-->

iklan banner

Dongeng Sekolah #3 | Dibalik Andin

Terkadang, orang yang terlihat sangat senang ialah orang yang paling banyak menyimpan kesedihan, ia menyimpan rapat setiap sisi kehidupannya yang lain untuk membahagiakan orang.

Namaku Andin, saya ialah siswa kelas dua SMA. Teman-temanku, guru-guru, dan semua orang yang kukenal selalu berkata saya mempunyai kehidupan yang sangat sempurna. Memiliki banyak prestasi, kehidupan yang berkecukupan, keluarga yang harmonis, mempunyai banyak teman, dan selalu bahagia. Aku sangat ceria setiap saat, begitu kata mereka.
“Coba deh lihat Din, fotonya di instagram terang banget kan ya. Dia akal-akalan senang dan tersenyum tapi kayaknya beliau belum move on dari mantannya deh.” Kata Tiara memberikan foto mantan pacar sobat sekelas kami. 
“Payah banget dia! Dia belum pro berpura-pura bahagia.” Kataku.

Banyak orang di dunia ini ingin terlihat senang dengan postingan di sosial media mereka, kenyataannya mereka menjatuhkan dirinya sendiri. Tapi untuk apa percaya pada dunia maya, bukannya dunia itu diciptakan untuk hiburan semata, berbeda dengan dunia nyata. Jika ingin terlihat kuat, harusnya mereka memberikan di dunia konkret bukan pada dunia maya. Mereka harus banyak mencar ilmu dari orang-orang yang tampak ceria dan bahagia, menyerupai aku. Aku tidak sedang berpura-pura dan memberikan kemunafikan, tapi saya sedang menghibur diriku sendiri dan orang lain semoga tidak terlihat lemah. Mereka berkata saya memilki segudang presetasi dengan mudah, namun kenyataannya saya ringkih dengan status itu. Aku harus menghabiskan malam istirahatku untuk mencar ilmu semoga mendapat pengakuan. TIDAK! Bukan legalisasi dari orang banyak melainkan dari orangtuaku sendiri. 

“Mah, Pah, Andin sanggup peringkat dua di kelas.” Kataku.
“Kalau bukan peringkat satu, jangan bangga! Sana mencar ilmu yang benar!” Kata Papah.
Kata-kata itu selalu kudengar setiap penerimaam raport semester. Tapi, saya tak pernah mengalah untuk mendapat legalisasi dari mereka walaupun saya harus jatuh dan gagal berkali-kali.
Mereka berkata saya mempunyai kehidupan yang berkecukupan. Tentu saja benar tapi dulu, dikala kakakku belum kuliah dan menghamburkan uang mamah dan papah untuk diberikan pada pacarnya. Semenjak uang bulanan abang yang setiap dikala bertambah, mamah dan papah harus mencari uang pemanis dengan berjualan makanan. Uang kantor mereka tak cukup untuk memenuhi kebutuhan abang dan uang kuliahnya. Terkadang, saya kasihan dengan mamah dan papah. Kebiasaan abang menghambur-hamburkan uang bahwasanya sudah ada semenjak ia masih SMA, bahkan saya pernah hampir membunuhnya sebab kesal. Namun, saya tak mau menciptakan mamah dan papah duka karen ulahku. Aku pernah mendapati mamah menangis sebab tabrak ekspresi dengan sobat kantornya, dikala itu hatiku bagai tercabik-cabik mendengar tangisan mamah. Padahal mamah sudah berulang kali tiba ke rumah temannya untuk minta maaf, tapi akhirnya selalu gagal. Membayangkan mamah sekantor dengan orang yang membencinya selama bertahun-tahun saja saya tak sanggup, apalagi menyaksikan anaknya terbunuh.
Mereka berkata saya mempunyai keluarga yang harmonis, mungkin benar. Mamah dan papah jarang sekali tabrak ekspresi menyerupai di sinetron televisi. Tapi, kehidupan keluarga kami sangat dingin. Ungkapan cinta ialah hal yang tidak wajar, walaupun saya percaya kami semua saling menyayangi. Jika dibandingkan dengan teman-teman sekelasku, hubunganku dengan mamah atau papah ialah relasi yang jauh dari kata romantis. Aku tak pernah iri dengan Tiara yang gampang sekali mengungkapkan sayang kepada Ibunya, atau Ibunya Tiara yang gampang sekali mengecup kening Tiara. Bagaimanapun keadaannya, saya percaya mamah dan papah sayang padaku. 
Mereka berkata saya mempunyai banyak teman, itu benar. Tapi, saya menutupi banyak kesedihan dan tak pernah membagi kepada mereka. Aku sangat mengasihi mereka walaupun terkadang sering sekali saya terluka oleh kata-kata mereka. Aku dikenal sebagai anak yang ceria dan hambar sehingga gampang bagi mereka menyampaikan hal yang seharusnya tidak pernah didengar oleh seseorang yang mempunyai relasi pertemanan. Namun, bagaimanapun keadaannya saya mengasihi mereka dan saya percaya mereka sayang padaku.
Mereka berkata saya tidak pernah terlihat sedih, tentu saja itu benar. Aku menghabiskan malamku untuk bercerita kepada sang Pencipta dan memulai kembali hariku dengan sebuah HARAPAN. Harapan untuk hidup lebih tegar, cita-cita gres untuk mengukir prestasi lebih baik, cita-cita gres untuk kembali melihat wajah mamah, papah, kakak, adik, dan teman-temanku. Aku percaya membagikan keceriaan ialah obat yang paling tepat untuk segala kesedihanku. 

“Din, ada whatsapp nih dari Pak Budi. Aku buka ya.” Kata Tiara membuyarkan lamunan panjangku.
“Buka aja.” Kataku.
“Din, kau menang lomba! Kata Pak Budi kau menang nih. Wah selamat loh Din. Semakin tepat aja hidupmu Din. Hohohoho.” Kata Tiara kegirangan.
Aku tersenyum ke arah Tiara, saya menarik nafas dalam-dalam sambil berkata pada hatiku, “Terima kasih Andin”.

Dongeng Sekolah #3
Kisah ini hampir sama dengan dua kisah sebelumnya. Menceritakan ihwal kegelisahan seorang siswa Sekolah Menengan Atas dengan ujian dan duduk masalah yang luar biasa berat untuk seusia mereka. Tapi, mereka bisa melaluinya.
Dari tiga kisah ini, saya ingin memberikan kepada siapapun yang membaca goresan pena ini bahwa setiap insan punya ujiannya masing-masing, KAMU! Aku tahu duduk masalah yang kini kau hadapi sangat berat, saya membagikan kisah ini semoga KAMU bersyukur. Masih banyak orang-orang di sekitar kita mempunyai ujian dan duduk masalah yang lebih besar namun mereka bertahan. Lalu seberapa besar ujian yang kau hadapi sekarang?

Sumber http://nurhalimahsulaiman23.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Dongeng Sekolah #3 | Dibalik Andin"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel