Kearifan Lokal: Sebuah Cara Pandang
Kearifan lokal bukanlah suatu konsep yang final, statis, dan natural. Sampai dikala ini, sebetulnya konsep itu sendiri masih perlu dipertanyakan. Memang benar, sekarang sedang musim orang bicara perihal local wisdom atau biasa disebut kearifan lokal. Bukan hanya alasannya faktor esensialnya yang kental dengan perdebatan, melainkan juga faktor artifisial seperti status ‘kepedulian terhadap budaya, terhadap masyarakat, dan terhadap nilai-nilainya’. Local wisdom merupakan konsep yang dinamis, mungkin juga tak akan pernah hingga kata final. Beberapa permasalahan memang mencuat ketika berbicara seputar kearifan lokal, mulai dari asal-usul katanya hingga substansinya itu sendiri.
Itulah sedikit poin yang saya tangkap dari pemaparan sejarawan UGM Bambang Purwanto dalam lembaga diskusi seminar nasional ‘Kearifan Lokal’ yang diselenggarakan oleh Sekolah Pasca Sarjana UGM pagi hingga siang tadi. Saya hadir dengan motivasi utama berupa optimalisasi waktu, alasannya pagi itu, sama sekali tak ada kegiatan yang lebih menarik ketimbang menikmati seminar nasional dengan segala akomodasi gratisnya.
“Kearifan lokal merupakan satu kesatuan sistem pengetahuan dan keahlian kolektif unggul terwariskan, yang dihasilkan dari pengalaman hidup sebagai sebuah proses intelektual dan budaya semoga komunitas pendukungnya sanggup berinteraksi secara harmonis dengan lingkungannya.”
Demikian definisi local wisdom yang disampaikan Bambang Purwanto dalam papernya.
“Kearifan lokal pada hakekatnya bertumpu pada pemanfaatan potensi nyata masa lalu.”
Itulah salah satu point inti gagasan kearifan lokal. Sebagai sebuah konsep, terdapat beberapa cara pandang yang berbeda terhadap kearifan lokal. Bagi mereka yang mempunyai cara pandang revolusioner, inti gagasan diatas justru dianggap sebagai sebuah titik lemah. Sebab, dengan inti gagasan tersebut, local wisdom menjadi tidak lebih dari sekadar representasi dari romantisisme masa lalu. Mereka yang takut perubahan dengan hadirnya inovasi, cenderung menentukan untuk membisu dan bertahan dengan dalih ‘menjaga kearifan lokal’. Disini, istilah kemajuan, progres, modernisasi perlu diwaspadai.
Kalangan revolusioner mungkin sedikit sekali yang memandang konsep kearifan lokal sebagai suatu hal yang murni. Kebanyakan meragukan bahwa kearifan lokal telah mengalami intrumentalisasi. Sebaliknya bagi mereka yang berparadigma konvensional, kearifan lokal merujuk pada kematangan dan kebenaran yang terbentuk dari pengalaman hidup, bisa mempersatukan jiwa, raga, dan lingkungan untuk bersikap dan bertindak dalam tataran yang selalu positif. Cara pandang ini memperlihatkan hampir tidak ada yang negatif dalam kearifan lokal.
Paparan dari seminar itu memang belum final. Kendati moderator telah menutup acara, akseptor tepuk tangan dan keluar untuk makan siang, materi yang disampaikan oleh pembicara masih perlu ditelisik lebih lanjut. Bagi saya, sebagai sebuah wacana sosial, konsep dan info yang dikaitkan dengan local wisdom memang tidak bisa lepas dari problem kepentingan. Seringkali kita melihat program-program bertemakan kearifan lokal yang bukan diinisiasi oleh masyarakat asli, melainkan oleh sekelompok orang yang mempunyai kepentingan, entah itu kepentingan budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Anggapan ini sepertinya berangkat dari kecurigaan. Tapi saya memang orang yang berhati-hati terhadap proyek berlabel ‘kearifan lokal’. Menjunjung tinggi local wisdom memang mulia, namun siapa yang menjunjung dan mengapa perlu dijunjung juga perlu ditelisik terlebih dahulu.
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
0 Response to "Kearifan Lokal: Sebuah Cara Pandang"
Posting Komentar