Dongeng Sekolah #2 | -Ibu-
Lorong sepi rumah sakit itu menciptakan langkah kakiku terhenti, rasanya saya belum siap harus menawarkan kembali kasih sayangku kepadanya, ia yang memintaku memanggil dirinya dengan sebutan “Ibu”. Langkah demi langkah membuatku kembali terbang pada masa kemudian yang pahit. Satu persatu, kepahitan itu memanggilku untuk mengingatnya.
Namaku Evi, saya mempunyai ibu dan ayah yang sangat menyayangiku. Hidup kami sangat berkecukupan, harta yang cukup, cinta yang cukup, dan nikmat yang cukup. Kecukupan itu membuatku percaya diri dalam melaksanakan apapun. Nilaiku selalu memuaskan, guru – guru menyayangiku, dan saya tidak pernah bermasalah di sekolah. Semuanya serba sempurna, tak ada yang kurang sampai kesannya saya menemukan cinta yang lain. Rasa cinta yang berbeda dengan cinta Ibu dan Ayah. Cinta itu membuatku mules dan tiba – tiba tersenyum tanpa alasan dikala membaca chat darinya. Aku merasa hidupku lebih tepat dikala bersamanya, namun berbeda dengan fatwa Ibu. Ibu sangat menentangku sampai meminta saya memutuskan hubungan indah yang gres saja saya mulai. Ibu tidak menyukainya alasannya yaitu ia laki – laki malas, tidak masuk sekolah tanpa alasan, dan suka mempermainkan perempuan.
“Ibu minta Evi putus dengan anak itu.” Kata Ibu meyakinkanku. Aku bengong sangat lama.
“Ibu sanggup warta darimana perihal ia bu? Ibu nda tahu faktanya, ia itu orang baik bu.” Kataku.
“Teman-temanmu yang ngasih tahu ibu Vi. Besok, temui ia baik-baik dan putuskan ia ya Vi sayang.” Kata Ibu. Aku ragu namun saya terpaksa mengangguk.
Anggukkan malam itu cukup menciptakan Ibu percaya bahwa saya sudah memutuskan Jaya sehingga saya bebas melaksanakan apapun bersama Jaya dengan diam-diam. Namun saya salah, alasannya yaitu suatu hal, Guru menyeret Jaya dan saya ke ruang yang sebelumnya tak pernah kukenal. Ruangan itu berjulukan ruang Bimbingan Konseling (BK). Rasanya menakutkan, tapi Jaya berusaha menghibur dengan menggenggam tanganku. Genggaman tangan itu rupanya menciptakan guru – guru semakin marah, ia menelepon Ibu dan menyuruh Ibu tiba menemui kami. Keringat membasahi dahiku, kakiku bergetar hebat, ditambah Jaya meninggalkanku izin ke Toilet.
“Kayaknya Jaya kabur Bu!” Kata seorang satpam yang masuk bersamaan dengan datangnya Ibu ke dalam ruang BK.
“PLAK”
Aku terjatuh alasannya yaitu sakitnya tamparan Ibu yang melayang tepat di pipiku.
“MEMALUKAN!” Kata Ibu. Seumur hidup luka jawaban kata – kata dan tamparan itu tak akan pernah kering. Rasa benci mulai meracuni hatiku, rasa itu tumbuh dan mengakar kuat.
Semenjak insiden di sekolah, Ibu mengurungku di rumah. Rumah yang dulunya yaitu syurga bagiku berkembang menjadi neraka yang panas. Rasa benci kepada Ibu kupupuk setiap harinya sehingga tak ada ruang cinta kepadanya. Aku meratapi segalanya, menyesal dilahirkan dari rahim Ibu yang jahat, menyesal hidup bersama orang yang tak mengerti diriku, menyesal alasannya yaitu kini tak bersama Jaya.
“Tok...tok...tok”
Aku mendengar bunyi dari jendela kamar. Aku membuka jendela itu dan tanpa saya sadari bukan hanya jendela kamar yang kubuka melainkan jendela masa laluku. Jaya tiba dan mengajakku kabur bersamanya, tanpa ragu saya melompat ke dalam pelukan Jaya. Namun, belum satu langkah saya meninggalkan rumah, Ayah memergokiku.
“Ya Allah Evi. Ibu membesarkan kau bukan jadi perempuan gak bener. Bagaimana jikalau tadi Ayahmu gak memergoki kamu? Dasar anak gak tahu diuntung. Kalau kayak gini, Ibu nyesel ngambil kau dari Mama kandungmu mending Ibu nyari anak lain yang lebih baik dari kamu!” Kata Ibu.
Bagaikan petir menyambar pohon kebencian yang saya tanam di dalam hatiku untuk Ibu. Sakit rasanya sampai saya tak sanggup berkata apapun. Aku masuk kamar dengan tatapan kosong.
Aku kunci kamar itu berhari-hari. Suara ketukan penyesalan Ibu hampir setiap hari kudengar tapi saya tak perduli. Otakku seakan – akan menolak bahwa saya bukan anak kandung dari perempuan jahat itu. Kebahagiaan palsu itu, kesempurnaan palsu itu, kasih sayang palsu itu. Sakit itu membuatku tak sanggup meneteskan airmata sedikitpun, hatiku membeku. Aku berpikir begitu usang sampai kesannya saya memutuskan untuk mengikuti permainannya. Dia niscaya menginginkan saya menjadi sebuah boneka pajangan di rumahnya, dan saya akan menjadi boneka itu.
Sejak menjadi boneka perempuan jahat itu, saya lebih suka menghamburkan uangnya dengan membeli banyak hal yang sesungguhnya tak berguna. Aku ingin membuatnya terluka, tapi saya selalu gagal. Secuil perasaan di hatiku selalu menahan pemberontakan yang ingin kulakukan.
Aku berdiri tepat di depan pintu kamar perempuan jahat itu. Aku masih ragu untuk membagikan kasih sayangku lagi kepadanya. Tapi, saya ini kan bonekanya. Aku sanggup berpura-pura baik untuk kali ini alasannya yaitu kondisi nya yang tidak sehat.
“Evi belum tiba Mas? Di rumah, makannya teratur kan? Ibu menyesal Mas. Nggak seharusnya Ibu kayak gitu. Hatinya niscaya terluka. Ibu bener-bener sayang sama dia. Masa ia nggak merasakan kasih sayang Ibu Mas?” belum sempat saya memegang gagang pintu, bunyi Ibu membuatku mematung sambil meneteskan air mata. Apakah hatiku yang membeku sudah mulai mencair sampai air mata itu keluar tanpa saya suruh?
Dongeng Sekolah #2
Dongeng Sekolah #2 menceritakan seorang anak yang mempunyai kehidupan sempurna. Namun bangunan kesempurnaan itu dihancurkan oleh dirinya sendiri dengan menanam kebencian kepada Ibunya. Bukan, bukan Ibunya, tapi malaikat penyelamat hidupnya. Bukankah cinta telah dimilikinya? Lalu mengapa ia mengabaikan cinta itu dengan menentukan rasa suka yang sesaat? Entahlah, agar ia yang menjawab sendiri.
Sekali lagi, ini yaitu sebuah dongeng, dongeng yang tidak biasa alasannya yaitu dongeng ini diambil dari kisah nyata.
Sumber http://nurhalimahsulaiman23.blogspot.com

0 Response to "Dongeng Sekolah #2 | -Ibu-"
Posting Komentar