Pembangunan Pedesaan Dan Partisipasi Masyarakat
pembangunan pedesaan memiliki tugas yang sangat penting dalam pembangunan nasional dan daerah. di dalamnya terkandung unsur pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, termasuk pemenuhan kebutuhan masyarakat yang bermukim di perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraan.
perhatian ke arah pemerataan hasil-hasil pembangunan khususnya untuk masyarakat pedesaan menjadi sangat penting lantaran beberapa alasan : (1) sebagian besar masyarakat bertempat tinggal di pedesaan; (2) bab terbesar masyarakat miskin berada di pedesaan, kemiskinan di pedesaan sanggup menjadikan banyak sekali kerawanan sosial yang pada balasannya sanggup memicu ketidakstabilan dan membuat gangguan terhadap pembangunan itu sendiri.
rendahnya produktivitas sektor pertanian dibandingkan dengan sektor-sektor non pertanian menyerupai sektor industri, jasa, pertambangan, dan sektor lainnya serta adanya kebijakan pembangunan yang bias perkotaan, telah menghasilkan ketimpangan pendapatan antara penduduk di perkotaan dan pedesaan.
banyak faktor yang membuat ketertinggalan perekonomian pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. secara singkat evers (1998) mengungkapkan dua lantaran : (1) konteks struktural dan (2) konteks kultural. konteks struktural menunjuk pada kebijakan pembangunan (ekonomi & politik) yang lebih mengutamakan pembangunan perkotaan ketimbang perdesaan. konteks kultural dikaitkan dengan stigma bahwa masyarakat perdesaan itu malas, tertinggal, bodoh, miskin dan lantaran itulah masuk akal jikalau pendapatan mereka menjadi rendah.
dalam konteks struktural tersebut, wiradi (1989) dan hayami kikuchi (1990) mengungkapkan bahwa salah satu lantaran rendahnya pendapatan penduduk perdesaan ialah lantaran keterbatasan jalan masuk modal, warta dan teknologi serta yang paling utama ialah jalan masuk sarana dan prasarana. keterbatasan prasarana, terutama transportasi sebagai penunjang utama kegiatan ekonomi, telah menghasilkan kesenjangan dalam standar kehidupan dan kesempatan dalam peningkatan perekonomian antara perdesaan dengan perkotaan. ini akan berimplikasi pada rendahnya produktivitas ekonomi pedesaan.
ketimpangan pembangunan khususnya di pedesaan, tidak terlepas dari implementasi kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dengan negara sebagai pemeran utama. chamber (1990) menyebutnya sebagai kebijakan pembangunan yang bersifat betting strong policy dengan taktik state centered development. dalam konteks ini negara menjadi inisiator, pelaksana, sekaligus pengawas dari keseluruhan pembangunan. melalui abdnegara birokrasi sebagai kepanjangan tangan pemerintah, hampir semua proses pembangunan baik yang sifatnya fisik maupun non fisik ditentukan, diarahkan dan didorong oleh mereka. model pembangunan yang top down ini tidak saja telah membuat ketergantungan masyarakat kepada negara, lebih dari itu telah mematikan inisiatif dan partisipasi masyarakat. masyarakat menjadi pasif sekaligus obyek pembangunan. dalam konteks ini pendekatan development for the people lebih mengedepan ketimbang development of the people.
semenjak tahun 1990-an, arah, prinsip, model dan pendekatan pembangunan bergeser menjadi lebih berpihak pada masyarakat. melalui pendekatan pembangunan yang mengacu pada broad based participatory, pembangunan yang diterapkan lebih menempatkan masyarakat sebagai subjek atau pelaku utama pembangunan. dengan model people centered development, pelaksanaan pembangunan didorong dengan lebih mendasarkan pada inisiatif dan partisipasi masyarakat.
pembangunan yang efektif membutuhkan keterlibatan (partisipasi) awal dan kasatmata di pihak semua pemangku kepentingan {stakeholders) dalam penyusunan rancangan kegiatan yang akan menghipnotis mereka. sewaktu masyarakat yang terlibat merasa bahwa partisipasi mereka penting, mutu, efektifitas dan efisiensi pembangunan akan meningkat.
hasil kajian brinkerhoff dan benyamin (2002) di filipina mengungkapkan bahwa faktor secara umum dikuasai yang menghipnotis masyarakat untuk bersedia terlibat dalam pembangunan pedesaan ialah sistem sosial berlaku. sistem sosial menghipnotis individu atau masyarakat melalui banyak sekali insentif dan disinsentif.
berbeda dengan brinkerhoff dan benyamin, hasil studi narayan (1995) memperlihatkan bahwa faktor yang mendorong masyarakat untuk terlibat dalam proyek penyediaan air di beberapa kota di indonesia ialah faktor kemanfaatan yang diperoleh masyarakat. mereka bersedia terlibat lantaran secara kasatmata akan memperoleh manfaat dari proyek yang akan dibangun.
hal yang sama juga diungkapkan oleh suharso (2004) dalam studi penilaian terhadap proyek p2mpd (program pemberdayaan masyarakat dan pemerintah daerah) di 3 kabupaten (sleman, bantul dan wonogiri, ketiganya di propinsi jateng dan diy) yang dibiayai oleh asian development bank (adb) dan aktivitas pkps bbm (program kompensasi pengurangan subsisi bbm) infrastruktur pedesaan yang dibiayai oleh apbn. kedua aktivitas tersebut berfokus pada pembangunan infrastruktur perdesaan menyerupai jalan, jembatan, irigasi, dan drainase. hasil studi penilaian kedua proyek tersebut menemukan bahwa kesediaan masyarakat untuk terlibat/berpartisipasi dalam bentuk menawarkan dukungan natura dan innatura didorong oleh faktor impian terhadap manfaat yang akan diperoleh, sistem sosial, status sosial ekonomi masyarakat dan budaya gotong royong.
berbeda dengan pandangan kedua kajian di atas, putnam (1993) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang menghipnotis kesediaan seseorang atau masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan perdesaan, ialah berkaitan dengan situasi saling ketergantungan, kepercayaan, dan jaringan organisasi sosial yang memfasilitasi kerjasama untuk manfaat bersama.
--------------------------------------
promo blog :
cari buku-buku acuan untuk materi kuliah, sanggup cari sini : http://lapakbuku2riank.blogspot.com
blog khusus jualan buku-buku referensi Sumber http://2frameit.blogspot.com
perhatian ke arah pemerataan hasil-hasil pembangunan khususnya untuk masyarakat pedesaan menjadi sangat penting lantaran beberapa alasan : (1) sebagian besar masyarakat bertempat tinggal di pedesaan; (2) bab terbesar masyarakat miskin berada di pedesaan, kemiskinan di pedesaan sanggup menjadikan banyak sekali kerawanan sosial yang pada balasannya sanggup memicu ketidakstabilan dan membuat gangguan terhadap pembangunan itu sendiri.
rendahnya produktivitas sektor pertanian dibandingkan dengan sektor-sektor non pertanian menyerupai sektor industri, jasa, pertambangan, dan sektor lainnya serta adanya kebijakan pembangunan yang bias perkotaan, telah menghasilkan ketimpangan pendapatan antara penduduk di perkotaan dan pedesaan.
banyak faktor yang membuat ketertinggalan perekonomian pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. secara singkat evers (1998) mengungkapkan dua lantaran : (1) konteks struktural dan (2) konteks kultural. konteks struktural menunjuk pada kebijakan pembangunan (ekonomi & politik) yang lebih mengutamakan pembangunan perkotaan ketimbang perdesaan. konteks kultural dikaitkan dengan stigma bahwa masyarakat perdesaan itu malas, tertinggal, bodoh, miskin dan lantaran itulah masuk akal jikalau pendapatan mereka menjadi rendah.
dalam konteks struktural tersebut, wiradi (1989) dan hayami kikuchi (1990) mengungkapkan bahwa salah satu lantaran rendahnya pendapatan penduduk perdesaan ialah lantaran keterbatasan jalan masuk modal, warta dan teknologi serta yang paling utama ialah jalan masuk sarana dan prasarana. keterbatasan prasarana, terutama transportasi sebagai penunjang utama kegiatan ekonomi, telah menghasilkan kesenjangan dalam standar kehidupan dan kesempatan dalam peningkatan perekonomian antara perdesaan dengan perkotaan. ini akan berimplikasi pada rendahnya produktivitas ekonomi pedesaan.
ketimpangan pembangunan khususnya di pedesaan, tidak terlepas dari implementasi kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dengan negara sebagai pemeran utama. chamber (1990) menyebutnya sebagai kebijakan pembangunan yang bersifat betting strong policy dengan taktik state centered development. dalam konteks ini negara menjadi inisiator, pelaksana, sekaligus pengawas dari keseluruhan pembangunan. melalui abdnegara birokrasi sebagai kepanjangan tangan pemerintah, hampir semua proses pembangunan baik yang sifatnya fisik maupun non fisik ditentukan, diarahkan dan didorong oleh mereka. model pembangunan yang top down ini tidak saja telah membuat ketergantungan masyarakat kepada negara, lebih dari itu telah mematikan inisiatif dan partisipasi masyarakat. masyarakat menjadi pasif sekaligus obyek pembangunan. dalam konteks ini pendekatan development for the people lebih mengedepan ketimbang development of the people.
semenjak tahun 1990-an, arah, prinsip, model dan pendekatan pembangunan bergeser menjadi lebih berpihak pada masyarakat. melalui pendekatan pembangunan yang mengacu pada broad based participatory, pembangunan yang diterapkan lebih menempatkan masyarakat sebagai subjek atau pelaku utama pembangunan. dengan model people centered development, pelaksanaan pembangunan didorong dengan lebih mendasarkan pada inisiatif dan partisipasi masyarakat.
pembangunan yang efektif membutuhkan keterlibatan (partisipasi) awal dan kasatmata di pihak semua pemangku kepentingan {stakeholders) dalam penyusunan rancangan kegiatan yang akan menghipnotis mereka. sewaktu masyarakat yang terlibat merasa bahwa partisipasi mereka penting, mutu, efektifitas dan efisiensi pembangunan akan meningkat.
hasil kajian brinkerhoff dan benyamin (2002) di filipina mengungkapkan bahwa faktor secara umum dikuasai yang menghipnotis masyarakat untuk bersedia terlibat dalam pembangunan pedesaan ialah sistem sosial berlaku. sistem sosial menghipnotis individu atau masyarakat melalui banyak sekali insentif dan disinsentif.
berbeda dengan brinkerhoff dan benyamin, hasil studi narayan (1995) memperlihatkan bahwa faktor yang mendorong masyarakat untuk terlibat dalam proyek penyediaan air di beberapa kota di indonesia ialah faktor kemanfaatan yang diperoleh masyarakat. mereka bersedia terlibat lantaran secara kasatmata akan memperoleh manfaat dari proyek yang akan dibangun.
hal yang sama juga diungkapkan oleh suharso (2004) dalam studi penilaian terhadap proyek p2mpd (program pemberdayaan masyarakat dan pemerintah daerah) di 3 kabupaten (sleman, bantul dan wonogiri, ketiganya di propinsi jateng dan diy) yang dibiayai oleh asian development bank (adb) dan aktivitas pkps bbm (program kompensasi pengurangan subsisi bbm) infrastruktur pedesaan yang dibiayai oleh apbn. kedua aktivitas tersebut berfokus pada pembangunan infrastruktur perdesaan menyerupai jalan, jembatan, irigasi, dan drainase. hasil studi penilaian kedua proyek tersebut menemukan bahwa kesediaan masyarakat untuk terlibat/berpartisipasi dalam bentuk menawarkan dukungan natura dan innatura didorong oleh faktor impian terhadap manfaat yang akan diperoleh, sistem sosial, status sosial ekonomi masyarakat dan budaya gotong royong.
berbeda dengan pandangan kedua kajian di atas, putnam (1993) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang menghipnotis kesediaan seseorang atau masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan perdesaan, ialah berkaitan dengan situasi saling ketergantungan, kepercayaan, dan jaringan organisasi sosial yang memfasilitasi kerjasama untuk manfaat bersama.
--------------------------------------
promo blog :
cari buku-buku acuan untuk materi kuliah, sanggup cari sini : http://lapakbuku2riank.blogspot.com
blog khusus jualan buku-buku referensi Sumber http://2frameit.blogspot.com
0 Response to "Pembangunan Pedesaan Dan Partisipasi Masyarakat"
Posting Komentar