaitu mempercepat upaya mengurangi jumlah penduduk miskin. namun sebetulnya ada perbedaan dalam hal dana kegiatan yang dikucurkan, dimana pada idt dana yang diberikan sifatnya hibah (bergulir) untuk pengembangkan usaha. akan tetapi lantaran kurang memadainya pengetahuan dan keterampilan baik tingkat maupun jenisnya, menimbulkan kurang adanya alternatif mata pencaharian yang dijalani.
seperti di kecamatan padang batung hampir 90 persen mata pencaharian penduduknya yakni petani tadah hujan. sedangkan pada slt dana diberikan berupa derma secara eksklusif tunai kepada rumah tangga miskin. selain itu kegiatan idt terpusat di desa-desa tertinggal sedangkan slt meliputi seluruh wilayah baik desa maupun kota yang termasuk dalam kreteria rumah tangga miskin.
program idt merupakan pecahan dari gerakan nasional untuk menanggulangi kemiskinan. sebagai gerakan didalamnya harus ada semangat kebersamaan yang berpengaruh untuk maju. lingkungan sosial budaya masyarakat banjar yang menimbulkan kurang tingginya hasrat untuk lebih maju dalam kehidupan duniawi ditambah budaya “saadanya” dan “kawarung” sebelum bekerja menghambat produktivitas.
dari faktor kelembagaan dalam kegiatan idt selain dari pemerintah diperkaya dengan dukungan dari unsur masyarakat dan lembaga-lembaga teknis lainnya. keterpaduan forum tersebut dalam pelaksanaan kegiatan idt ditujukan untuk membantu kelancaran dan efektivitas sasaran kegiatan idt. unsur-unsur tersebut ditempatkan sebagai kawan yang tidak bersifat struktural tetapi kosultatif, pendampingan, dan fungsional, dengan tidak membebani dana yang tersedia dalam kegiatan idt. pada kenyataannya dibeberapa desa yang melaksanakan kegiatan idt kiprah pemerintah daerah sangat mayoritas dalam pelaksanaan kegiatan idt baik dari tahap perencanaan hingga dengan pengawasan. cita-cita akan adanya kemitraan dari banyak sekali unsur, padanya kenyataan dilapangan keterlibatan unsur-unsur dari luar instansi pemerintah sebagai tenaga pendamping khusus lebih banyak didikte oleh pemerintah, terlebih dominasi dari pegawanegeri pemerintah yang mengelola kegiatan idt pada tingkat kabupaten, ibarat kantor pemberdayaan masyarakat desa.
pada awal penetapan desa yang mendapatkan dana idt hingga pelaksanaan program, menimbulkan beberapa duduk kasus antara lain mengenai kriteria desa yang mendapatkan idt yang menimbulkan kecemburuan masyarakat bagi desa yang tidak mendapatkan dana idt.
sedangkan dalam masalah slt lantaran bantuannya bersifat individu kepada rumah tangga miskin, maka keterlibatan kelompok masyarakat dalam hal pemberdayaan dan pengembangan perjuangan sesudah mendapatkan dana dari kegiatan slt tidak menjadi fokus utama, sehingga sanggup dikatakan bahwa kegiatan slt secara konsepsional sangat jelek, dimana dilapangan tidak hanya menimbulkan munsulnya kasus-kasus “salah sasaran” tetapi juga menjadi semacam anti titik puncak dari program-program anti kemiskinan.
ada varian lain antara kegiatan idt dan slt dalam hal memilih kriteria miskin. di kegiatan idt penentuan kriteria miskin ditentukan dari hasil musyawarah masyarakat desa sendiri, siapa yang termasuk miskin dan layak mendapatkan hibah dana idt. penetapan ini mempunyai laba dan kerugian bagi desa itu sendiri, manfaatnya dengan adanya hasil musyawarah penetapan warga masyarakat yang termasuk miskin tidak menimbulkan gejolak di wilayah tersebut, lantaran sudah merupakan hasil janji bersama. adapun kerugian dari pengukuran yang secara subyektif dari masyarakat menimbulkan dampak membengkaknya data orang miskin dan desa-desa yang berpenduduk miskin dalam satu kecamatan, lantaran besarnya usulan jumlah desa miskin dari masing-masing kabupaten, maka pada tingkat penetapan oleh pemerintah sentra berdasarkan dana yang terbatas ditetapkanlah desa-desa miskin berdasarkan jatah yang tersedia.
sedangkan pada slt kriteria miskin ditentukan oleh distributor sentra statistik (bps) pusat, permasalahan yang timbul dengan kriteria yang sudah ditentukan yakni pada ketika pengukuran kriteria miskin dilapangan lantaran wilayah indonesia yang secara geografis, wilayah, sosial budaya beraneka ragam. referensi masalah yakni ciri rumah tangga miskin yakni tidak mempunyai kendaraan bermotor, dilihat dari kultur warga masyarakat hulu sungai kendaraan bermotor dianggap merupakan satu kebutuhan bagi masyarakat, ibarat yang sering dikatakan apabila tidak mempunyai sepeda motor ibarat orang “patah batis” artinya tidak bisa kemana-mana dan berusaha. rumah yang jauh dikatakan layak huni, apabila diketahui mempunyai kendaraan bermotor tidak secara otomatis dicoret dari kriteria rumah tangga miskin.
dari segi pemanfaatan dari dana yang diberikan, pada kegiatan idt yakni kemajuan dari anggota dan pokmas dalam pengembangan perjuangan meliputi dana idt yang diterima dan sumber lain yang menjadi suplemen modal berusaha. pengembangan perjuangan anggota dari pokmas memperlihatkan kontribusi konkret bagi anggota lain dengan bergulirnya dana idt melalui pengembalian modal yang sanggup dimanfaatkan oleh anggota lain. duduk kasus yang sering dalam hal program-program dana bergulir yakni pola pikir masyarakat pedesaan yang sudah terbiasa mendapatkan derma dari pemerintah, beranggapan bahwa dana dari kegiatan idt bersifat derma dimana pemerintah tidak akan mempersulit rakyat kecil apabila terjadi “macet” pengembalian lantaran banyak sekali alasan.
adapun slt yang diterima rumah tangga miskin yang dimaksudkan untuk membantu rumah tangga miskin sebagai jawaban kenaikan bbm dalam negeri ibarat kenaikan harga sembilan materi pokok, pada kenyataanya pemanfaatannya lebih parah dari pada kegiatan idt. pada ketika penerimaan slt masyarakat miskin bersifat lebih konsumtif, referensi masalah pada ketika penerimaan slt tahap i sebesar 600 ribu rupiah, masyarakat menyewa kendaraan beroda empat untuk mengambil slt di kantor camat sesudah simpulan tolong-menolong eksklusif pergi ke pasar untuk membeli barang-barang keperluan yang bukan kebutuhan dasar. adalagi referensi unik, dimana masyarakat menjual/menggadaikan kartu slt kepada orang lain untuk mendapatkan dana tunai cepat lantaran tidak sabar menunggu pembagian tahap berikutnya.
khusus kepada kegiatan penangulangan kemiskinan melalui kegiatan slt yang secara konsepsional sangat buruk dibanding dengan program-program lain, perlu menjadi perhatian pemerintah kedepan dalam merencakan kegiatan penangulangan kemiskinan di indonesia, dimana tujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat miskin tidak bisa dilakukan sesaat akan tetapi secara menyeluruh, bersiklus dan berkesinambungan. Sumber http://2frameit.blogspot.com
upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan melalui banyak sekali macam kegiatan pembangunan. kita telah sering mendengar program-program yang ditujukan bagi petani atau warga miskin, ibarat proyek peningkatan pendapatan petani dan nelayan kecil (p4k), koperasi unit desa (kud), supra insus, kupedes, dan kegiatan daerah terpadu (pkt). namum pada kenyataannya kemiskinan tetap bercokol dipedesaan yang ada di indonesia.
salah satu kegiatan gres yang dilaksanakan oleh pemerintah pada tahun 2004 yang merupakan ekspansi dan peningkatan banyak sekali kegiatan penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan selama ini, yakni inpres no. 5 tahun 1993 ihwal “peningkatan penanggulangan kemiskinan” atau yang lebih dikenal dengan nama idt (inpres desa tertinggal).
inpres ini dimaksudkan untuk meningkatkan penanganan kemiskinan secara berkelanjutan di desa tertinggal. melalui inpres ini akan dipadukan kegiatan sektoral ataupun regional yang meliputi desa-desa tersebut sehingga secara efektif akan berdampak besar terhadap penanggulangan kemiskinan.
pelaksanaan kegiatan idt dilakukan eksklusif oleh masyarakat desa tertinggal itu sendiri, dibantu oleh pegawanegeri pemerintah daerah pada tingkat yang paling akrab dengan rakyat. lantaran itu, peranan pegawanegeri pemerintah desa/kelurahan akan sangat penting, yang harus ditunjang oleh forum masyarakat yang ada di desa/kelurahan, ibarat forum ketahanan masyarakat desa (lkmd) dan pemberdayaan kesejahteraan keluarga (pkk).
melalui kegiatan idt juga disediakan dana khusus, yang dimaksudkan sebagai pendorong terhadap kelompok penduduk miskin untuk menumbuhkan, memperkuat kemampuan, serta membuka kesempatan berusaha supaya sanggup meningkatkan taraf hidupnya. perkembangan selanjutnya dari perjuangan penduduk miskin tersebut akan sangat tergantung pada upaya pembangunan lain yang dilaksanakan di desa/kelurahan tertinggal. dengan demikian, keterpaduan dan koordinasi kegiatan pembangunan dalam kaitan penanggulangan kemiskinan sanggup berfungsi sebagai dukungan bagi penduduk miskin untuk mengentaskan diri dari kemiskinan, dan memungkinkan perjuangan yang dilakukan penduduk miskin tersebut berkembang secara berlanjut.
secara konsepsional kegiatan idt sangatlah baik, dilihat dari maksud dan tujuan serta sasaran dari kegiatan ini, akan tetapi dari penilaian kegiatan idt membuktikan bahwa hanya sedikit desa di indonesia yang terbukti berhasil mencapai sasaran sasaran kegiatan idt. dibanyak daerah yang terjadi justru kegagalan lantaran banyak sekali sebab. ibarat yang dikemukakan oleh muhtar sarman dan sayogyo (2000 ; 27) disebutkan bahwa kegagalan kegiatan idt antara lain disebabkan keterisolasian desa lantaran ketiadaan prasarana dasar dan sangat terpencarnya lokasi-lokasi pemukiman penduduk menimbulkan tidak sanggup berkembangnya secara optimal potensi ekonomi rakyat yang berorientasi pasar dan melemahkan kinerja petugas pendamping pokmas dalam melaksanakan tugasnya.
program penanggulangan kemiskinan tampaknya tidak akan selesai, seiring dengan bertambahnya data jumlah orang miskin di indonesia. berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh bps tahun 2005, di indonesia terdapat10 juta rumah tangga miskin atau sekitar 40 juta jiwa penduduk. didalamnya termasuk 4 juta rumah tangga atau sekitar 16 juta jiwa yang tergolong sangat miskin. adapun rumah tangga yang mendekati miskin berjumlah 5,5 juta atau sekitar 22 juta jiwa. dengan demikian jumlah seluruh rumah tangga yang dikatagorikan miskin yakni 15,5 juta rumah tangga atau sekitar 62 juta jiwa yang tersebar di seluruh indonesia baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.
bertepatan dengan kenaikan materi bakar minyak (bbm) dalam negeri pemerintah telah meluncurkan salah satu kegiatan penanggulangan kemiskinan berupa kegiatan kompensasi pengurangan subsidi bbm dengan memperlihatkan subsidi eksklusif tunai (slt) kepada rumah tangga miskin (rtm), sebagaimana ditetapkan dalam intruksi presiden nomor 12 tahun 2005 tanggal 10 september 2005 ihwal pelaksanaan derma eksklusif tunai kepada rumah tangga miskin.
program ini sangat menarik untuk menjadi kajian, dimana bentuk penanggulangan dari kegiatan ini menititik beratkan kepada derma eksklusif uang tunai kepada rumah tangga miskin berdasarkan hasil pendataan bps yang proses pendataannya hanya dilaksanakan kurang lebih 3 bulan. dari proses waktu pendataan rtm hingga dengan penyerahan uang tunai kemasyarakat tampaknya kegiatan ini “tergesa-gesa” dilakukan oleh pemerintah, dimana sebagai alasan pembenar dari pemerintah atas kenaikan bbm berdasarkan beberapa pengamat masalah sosial lebih cenderung kepada upaya dari pemerintah untuk “meredam” aksi-aksi unjuk rasa menentang kebijakan menaikkan harga bbm dalam negeri tanpa memperlihatkan solusi penanggulangan kemiskinan jangka panjang.
dari beberapa kegiatan penanggulangan kemiskinan, kiranya kegiatan subsidi eksklusif tunai merupakan kegiatan yang secara konsepsional sangat buruk yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah. tanpa adanya tujuan yang jelas, sasaran dan tindak lanjut dari kegiatan slt, menjadikan kegiatan ini seperi “obat penenang” disaat masyarakat murka akan kebijakan pemerintah menaikkan harga bbm dalam negeri.
pokok masalah
beberapa kegiatan pemerintah dalam rangka penanggulangan dampak kemiskinan, baik dari kegiatan produk orde gres yaitu inpres desa tertinggal (idt) hingga dengan produk pada masa reformasi berupa kegiatan subsidi eksklusif tunai (slt). secara konseptual, kegiatan idt dirasa cukup memadai untuk pemicu gerakan nasional menanggulangi kemiskinan. begitu pula dengan kegiatan slt bagi peserta derma dirasakan sangat membantu sesaat terhadap dampak kenaikan bbm dalam negeri. namun demikian, dalam pelaksanaan dan kenyataannya ada beberapa hal yang perlu didiskusikan.
paling tidak ada 2 pokok masalah substansial dalam kaitan pelaksanaan kegiatan idt dan kegiatan slt, yaitu :
- faktor-faktor apa saja yang menimbulkan kegiatan idt hingga gagal, padahal secara konsepsional sangat baik ?.
- mengapa kegiatan slt secara konsepsional paling buruk dibanding dengan program-program penanggulangan kemiskinan, khususnya dibanding kegiatan idt ?
kemiskinan yakni situasi serba kekurangan yang terjadi bukan lantaran dikehendaki oleh si miskin, melainkan lantaran tidak sanggup dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. kemiskinan antara lain ditandai oleh perilaku tingkah laris yang mendapatkan keadaan yang seperti tidak sanggup diubah, yang tercermin didalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan, dan terbatasnya kesempatan berpartispasi dalam pembangunan.
apabila kondisi tersebut dilihat dari pola hubungan lantaran akibat, orang miskin yakni mereka yang serba kurang bisa dan terbelit di dalam bundar ketidakberdayaan. rendahnya pendapatan menimbulkan rendahnya pendidikan dan kesehatan sehingga mensugesti produktivitas, malah yang lebih membahayakan lantaran faktor ekonomi seseorang bisa melaksanakan apa saja untuk mempertahankan hidupnya ibarat melaksanakan tindakan kriminalitas atau pelanggaran ketertiban umum.
untuk mengentaskan penduduk dari bundar kemiskinan diharapkan kebijaksanaan, komitmen, organisasi dan kegiatan serta pendekatan yang tepat. lebih dari itu, diharapkan juga suatu perilaku yang tidak memperlakukan orang miskin hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek.
baik kegiatan idt dan kegiatan slt secara garis besar tujuannya yakni sama yaitu mempercepat upaya mengurangi jumlah penduduk miskin. namun sebetulnya ada perbedaan dalam hal dana kegiatan yang dikucurkan, dimana pada idt dana yang diberikan sifatnya hibah (bergulir) untuk pengembangkan usaha. akan tetapi lantaran kurang memadainya pengetahuan dan keterampilan baik tingkat maupun jenisnya, menimbulkan kurang adanya alternatif mata pencaharian yang dijalani.
seperti di kecamatan padang batung hampir 90 persen mata pencaharian penduduknya yakni petani tadah hujan. sedangkan pada slt dana diberikan berupa derma secara eksklusif tunai kepada rumah tangga miskin. selain itu kegiatan idt terpusat di desa-desa tertinggal sedangkan slt meliputi seluruh wilayah baik desa maupun kota yang termasuk dalam kreteria rumah tangga miskin.
program idt merupakan pecahan dari gerakan nasional untuk menanggulangi kemiskinan. sebagai gerakan didalamnya harus ada semangat kebersamaan yang berpengaruh untuk maju. lingkungan sosial budaya masyarakat banjar yang menimbulkan kurang tingginya hasrat untuk lebih maju dalam kehidupan duniawi ditambah budaya “saadanya” dan “kawarung” sebelum bekerja menghambat produktivitas.
dari faktor kelembagaan dalam kegiatan idt selain dari pemerintah diperkaya dengan dukungan dari unsur masyarakat dan lembaga-lembaga teknis lainnya. keterpaduan forum tersebut dalam pelaksanaan kegiatan idt ditujukan untuk membantu kelancaran dan efektivitas sasaran kegiatan idt. unsur-unsur tersebut ditempatkan sebagai kawan yang tidak bersifat struktural tetapi kosultatif, pendampingan, dan fungsional, dengan tidak membebani dana yang tersedia dalam kegiatan idt. pada kenyataannya dibeberapa desa yang melaksanakan kegiatan idt kiprah pemerintah daerah sangat mayoritas dalam pelaksanaan kegiatan idt baik dari tahap perencanaan hingga dengan pengawasan. cita-cita akan adanya kemitraan dari banyak sekali unsur, padanya kenyataan dilapangan keterlibatan unsur-unsur dari luar instansi pemerintah sebagai tenaga pendamping khusus lebih banyak didikte oleh pemerintah, terlebih dominasi dari pegawanegeri pemerintah yang mengelola kegiatan idt pada tingkat kabupaten, ibarat kantor pemberdayaan masyarakat desa.
pada awal penetapan desa yang mendapatkan dana idt hingga pelaksanaan program, menimbulkan beberapa duduk kasus antara lain mengenai kriteria desa yang mendapatkan idt yang menimbulkan kecemburuan masyarakat bagi desa yang tidak mendapatkan dana idt.
sedangkan dalam masalah slt lantaran bantuannya bersifat individu kepada rumah tangga miskin, maka keterlibatan kelompok masyarakat dalam hal pemberdayaan dan pengembangan perjuangan sesudah mendapatkan dana dari kegiatan slt tidak menjadi fokus utama, sehingga sanggup dikatakan bahwa kegiatan slt secara konsepsional sangat jelek, dimana dilapangan tidak hanya menimbulkan munsulnya kasus-kasus “salah sasaran” tetapi juga menjadi semacam anti titik puncak dari program-program anti kemiskinan.
ada varian lain antara kegiatan idt dan slt dalam hal memilih kriteria miskin. di kegiatan idt penentuan kriteria miskin ditentukan dari hasil musyawarah masyarakat desa sendiri, siapa yang termasuk miskin dan layak mendapatkan hibah dana idt. penetapan ini mempunyai laba dan kerugian bagi desa itu sendiri, manfaatnya dengan adanya hasil musyawarah penetapan warga masyarakat yang termasuk miskin tidak menimbulkan gejolak di wilayah tersebut, lantaran sudah merupakan hasil janji bersama. adapun kerugian dari pengukuran yang secara subyektif dari masyarakat menimbulkan dampak membengkaknya data orang miskin dan desa-desa yang berpenduduk miskin dalam satu kecamatan, lantaran besarnya usulan jumlah desa miskin dari masing-masing kabupaten, maka pada tingkat penetapan oleh pemerintah sentra berdasarkan dana yang terbatas ditetapkanlah desa-desa miskin berdasarkan jatah yang tersedia.
sedangkan pada slt kriteria miskin ditentukan oleh distributor sentra statistik (bps) pusat, permasalahan yang timbul dengan kriteria yang sudah ditentukan yakni pada ketika pengukuran kriteria miskin dilapangan lantaran wilayah indonesia yang secara geografis, wilayah, sosial budaya beraneka ragam. referensi masalah yakni ciri rumah tangga miskin yakni tidak mempunyai kendaraan bermotor, dilihat dari kultur warga masyarakat hulu sungai kendaraan bermotor dianggap merupakan satu kebutuhan bagi masyarakat, ibarat yang sering dikatakan apabila tidak mempunyai sepeda motor ibarat orang “patah batis” artinya tidak bisa kemana-mana dan berusaha. rumah yang jauh dikatakan layak huni, apabila diketahui mempunyai kendaraan bermotor tidak secara otomatis dicoret dari kriteria rumah tangga miskin.
dari segi pemanfaatan dari dana yang diberikan, pada kegiatan idt yakni kemajuan dari anggota dan pokmas dalam pengembangan perjuangan meliputi dana idt yang diterima dan sumber lain yang menjadi suplemen modal berusaha. pengembangan perjuangan anggota dari pokmas memperlihatkan kontribusi konkret bagi anggota lain dengan bergulirnya dana idt melalui pengembalian modal yang sanggup dimanfaatkan oleh anggota lain. duduk kasus yang sering dalam hal program-program dana bergulir yakni pola pikir masyarakat pedesaan yang sudah terbiasa mendapatkan derma dari pemerintah, beranggapan bahwa dana dari kegiatan idt bersifat derma dimana pemerintah tidak akan mempersulit rakyat kecil apabila terjadi “macet” pengembalian lantaran banyak sekali alasan.
adapun slt yang diterima rumah tangga miskin yang dimaksudkan untuk membantu rumah tangga miskin sebagai jawaban kenaikan bbm dalam negeri ibarat kenaikan harga sembilan materi pokok, pada kenyataanya pemanfaatannya lebih parah dari pada kegiatan idt. pada ketika penerimaan slt masyarakat miskin bersifat lebih konsumtif, referensi masalah pada ketika penerimaan slt tahap i sebesar 600 ribu rupiah, masyarakat menyewa kendaraan beroda empat untuk mengambil slt di kantor camat sesudah simpulan tolong-menolong eksklusif pergi ke pasar untuk membeli barang-barang keperluan yang bukan kebutuhan dasar. adalagi referensi unik, dimana masyarakat menjual/menggadaikan kartu slt kepada orang lain untuk mendapatkan dana tunai cepat lantaran tidak sabar menunggu pembagian tahap berikutnya.
khusus kepada kegiatan penangulangan kemiskinan melalui kegiatan slt yang secara konsepsional sangat buruk dibanding dengan program-program lain, perlu menjadi perhatian pemerintah kedepan dalam merencakan kegiatan penangulangan kemiskinan di indonesia, dimana tujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat miskin tidak bisa dilakukan sesaat akan tetapi secara menyeluruh, bersiklus dan berkesinambungan. Sumber http://2frameit.blogspot.com
0 Response to "Faktor-Faktor Kegagalan Jadwal Penanggulangan Kemiskinan"
Posting Komentar