-->

iklan banner

Belajar 2 # Postingan Wacana Konsep Partisipasi Lagi

Untuk postingan yang kedua dinihari ini, ibarat postingan pertama : belajar 1# : konsep partisipasi. postingan yang kedua ini masih perihal konsep partisipasi. Tapi dalam postingan yang kedua ini, pembahan perihal konsep partisipasi lebih pada tinjauan partisipasi dalam perspektif perundang-undangan.

Partisipasi publik dalam kebijakan pembangunan di negara-negara yang menerapkan demokrasi termasuk di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sebagai suatu konsep dan praktek pembangunan, konsep partisipasi gres dibicarakan pada tahun 60 an ketika aneka macam forum internasional mempromosikan partisipasi dalam praktek perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembangunan.

Di Indonesia, landasan aturan pelaksanaan partisipasi masyarakat ialah UUD’45 yang menyebutkan bahwa partisipasi ialah hak dasar warga Negara, dan partisipasi politik sebagai prinsip dasar demokrasi. Presiden Suharto semenjak tahun 1966 menerapkan konsep partisipasi masyarakat dalam aktivitas pembangunan dan sesuai dengan paradigma pemerintahan orde gres yang sentralistik, seluruh kebijakan pembangunan dilakukan secara “top-down”.

Inisiatif dalam menetapkan kebijakan pembangunan berasal dari atas (pejabat berwenang) tanpa melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya. Dalam kaitan ini masyarakat dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan terutama dalam membantu dana maupun tenaga. Pada ketika itu partisipasi dipandang sebagai proses mobilisasi yaitu penggerakkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Meskipun model ini mempunyai keunggulan lantaran pelaksanaan pembangunan sanggup dilakukan secara cepat, namun kelemahan yang dijumpai ialah masyarakat sering merasa tidak mempunyai dan tidak mencicipi manfaat dari kegiatan pembangunan tersebut.

Sejak tahun 1999 dikeluarkan aneka macam instrument aturan berupa undangundang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang membuka lebar ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan monitoring pembangunan. UU 32/2004 perihal pemerintah daerah, secara substantif menempatkan partisipasi masyarakat sebagai instrumen yang sangat penting dalam sistem pemerintahan tempat dan mempunyai kegunaan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial, membuat rasa mempunyai pemerintahan, menjamin keterbukaan, akuntabilitas dan kepentingan umum, mendapat aspirasi masyarakat, dan sebagai wahana untuk agregasi kepentingan dan mobilisasi dana.

Selain UU 32/2004, aneka macam peraturan yang secara sektoral mengatakan ruang bagi partisipasi publik diantaranya UU 25/2004 perihal system perencanaan pembangunan nasional (SPPN), UU no.7/2004 perihal sumber daya air, UU No.20/2003 TENTANG Sistem Pendidikan Nasional, UU No.23/1992 perihal kesehatan, UU No.24/1992 perihal penataan ruang, UU No.41/1999 perihal kehutanan, dan masih banyak lagi peraturan yang secara sektoral mengatur partisipasi masyarakat. Semua peraturan tersebut pada pada dasarnya mengatakan ruang yang sangat luas pada partisipasi masyarakat dalam memilih kebijakan publik dan implementasinya.

Sesungguhnyalah penyusunan kebijakan publik semenjak awal harus melibatkan masyarakat secara gotong royong memilih arah kebijakan (model bottom-up), sehingga melahirkan suatu kebijakan yang adil dan demokratis. Pembuat kebijakan yang demokratis memperlihatkan dan mejunjung tinggi pentingnya keterbukaan dan keterlibatan masyarakat dalam memilih arah kebijakan pembangunan. Melalui cara partisipatif ibarat itu akan melahirkan suatu keputusan bersama yang adil dari pemerintah untuk rakyatnya, sehingga akan mendorong munculnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan. Keputusan pemerintah yang mencerminkan keputusan rakyat akan mendorong terjadinya suatu sinergi antara masyarakat dan pemerintah. Model bottom-up ini mempunyai kelemahan yakni prosesnya sering kali lamban dan tidak didukung oleh dana yang memadahi dan seringkali planning dibentuk jauh melebihi kemampuan anggaran dana yang dimiliki, sehingga kegiatan pembangunan tidak sanggup direalisasikan. Ketidakseuaian antara planning dan anggaran yang dimiliki tempat disebabkan lantaran planning planning dibentuk menurut pada kebutuhan yang dirasakan (felt need) dan bukan kebutuhan konkret (real need). Pasca reformasi, partisipasi masyarakat menjadi perbincangan banyak kalangan mulai dari penyelenggara negara hingga masyarakat dipelosok negeri ini.

Aparat Negara mengerti betul bagaimana sebuah kebijakan harus disusun melalui sebuah proses yang partisipatif, dan apabila mereka ditanya jawabanya ialah semuanya sudah melalui proses konsultasi publik sebagai bentuk partisipasi. Kenyataannya, hingga kini masih terjadi gap atau jarak yang tak terjamah oleh publik dalam mengatakan masukan untuk memilih kebijakan pembangunan. Instrumen aturan yang mengatur partisipasi masyarakat belum menjelaskan bagaimana partisipasi masyarakat itu dilaksanakan, sehingga partisipasi hanya sebatas wacana tanpa tertangkap lembap ibarat apa bentuk dan implementasinya. Berdasarkan uraian diatas, goresan pena ini akan mendeskripsikan implementasi partisipasi publik di Indonesia, sehingga diperoleh pemahaman mengenai bagaimana prosedur perencanaan partisipasif disusun oleh pemerintah dan masyarakat.

Sumber http://2frameit.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Belajar 2 # Postingan Wacana Konsep Partisipasi Lagi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel