-->

iklan banner

Hukum Budpekerti Dalam Perkembangan


BAB I

PENDAHULUAN.

    1. Hukum Adat Dalam Perkembangan

Hukum etika lantaran sifatnya yang tidak tertulis, beragam antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya, maka perlu dikaji perkembangannya. Pemahaman ini akan diketahui apakah aturan etika masih hidup , apakah sudah berubah, dan ke arah mana perubahan itu.

    1. Hukum Adat Dalam Perkembangan: Paradigma Sentralisme Hukum dan Paradigma Pluralisme Hukum.

Ada banyak istilah yang digunakan untuk menamai aturan lokal: aturan tradisional, aturan adat, hukum asli, aturan rakyat, dan khusus di Indonesia – aturan “adat“1. Bagaimana tempat dan bagaimana perkembangannya aturan etika dalam masyarakat tergantung kesadaran, paradigma hukum, politik aturan dan pemahaman para pengembannya- politisi, hakim, pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri. Hukum ada dan berlakunya tergantung kepada dan berada dalam masyarakat.

Bagi penganut Paham Etatis, yang mengklaim negara sebagai satu-satunya secara sentral sebagai sumber produksi hukum, maka di luar negara tidak diakui adanya hukum. Paham Etatisme berujud sentralisme hukum, dipengaruhi positivisme aturan dan teori aturan murni, maka secara struktural dan sistimatik ujud aturan yaitu bersumber dan produksi dari negara secara terpusat termasuk organ negara di bawahnya. Paham sentralisme aturan ini menempatkan posisi aturan etika tidak memperoleh tempat yang memadahi. Etatis aturan timbul yang didasarkan pada teori modernitas yang memisahkan dan menarik garis tegas antara zaman modern dan zaman pra modern. Zaman modern ditandai adanya sistem aturan nasional, sejak timbulnya senara nasional, sebagai kesatuan yang berlaku dalam seluruh teritorialnya. Paham ini timbul dari warisan revolusi kaum borjuis dan hegemoni liberal- lantaran kuatnya liberalisme, sehingga tumbuh apa yang disebut sentralisme aturan (legal centralism), dimaknai aturan sebagai aturan negara yang berlaku seragam untuk semua pribadi yang berada di wilayah jurisdiksi negara tersebut. Menurut Max Weber dikutip David Trubrek dan Satipto Rahardjo, pertumbuhan sistem aturan modern tidak sanggup dilepaskan dari kemunculan industrialisasi yang kapitalis.yang memperlihatkan rasionalitas dan prediktabilitas dalam kehidupan ekonomi. Hukum modern yang digunakan di mana-mana di dunia kini ini pada pada dasarnya mengabdi dan melayani masyarakat industri- kapitalis2

Kaedah aturan negara berada di atas kaedah aturan lain, dan karenanya harus tunduk kepada negara beserta forum aturan negara. Pemahaman ideologi sentralisme hukum, memposisikan aturan yaitu sebagai kaedah normatif yang bersifat memaksa, ekslusif, hirarkis, sistimatis, berlaku seragam, serta sanggup berlaku; pertama, dari atas ke bawah (top downwards) di mana keberlakuannya sangat tergantung kepada penguasa (Bodin: 1576; Hobbes: 1651; Austin: 1832) atau, kedua dari bawah ke atas (bottom upwards) di mana aturan dipahami sebagai suatu lapisan kaedah-kaedah normatif yang hirarkis, dari lapisan yang paling bawah dan meningkat ke lapisan-lapisan yang lebih tinggi hingga berhenti di puncak lapisan yang dianggap sebagai kaedah utama (Kelsen: 1949; Hart: 1961). Sistem aturan yang dipengaruhi idiologi ini, seluruh lapisan kaedah normatif ini gres dianggap sah keberlakuannya sebagai suatu aturan aturan jikalau sesuai dengan lapisan (norma, kaedah ) yang di atasnya. Khusus kaedah utama yang berada di puncak lapisan – disebut grundnorm, yaitu suatu kaedah dasar, nilai dasar yang sudah ada dalam masyarakat, digunakan sebagai kaedah pembenar oleh negara dalam mengukur kaedah yang berada di bawahnya. Maka aturan dan daypikir aturan yang berlangsung yaitu sebagaimana William Twining menyebutnya sebagai proses a finite closed scheme of permissible justification. Apa yang merupakan aturan ditentukan oleh legislatif dalam bentuk rumusan yang absurd untuk kemudian melalui proses stufenweise konkretisierung (kongkritisasi secara bertingkat dari atas- ke bawah, Hans Kelsen), kesudahannya aturan yang semula absurd menjadi kongkrit.3.

Sentralisme aturan yang juga disebut aturan modern, dicirikan oleh beberapa sarjana: misalnya oleh Marc Galanter menyebut tidak kurang dari 11 karakteristik aturan modern itu. Beberapa di antaranya adalah: (1) hukum itu lebih bersifat teritorial daripada personal, dalam arti penerapannya tidak terikat pada kasta, agama atau ras tertentu; (2) sistemnya diorganisir secara hirarkhis dan birokratis; (3) sistem juga rasional yang artinya, tehnik-tehniknya sanggup dipelajari dengan memakai nalar dan bahan-bahan aturan yang tersedia dan (4) disamping itu aturan dinilai dari sudut kegunaannya sebagai sarana untuk menggarap masyarakat, tidak dari kwalitas formalnya; (5) hukum itu bisa diubah-ubah dan bukan merupakan sesuatu yang keramat – kaku; ekssistensi aturan dikaitkan pada (kedaulatam) negara4.

Sedangkan Lawrence M. Friedman, yang membagi unsur sistem aturan dalam tiga macam: (1) Struktur, (2) substansi dan (3) kultur, maka aturan modern lebih tepat memakai tolok ukur kultur hukum, maka aturan lebih dilihat dari sudut kegunaan (utilitarian), sehingga ia mencirikan aturan modern sebagai: (1) sekuler dan pragmatis; (2) berorientasi pada kepentingan dan merupakan suatu perjuangan yang dikelola secara sadar oleh insan (enterprise); (3) bersifat terbuka dan mengandung unsur perubahan yang dilakukan secara sengaja.

Sehingga Lawrence M. Friedman lebih bersahabat dengan pendapat David M. Trubek, yang memerinci konsepsi aturan modern sebagai: (1) sistem peraturan-peraturan; (2) berupa karya insan dan (3) bersifat otonom, artinya merupakan belahan dari negara tetapi sekaligus juga terlepas daripadanya5.

Pada posisi (sebagai aturan modern- pen) ini aturan memperoleh penyempitan makna, lantaran aturan semakin menjadi sesuatu yang otonom, lepas dari realitas dan nilai yang seharusnya sebagai substansi dan pendukungnya. Hal ini berakibat pada suatu keadaan aturan telah cacat semenjak lahirnya, ini sebagai bencana hukum.

Idiologi sentralisme aturan inilah sebagai ibu kandung positivisme hukum yang sering disebut hukum modern, pada paham yang paling ekstrim yaitu aturan harus dibebaskan – dimurnikan - dari nilai-nilai non aturan (etika, moral, agama), sehingga aturan sebagai bebas nilai (value free), yang dipositipkan dalam bentuk peraturan dan yang bersumberkan dari negara dalam bentuk tertulis. Hukum jenis ini dewasa ini sangat mayoritas dan sebagai penopang negara penganut modern-liberal, bahkan negara ultra-modern-neoliberal, dengan didukung oleh para pengembannya (pendidikan hukum, profesional dengan standarnisasi yang ketat)


Sebaliknya yang berlawanan dengan paham sentralisme aturan yaitu paham pluralisme hukum. Paham pluralisme aturan menempatkan sistem aturan yang satu berada sama dengan sistem aturan lain. Menurut Satjipto Rahardjo semenjak ketika timbulnya aturan modern yang sentral dari negara, maka mulai tergusurnya jenis aturan lain menyerupai aturan adfat dan kebiasaan lainnya. Kalaupun toh jenis-jenis aturan itu masih berlaku di sana sini, maka itus emua terjadi lantaran “ kebaikan hati” aturan negara ( by the grace of state law)6. Ada beberapa tipe pluralisme hukum. Tipe pertama disebut: Pluralisme Relatif (Vanderlinden 1989), Pluralisme Lemah (J.Griffith 1986) atau Puralisme aturan hukum negara (Woodman 1995:9) menunjuk pada kontruksi aturan yang di dalamnya aturan aturan yang mayoritas memberi ruang, implisit atau eksplisit, bagi jenis aturan lain, contohnya aturan etika atau aturan agama. Hukum negara mengesahkan dan mengakui adanya aturan lain dan memasukkannya dalam sistem aturan negara. Tipe kedua, yang disebut : Pluralisme Kuat atau Deskriptif (Griffiths, atau Pluralisme Dalam (Woodman) pluralisme aturan menunjuk situasi yang di dalamnya dua atau lebih sistem aturan hidup berdampingan, dengan masing-masing dasar legitimasi dan keabsahannya7. Esmi Warasih dalam pidato pengukuhan dia sebagai guru besar bahwa;“Penerapan suatu sistem aturan yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah lantaran terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem aturan dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri8

Paradigma pemahaman aturan etika dan perkembangannya harus diletakkan pada ruang yang besar, dengan mengkaji secara luas:

  1. Kajian yang tidak lagi melihat sistem aturan suatu negara berupa aturan negara, namun juga aturan etika aturan agama serta aturan kebiasaan;

  2. Pemahaman aturan (adat) tidak hanya memahami aturan etika yang dalam berada dalam komunitas tradisional- masyarakat pedesaan, tetapi juga hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat lingkungan tertentu (hybrid law atau unnamed law);

  3. Memahami tanda-tanda trans nasional law sebagaimana aturan yang dibuat oleh organisasi multilateral, maka adanya kekerabatan interdependensi antara aturan internasional, aturan nasional dan aturan lokal.

Dengan pemahaman holistik dan intregratif maka perkembangan dan kedudukan aturan etika akan sanggup dipahami dengan memadahi.

Maka studi aturan etika dalam perkembangan mengkaji aturan etika sepanjang perkembanganya di dalam masyarakat, dilakukan secara kritis obyektif analitis, artinya aturan etika akan dikaji secara positif dan secara negative. Secara positif artinya aturan etika dilihat sebagai aturan yang bersumber dari alam pikiran dan impian masyarakatnya. Secara negatif aturan etika dilihat dari luar, dari hubungannya dengan aturan lain baik yang menguatkan maupun yang melemahkan dan interaksi perkembangan politik kenegaraan. Perkembangan aturan secara positif artinya aturan etika akan dilihat pengakuannya dalam masyarakat dalam dokrin, perundang-undangan, dalam yurisprudensi maupun dalam kehidupan masyarakat sehari hari. Sebaliknya perkembangan secara negative bagaimana aturan etika dikesampingkan dan tergeser atau sama sekali tidak berlaku oleh adanya aturan positif yang direpresentasikan oleh Negara baik dalam perundang-undangan maupun dalam putusan pengadilan. Sebagaimana dinyatakan: aturan etika bersama-sama berpautan dengan suatu masyarakat yang masih hidup dalam taraf subsistem, hingga kecocokannya untuk kehidupan kota modern mulai dipertanyakan.

Hukum etika dalam perkembangannya dewasa ini dipengaruhi oleh: Politik aturan yang dianut oleh Negara dan metode pendekatan yang digunakan untuk menemukan aturan adat.

Hukum etika dalam goresan pena ini dilihat sebagai suatu system. Sistem sesuai dikemukakan oleh Scholten, disetujui Soepomo, berpendapat: bahwa tiap aturan merupakan suatu system, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran9Dalam kaitan itu, Sunarjati Hartono,16 merekomendasikan beberapa hal dalam rangka pembentukan dan pengembangan aturan nasional Indonesia dan harus betul-betul mendapatkan perhatian yaitu hal-hal sebagai berikut:

  1. Hukum Nasional harus merupakan lanjutan (inklusif modernisasi) dari aturan adat, dengan pengertian bahwa aturan nasional itu harus berjiwa Pancasila. Maknanya, jiwa dari kelima sila Pancasila harus sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan sedapat-dapatnya juga di masa yang akan datang;

  2. Hukum nasional Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan bagian-bagian antara aturan etika dan hukum barat, melainkan harus terdiri atas kaidah-kaidah ciptaan yang baru sesuai dengan kebutuhan dalam menuntaskan masalah yang baru pula;

  3. Pembentukan peraturan aturan nasional hendaknya ditentukan secara fungsional. Maksudnya, aturan aturan yang gres itu secara substansial harus benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, hak atau kewajiban yang hendak diciptakan itu juga sesuai dengan tujuan kita untuk mencapai masyarakat yang adil dalam kemakmuran serta makmur dalam keadilan.10

III. Hukum

    1. Pengertian Hukum Adat.

Pemahaman mengenai aturan etika selama ini, yang terjadi, bila meminjam istilah Spradley dan McCurdy (1975), ialah adanya sikap legal ethnocentrism, yakni: the tendency to view the law of other cultures through the concepts and assumptions of Western. Padahal, sikap legal ethnocentrism itu mengundang kritik, antara lain: a) cenderung meniadakan eksistensi dari aturan pada pelbagai masyarakat; dan b) cenderung mengambil bentuk sistem aturan barat sebagai dasar dari penelaahan dan penyusunan kebijakan.11 Catatan penting yang sanggup diberikan berkenaan dengan Law and Development tersebut ialah:

..., hukum modern (dalam hal ini state law) itu perlu, tapi tidaklah cukup untuk pembangunan ekonomi; adanya ‘the rule of law’ cukup menolong, namun belum mencukupi untuk melaksanakan pembangunan politik; di antara kondisi minimum tersebut, aturan bukan hal penting yang utama. Pusat kegawatan utama yaitu pada adonan antara: sejarah negara yang unik, aspek kultural, ekonomi, politik serta sumberdaya alam dan manusia; dan negara berkembang akan beruntung bila mereka sanggup menyebarkan variannya sendiri mengenai isi dari ‘the rule of law’ (Tamanaha 1998).12


Hukum etika dieksplorasi secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh William Marsden (1783), orang Irlandia yang melaksanakan penelitian di Bengkulu, semasa dikuasai Inggris, kemudian diikuti oleh Muntinghe, Raffles. Namun kajian secara sistimatis dilakukan oleh Snouck Hourgronye, yang pertama kali memakai istilah adatrecht (hukum adat), dan ia sebagai peletak teori Receptie13, ia memandang aturan etika identik dengan aturan kebiasaan14. Istilah Hukum Adat atau adatrecht pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck Hurgronye memakai istilah ini untuk memperlihatkan bentuk-bentuk etika yang mempunyai konsekwensi hukum15.

Kemudian dilanjutkan oleh van Vallenhoven dengan pendekatan positivisme sebagai contoh berfikirnya, ia berpendapat ilmu aturan harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu: (1). memperlihatkan keadaan (gestelheid), (2) kelanjutan (veloop), dan (3) menemukan keajekannya (regelmaat), berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda (Indonesia-sekarang) ke dalam 19 lingkungan aturan etika secara sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut Bapak Hukum Adat. Ia mengemukakan konsep aturan adat, seperti: masyarakat aturan atau komplotan aturan (rechtsgemeenschap), hak ulayat atau pertuanan (beschikings-rechts), lingkaran aturan etika (adatrechtskringen).

Selanjutnya Teer Haar; ia dengan mendasarkan analisisnya pada Teori Keputusan yang dikemukakan oleh John Chipman Grey menyatakan, semua aturan dibuat oleh hakim (Judge made law), ia mengemukakan Teori Keputusan (beslissingenleer-theorie).

Mengkaji aturan etika dari aneka macam sudut pandang, namun tetap memperlihatkan apa yang disebut aturan adat, akan memilih bagaimana aturan etika dalam perkembangannya, dan aturan etika akan bisa menyesuaian dengan kebutuhan dan tuntutan dalam masyarakat yang akan terus berubah. Oleh lantaran itu pemahaman pengertian, pendekatan metodologis menjadi penting sekali untuk sanggup melihat, memahami dan mempelajari perkembangan aturan adat atau aturan etika dalam perkembangannya.

Hukum etika sebagai aturan yang dibangun berdasarkan paradigma atau nilai-nilai: harmoni, keselarasan, keutuhan memilih corak, sifat, abjad aturan adat.

Kluckhon mengemukakan: nilai merupakan “a conception of desirable” (suatu konsepsi yang diinginkan). Maka nilai ada beberapa tingkatan, yaitu:

  1. Nilai Primer merupakan nilai pegangan hidup bagi suatu masyarakat, bersifat abstrak dan tetap seperti: kejujuran, keadilan, keluhuran budi, kebersamaan dan lain sebagainya.

  2. Nilai subsider berkenaan dengan kegunaan, lantaran itu lebih berbicara hal-hal yang bersifat kongkrit. Maka aturan lebih banyak ditujukan pada nilai-nilai sekunder yaitu nilai-nilai yang mempunyai kegunaan untuk memecahkan masalah kongkrit yang sedang dihadapi masyarakat, atau orang-perorang. Timbulnya nilai sekunder tersebut, telah melalui penyaringan (sannering) oleh nilai-nilai primer. Nilai sekunder bisa berubah menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan dan menjawab masalah yang ada dalam masyarakat. Hukum - termasuk aturan adat - sesungguhnya juga didasarkan pada nilai primer, namun pendasaran pada nilai sekunder, sifatnya lebih nyata dilihat dan dipahami.

Hukum etika merupakan istilah tehnis ilmiah, yang memperlihatkan aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan-perundangan yang dibuat oleh penguasa pemerintahan16. Beberapa definisi aturan etika yang dikemukakan para jago hukum, antara lain sebagai berikut:

  1. Prof.Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut aturan etika memperlihatkan definisi aturan etika sebagai : “ Himpunan peraturan wacana sikap yang berlaku bagi orang pribumi dan timur aneh pada satu pihak yang mempunyai hukuman (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat)17. Abdulrahman , SH menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk Hukum Adat pada masa kini18.

  2. Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum etika yaitu synomim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (statuary law), aturan yang hidup sebagai konvensi di badan-badan aturan Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa19.

  3. Prof. Soekanto, merumuskan aturan adat: Komplek etika adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai hukuman (dari itu hukum), jadi mempunyai akhir hukum, komplek ini disebut Hukum Adat20

  4. Prof. Soeripto: Hukum etika yaitu semua aturan-aturan/ peraturan-peraturan etika tingkah laris yang bersifat aturan di segala kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat aturan oleh lantaran ada kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/ peraturan itu harus dipertahankan oleh petugas aturan dan petugas masyarakat dengan upaya paksa atau ancaman eksekusi (sanksi)21.

  5. Hardjito Notopuro: Hukum Adat yaitu aturan tidak tertulis, aturan kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan aliran kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata kedilan dan kesejahteran masyarakat dan bersifat kekeluargaan22.

  6. Suroyo Wignjodipuro: Hukum etika yaitu suatu kompleks norma-norma yang bersumber apada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laris insan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, lantaran mempunyai akhir aturan (sanksi).23

  7. Seminar Hukum Adat dan pelatihan Hukum Nasional: Hukum etika diartikan sebagai Hukum Indonesia orisinil yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama.24

  8. Sudjito Sastrodiharjo menegaskan: Ilmu aturan bukan hanya mempelajari apa yang disebut das sollen, tetapi pertama kali harus mengingat das sein. Hukum etika merupakan species dari aturan tidak tertulis, yang merupakan genusnya25

Selanjutnya dalam memahami perkembangan aturan etika dalam masyarakat, maka Prof. Van Vallenhoven merumuskan: Jikalau dari atas (penguasa) telah diputuskan untuk mempertahankan Hukum Adat padahal aturan itu sudah mati, maka penetapan itu akan sia-sia belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas bahwa Hukum Adat harus diganti, padahal di desa-desa, di ladang-ladang dan di pasar-pasar aturan itu masih kokoh dan kuat, maka hakim-pun akan sia-sia belaka26. Dengan kata lain memahami aturan etika harus dilakukan secara dinamik, dan selaras antara atas – yang memutuskan – dan bawah yang memakai - agar sanggup diketahui dan dipahami perkembangannya.

Menurut Soepomo, Hukum etika yaitu suatu aturan yang hidup lantaran ia menjelmakan perasaan aturan yang nyata dari rakyat. Dalam aneka macam seminar, maka berkembang kemudian aturan yang hidup dalam masyarakat (living law) yang lazim dipergunakan untuk, memperlihatkan aneka macam macam aturan yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di dalam masyarakat, yang berdasarkan Satjipto Raharjo, akan tetap ada sebagai kelengkapan dari Hukum Nasional. Penyebutan Hukum Adat untuk aturan yang tidak tertulis tidak mengurangi peranannya dalam memperlihatkan penyaluran dari kebiasaan, kepentingan-kepentingan yang tidak terucapkan dalam aturan tertulis27.


    1. Azas azas Hukum Adat

Hukum etika yang tumbuh dari impian dan alam pikiran masyarakat Indonesia, yang bersifat majemuk, namun ternyata sanggup dilacak azas-azasnya, yaitu:

  1. Azas Gotong royong;

  2. Azas fungsi sosial hak miliknya;

  3. Azas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum;

  4. Azas perwakilan dan musyawaratan dalam sistem pemerintahan


    1. Sifat Corak Hukum Adat.

Sifat Hukum Adat.

Hukum etika berbeda dengan aturan bersumberkan Romawi atau Eropa Kontinental lainnya. Hukum etika bersifat pragmatisme –realisme artinya bisa memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religius, sehingga aturan etika mempunyai fungsi social atau keadilan social. Sifat yang menjadi ciri daripada aturan etika sebagai 3 C adalah:

      1. Commun atau komunal atau kekeluargaan (masyarakat lebih penting daripada individu);

      2. Contant atau Tunai perbuatan aturan dalam aturan etika sah bila dilakukan secara tunai, sebagai dasar mengikatnya perbuatan hukum.

      3. Congkrete atau Nyata, Riil perbuatan aturan dinyatakan sah bila dilakukan secara kongkrit bentuk perbuatan hukumnya. 28/10/2008 klas F

Djojodigoeno menyebut aturan etika mempunyai sifat: statis, dinamis dan plastis

  1. Statis, aturan etika selalu ada dalam amsyarakat,

  2. Dinamis, lantaran aturan etika dapat mengikuti perkembangan masyarakat, yang

  3. Plastis/Fleksibel, kelenturan aturan etika sesuai kebutuhan dan kemauan masyarakat.

Sunaryati Hartono, menyatakan28: Dengan perspektif perbandingan, maka ketiga ciri sanggup ditemukan dalam aturan yang berlaku dalam masyarakat agraris atau pra industri, tidak hanya di Asia tetapi juga di Eropa dan Amerika. Surnarjati Hartono sesungguhnya hendak menyampaikan bahwa aturan etika bukan khas Indonesia, namun sanggup ditemukan juga di aneka macam masyarakat lain yang masih bersifat pra industri di luar Indonesia.

Corak Hukum Adat

Soepomo29 mengatakan: Corak atau pola – pola tertentu di dalam aturan etika yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu oleh lantaran itu unsur-unsur aturan etika adalah:

  1. Mempunyai sifat kebersamaan yang berpengaruh ; artinya , menusia berdasarkan aturan etika , merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat , rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan aturan adat;

  2. Mempunyai corak magisch – religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia;

  3. Sistem aturan itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya aturan etika sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang kongkret. Sistem aturan etika mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup.

  4. Hukum etika mempunyai sifat visual, artinya- hubungan-hubungan aturan dianggap hanya terjadi oleh lantaran ditetapkan dengan suatu ikatan yang sanggup dilihat (atau tanda yang tampak).

Moch Koesnoe mengemukakan corak aturan etika 30:

  1. Segala bentuk rumusan etika yang berupa kata-kata yaitu suatu kiasan saja. Menjadi kiprah kalangan yang menjalankan aturan etika untuk banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman semoga mengetahui aneka macam kemungkinan arti kiasan dimaksud;

  2. Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya dalam aturan etika kehidupan insan selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh;

  3. Hukum etika lebih mengutamakan bekerja dengan azas-azas pokok . Artinya dalam lembaga-lembaga aturan etika diisi berdasarkan tuntutan waktu tempat dan keadaan serta segalanya diukur dengan azas pokok, yakni: kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama;

  4. Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas aturan etika untuk melaksanakan aturan adat.

Hilman Hadikusuma mengemukakan corak hukum adat adalah:

  1. Tradisional; artinya bersifat turun menurun, berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat bersangkutan.

  2. Keagamaan (Magis-religeius); artinya sikap aturan atau kaedah-kaedah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yanag mistik dan atau berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

  3. Kebersamaan (Komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama, sehingga kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Ujudnya rumah gadang, tanah pusaka (Minangkabau) . Dudu sanak dudu kadang yang yen mati melu kelangan (Jw).

  4. Kongkrit/ Visual;artinya jelas, nyata berujud. Visual artinya sanggup terlihat, tanpak, terbuka, terang dan tunai. Ijab – kabul, , jual beli serah terima bersamaan (samenval van momentum)

  5. Terbuka dan Sederhana;

  6. Dapat berubah dan Menyesuaikan;

  7. Tidak dikodifikasi;

  8. Musyawarah dan Mufakat;

Sifat dan corak aturan etika tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan masyarakatnya, lantaran aturan hanya akan efektif dengan kultur dan corak masyaraktnya. Oleh lantaran itu pola pikir dan paradigma berfikir etika sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki kehidupan dan aktifitas yang disebut modern.
























BAB II

PERKEMBANGAN HUKUM ADAT:PARADIGMA THEORI

Hukum akan selalu menyesuaian dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang senantiasa terus berubah. Mengenai perkembangan gres dalam Hukum Adat, diketengahkan teori Prof Koesnoe, yang menyatakan : bahwa perkembangan aturan etika itu meliputi : 1. Pengertian daripada Hukum Adat, 2. Kedudukan Hukum Adat, 3. Isi dan lingkungan kuasa atas orang dan ruang.. Dengan titik tolak pendapat Koesnoe dan pembagian terstruktur mengenai Abdulrahman, maka penulis membuat tabulasi perkembangan aturan etika sebagai berikut:


Table: 1

PERKEMBANGAN PENGERTIAN HUKUM ADAT

1

Perkembangan awal

Adat yang mempunyai sanksi

2

Berkembang

Segala keputusan-keputusan yang diambil penguasa etika dalam lingkungan masyarakat dan dalam hubungannya dengan ikatan structural masyarakatnya.

3

Setelah itu

Hukum Adat dilihat sebagai aturan yang lahir eksklusif dari pikiran dan impian serta kebutuhan rakyat Indonesia;

4

Akhirnya

Hukum yang lahir dari kepribadian bangsa Indonesia, singkatnya aturan nasional bangsa kita atau aturan orisinil Indonesia


Mencari pengertian gres mengenai aturan etika sebagai aturan nasional bangsa Indonesia, atau aturan orisinil Indonesia perlu dirumuskan konsepnya secara jelas, dengan menyegarkan kembali pemahaman atas akar hakekat sumber aturan adat, dengan skema, sebagai berikut:

Ranah

Nilai

Penyelesian

Genus

Nilai Primer31

Harmoni

Species

Nilai Sekunder

Rukun, patut, laras32



Corak aturan etika diubah dari relegio-magis, komun, konkrit, kontan yang bersifat tradisional- agraris, maka guna memenuhi kebutuhan dan tuntutan perkembangan masyarakatnya, oleh Achid Masduki diharapkan mengarah kepada dan menjadi religius-rasional, keseimbangan individu dan masyarakat, konsensual, abstrak33



Table:2

PERKEMBANGAN ATAS KEDUDUKAN HUKUM ADAT

1

Perkembangan awal

Hukum untuk golongan tertentu; golongan masyarakat asli, timur aneh tertentu

2

Perkembangan

Hukum yang membawa bentuk semangat kebangsaan

3

Perkembangan selanjutnya

Hukum Nasional

4

Akhirnya

Hukum Pancasila




Table: 3

PERKEMBANGAN HUKUM ADAT ATAS LINGKUNGAN KUASA ATAS ORANG DAN RUANG


1

Perkembangan awal

Diisi dalam taraf ilmu pengetahuan sesuai dengan waktunya, dengan ketentuan yang letaknya pada taraf kebiasaan dari golongan suku-suku yang ada

2

Perkembangan

Ditarik kepada pokok-pokok ketentuan yang abstrak, sehingga diversitas isinya menjadi tampak berkurang

3

Perkembangan selanjutnya

Ditarik lebih jauh lagi yakni kepada azas-azas aturan adat.

4

Akhirnya

Diarahkan kepada nilai-nilai aturan yang hidup di dalam masyarakat. Semakin absurd pengisiannya, semakin lebih luas daya meliputi lingkungan kuasa atas orang dan ruangnya sehingga kesudahannya berlaku secara Nasional


Sumbangsih Hukum etika bagi pembentukan aturan nasional, yaitu dalam hal pemakaian azas-azas, pranata-pranata dan pendekatan dalam pembentukan hukum34. Sumbangsih aturan etika contohnya dalam kontrak bagi hasil (bidang perminyakan), bidang aturan tanah dan aturan perumahan (khususnya rumah susun) dan azas pemisahan horizontal sanggup digunakan dalam pembentukan aturan nasional.

Hukum etika dengan ciri dan sifatnya serta unsur-unsur yang menempel dalam aturan tersebut, maka aturan etika bisa berkembang sesuai dengan serta mengikuti kebutuhan dan perkembangan jaman. Perkembangan aturan etika dalam dilihat dari substansinya dan melalui sumber-sumber aturan yang tersedia. Oleh lantaran itu substansi dan ratifikasi aturan etika sanggup tercermin dalam :

  1. Dalam Dokrin

Prof Satjipto Raharjo:

Hukum etika dalam hubungannya dengan industrialisasi, maka bisa memakai pendekatan fungsional. Artinya, kehadiran aturan dalam masyarakat menjalankan fungsinya sebagai sarana penyalur proses-proses dalam masyarakat sehingga tercipta suasana ketertiban tertentu. Hukum kemudian menjadi kerangka bagi berlangsungnya aneka macam proses tersebut sehingga tercipta suatu suasana kemasyarakatan yang produktif.

  1. Dalam Perundang-undangan

Perundang-undang merupakan produk formil aturan yang dibuat oleh tubuh yang berwenang, muatan materi yang diatur dalam perundang-undangan yaitu termasuk mengatur aturan yang bersumber pada aturan adat.

  1. Dalam yurisprudensi;

  2. Kebiasaan ( covention, customary law, common law)

  3. Dalam Hukum Lunak (Solf Law)

Soft forms of regulation are applied both in international society and in societies at national or even regional level, in the case of the European Union, for instance, through what is known as negotiated, contract or private law, between the actors directly involved. They embrace the isu terkini towards decentralisation in the production and application of law and form part of a different theoretical model of legal positivism. As a legal phenomenon soft law should be seen as a network rather than a hierarchy in order to understand how it can both be “soft” and still retain the more traditional concept of law. This coexistence of both pyramid and network corresponds to the move from legislation to regulation and from government to governance. To improve and increase social coordination, some of today’s normative processes involve the actors concerned directly, even though they are not necessarily linked to the public sphere or to the institution of the state. On the problem of the network, see François Ost and Michel van de Kerchove, De la pyramide au réseau? Pour une dialectique du droit, Brussels, Publications des Facultés universitaires St-Louis, 2002. How can we explain this isu terkini towards decentralisation in the production and application of law except as the result of a deeper crisis of authority in societies claiming to be egalitarian? “It may be possible to see in this relatively recent interest in soft law one of the new directions taken in law, or rather a change of perspective, particularly in domestic law, moving away from the monolithic perception of law as a hierarchical instrument of constraint, and viewing it also, and increasingly, as a way of achieving an idea of society that is shared with its subjects, negotiated, guiding law that is welcomed and approved rather than imposed, in democratic

societies that are becoming increasingly complex and segmented”: Georges Abi-Saab, “Éloge du ‘droit assourdi’. Quelques réflexions sur le rôle de la soft law en droit international contemporain”, in Nouveaux itinéraires en droit. Hommage

  1. à François Rigaux, Brussels, Bruylant, 1993, pp. 59-68, p. 60.

  2. The phenomenon of soft law has gathered pace over the last thirty

  3. years. 2 Although soft forms of regulation initially mainly governed the

  4. work of the international organizations, they now also cover some relations

  5. between states. They are also often used by non-state actors such as

  6. multinational companies, trade unions, pressure groups and other nongovernmental

  7. organizations (NGOs) to regulate the international dimension

  8. of their relations. As a result of this growing use of soft forms of regulation

  9. and the number of different actors using them, consideration

  10. needs to be given to the role of soft law in today’s international legal

  11. system. What is the function of soft law for decentralized societies such

  12. as we see in the international community, and what are the consequences

  13. of the proliferation of soft law for international labour law in particular?




















BAB III

HUKUM ADAT PERKEMBANGAN DALAM HUKUM POSITIVE DI INDONESIA

      1. Hukum Asli Indonesia

Hukum etika tumbuh dari impian dan alam pikiran masyarakat Indonesia. Maka aturan etika sanggup dilacak secara kronologis sejak Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan, yang tersebar di seluruh nusantara. Masa Sriwijaya, Mataran Muno, Masa Majapahit beberapa inskripsi (prasasti) menggambarkan perkembangan aturan yang berlaku (hukum asli), yang telah mengatur beberapa bidang, antara lain:

        1. Aturan aturan keagamaan, perekonomian dan pertambangan, dimuat dalam Prasasti Raja Sanjaya tahun 732 di Kedu, Jawa Tengah;

        2. Mengatur keagamaan dan kekaryaan, dimuat dalam prasasti Raj Dewasimha tahun 760;

        3. Hukum Pertanahan dan Pertanian ditemukan dalam Prasasti Raja Tulodong, di Kediri., 784 dan prasasti tahun 919 yang memuat jabatan pemerintahan, hak raja atas tanah, dan ganti rugi;

        4. Hukum mengatur wacana peradilan perdata, dimuat dalam prasasti Bulai Rakai Garung, 860.

        5. Perintah Raja untuk menyusus aturan adat, dalam prasasti Darmawangsa tahun 991;

        6. Pada masa Airlangga, adanya penetapan lambang meterai kerajaan berupa kepala burung Garuda, pembangunan perdikan dengan hak-hak istimewanya, penetapan pajak penghasilan yang harus dipungut pemerintah pusat.

        7. Masa Majapahit, tampak dalam penataan pemerintahan dan ketatanegaraan kerajaan Majapahit, adanya pembagian forum dan tubuh pemerintahan. Setelah jatuhnya Majapahir, maka kerajaan Mataram sangat diwarnai oleh imbas Islam, maka dikenal peradilan qisas, yang ,memberikan pertimbangan bagi Sultan untuk memutus perkara. Di pedalaman, dikenal peradilan ‚padu’ yaitu penyelesaian perselisihan antara perorangan oleh peradilan desa, dilakukan secara damai. Bersamaan itu, maka di Cirebon dikenal : Peradilan Agama memutus kasus yang membahayakan masyarakat umum, Peradilan Digrama yang memutus pelanggaran adat, dan kasus lain yang tidak masuk peradilan agama; dan Peradilan Cilaga yaitu peradilan dalam bidang perekonomian, perdagangan, jual beli, hutang piutang.

Beberapa contoh tersebut di atas memperlihatkan bahwa tatanan aturan orisinil yang telah berlaku di aneka macam daerah, yang kini dikenal dengan nama Indonesia memperlihatkan aturan bersumberkan pada masyarakat asli, baik berupa keputusan penguasa maupun aturan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat setempat.

2. Politik Hindia Belanda Terhadap Hukum Adat.

Pada awalnya aturan orisinil masyarakat yang dikenal dengan aturan etika dibiarkan sebagaimana adanya, namun kehadiran era VOC sanggup dicatat perkembangan sebagai berikut:

          1. Sikapnya tidak selalu tetap (tergantungan kepentingan VOC), lantaran tidak berkepentingan dengan pengadilan asli;

          2. VOC tidak mau dibebani oleh persoalan manajemen yang tidak perlu berkenaan dengan pengadilan asli;

          3. Terhadap lembaga-lembaga asli, VOC tergantung pada kebutuhan (opportuniteits politiek);

          4. VOC hanya mencampuri urusan kasus pidana guna menegakkan ketertiban umum dalam masyarakat;

          5. Terhadap Hukum perdata diserahkan , dan membiarkan aturan etika tetap berlaku.

Pada masa Dandeles, aturan pidana etika diubah dengan pola Eropa, bila :

  1. Perbuatan pidana yang dilakukan berakibat mengganggu kepentingan umum;

  2. Perbuatan pidana bila dituntut berdasarkan atas aturan pidana etika sanggup mengakibatkan si pelaku bebas;

Perkembangan aturan etika pada masa daendels bernasib sama dengan masa-masa sebelumnya yakni disubordinasikan hukum Eropa. Terkecuali untuk aturan sipil. Termasuk aturan perdata dan aturan dagang, Daendel tetap membiarkan sebagaimana adanya berdasarkan aturan etika masing-masing35.

Mada masa penjajahan Inggris (Raffles), hal yang menonjol yaitu adanya keleluasaan dalam aturan dan peradilan dalam menerapkan aturan adat, asal ketentuan aturan etika tidak bertentangan dengan: the universal and acknowledged principles of natural justice atau acknowledge priciples of substantial justice.

Pada perkembangan lanjutan, politik aturan etika tampak pada pemerintahan penjajahan Belanda, ketika dimulainya politik unifikasi aturan dan kodifikasi aturan melalui Panitia Scholten, di antaranya: Alegemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB), Ketentuan Umum wacana peraturan Perundang-undangan di Hindia Balanda; Burgerlijke Wetboek, Wetboek van Koopenhandel; reglemen op Rechtelejke Organisatie en het beleid de justitie (RO). Maka dalam perkembangannya terbentuklah unifikasi dalam pengaturan aturan pidana bagi golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi, dengan dibentuknya Wetboek van Strafrecht (WvS), sebagi tiruan Belanda (1881) yang menggandakan Belgia, diberlakukan bagi golongan Eropa dengan Stb 1866:55 dan berlaku bagi Golongan Pribumi dan Timur Asing dengan Stb 1872:85 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873. Proses kodifikasi dan unifikasi, maka aturan etika kecuali berkenaan dengan ketertiban umum dengan kodifikasi aturan pidana, tidak disangkutkan pengaturannya, sehingga yang dijadikan acuan aturan etika yaitu pasal 11 AB:

Kecuali dalam hal-hal orang pribumi atau yang disamakan dengan mereka (orang timur asing) dengan sukarela menaati (vrijwillige onderwerping) peraturan-peraturan aturan perdata dan aturan dagang Eropa, atau dalam hal-hal bahwa bagi mereka berlaku peraturan perundangan semacam itu, atau peraturan perundangan lain, maka aturan yang berlaku dan yang diperlakukan oleh hakim pribumi (Inlandse rechter) bagi mereka itu yaitu godsdienstige wetten, volkintellingen en gebruiken, asal saja tidak bertentangan dengan azas –azas keadilan yang diakui umum.

Pasal 11 AB, berlakukan azas konkordansi, yang memberlakukan aturan Belanda bagi golongan Eropa di Hindia Belanda, berkenaan dengan dengan aturan etika memperlihatkan bahwa aturan etika berlaku bagi golongan penduduk bukan Eropa, kecuali:

    1. Sukarela menaati peraturan peraturan perdata dan aturan dagang yang berlaku bagi golongan Eropa;

    2. Kebutuhan aturan memerlukan ketundukan pada aturan perdata dan aturan dagang golongen Eropa;

    3. Kebutuhan mereka memerlukan ketundukan pada aturan lain;

Pada masa ini, aturan dianggap ada bila diatur dalam undang-undang, sebagai aturan tertulis (statuary law) yang memperlihatkan dianutnya paham Austinian, sebagaimana diatur pasal 15 AB (Alegeme Bepalingen van Vetgeving), yang menyatakan: terkecuali peraturan-peraturan yang ada, bagi orang Indonesia orisinil dan bagi mereka yang dipersamakan dengannya, kebiasaan hanya sanggup disebut aturan apabila undang-undang menyebutnya.

Dengan demikian menjadi terperinci yang membuat ukuran dan kriteria berlaku dan karenanya juga berkembangnya aturan adat, yaitu bukan masyarakat –dimana tempat memproduksi dan memberlakukan aturan adanya sendiri – melainkan yaitu aturan lain yang dibuat oleh penguasa (kolonial), sebagaimana ternyata dalam pasal 11 AB dan pasal 15 AB tersebut.

      1. Hukum Adat Dalam Masa Kemerdekaan

Merujuk pada pengertian aturan etika sebagaimana dikemukakan oleh Soepomo, maka aturan etika pembentukan sanggup melalui Badan Legislatif, Melalui Pengadilan.

Hukum merupakan kesatuan norma yang bersumber pada nilai-nilai (values). Namun demikian aturan dan aturan etika pada khususnya berdasarkan karakternya, ada

  1. Hukum etika mempunyai karakter bersifat netral, dan

  2. Hukum etika mempunyai abjad bersifat tidak netral lantaran sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai relegius.

Pembedaan ini penting untuk sanggup memahami pembentukan atau perubahan aturan yang akan berlaku dalam masyarakat. Hukum netral – aturan kemudian lintas36 - yaitu aturan yang relative longgar kaitannya dengan nilai nilai religius – susunan masyarakat etika - hal ini berakibat, perubahan aturan yang termasuk aturan netral gampang pembentukannya dan pelatihan aturan dilakukan melalui bentuk perumusan aturan perundang-undangan (legislasi). Sedangkan aturan etika yang erat kaitannya dengan nilai-nilai relegius – lantaran itu relative tidak gampang disatukan secara nasional, maka pelatihan dan perumusannya dalam aturan positif dilakukan melalui yurisprudensi.

Hukum etika oleh jago barat, dipahami berdasarkan dua perkiraan yang salah, pertama, aturan etika sanggup dipahami melalui bahan-bahan tertulis, dipelajari dari catatan catatan orisinil atau didasarkan pada hukum-hukum agama. Kedua, bahwa aturan etika disistimatisasi secara paralel dengan hukum-hukum barat37. Akibat pemahaman dengan paradigma barat tersebut, maka aturan etika dipahami secara salah dengan segala akibat-akibat yang menyertai, yang akan secara nyata dalam perkembangan selanjutnya di masa kemerdekaan.

a. Hukum Adat Dalam Konsitusi.

Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas memperlihatkan kepada kita ratifikasi dan pemakaian istilah aturan adat. Namun bila ditelaah, maka sanggup disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa aturan adat38. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan aturan adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai perjuangan bersama berdasarkan azas kekeluargaan.

Pada tataran simpel bersumberkan pada Undang-Undang Dasar 1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam aturan adat.

Dalam konsitusi RIS pasal 146 ayat 1 disebutkan bahwa segala keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasannya dan dalam kasus harus menyebut aturan-atiuran undang-undang dan aturan-aturan aturan adat yang dijadikan dasar aturan itu39 Selanjutnya dalam Undang-Undang Dasar Sementara, pasal 146 ayat 1 dimuat kembali. Dengan demikian hakim harus menggali dan mengikuti perasaaan hukumd an keadilan rakyat yangs enantiasa berkembang. Dalam pasal 102 dan dengan memperhatikan ketentuan pasal 25 UUDS 1950 ada perintah bagi penguasa untuk membuat kodifikasi hukum. Maka hal ini termasuk di dalamnya aturan adat.40

Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-Undang Dasar 1945 dimbali berlaku, ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu persatuan melipouti segenap bangsa Indonesia, hal ini meliputi juga dalam bidang hukum, yang disebut aturan nasional. Pokok pikiran kedua yaitu negara hendak emwujdukan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. Maka azas-azas fungsi sosial insan dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting untuk diwujdukan dan disesusikan dengan dengan tuntutan dan perekembangan amsyarakat, dengan tetap bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga yaitu : negara mewujdukan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatamn danm permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fondamental dan penting, adanya persatuan perasahaan antara rakyat dan pemimpinnya41, artinya pemimpin harus menantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan kepentingan umum melalui kepngambilan kebijakan publik.Dalam kekerabatan itu maka ini mutlak diharapkan abjad insan pemimpoin publik yanhg memilikiw atak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan berperikemanusiaan42. Pokok pikiran keempat adalah: negara yaitu berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita aturan dan kemasyarakatan harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat mempunyai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata sebagai sarana membawa insan dan masyarakatnya sebagai fungsinya harus sebabtiasa dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa.

Namun sesudah amandemen konstitusi, aturan etika diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 18D ayat 2 menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat aturan etika beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang43.

Memahami rumusan pasal 18 d Undang-Undang Dasar 1945 tersebut maka:

  1. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya ;

  2. Jaminan konstitusi sepanjang aturan etika itu masih hidup;

  3. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan

  4. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  5. Diatur dalam undang-undang

Maka konsitusi ini, memperlihatkan jaminan ratifikasi dan penghormatan aturan etika bila memenuhi syarat:

    1. Syarat Realitas, yaitu aturan etika masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat;

    2. Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang;

Hukum perundang-undangan sesuai dengan TAP MPR Tahun 2001, maka tata urutan perundang-undangan:

  1. Undang-undang Dasar 1945;

  2. Ketetapan MPR;

  3. Undang-undang/ Perpu

  4. Peraturan Pemerintah;

  5. Peraturan Daerah;

Hal ini tidak memperlihatkan tenpat secara formil aturan etika sebagai sumber aturan perundang-undangan, kecuali aturan etika dalam wujud sebagai hukum etika yang secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.




b. Hukum Adat Dalam UU Drt No. 1 Tahun 1951.

Hukum etika dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, dimuat dalam pasal 1 dan pasal 5. Pasal 1, ditegaskan.

Kecuali pengadilan desa seluruh tubuh pengadilan yang meliputi tubuh pengadilan gubernemenm tubuh pengadilan swapraja (Zellbestuurrechtspraak) kecuali pengadilan agama jikalau pengadilan itu berdasarkan aturan yang hidup merupakan suatu belahan dari pengadilan swapraja, dan pengadilan etika (Inheemse rechtspraak in rechsreeks bestuurd gebied) kecuali pengadilan agama jikalau pengadilan itu berdasarkan aturan yang hidup merupakan suatu belahan tersendiri dari pengadilan etika yang telah dihapuskan.


Pasal 5 ayat (3) Sub b

Hukum Materiil sipil dan untuk sementara waktu pun aturan materiil pidana sipil yang hingga kini berlaku untuk kaula-kaula kawasan swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat, etika tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang-orang itu dengan pengertian:

              • ...perbuatan yang berdasarkan aturan yang hidup harus dianggap perbuatan pidana akan tetapi tidak ada bandingannya dalam kitab undang-undang hukum pidana Sipil maka dianggap diancam dengan eksekusi yang tidak lebih dari 3 (tiga) bulan penjara dan/ atau denda lima ratus , yaitu sebagai eksekusi pengganti bilamana eksekusi etika yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum...

              • Bahwa bilamana aturan etika yang dijatuhkan itu berdasarkan pikiran hakim melampaui pidananya dengan kurungan atau denda, ...maka sanggup dikenakan eksekusi pengganti setinggi 10 (sepuluh) tahun penjara, dengan pengertian bahwa aturan etika yang berdasarkan paham hakim tidak selaras lagi dengan zaman...

              • Bahwa suatu perbuatan yang berdasarkan aturan harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dengan kitab undang-undang hukum pidana Sipil maka dianggap diancam dengan aturan yang sama dengan aturan bandingannya yang paling menyerupai dengan perbuatan itu.


Ketentuan tersebut berusaha untuk menghapus aturan pidana etika berikut sanksinya bagi pribumi dan orang-orang timur aneh dengan peradilan pidana adat, kecuali hanya diselenggarakan oleh peradilan umum, peradilan agama dan peradilan desa (hakim perdamaian desa).

Dengan demikian sejak dikeluarkan UU Drt Nomor 1 Tahun 1951, maka aturan pidana etika sudah tidak menerima tempat semestinya lantaran sangat dibatasi dalam politik aturan NKRI. Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria/KBPN No.5 Tahun 1999 wacana Pedoman Penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat aturan adat, disebutkan:

  1. pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat aturan etika yang bersangkutan berdasarkan ketentuan aturan etika setempat.

  2. Hak ulayat masyarakat aturan etika masih ada apabila:

  1. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan aturan adatnya sebagai warga bersama suatu komplotan aturan tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketenuan komplotan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;

  2. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga komplotan aturan tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan;

  3. terdapat tatanan aturan etika mengenai pengurusan penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga komplotan aturan tersebut.

  1. Hukum Adat Dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.

Hukum etika dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 merupakan pengaturan yang sangat bersentuan eksklusif dengan masyarakat adat. Dalam pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960 ditegaskan: aturan agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah aturan adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan undang-undang lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersumber pada aturan agama. Dalam Penjelasan Undang-undang disebutkan: Hukum etika yang disempurnakan dan disuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungannya dunia internasional serta sesuai dengan sosialisme Indonesia. Ketentuan tersebut merupakan realisasi dari Tap MPRS II/MPRS/1960 Lampiran A Paragraf 402.

Hukum etika yang dimaksud yaitu adalah bukan aturan etika orisinil yang senyatanya berlaku dalam masyarakat adat, melainkan melainkan aturan etika yang sudah direkontruksi, hukum etika yang sudah: disempurnakan44, disaneer45, modern46 , yang berdasarkan Moch.Koesnoe menganggap aturan etika yang ada dalam UUPA telah hilang secara materiil, lantaran dipengaruhi oleh lembaga-lembaga dan ciri-ciri aturan barat atau telah dimodifikasikan oleh sosialisme Indonesia sehingga yang tersisa hanyalah formulasinya (bajunya) saja47.

Hukum agraria hanya memberlakukan hal-hal tertentu saja daripadanya. Pereduksian sanggup dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan negara48. Adanya Hak Menguasai Negara (HMN), merupakan bentuk penarikan ke negara Hak Ulayat yang dimiliki oleh masyarakat etika atas tanah yang berada di wilayah Indonesia, yang kemudian dikontruksi kembali sebagai bentuk pelimpahan kewenangan negara dalam pelaksanaan sanggup dilimpahkan kepada pemerintah di bawahnya. Maka Hak Ulayat dalam masyatakat etika yang semula bersifat mutlak dan abadi, telah direduksi dengan tergantung kepentingan dan ditentukan oleh negara.

Akibat lebih jauh adalah, timbulnya hak atas tanah berdasarkan aturan adat, yaitu dengan Hak Membuka Tanah (ontginningrecht) yang diberikan oleh ulayat, sehingga ia mempunyai Hak Menikmati (genotrecht), dan mempunyai hak terdahulu (voorkersrecht) atas tanah yang digarapnya, timbulnya hak milik melalui penunjukan rapat desa di Jawa Tengah (pekulen, norowito) dan Jawa Barat (kasikepan, kanomeran, kacacahan), oleh UUPA direduksi dan disubordinasikan melalui peraturan pemerintah, sebagaimana diatur pasal 22 ayat (1) UUPA: Terjadinya hak milik berdasarkan aturan etika diatur dengan Peraturan Pemerintah.




BAB IV

PERKEMBANGAN HUKUM ADAT DALAM YURISPRUDENSI INDONESIA

Yurisprudensi, berasal dari kata bahasa Latin: jurisprudential, secara tehnis artinya peradilan tetap atau hukum. Yurisprudensi yaitu putusan hakim (judge made law) yang diikuti hakim lain dalam kasus serupa (azas similia similibus), kemudian putusan hakim itu menjadi tetap sehingga menjadi sumber aturan yang disebut yurisprudensi. Yurisprudensi dalam praktek berfungsi untuk mengubah49, memperjelas50, menghapus51, menciptakan52 atau mengukuhkan hukum53 yang telah hidup dalam masyarakat.

Dalam aturan adat, yurisprudensi hukum, selain merupakan keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap dalam bidang aturan adat, juga merupakan sarana pelatihan aturan adat, sesuai impian hukum, sekaligus dari yurisprudensi dari masa ke masa sanggup dilacak perkembangan – perkembangan aturan adat, baik yang masih bersifat local maupun yang telah berlaku secara nasional. Perkembangan-perkembangan aturan etika melalui yurisprudensi akan memperlihatkan pengetahuan wacana pergeseran dan tumbuhnya aturan adat, melemahnya aturan etika local dan menguatnya aturan etika yang kemudian menjadi bersifat dan mengikat secara nasional. Perkembangan aturan etika melalui yurisprudensi sanggup dilacak dalam beberapa hal antara lain:

        1. Prinsip Hukum Adat.

Hukum etika antara lain bersandarkan pada azas: rukun, patut, laras, hal ini ditegaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung-RI Nomor: 3328/Pdt/1984 tanggal 29 April 1986.

Dalam Putusan MA-RI Nomor 2898 K/Pdt/1989 tanggal 19 Nomember 1989, berdasarkan sengketa etika yang dimbul di Pengadilan Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur, Mahkamah Agung menegaskan:

“ Dalam menghadapi masalah somasi perdata yang fondamentum petendi dan petitumnya berdasarkan pada pelanggaran aturan etika dan penegasan hukuman adat; Bila dalam persidangan penggugat sanggup pertanda dalil gugatannya, maka hakim harus menerapkan aturan etika mengenai pasal tersebut yang masih berlaku di kawasan bersangkutan, sesudah mendengar Tetua etika setempat“.


Kaedah aturan selanjutnya: “Penyelesaian pelanggaran aturan adat, disamping melalui somasi perdata tersebut di atas, sanggup pula ditempuh melalui tuntutan pidana ig pasal 5 (3)b UU No. 1 Drt/1951“.

        1. Menguatnya Kedudukan Keluarga Inti (Gezin)

Golongan masyarakat adat di Indonesia terdiri dari golongan masyarakat patrilineal, golongan masyarakat matrilineal dan golongan masyarakat parental (bilateral). Dalam Perkembangannya ternyata semakin berpengaruh dan diakuinya pergeseran system kekeluargaan dalam masyarakat etika matrilineal dan masyarakat etika matrilineal ke arah system parental atau bilateral. Yurisprudensi tanggal 17 Januari 1959b Nomor 320K/ Sip/ 1958 sebagai berikut:

          1. Si istri sanggup mewarisi harta pencaharian sang suami yang meninggal dunia;

          2. Anak yang belum dewasa dipelihara dan berada dalam pengampuan ibu;

          3. Karena anak berada dalam pengampuan ibu, maka harta kekayaan anak dikuasai dan diurus oleh ibu.

        1. Kedudukan sama laki dan perempuan.


4. Menguatnya Perlindungan kepada Perempuan Dalam Hukum Waris

    1. Kedudukan anak Perempuan Dalam Hukum Waris

Semula berdasarkan aturan etika dalam masyarakat patrilineal, anak perempuan bukan jago waris. Namun dalam perkembangannya diakui oleh yurisprudensi bahwa anak perempuan sebagai jago waris almarhum orang tuanya.

    1. Kedudukan Janda dalam Hukum Waris

Perkembangan awal seorang janda bukan jago waris, dalam kenyataannya kemudian janda menjadi menderita sepeninggal suaminya, kemudian timbul praktek pertolongan hibah oleh suami kepada istrinya untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan sosial ekonomi sepeninggal suaminya, praktek demikian semakin usang semakin melembaga. Perkembangan aturan etika berikutnya adalah, janda sebagai jago waris bersama-sama dengan bawah umur almarhum suaminya. Selanjutnya janda sebagai jago waris yang kedudukannya sama dengan jago waris anak. Perkembangan selanjutnya janda sebagai jago waris kelompok keutamaan, yang menutup jago waris lainnya.

Yurisprudensi Putusan MA No. 387K/Sip/1956 tanggal 29 Okt0ber 1958, Janda sanggup tetap menguasai harta gono gini hingga ia meninggal dunia atau kawin lagi. Puncaknya yaitu Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 3190K/ Pdt/`985, tanggal 26 Oktober 1987, janda mempunyai hak waris dari harta peninggalan suaminya, dan haknya sederajad dengan anak kandungnya, jikalau tidak mempunyai anak, ia jadi penghalang jago waris saudara suaminya, terhadap harta gawan dan harta gono gini.

    1. Prinsip-prinsip Jual Beli Tanah

Jual beli tanah sah bila memenuhi syarat terang dan tunai, hal ini ternyata secara konsisten dipegang dalam yurisprudensi wacana jual beli tanah. Terang artinya transaksi peralihan hak atas tanah harus disaksikan oleh Pejabat Umum. Tunai artinya jual beli tanah hanya sah bila berlangsung adanya pembayaran lunas dan penyerahan tanah pada ketika yang sama.

    1. Prinsip Pelepasan Hak Sebagai Dasar Timbul atau Hilangnya Hak Bukan Daluarsa Hukum etika tidak mengenal forum daluarsa, melainkan mengenal apa yang disebut forum pelepasan hak (rechsververking), artinya bila sebidang tanah dibiarkan, maka usang kelamaan haknya akan menyurut dan puncaknya akan terlepas, seiring semakin renggangnya kekerabatan fisik antara pemilik dan tanah yang bersangkutan demikian juga sebaliknya.

    2. Hukum Pidana Adat.

Dalam sistem aturan adat, sesungguhnya tidak ada pemisahan aturan pidana dengan aturan lain sebagaimana sistem aturan barat, penjatuhan pidana semata-mata dilakukan untuk memutuskan hukumnya (verklaring van recht) berupa hukuman etika (adatreaktie), untuk mengembalikan aturan etika yang dilanggar. Hukum pidana etika menerima acuan berlakunya dalam pasal 5 ayat 3 UU No. 1/Drt/1951.

Beberapa Yurisprudensi penting mengenai Hukum pidana adapt adalah:

      1. Perbuatan melawan Hukum.

Misalnya PN Luwuk No. 27/Pid/ 1983, mengadili kasus kekerabatan kelamin di luar perkawinan, hakim memutus terdakwa melanggar aturan yang dihupo di wilayah banggai, Sulawesi Tengah, berdasarkan unsur pidana dalam pasal 5 ayat 3 sub b UU Drt 1/ drt/1951, yang unsurnya adalah:

Unsur pertama, suatu perbuatan melanggar aturan yang hidup;

Unsur kedua, perbuatan pelanggaran tersebut tidak ada bandingannya dalam KUHP;

Unsur ketiga, perbuatan pelanggaran tersebut masih tetap berlaku untuk kaula-kaula dan oarng-orang yang bersangkutan.

Putusan PT Palu No. 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984 menguatkan putusan PN Luwuk, dengan menambahkan bahwa, untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, yang menganggap perbuatan tersebut yaitu perbuatan pidana, hakim memutuaskan terdakwa telah melaksanakan kejahatan bersetubuh dengan seorang perempuan di luar nikah. Mahkamah Agung, dengan putusan No. 666K/ Pid/ 1984 tanggal 23 februari 1985, perbuatan yang dilakukan terdakwa dikatagorikan sebagai perbuatan zinah berdasarkan aturan adat.

Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 3898K/Pdt/1989, tanggal 19 Nopember 1992, mengenai pelanggaran etika serupa di kawasan Kafemenanu, mamun diajukan secara perdata dengan gugatan, intinya: Jika dua orang dewasa melaksanakan kekerabatan kelamin atas dasar suka sama suka yang mengakibatkan di perempuan hamil, dan si laki-laki tidak bertanggung jawab atas kehamilan tersebut, harus ditetapkan suatu hukuman etika berupa pembayaran belis (biaya atau mas kawin) dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan (di kenal dengan nama Pualeu Manleu).

      1. Perbuatan melanggar aturan etika Logika Sanggraha di Bali.

Dalam kasus Nomor 854K/Pid/1983 tanggal 30 Oktober 1984, Menurut Mahkamah Agung, seorang laki-laki yang tidur bersama dengan seorang perempuan dalam satu kamar dan pada satu tempat tidur, merupakan bukti petunjuk bahwa laki-laki tersebut telah bersetubuh dengan perempuan itu. Berdasarkan keterangan saksi korban dan adanya bukti petunjuk dari para saksi-saksi lainnya, terdakwa telah bersetubuh dengan saksi korban sebagaimana dimaksud dalam dakwaan subsider.

Mengenai dakwaan primer, Mahkamah Agung berpendirian bahwa dakwaan ini tidak terbukti dengan sah , lantaran unsur barang dalam pasal 378 kitab undang-undang hukum pidana tidak terbukti de gan sah dan meyakinkan, dengan demikian maka terdakwa harus dibebaskan datri dakwaaan primer ex pasal 378 KUHP. Berdasarkan pertimbangan di atas Mahkamah Agung dalam diktum putusannya berbunyi:

        1. Membebaskan terdakwa dari dakwaan primer;

        2. Menyatakan terdakwa bersaklah terhadap dakwaan subsider melaksanakan tindak pidana etika Logika Sanggraha;

        3. Menghukum terdakwa dengan eksekusi penjara dua bulan;

Hukum etika pidana Logika Sanggraha di Bali Peswara Bali, merupakan suatu perbuatan seorang laki-laki yang mempunyai unsur-unsur:

    • bersetubuh dengan seorang gadis;

    • Gadis tersebut menjadi hamil karenanya;

    • Pria tersebut tidak bersedia mengawini gadis tersebut sebagai istrinya yang sah.

      1. Putusan Pengadilan negeri Mataram NO. 051/Pid.Rin/1988 tanggal 23 Maret 198854. Pengadilan mempertimbangkannnya telah menyebut pelanggaran terhadap aturan etika delik Nambarayang atau Nagmpesake.

      2. MA-RI Nomor 481 K/Pid/1986 tanggal 31 Agustus 1989 dari PN Ende Problematika organ tubuh wanita55, beberapa kali diterapkan ketentuan pasal 378 KUHP, menempatkan organ tubuh peremuan sebagai barang. Solusinya diterapkan pasal 5 (3) b Undang-undang Drt Nomor 1 Tahun 1951 LN. Nomor 9 Tahun 1950 tanggal 13 Januari 1951. Dalam masalah serupa di pengadilan Negeri Medan Nomor 571/KS/1980 tanggal 5 Maret 1980 pernah diterapkan ketentuan pasal 378 kitab undang-undang hukum pidana dan dikuatkan oleh PT Nomor 144/Pid/ 1983 tanggal 8 Agustus 1983. Barang ditafsirkan secara luas , sehingga barang termasuk juga jasa. Barang sesuatu yang menempel bersatu pada diri seseorang ( kemaluan) juga termasuk pengertian barang, yang dalam bahasa Tapanuli dikenal dengan ” Bonda” yang artinya ” barang” yang tidak lain yaitu ” kemaluan” . Sehingga bilama seorang gadis menyerahkan kehormatannya kepada pria, maka samalah artinya gadis tersebut menyerahkan barang kepada pri tersebut. Dengan penafsiran secara luas tersebut, maka telah terpenuhi unsur barang dalam pasal 378 KUHP. Dalam praktek kemudian banyak diikuti penegak aturan ( jaksa) Untuk menjerat seorang laki-laki yang berhasil menyetubuhi gadis yang akan dikawini, tetapi kesudahannya laki-laki ingkar janji, dan gadis menjadi korban yang merana seumur hidup.

Dalam putusan MA-RI Nomor 61 K/ Pid/ 1988 tanggal 15 Maret 199056, berdasarkan kasus yang diputus pengadilan Negeri Pamekasan, penyelesaian tidak sanggup memakai ketentuan pasal 378 KUHP, melainkan dengan melalui jalur delik etika zina ex pasal 5 (3) sub bUndang-undang Drt Nomor 1 Ytahun 1951 yang ada bandingannya dalam KUHP, yaitu pasal 381 KUHP, sehingga laki-laki si pelaku sanggup dipidana. Sikap MA-RI terhadap masalah tersebut semenjak putusannya Nomor 93K/Ke/1976, menjadi yurisprudensi tetap



      1. Penerapan delik pasal 293 kitab undang-undang hukum pidana Pria yang ingkar kesepakatan kawin, MA menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melaksanakan kejahatan:

” Penyesatan dengan sengaja , membujuk seorang yang belum dewasa untuk melaksanakan perbuatan cabul, padahal wacana belum cukup umurnya itu dihitung selayaknya harus diduganya;

Dalam Kasus ini ada beberapa hal yang patut dicatat:

              1. Bahwa batasan umur ” belum dewasa ” Mahkamah Agung tetap berpendirian menyerupai putusan sebelumnya, gadis yang belum mencapai umur 21 tahun; dalam masalah ini gadis tersebut berumur 20 tahun.;

              2. Unsur membujuk dalam masalah ini berupa : ” Janji terdakwa untuk mengawini gadis sesudah keinginanya bersetubuh tercapai, tidak ditepainya;

              3. Kwalifikasi dirumuskan oleh judex factie (pertama maupun banding) dengan kata-kata : ” perempuan yang belum dewasa” sedangkan MARI merumuskan : ”seorang yang belum dewasa”;

              4. Diktum Putusan PT dijumpai perumusan eksekusi : Pidana penjara selama 2, 5 tahun ( dua setengah tahun). Menururt psal 27 kitab undang-undang hukum pidana dengan menyebut banyaknya hari, bulan dan tahun..”, maka seharusnya: ” dua tahun enam bulan”;

1 Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis, dalam: Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Ford Fondation, Huma, Jakarta, 2006 hal 21

2 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indoensia, Kompas, 2003,23,24

3 Satjipto Rahardjo: Penafsiran Hukum Yang Progresif, dalam : Anthon Freddy Susanto,SH,MH: Semiotika Hukum, Dekontruksi Teks Menuju Progresifitras Makna, Efika Aditama, Bandung, 3

4 Satjipto Rahardjo: Modernisasi Dan Perembangan Kesadaran Hukum Masyarakat, Jurnal Masalah-masalah Hukum, FH Undip, No.1-6 Tahun X/ 1980, hal 18.

5 Ibid, hal 19

6 Satjipto Raharjo, 2003, 23

7 Op cit, hal 28

8 Eman Suparman, ASAL USUL SERTA LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen), Esmi Warassih Pujirahayu, “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan

Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan)”; Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Semarang, 14 April 2001,

9 Sorjono Soekanto, Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat, Academica, Jakarta 1979, 14.

10 Dr. Eman Suparman, SH, MH, ASAL USUL SERTA LANDASANPENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA(Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen

11 Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan Untuk Menyambut

Hari Ulang Tahun ke-70 Prof.Dr. T.O. IhromiANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000

12 ibid

13 Hukum agama hanya sanggup berlaku dan mengikat masyarakat sepanjang tidak bertentangan dan telah diresepsi ke dalam aturan adat.

14 Otje Salman

15 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia, INIS, Jakarta, 1998, 38

16 Hilman Hadukusuma: Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 8

17 Van Vallenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1983, hal 14, lihat juga Abdulrahman ,SH : Hukum Adat berdasarkan Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, 1984, 17.

18 Abdulrahman , SH: Hukum Adat Menurut Perundang-undanga Republik Indonesia, Cendana Press, 1984, hal 18

19 Soepomo, Kedududkan Hukum Adat di Kemudian Hari, Pustaka Rayat, Jakarta

20 Op cit Abdulrahman, hal 18.

21 Ibid hal 19

22 Ibid, hal 19

23 Ibid, hal 19.

24 Ibid hal 19.

25 Sudjito Sastrodiharjo, Hukum etika Dan Realitas Kehidupan, dimuat dalam : Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Fakultas Hukum –Universitas Islam Indonesia,1998, 107.

26 Op cit, hal 24

27 Ibid hal 22.

28 Sunaryati Hartono: Sumbangsih Hukum Adat bagi Perkembangan Pembantukan Hukum Nasional dalam M.Syamsudin et al Editor: Hukum Adat dan Mordernisasi Hukum, FH-UII,1998, 170

29 Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, Sebelum Perang Dunia II, Pradnjaparamita, Jakarta,cet 15 1997 hal 140,141

30 Dr. Khundzalifah Dimyati, SH, M.Hum: Teoritisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Demikian Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004 – 22.

31 Sujito Sosrodiharjo, Susadyo Wignjosubroto, Kuclon

32 Moh Koesnoe

33 Achid Masduki, Peranan Hukum Adat Dalam Mengatasi Masalah Pemilikan pada Masyarakat Industri, dalam , Hukum Adat Dan Modernisasi Hukum, UII, Jogyakarta, hal 226

34 Ibid hal 175

35

36 Soerjono Soekanto menyebutnya sebagai “hukum kemudian lintas”, dalam : Soerjono Soekanto: Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, Academica, Jakarta, 1979, hal 24.

37 Otje Salman, Rekonsepsualisasi Hukum Adat,

38 I Gede A.B.Wiranata: Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa Ke Masa, Citra Aditya Bakti, 2005, hal 40

39 R.Soeroyo Wignjodipoero, hal 16

40 Pasal 25 ayat 1: penguasa tidak akan mengikatkan laba atau kerugian kepada termasuk warga negara sesuatu golongan rakyat, ayat 2: Perbedaan dalam kebutuhan masyarakat dan kebutuhan aturan golongan rakyat akan diperhatikan.

41 Sesuai prinsip dalam falsafah Jawa: manunggaling kawulo-gusti.

42 Trahing kusumo rembesing madu, selanjytnya ibid R Soerojo, hal 22

43 Diatur dalam Amandemen Kedua Undang-undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000.

44 Sudargo Gautama

45 Istilah Budi Harsono.

46 Istilah yang digunakan oleh Prof Ko Tjai Sing,

47 Prof. Dr.HR.Otje Salman Soemadiningrat, SH, 163

48 Ibid,

49 Mengubah dalam hal aturan itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat.

50 Memperjelas dalam hal aturan itu dalam peraturan perudang-udangan tidak jelas.

51 Menghapus dalam hal aturan itu sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat.

52

53

54 Varia Peradilan Nomor 39 Desember 1988

55 VP Nomor 55 April 1990

56 VP Nomor 65 Fanruari 1991


Sumber http://makalahdanskripsi.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Hukum Budpekerti Dalam Perkembangan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel