Api Dalam Tungku Perekonomian Indonesia
API Dalam Tungku Perekonomian Indonesia : Industri perbankan merupakan industri yang mempunyai kiprah sentral sebagai tulang punggung perekonomian di Indonesia. Secara historis, pertumbuhan perekonomian di Indonesia masih sangat tergantung kepada industri perbankan sebagai sumber pembiayaannya sehingga sanggup dikatakan bahwa perekonomian Indonesia berbentuk Bank-based Economy. Eksistensi perbankan yang sentral tersebut pada alhasil akan mensugesti kondisi perekonomian secara makro. Berdasarkan paradigma tersebut maka Bank Indonesia mengeluarkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) sebagai sebuah instrumen guide-line yang terstruktur dalam membangun mendasar perbankan yang sehat dan kuat.
Tantangan Perbankan Nasional Ke Depan
Kondisi lemahnya mendasar perbankan yang menjadikan terpuruknya perekonomian nasional sanggup ditunjukkan oleh perekonomian Indonesia ketika mengalami krisis keuangan pada tahun 1997 – 1998. Bukti empiris pada ketika itu memperlihatkan tuntutan terhadap sehat dan kuatnya industri perbankan nasional dalam mendukung keberhasilan kebijakan makro dalam perekonomian nasional. Peristiwa tersebut menggugah para analis ekonomi bahwa sehat dan kuatnya sektor perbankan bukanlah “taken from granted” dari tersedianya sistim perekonomian nasional. Kondisi tersebut menguatkan posisi kiprah perbankan yang sehat terhadap mendasar perekonomian nasional.
Paradigma pembangunan yang gres mengenai posisis sentral perbankan yang sehat dan berpengaruh dalam perekonomian nasional sebetulnya merupakan suatu kajian yang sering dikupas dalam beberapa penelitian International Monetary Fund (IMF) sebelum krisis moneter di Asia berkecamuk. Kajian taktis ini terlihat dari formulasi wacana “empat prinsip” yang harus dipegang oleh setiap perekonomian guna tumbuhnya perbankan yang sehat. Prinsip-prinsip itu meliputi: pertama, kesehatan suatu bank pada hakikatnya ialah tanggung jawab pemilik dan pengelola bank sedangkan kesehatan sistim perbankan merupakan perhatian kebijakan publik. Kedua, kesehatan perbankan terkait bersahabat dengan efektivitas kebijakan ekonomi makro. Ketiga, suatu kerangka perbankan yang sehat harus menyangkut struktur yang mendukung disiplin sistim kerja baik disiplin internal bank, disiplin pasar maupun pengaturan dan supervisi perbankan. Keempat, kerjasama dan koordinansi internansional sanggup memainkan kiprah yang penting dalam memperkuat sistim keuangan dunia maupun perbankan nasional.
Berdasarkan ke-empat prinsip tersebut di atas, sektor perbankan sebagai aktualisasi ekonomi mikro menjadi konduktor bagi arus ekonomi secara makro. Konsekuensi logisnya ialah eksistensi perbankan harus sehat dan kuat. Adapun kondisi perbankan yang sehat dalam hal ini ialah menyangkut: permodalan, administrasi dan acara (sesuai dengan peraturan dan pengawasan perbankan yang berlaku), pengaturan dan pengawasan yang efektif oleh forum independen, adanya kelembagaan yang mendukung perbankan selain forum pengawas, serta adanya kerjasama maupun koordinasi dengan organisasi perbankan internasional lainnya. Beberapa kondisi ideal perbankan yang sehat tersebut mengindikasikan bahwasannya perbankan yang sehat, bukan hanya dalam konteks administrasi (mikro) tetapi juga termasuk pengawasan dan pengaturan bank serta kelembagaan penunjangnya. Kelembagaan tersebut tidak hanya dalam lingkup dalam negeri, tetapi juga diharapkan bisa untuk menembus pasar luar negeri serta bisa berjalan secara efektif. Dengan kata lain, kondisi perbankan yang sehat dan berpengaruh secara mikro dan makro sanggup dijadikan target kebijakan moneter guna mempertahankan kestabilan moneter. Bahkan, kondisi tersebut sanggup diekspansi untuk mengelola ekonomi makro dalam konteks pemicu pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja sebagai wujud riil pembangunan ekonomi modern.
API Sebagai Aksi Preventif
Berdasarkan beberapa tantangan perbankan nasional yang sehat dan eksistensi perbankan yang penting dalam perekonomian Indonesia yang berbentuk Bank-based Economy, maka perekonomian kita memerlukan perbankan dengan laju pertumbuhan kredit yang tinggi semoga tercipta pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula. Oleh lantaran itu, pemerintah melalui otoritas moneternya memerlukan sebuah sistim perbankan yang mempunyai proses yang terstruktur, jelas, terukur, dan sanggup dicapai. Kebijakan perbankan yang diambil diharapkan tidak lagi hanya terbatas pada pemberian santunan likuiditas menyerupai halnya BLBI yang pernah dilakukan di Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor perbankan sanggup dikatakan solvable bila mempunyai penguatan modal yang sanggup dilakukan melalui jadwal rekapitulasi. Selain persoalan solvability tersebut, perbankan juga harus melaksanakan restrukturisasi dalam acara operasionalnya (Operational Restructuring) sehingga sanggup mencapai economic of scale yang lebih baik semoga mendapat profit yang lebih besar lagi.
Pemenuhan solvabilitas perbankan secara otomatis akan menuntut penyaluran kredit yang sempurna target guna memenuhi kiprah perbankan sebagai forum mediator keuangan dalam sistim perekonomian. Akan tetapi, kontradiksi tuntutan kepentingan dari sektor perbankan sendiri berbeda dengan kepentingan sektor riil. Secara historis, pemberian suku bunga yang tinggi untuk mempertahankan nilai tukar dan mendorong acara ekonomi justru malah menghambat proses restrukturisasi perbankan menyerupai yang terjadi ketika awal krisis moneter di Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor riil yang menuntut pemberian suku bunga pinjaman perbankan yang rendah dengan penyediaan kredit yang meningkat. Pada posisi menyerupai ini, sektor perbankan mengalami persoalan yang dilematis untuk mencapai keseimbangan antara mendorong kesehatan perbankan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan perbankan untuk mengatasi permasalahan dilematis sektor perbankan seringkali dilandasi oleh kekeliruan paradigma dan juga pertimbangan politis. Keputusan tersebut justru alhasil menjadikan permasalahan tersebut semakin ruwet dan sulit diuraikan pokok permasalahannya. Padahal, restrukturisasi perbankan yang sehat juga memerlukan perbaikan pengaturan dan pengawasan perbankan, perbaikan kelembagaan pendukung, perbaikan aturan dan peradilan, Good Governance maupun aspek transparansi dalam kebijakan publik terkait dengan perbankan nasional dan juga perekonomian nasional.
Beberapa pola standar kesehatan perbankan mengarah pada standar-standar evaluasi yang tercantum dalam Financial Sector Assessment Program (FSAP) yang dibuat oleh International Monetary Fund (IMF) dan juga dalam Core Principles for Effective Banking Supervision yang dibuat oleh Basel Committee yang lebih dikenal dengan The 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision maupun amandemen gres yang dinkenal dengan nama Basel Accord II. Standar-standar tersebut sebetulnya lebih ditekankan pada peningkatan pengaturan dan pengawasan perbankan. Adapun beberapa fokus tersebut meliputi: pertama, pentingnya sistim pembagian terstruktur mengenai kredit dan ketentuan wacana penyisihan cadangan (provisioning) dalam pengawasan bank. Pengalaman krisis memperlihatkan bahwa bank-bank yang memenuhi ketentuan permodalan standar internansionalpun sanggup mengalami persoalan likuiditas dan solvabilitas. Beberapa studi sehabis krisis memperlihatkan bahwa persoalan likuiditas dan solvabilitas terjadi lantaran permodalan bank ternyata dinilai terlalu tinggi. Selain itu, persoalan tersebut juga disebabkan lantaran kurang ketatnya monitoring terhadap besarnya kredit bermasalah dan macet (Non Performing Loans) sehingga konsekuensi logis yang menjadi implikasinya ialah penyisihan cadangannya tidak mencukupi untuk pengembangan permodalannya. Kedua, bentuk kredit dalam mata uang gila merupakan relevansi yang rawan antara gejolak nilai tukar dan kelemahan sektor keuangan. Pengalaman krisis memperlihatkan bahwa pinjaman dalam valas kepada nasabah domestik oleh perbankan nasional sanggup menggoyahkan kestabilan industri perbankan. Hal ini lantaran lemahnya monitoring dan pengendalian kredit dalam valas tersebut. Ketiga, pengelolaan risiko illiquidity bank. Fokus ini lebih dikarenakan operasi bank yang intinya berkaitan dengan transformasi ketika jatuh tempo (maturity transformation) dari kewajiban jangka pendek bank (deposito) menjadi aset yang berjangka panjang (kredit). Aspek ketiga ini bisa dikatakan mengarah kepada administrasi likuiditas sehingga aspek ini sangat vital bagi bank development. Bahkan hal ini dan acara bank yang dasarnya iman masyarakat dengan kondisi gosip yang tidak simetris antara bank dan nasabah sebetulnya yang menjadi dasar legitimasi pengaturan dan pengawasan terhadap operasi bank oleh otoritas pengaturan dan pengawasan bank sehingga secara tidak eksklusif juga sanggup berfungsi untuk melindungi konsumen. Keempat, perlu adanya kerangka dasar pengaturan wacana kebijakan likuiditas menghadapi kondisi distress bank, baik secara individu maupun sistemik. Ini berkaitan dengan fungsi bank sentral sebagai Lender of The Last Resort (Penyedia Likuiditas Terakhir). Mengingat kontroversi yang berkepanjangan dengan segala implikasinya dari persoalan BLBI ketentuan mengenai hal ini sangat penting untuk masa depan.
Kondisi-kondisi tersebut merupakan masalah-masalah pokok yang seringkali menghambat proses-proses penyehatan perbankan di Indonesia selama ini. Oleh lantaran itu Bank Indonesia mencoba meminimalisir hambatan-hambatan tersebut dengan mengeluarkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dilaksanakan secara terstruktur, bertahap, terang dan terukur. Keberadaan API sebagai suatu guide-line perbankan nasional diharapkan bisa mengantisipasi segala persoalan yang mungkin muncul sebagai akhir dari system-error secara mikro maupun makro. Upaya preventif ini mengakibatkan pro dan kontra yang membangun setiap pilar-pilar yang dipakai dalam API sehingga diharapkan sanggup mencapai penerjemahan yang lebih lengkap semoga lebih aplikatif serta mempunyai kegunaan baik bagi sektor perbankan maupun perekonomian nasional.
Enam Pilar API
Berdasarkan fenomena tuntutan perbankan dan beberapa pengalaman historis yang melatarbelakangi perjalan perbankan nasional maka Bank Indonesia mencoba membangun pondasi perbankan nasional yang kokoh, berpengaruh dan sehat. Sistim perbankan yang sehat dibagun menurut permodalan yang berpengaruh sehingga sanggup mendorong iman nasabah, yang selanjutnya akan bisa memperlihatkan kekuatan bagi bank untuk memperkuat modalnya melalui pemupukan keuntungan ditahan. API sendiri menghendaki pada 10 hingga 15 tahun ke depan, perbankan Indonesia mempunyai 2 hingga 3 bank dengan skala Bank Internasional, 3 hingga 5 Bank Nasional, 30 hingga 50 Bank dengan acara usahanya terfokus pada segmen perjuangan tertentu dan BPR serta bank dengan acara perjuangan terbatas.
Guna mendukung terciptanya visi-visi API tersebut, maka Bank Indonesia mencoba mengaplikasikannya melalui sebuah Guide-line yang berwujud enam pilar API. Adapun ke-enam pilar tersebut antara lain adalah: Pilar Pertama, Struktur perbankan yang sehat. Salah satu cara membangun pilar pertama ini yaitu dengan memperkuat permodalan bank-bank. Bank-bank umum (konvensional dan syariah). Artinya, bank-bank yang mempunyai permodalan dibawah 100 miliar Rupiah harus ditingkatkan sehingga permodalan bagi industri perbankan harus minimum 100 miliar Rupiah. Modal minimum 100 miliar Rupiah tersebut merupakan kebutuhan minimum bagi suatu bank untuk sanggup menjalankan usahanya dengan baik. Dengan modal dibawah 100 miliar Rupiah sangat sulit bagi bank untuk mendukung pertumbuhan kredit yang tinggi lantaran modalnya terbatas. Selain itu, dengan modal yang kecil dirasakan cukup sulit bagi suatu bank untuk meningkatkan skala perjuangan maupun skill level yang dimiliki serta mengatasi risko-risiko yang dihadapi.
Diharapkan, pada tahun 2011 nanti semua bank umum yang beroperasi di Indonesia telah mempunyai modal minimum sebesar 100 miliar Rupiah. Disamping memperkuat permodalan, struktur perbankan yang berpengaruh juga dibangun dengan meningkatkan kiprah serta Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam peta perbankan nasional. Hal ini dikarenakan BPR yang berpengaruh dan kokoh dianggap bisa untuk melayani lapisan masyarakat di tempat pedesaan atau terpencil khususnya yang tidak terjamah oleh pelayanan bank-bank umum. Oleh lantaran itu, daya saing BPR akan terus ditingkatkan antara lain dengan memperlihatkan kemudahan pembukaan kantor cabang BPR sehingga BPR akan bisa bersaing dengan bank-bank umum yang mempunyai cabang-cabang di wilayah pedesaan. Selain itu, untuk memperkuat daya saing BPR, maka BPR perlu meningkatkan efisiensi dalam melaksanakan acara operasional usahanya. Upaya tersebut sanggup dilakukan oleh BPR melalui kerjasama dengan BPR-BPR lain untuk memakai akomodasi back office secara tolong-menolong diantara BPR tersebut, sehingga mereka bisa beroperasi secara efisien dengan menekan overhead cost-nya. Secara makro, persyaratan modal minimum tersebut juga berdampak pada kondisi pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 5% hingga 6% setiap tahun dibutuhkan dukungan kredit perbankan sebesar 22% per-tahunnya.
Pilar Kedua, Sistem pengaturan perbankan yang efektif. Guna membangun industri perbankan yang berpengaruh harus disertai dengan pembenahan pada sistem pengaturan perbankan yang telah ada. Perbaikan proses penyusunan peraturan dan ketentuan perbankan dilakukan dengan lebih banyak melibatkan para stakeholders perbankan dalam proses penyusunannya sehingga peraturan yang dibuat akan selalu memperhatikan kemampuan stakeholders. Selanjutnya, best practices ketentuan perbankan yang bersifat internasional yang dikenal dengan 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision akan terus diimplementasikan secara sedikit demi sedikit dalam jangka panjang. Dengan penerapan 25 Basel Core Principles fo Effective Banking Supervision maupun ketentuan best practices laiinya menyerupai the New Basel Accord (Basel II) diharapkan praktek penyelenggaraan perbankan nasional kita telah mempunyai standar yang sama dengan bank-bank yang ada di luar negeri, sehingga tingkat iman masyarakat internasional terhadap industri perbankan nasional akan semakin meningkat.
Pilar Ketiga, pengawasan bank yang independen dan efektif. Pengawasan yang independen dan efektif sangat dibutuhkan baik untuk ketika ini maupun jangka panjang sebagai balasan atas meningkatnya acara perjuangan maupun kompleksitas risiko yang dihadapi oleh perbankan. Bank-bank tidak lagi hanya menjual produk dan jasa perbankan saja, melainkan juga produk-produk keuangan lainnya menyerupai contohnya asuransi (bancassurance), assetbacked securities (efek beragun aset) dan reksadana sehingga sehingga dibutuhkan pengawasan yang lebih kompleks dan rumit. Oleh lantaran itu, Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank akan menyempurnakan sistem pengawasan bank dengan terus berbagi metode pengawasan bank yang berbasis pada risiko (risk-based supervision) serta melaksanakan konsolidasi organisasi pengawasan bank yang ada di Bank Indonesia. Selain untuk meningkakan efektivitas pengawasan, konsolidasi organisasi pengawasan bank yang ada di Bank Indonesia juga ditujukan untuk memperkuat pelaksanaan enforcement atas ketentuan dan kebijakan perbankan yang telah dibuat oleh Bank Indonesia.
Pilar Keempat, Kualitas administrasi dan operasional perbankan.. Peningkatan kualitas administrasi bank dibutuhkan untuk meningkatkan good corporate governance dari administrasi bank itu sendiri, sehingga praktek-praktek perbankan yang tidak sehat (improper behaviour) sanggup diminimalisir atau dihilangkan. Selanjutnya peningkatan kualitas administrasi bank juga dibutuhkan untuk memperkecil terjadinya risiko-risiko bank khususnya operational risk. Disamping perlunya kualitas administrasi yang baik, mendasar perbankan kita juga perlu didukung dengan adanya operasional perbankan yang efisien. Kinerja bank yang efisien memungkinkan bank-bank untuk menekan biaya serendah mungkin sehingga bank tersebut bisa meningkatkan profitabilitasnya. Untuk itu API telah merekomendasikan bank-bank untuk memanfaatkan pemakaian akomodasi operasional perbankan secara bersama-sama
(shared facilities) menyerupai contohnya pemakaian ATMs dan back office, sehingga bank-bank sanggup mencapai economies of scales yang pada alhasil sanggup lebih mengoptimalkan profit yang didapat.
Pilar Kelima, Infrastruktur pendukung. Kehadiran infrastruktur pendukung perbankan sangat dibutuhkan untuk menunjang industri perbankan yang kuat. Prioritas infrasturktur pendukung yang riil ialah tersedianya credit bureau yang sangat dibutuhkan oleh perbankan untuk memperbaiki dan mempercepat proses pemberian kredit dari bank kepada debiturnya. Konsep credit bureau disini ialah tersedianya data historis kondisi keuangan calon debitur sehingga bank mempunyai kapasitas untuk meningkatkan kualitas kredit sekaligus mengurangi potensi risiko kredit yang akan muncul. Disamping itu, konsep credit bureau tersebut memungkinkan terjadi clearing gosip diantara semua forum keuangan bank termasuk BPR maupun bukan forum keuangan bukan serta sektor ritel sehingga seseorang yang pernah mempunyai kredit macet di perusahaan leasing akan sulit memperoleh kredit dari suatu bank.
Pilar Keenam, proteksi konsumen perbankan. Pilar ini merupakan salah satu permasalahan yang hingga ketika ini belum mendapat tempat yang baik di dalam sistem perbankan nasional. Seringkali kita melihat bahwa nasabah selalu lemah atau pada posisi yang kurang diuntungkan apabila terjadi kasus-kasus perselisihan antara bank dengan nasabahnya, sehingga nasabah dirugikan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perbankan tolong-menolong dengan masyarakat akan mempunyai beberapa jadwal yang bertujuan untuk memperkuat proteksi konsumen. Agenda tersebut ialah dengan menyusun prosedur pengaduan nasabah, membentuk forum mediasi perbankan (ombudsman), meningkatkan transparansi gosip produk dan melaksanakan edukasi produk-produk dan jasa bank kepada masyarakat luas.
Celah dalam API
API merupakan sebuah solusi yang sanggup memperkokoh mendasar perbankan di Indonesia. Segala aspek yang terkait dengan permasalahan dan tantangan perbankan nasional bisa diantisipasi semenjak dini melalui penguatan mendasar perbankan tersebut. Namun menyerupai halnya sistim yang lain, API juga mempunyai beberapa hal yang sanggup menjadi celah dalam pelaksanaannya. Adapun celah tersebut antara lain adalah: Pertama, kurangnya perhatian terhadap konsep “Disiplin Pasar”. Konsep API dibangun menurut rekomendasi dari Basle Committee on Banking Supervision yang menyarankan tiga pilar utama, yaitu persyaratan modal minimum, proses pengawasan, dan persyaratan disiplin pasar. Secara akademis, keenam pilar API merupakan klarifikasi terperinci yang cukup mendalam terhadap dua pilar Komite Basle, yaitu persyaratan modal minimum dan proses pengawasan. Proses pengawasan bahkan memperoleh porsi yang sangat besar. Oleh lantaran itu, proses ini terwakili dalam seluruh jadwal yang terdapat pada pilar kedua dan ketiga. Pilar keempat pun mengandung unsur proses pengawasan, menyerupai persyaratan sertifikasi bagi manajer risiko dan peningkatan Good Corporate Governance. Bahkan proses pengawasan juga ada pada pilar kelima melalui pembentukan biro kredit serta pilar keenam melalui prosedur pengaduan konsumen dan pembentukan forum mediasi perbankan yang independen. Namun, rekomendasi Komite Basle mengenai persyaratan disiplin pasar justru kurang terwakili dalam keenam pilar API. Kata "disiplin pasar" bahkan tidak terwakili secara eksplisit di sana. Padahal, disiplin pasar ialah sebuah prosedur yang bisa memaksa administrasi bank mengadopsi prinsip kehati-hatian walaupun pengawas dari otoritas perbankan sedang lengah. Hal ini bisa dikarenakan sanksi oleh pasar bisa sangat besar dan merusak kesehatan bank.
Sebagai contoh, apabila sebuah bank memakai administrasi risiko yang kurang layak maka bank tersebut bisa dieksekusi dengan tingkat premi risiko yang lebih tinggi kalau Indonesia mempunyai sebuah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang kredibel dalam pemeringkatan administrasi risiko. Akibatnya, bank tersebut bisa dieksekusi oleh nasabahnya. Antara lain, mereka bisa saja mulai mengalihkan simpanannya ke bank lain. Jika bank tersebut sudah Go Public, kondisi ini bisa menjatuhkan harga saham bank. Konsekuensinya, nilai kecukupan modal, kesehatan, dan kinerja bank akan merosot. Komisaris dan direksi bank pun secara profesional akan terhukum, baik melalui berkurangnya bonus, rusaknya reputasi pribadi, maupun kemungkinan diberhentikan sebelum waktunya. Sayangnya, persoalan LPS, premi risiko, forum pemeringkat administrasi risiko, dan banyak sekali kebutuhan infrastrukturnya kurang dibahas dalam API. Penggunaan forum pemeringkat memang masuk dalam pilar kelima, tapi lebih terfokus pada obligasi yang diterbitkan bank. Kata LPS bahkan sama sekali tidak muncul, padahal itu merupakan institusi kunci bagi perbankan Indonesia di masa mendatang. Hal tersebut membuat konsep pengawasan API terlalu bias ke arah pengawasan birokratis. Disiplin pasar ialah konsep pengawasan yang menempel pada diri bank. Karena itu, konsep API sangat harus memasukkan disiplin pasar.
Kedua, persyaratan modal minimum. Persyaratan modal perbankan sebesar 100 milyar Rupiah memang merupakan sebuah tuntutan yang aman bagi penguatan perbankan nasional. Akan tetapi, beberapa hal wacana modal minimum ini juga perlu mempertimbangkan “nilai uang” dari 100 milyar Rupiah tersebut. Hal ini dikarenakan API akan berlangsung pada tahun 2014 sehingga nilai 100 milyar Rupiah tersebut termasuk dalam nilai uang pada tahun kini ataukah pada tahun 2014 mendatang. Sebab, nilai 100 milyar Rupiah di tahun 2014 bisa jadi tidak mencukupi sebagai nilai minimum permodalan perbankan nasional mengingat nilai uang yang semakin meningkat setiap tahunnya. Selain itu, pertimbangan bank-bank yang pada tahun 2014 belum bisa mencukupi persyaratan tersebut akan diberikan solusi apa? Hal ini pula yang menjadi pertanyaan dalam persyaratan modal minimum.
Ketiga, porsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ke-enam pilar API masih belum memperlihatkan deskripsi yang terang mengenai eksistensi OJK sebagai sebuah forum independen yang mengawasi perbankan Indonesia. Pengalaman beberapa negara lain yang telah menerapkan OJK menyerupai Australia, Jepang, Inggris dan Korea Selatan kurang terlihat pada stage awal penerapan penyehatan perbankan. OJK sebagai suatu sistim kontrol mungkin akan lebih mempunyai kegunaan ketika sistim sudah berjalan dengan baik. Selain itu, eksistensi OJK di awal proses restrukturisasi penyehatan perbankan akan menjadikan potensi konflik dengan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mempunyai fungsi sebagai Lender of The Last Resort.
Jejak Langkah API Dalam Dua Tahun Terakhir
Terlepas dari pro dan kontra, Arsitektur Perbankan Indonesia sebagai sebuah rancangan bentuk industri perbankan yang ingin dicapai di masa depan telah memperlihatkan jejak langkah yang terang dan terarah. Sampai pada tingkat tertentu yang terukur, ketentuan dan peraturan serta implementasi sendi-sendi operasional perbankan melalui jadwal API sanggup berjalan dengan baik dengan hasil yang cukup memuaskan dari tahun ke tahun.
Secara umum, beberapa tahun terakhir terlihat bahwa ketahanan industri perbankan nasional mengalami peningkatan terutama dari sisi permodalan. Hal ini sanggup dilihat melalui nilai CAR industri perbankan ketika ini yang berada pada kisaran 20%, sehingga kemungkinan masih cukup memadai guna menyerap banyak sekali risiko yang mungkin timbul. Bentuk riil pencapaian keberhasilan API sanggup dilihat melalui peningkatan kiprah fungsi intermediasi perbankan dari banyak sekali jadwal API menyerupai lingkage jadwal bank umum dengan BPR, dan skim penjaminan kredit Askrindo dengan Pemerintah Daerah telah berhasil diimplementasikan. Sementara itu, peningkatan kualitas SDM perbankan melalui jadwal sertifikasi administrasi risiko baik bagi administrasi perbankan maupun para pengawas secara sedikit demi sedikit telah dilaksanakan dan terus semakin meluas.
Pencapaian lain yang tidak kalah pentingnya ialah pelaksanaan kiprah pengawasan bank yang secara sedikit demi sedikit mengalami perbaikan-perbaikan dari sisi kualitas, kedalaman, dan luasnya cakupan pengawasan. Berdasarkan evaluasi terakhir pada bulan Oktober 2005 yang dilakukan oleh Technical Advisor Bank Indonesia dari FSA memperlihatkan bahwa tingkat kepatuhan Bank Indonesia terhadap The 25 Basel Core Principles mengalami peningkatan yang signifikan. 11 butir-butir Core Principles yang di waktu kemudian secara kualitas tergolong non-compliant ataupun materially noncompliant ketika ini telah membaik dan tergolong menjadi largely compliant bahkan banyak yang telah tergolong fully compliant. Secara umum, dalam penggunaan ukuran The 25 Basel Core Principles, 22 butir principles dalam pengawasan Bank Indonesia kualitasnya telah tergolong compliant. Dari beberapa principles tersebut, hanya pelaksanaan evaluasi risiko secara terkonsolidasi dan peningkatan akurasi data pengawasan yang masih belum terealisasi secara optimal. Berdasarkan hasil pencapaian sesingkat ini, maka API sebagai sebuah konsep relatif lebih komprehensif dan efektif dibandingkan Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah. Semoga API sanggup memperabukan elemen-elemen perbankan nasional dalam tungku perekonomian nasional sehingga sanggup membuat pilar-pilar besi yang kokoh dan megah sebagai mendasar industri perbankan di Indonesia.
Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com
0 Response to "Api Dalam Tungku Perekonomian Indonesia"
Posting Komentar