-->

iklan banner

Menggagas Legislasi Aturan Ekonomi Syari’Ah Ke Ranah Sistem Aturan Nasional

Menggagas Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah Ke Ranah Sistem Hukum Nasional 
A. Mukadimah
Hukum yakni produk politik, sehingga ketika membahas politik aturan cenderung mendiskripsikan efek politik terhadap aturan atau efek sistem politik terhadap pembangunan hukum. Hukum yakni hasil tarik-menarik banyak sekali kekuatan politik yang mengejawantah dalam produk hukum. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek sebagai proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik aturan terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang berdasarkan Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to do”. Politik aturan juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum. Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa aturan yakni instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Medan pembuatan undang-undang menjadi arena perbenturan dan pergumulan antar-kepentingan. 

Badan pembuat undang-undang merupakan representasi konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam tubuh pembuat undang-undang menjadi penting lantaran pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi aturan secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan menciptakan putusan politik terlebih dahulu. Disamping konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam tubuh pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari luar tidak sanggup diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama oleh golongan yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Di Indonesia intervensi pemerintah dalam bidang politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga dikala ini pemerintah sangat lebih banyak didominasi di dalam mewarnai politik aturan di Indonesia.

Menurut Mahfud MD, politik aturan juga meliputi pengertian perihal bagaimana politik mempengaruhi aturan dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum. Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan aturan itu bagi masyarakat yang bersangkutan, lantaran hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya aturan itu dalam suatu masyarakat.

Senada dengan pendapat Daniel S. Lev, politik aturan itu merupakan produk interaksi di kalangan elit politik yang berbasis kepada banyak sekali kelompok dan budaya. Ketika elit politik Islam mempunyai daya tawar yang berpengaruh dalam interaksi politik, pengembangan aturan Islam dalam suprastruktur politik pun mempunyai peluang yang sangat besar. Begitupula sebaliknya ketika menengok sejarah pada masa penjajahan Belanda, posisi aturan Islam sangat termarjinalkan. Hukum Islam hanya dipandang sebagai aturan apabila diresepsi ke dalam aturan adat, itu pun dalam strata ketiga sesudah aturan Eropah dan aturan Adat orang timur gila (Arab, China dan India). Indonesia yang merupakan negara jajahan Belanda, telah mengalami masa berlangsungnya proses introduksi dan proses perkembangan sistem aturan gila ke dalam aturan masyarakat pribumi.

B. Refleksi Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia
Pada dasarnya pelembagaan aturan Islam merupakan tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam bidang hukum, kesadaran berhukum pada syari’at Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan remaja ini. Hal ini memperlihatkan nilai-nilai anutan Islam disamping kearifan lokal dan aturan adat mempunyai akar berpengaruh untuk tampil memperlihatkan konsep aturan dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima oleh siapa saja serta di mana saja, lantaran Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Syari’at Islam meskipun dalam realitanya telah membumi dan menjiwai setiap aktifitas sehari-hari bangsa Indonesia (khususnya umat Islam), dan banyak dijadikan teladan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara, namun khusus dalam bidang ekonomi masih belum merupakan undang-undang negara. Oleh lantaran itu pelembagaan aturan Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kegiatan di bidang ekonomi syari’ah merupakan suatu tuntutan kebutuhan aturan umat Islam khususnya, dan bagi para pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah pada umumnya.

Secara sosiologis, aturan merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan aturan yang berlaku selayaknya bisa menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai teladan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.

Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi implementasi aturan Islam hanya sebagai aturan keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, aturan perbankan dan perdagangan sanggup diisi dengan konsep aturan Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan permasalahan lantaran belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan referensi oleh Pengadilan Agama sebagai forum yang berwenang menuntaskan masalah tersebut. Hal ini wajar, mengingat belum adanya aturan subtansial dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah. 

Pembangunan aturan nasional secara obyektif mengakui pluralitas aturan dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan aturan adat dan aturan agama untuk lingkungan tertentu dan subyek aturan tertentu yakni masuk akal lantaran tidak mungkin memaksakan satu unifikasi aturan untuk beberapa bidang kehidupan. Oleh lantaran itu tidak perlu dipersoalkan jikalau terhadap subyek aturan Islam -yang melaksanakan kegiatan dibidang muamalah- diperlakukan aturan ekonomi syari’ah. Selanjutnya masuk akal pula dalam kekerabatan keluarga terkadang aturan adat setempat lebih dominan. 

Prinsip unifikasi aturan memang harus jadi pedoman, namun sejauh unifikasi tidak mungkin, maka pluralitas aturan haruslah secara realitas diterima. Idealnya pluralitas aturan ini haruslah diterima sebagai bab dari tatanan aturan nasional.

Untuk memenuhi kebutuhan aturan terhadap bidang-bidang yang tidak sanggup diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan dan kewenangan yang ada padanya sanggup mengakui atau mempertahankan aturan yang hidup dalam masyarakat, sekalipun itu bukan produk aturan negara, ibarat aturan adat yang merupakan warisan nenek moyang, aturan Islam yang bersumber dari anutan agama dan aturan Barat yang merupakan peninggalan kolonialis.

C. Mengusung Hukum Ekonomi Syari’ah ke Ranah Sistem Hukum Nasional
Dari perspektif sistem aturan nasional, bentuk negara kesatuan RI bukan sekedar fenomena yuridis-konstitusional, tetapi merupakan suatu yang oleh Friedman disebut sebagai “people attitudes” yang mengandung hal-hal ibarat di atas yakni: beliefs, values, ideas, expectations. Paham negara kesatuan bagi bangsa Indonesia yakni suatu keyakinan, suatu nilai, suatu cita dan harapan-harapan. Dengan unsur-unsur tersebut, paham negara kesatuan bagi rakyat Indonesia mempunyai makna ideologis bahkan filosofis, bukan sekedar yuridis-formal. Dengan perkataan lain, sistem aturan nasional merupakan pengejawantahan unsur budaya. Oleh karenanya, berdasarkan Solly Lubis, dalam praktek kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat secara fundamental (grounded, dogmatie) dimensi kultur seyogyanya mendahului dimensi politik dan hukum.

Berkaitan dengan subtansi hukum, meskipun Pengadilan Agama telah usang diakaui eksistensinya, namun masih belum mempunyai kitab aturan yang dijadikan standarisasi bagi hakim dalam memutus kasus selevel KUHPdt. Suatu hal yang perlu dicatat yakni sejauhmana kesungguhan forum administrator maupun legislatif untuk merumuskan undang-undang bagi para hakim Pengadilan Agama dalam menjalankan tugasnya. Padahal justru melalui acara legislasi nasional itu, aturan Islam tidak hanya mejadi aturan positif, namun kadar aturan itu akan menjadi bab terbesar dari pelaksanaan aturan termasuk diantaranya aturan Islam yang mengatur masalah ekonomi syari’ah. 

Pendekatan yang sanggup digunakan sebagai upaya mentransformasikan aturan ekonomi syari’ah ke dalam aturan nasional yakni meminjam teori hukumnya Hans Kelsen (Stufenbau des rechts). Menurut teori ini berlakunya sutu aturan harus sanggup dikembalikan kepada aturan yang lebih tinggi kedudukannya yakni:
1) Ada impian aturan (rechtsidee) yang merupakan norma abstrak.
2) Ada norma antara (tussen norm, generelle norm, law in books) yang digunakan sebagai mediator untuk mencapai cita-cita.
3) Ada norma konkrit (concrete norm), sebagai hasil penerapan norma antara atau penegakannya di Pengadilan.

D. Urgensi Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah 
Sistem aturan Indonesia mengikuti tradisi civil law yang ciri utamanya yakni peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi. Sementara itu aturan Islam walaupun mempunyai sumber-sumber tertulis pada al-Qur’an, as-Sunnah dan pendapat para fuqaha (doktrin fikih) pada umumnya tidak terkodifikasi dalam bentuk buku perundang-undangan yang gampang dirujuki. Oleh lantaran itu, aturan Islam di Indonesia ibarat halnya juga aturan adat, sering dipandang sebagai aturan tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan.

Berdasarkan paparan di atas, maka umat Islam yang menghendaki pemberlakuan ekonomi syari’ah sebagai aturan positif juga harus mengupayakan politik aturan melalui proses legislasi dengan menyusun draft Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan kepada DPR (DPR) untuk mendapat persetujuan. Berkenaan dengan proses legislasi, sanggup dikatakan meliputi kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan undang-undang. Pengajuan RUU bisa melalui Presiden atau melalui inisiatif DPR.

Mentransformasikan aturan ekonomi syari’ah dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan yang baik sekurang-kurangnya harus memenuhi empat landasan yakni: landasan filosofis, sosiologis, yuridis dan politis.

Landasan filosofis berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika intinya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik, sedangkan nilai yang baik merupakan pandangan dan impian yang dijunjung tinggi yang di dalamnya ada nilai kebenaran, keadilan dan kesusilaan serta banyak sekali nilai lainnya yang dianggap baik. 

Landasan sosiologis, ketentuan-ketentuannya harus sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran aturan masyarakat. Hal ini penting biar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat. Hukum yang dibuat harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (the living law) dalam masyarakat, namun produk perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment opname), lantaran jikalau masyarakat berubah, nilai-nilaipun berubah, kecenderungan dan harapan masyarakat harus sanggup diprediksi dan terakumulasi dalam peraturan perundang-undangan yang berorientasi masa depan. 

Landasan yuridis, merupakan landasan aturan (yurisdische gelding) yang menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid competentie). Dasar aturan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan sangat diperlukan, tanpa disebutkan dalam peraturan perundang-undangan seorang pejabat atau suatu tubuh yakni tidak berwenang (onbevoegdheid) mengeluarkan peraturan. 

Landasan Politis, merupakan garis budi politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara. Tegasnya, sejalan dengan acara legislasi nasional

Kecenderungan model pengembangan aturan Islam di Indonesia berlangsung melalui dua jalur, yaitu jalur legislasi (melalui perundang-undangan) dan jalur non legislasi (yang berkembang di luar undang-undang). Diantara kedua jalur tersebut, kecenderungan pada jalur kedua lebih banyak mewarnai praktek penerapan aturan Islam di Pengadilan Agama. Hal ini dimaklumi lantaran proses legislasi aturan Islam di Indonesia selalu menghadapi hambatan struktural dan kultural, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, para pendukung sistem aturan Islam belum tentu beranggapan bahwa aturan Islam itu sebagai suatu sistem yang belum final, perlu dikembangkan dalam konteks aturan nasional. Sedangkan hambatan eksternal yakni struktur politik yang ada belum tentu mendukung proses legislasi aturan Islam.

Kendatipun dalam prakteknya legislasi bukan merupakan kecenderungan, namun pengembangan aturan Islam melalui jalur legislasi-terutama yang mengatur bidang ekonomi syari’ah- tetap diharapkan alasannya:
1) Pengaturan terhadap bidang ekonomi syari’ah sifatnya urgen terkait dengan kewenangan gres Pengadilan Agama dalam menuntaskan sengketa dalam bidang tersebut, sebagaimana bunyi Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Juga melihat kebutuhan aturan remaja ini, legislasi merupakan tuntutan obyektif, lantaran akan mendukung implementasi aturan Islam secara niscaya dan mengikat secara yuridis formal.

2) Materi aturan ekonomi syari’ah yakni merupakan aturan privat Islam bukan aturan publik, sehingga jikalau bidang ini diangkat ke jalur legislasi tidak akan memunculkan konflik serius, baik ditingkat internal maupun eksternal lantaran sifatnya yang universal dan netral.

D. Prospek Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah dalam Ranah Sistem Hukum Nasional
Mengusung hokum ekonomi syari’ah ke jalur legislasi perlu memperhatikan tiga hal yaitu subtansi, bentuk dan proses. Dalam hal subtansi sebagaimana telah dikemukakan di depan, yakni berupa doktrin-doktrin yang ada dalam kitab fikih, ijtihad dan fatwa para ulama, serta putusan hakim dalam bentuk yurisprudensi dan yang sudah terakomodir dalam peraturan perundang-undangan –khususnya KHES-, merupakan teladan yang tidak sanggup diabaikan. Dalam hal bentuk, yang perlu diperhatikan yakni jangkauan berlakunya diubahsuaikan dengan tingkatan hirarkis perundang-undangan di negara Republik Indonesia berdasarkan Tap MPRS Nomor 30/1966. Sedangkan dalam hal proses tergantung pada yang dipilih, lantaran legislasi aturan ekonomi syari’ah menjurus dalam bentuk undang-undang, prosesnya lebih sulit daripada bentuk peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan dibawahnya, namun demikian melihat kenyataan yang ada, lahirnya undang-undang perihal ekonomi syari’ah mempunyai peluang yang cukup besar, bebarapa hal penting yang berpotensi sebagai faktor pendukung yakni antara lain:
1) Subtansi aturan ekonomi syariah yang established (sudah mapan), disamping telah adanya KHES, penggunaan fikih-fikih produk imam madzhab yang sudah teruji pelaksanaannya baik di lingkungan Pengadilan Agama maupun dalam dalam masyarakat, juga ditunjang beberapa pemikiran fikih madzhab Indonesia yang telah usang digagas oleh para pakar aturan Islam di Indonesia.

2) Produk legislasi yakni produk politik, sehingga untuk berhasil memperjuangkan legislasi aturan Islam harus mendapat pemberian bunyi mayoritas di forum pembentuk aturan dan fakta politik memperlihatkan bahwa meskipun aspirasi politik Islam bukan mayoritas di Indonesia, namun memperhatikan konfigurasi politik dalam dasawarsa terakhir cukup memberi angin segar bagi lahirnya produk-produk aturan nasional yang bernuansa Islami, ibarat halnya: 
a) Lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 perihal Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 perihal Perbankan. Lebih jelasnya sanggup dilihat pada pasal 1 ayat (12), Pasal 6 karakter (u), pasal 7 karakter ©, pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), pasal 11 ayat (1) dan ayat (4a), dan pasal 13 ayat (1) 

b) Lahirnya UU Nomor 23 Tahun 1999 perihal Bank Indonesia, yang semakin memperkuat kedudukan kegiatan ekonomi syari’ah di Indonesia.

c) Lahirnya UU No. 17 Tahun 1999 perihal Penyelenggaraan haji;

d) Lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 perihal Pengelolaan Zakat;

e) Lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 perihal Nangroe Aceh Darussalam yang memberi otonomi khusus kepada Daerah spesial Aceh untuk menerapkan syari’at Islam, hal ini memperlihatkan bahwa anutan Islam telah terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Islam. 

f) Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 sebagai hasil amandemen terhadap UU No. 7 Tahun 1989 perihal Peradilan Agama, yang mengatakan kewenangan gres berupa penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah. Dalam perjalanannya amandemen undang-undang ini tidak menemui hambatan yang berarti dibandingkan dengan lahirnya undang-undang sebelumnya.

g) Lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Diharapkan menjadi kran pembuka terhadap Undang-Undang Ekonomi Syari’ah.

h) Lahirnya PERMA No. 02 Tahun 2008 pada tanggal 10 September 2008 perihal Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, meskipun dikala ini kedudukannya hanya sebagai kitab pedoman, namun ke depan sanggup diperjuangkan melalui jalur legislasi sebagai kitab undang-undang.

Selain yang berbentuk peraturan perundang-undangan juga berbentuk fatwa-fatwa para ulama yang diterbitkan oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Fatwa-fatwa tersebut menjadi dasar pelaksanaan kegiatan dibidang ekonomi syari’ah terutama pada bank-bank syari’ah atau bank-bank konvensional yang membuka cabang syari’ah. Namun demikian fatwa-fatwa di atas belum mengakomodir seluruh item ekonomi syari’ah sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Juga perlu dicatat bahwa hanya sebagian kecil saja dari fatwa-fatwa tersebut yang telah terserap dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI).

3) Materi aturan yang hendak diusung ke jalur legislasi meliputi aturan privat yang bersifat universal dan netral sehingga tidak memancing sentimen agama lain. Kemungkinan besar tidak akan menjadikan gejolak sosial yang cost-nya sangat mahal.

4) Sistem politik Indonesia mengatakan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya aspirasi politik Islam, termasuk aspirasi untuk melegislasikan aturan Islam.

5) Pada tataran yuridis konstitusional, berdasarkan Sila Pertama Pancasila dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, aturan Islam yakni bab dari aturan nasional dan harus ditampung dalam training aturan nasional, serta sejalan dengan acara legislasi nasional.

Dibalik peluang legislasi yang terbuka lebar, ada beberapa tantangan yang perlu diantisipasi yakni:
1) Perbedaan pendapat di kalangan intern umat Islam sendiri yang sebagian menolak gagasan legislasi.
2) Perbedaan pendapat di kalangan intern Islam mengenai subtansi aturan (ekonomi syari’ah) yang yang akan diundangkan kemungkinan masih ada ikhtilafi (ada perbedaan pendapat).
3) Adanya resistensi dari kalangan non muslim yang menganggap legislasi aturan Islam “ekonomi syari’ah” di Indonesia akan menempatkan mereka (seolah-olah sebagai warga negara kelas dua) dan ini juga dipicu oleh perilaku dan pernyataan sebagian gerakan Islam sendiri yang justru kontra produktif bagi usaha aturan Islam.

Hukum ekonomi syari’ah yang diusung ke jalur legislasi dalam bentuk buku atau kitab undang-undang yang tersusun rapi, mudah dan sistematis bukan hanya berasal dari satu madzhab fikih saja, melainkan dipilih dan di-tarjih (menguatkan salah satu dari beberapa pendapat madzhab) dari banyak sekali pendapat madzhab fikih yang lebih sesuai dengan kondisi dan kemaslahatan yang menghendaki. Hal ini secara otomatis menghilangkan perilaku ta’assub (fanatik) madzhab, ibarat fikih madzhab Hanafi yang digunakan di kerajaan Turki pada tahun 1876, fikih madzhab Syafi’i yang digunakan di wilayah Mesir dan Suriah serta fikih madzhab Imam Malik yang digunakan di Irak.

E. Aspek Positif dan Aspek Negatif Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah 
a. Aspek-aspek Positif:
Selanjutnya perlu dikemukakan kelebihan dan kelemahan aturan Islam dalam bentuk perundang-undangan. Menurut Satjipto Rahardjo yang mengutip pendapat Algra dan Duyyendijk kelebihan dari bentuk perundang-undangan dibandingkan dengan norma-norma lain adalah:
1) Tingkat prediktibilitasnya tinggi. Adanya citra aturan secara niscaya sebelum suatu perbuatan itu dilakukan masyarakat, sehingga sudah bisa diprediksi akhir hukumnya.
2) Perundang-undangan juga mengatakan kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali suatu peraturan dibuat, maka menjadi niscaya pula nilai yang hendak dilindungi oleh peraturan tersebut. Oleh lantaran itu orang tidak perlu lagi memperdebatkan apakah nilai itu diterima atau tidak. 

Sedangkan berdasarkan ulama fikih, sisi positif aturan Islam dalam bentuk perundang-undangan antara lain:
1) Memudahkan para praktisi aturan untuk merujuk aturan sesuai dengan keinginannya. Kitab-kitab fikih yang tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat yang kadang kala membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya undang-undang yang mengatur bidang ekonomi syari’ah, para hakim / praktisi aturan tidak perlu lagi mentarjih banyak sekali pendapat dalam literatur fikih.
2) Mengukuhkan fikih Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fikih Islam penuh dengan perbedaan pendapat, bukan saja antar madzhab, tetapi juga perbedaan pendapat antar ulama dalam madzhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan pendapat terkuat dari sekian banyak pendapat dalam satu madzhab. Keadaan ibarat ini sangat menyulitkan hakim (apalagi orang awam) untuk menentukan aturan yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang yang berperkara tersebut bermadzhab Hanbali atau Syafi’i, sehingga hasil ijtihad Madzhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan kepadanya. Dalam kaitan ini, undang-undang yang sesuai dengan pendapat yang berpengaruh akan lebih mudah dan gampang dirujuk oleh para hakim, apalagi di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
3) Menghindari perilaku taqlid madzhab di kalangan praktisi hukum, yang selama ini menjadi hambatan dalam lembaga-lembaga hukum.
4) Menciptakan unifikasi aturan bagi lembaga-lembaga peradilan. Apabila aturan dalam suatu negara tidak hanya satu, maka akan muncul perbedaan keputusan antara satu peradilan dengan peradilan lainnya. Hal ini bukan saja membingungkan umat, tetapi juga mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan antara satu peradilan dengan peradilan lainnya.

b. Aspek-aspek Negatif: 
Di samping sisi positif maupun kelebihan-kelebihan di atas, aturan Islam dalam bentuk perundang-undangan juga mengandung kelemahan-kelemahan, sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo antara lain:
1) Norma-normanya menjadi kaku.
2) Mengabaikan perbedaan-perbedaan atau ciri-ciri khusus yang tidak sanggup disamaratakan begitu saja. 

Selain itu, untuk mengubah aturan yang berbentuk perundang-undangan memerlukan tata cara tertentu, sehingga membutuhkan waktu, biaya dan persiapan yang tidak kecil. 

Sedangkan berdasarkan Ibnu al-Muqaffa sisi negatif pelembagaan aturan Islam dalam bentuk perundang-undangan yakni sebagai berikut:
1) Munculnya kekakuan hukum, sedangkan insan dengan segala masalah kehidupannya senantiasa berkembang, dan perkembangan ini seringkali tidak diiringi dengan aturan yang mengaturnya. Dalam masalah ini ulama fikih menyatakan,”Hukum bisa terbatas, sedangkan kasus yang terjadi tidak terbatas”. Di sisi lain, fikih Islam tidak dimaksudkan berlaku sepanjang masa, tetapi hanya untuk menjawab masalah yang timbul pada suatu kondisi, masa, dan kawasan tertentu. Oleh lantaran itu, aturan senantiasa perlu diubahsuaikan dengan kondisi, tempat, zaman yang lain. Tidak jarang ditemukan bahwa kejadian yang menghendaki aturan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan aturan itu sendiri. Oleh lantaran itu. Adanya undang-undang bisa memperlambat perkembangan aturan itu sendiri.
2) Mandegnya upaya ijtihad. 
3) Munculnya masalah taklid baru. 

c. Menakar Aspek Positif dan Aspek Negatif 
Menganalisa sisi positif dan sisi negatif, kekuatan dan kelemahan bentuk perundang-undangan dari aturan Islam yang mengatur perihal ekonomi syari’ah, maka dengan memperhatikan kondisi yang berkembang di Pengadilan Agama dan tradisi aturan yang dianut oleh negara Indonesia, maka berdasarkan irit penulis, pelembagaan aturan ekonomi syari’ah dalam bentuk perundang-undangan tetap merupakan pilihan tepat.

Kehadiran undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah tidak perlu diperdebatkan, keberadaannya di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan aturan masyarakat terutama pelaku bisnis syariah, di sisi lain secara subtansial akan dijadikan sebagai landasan yuridis bagi hakim Pengadilan Agama dalam menuntaskan sengketa ekonomi syari’ah. Selanjutnya sebagaimana teori kontrak social, maka diharapkan intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya lantaran bekerjasama dengan ketertiban umum dalam pelaksanaannya.

Adapun pembentukan undang-undang yang mengatur kegiatan di bidang ekonomi syari’ah yang akan tiba berdasarkan irit penulis, seharusnya mempertimbangkan:
1. Mendahulukan pengaturan aspek-aspek ekonomi syari’ah yang bersifat lex generalis dengan alasan kebutuhan terhadap undang-undang yang mengatur masalah ekonomi syari’ah sifatnya urgen, lantaran dasar aturan yang digunakan dikala ini, baik oleh para pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah maupun Hakim Pengadilan Agama dalam menuntaskan sengketa ekonomi syari’ah yakni KHES atau fikih muamalah. 

2. Dalam penyusunan undang-undang yang mengatur bidang ekonomi syari’ah –disamping menjadikan KHES sebagai teladan utama- juga perlu mempertimbangkan beberapa fatwa yang telah diterbitkan oleh DSN, baik yang terserap dalam PBI dan SEBI maupun yang tidak terserap, lantaran sudah kasatmata bahwa lahirnya fatwa-fatwa di atas yakni sebagai respon dari beberapa permasalahan riil yang dimintakan fatwa berkenaan dengan kegiatan di bidang ekonomi syari’ah yang tengah berjalan. 

3. Perlu juga mempertimbangkan pengalaman Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dalam menuntaskan sengketa antara bank syari’ah dan nasabahnya, hal ini nantinya sanggup dijadikan teladan dan masukan bagi Peradilan Agama dalam menuntaskan sengketa ekonomi syari’ah di masa depan. Melihat kasus-kasus arbitrase syari’ah yang diajukan ke BASYARNAS, tampak dengan terang bahwa masalah inti yakni kontrak antara penyedia dana sebagai investor, bank sebagai pengelola dana, dan nasabah sebagai pengguna dana, atau antara bank sebagai investor dan sekaligus juga sebagai pengelola dana di satu pihak dan nasabah sebagai pengguna dana di pihak lain. Kontrak yang paling umum dilakukan yakni komitmen mudharabah, komitmen musyarakah, komitmen murabahah dan lain-lain yang selama ini diatur secara luas dalam fikih banyak sekali madzhab. Dalam penyelesaian sengketa, BASYARNAS memakai dua aturan yang berbeda, yaitu aturan Islam sebagaimana diformulasikan oleh DSN dan pasal-pasal KUHPerdata (khususnya mengenai perjanjian). Hal itu dilakukan lantaran ketiadaan peraturan perundang-undangan perihal perbankan syari’ah secara khusus dan ekonomi syari’ah secara umum.

4. Disampng KHES, -untuk penyempurnaan- perlu juga mempertimbangkan dan mengkomparasikan dengan Pasal-pasal dalam KUHD dan KUHPerdata khususnya yang berkenaan dengan perjanjian, alasannya:
a) Pasal-pasal tersebut selama ini telah lazim di pakai dasar untuk mengadakan kontrak di bidang ekonomi di Indonesia, ibarat jual beli, sewa menyewa perjanjian kerja, perjanjian usaha dalam bentuk perserikatan perdata (maatschap), penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam pakai habis (verbruiklening), peminjaman dengan bagi hasil, perjanjian pertanggungan (asuransi), pemberian kuasa, perjanjian penanggungan utang, dan perjanjian perdamaian, yang merupakan perjanjian-perjanjian dengan nama ibarat disebut di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, serta perjanjian-perjanjian lain dengan nama apapun juga, atau bahkan tanpa nama, apabila kaum muslimin menghendaki, maka melalui asas kebebasan berkontrak sebagaimana disebutkan dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sanggup sepenuhnya melakukannya berdasarkan ajaran-ajaran dan tabiat Islam, sehingga seluruh perbuatannya tersebut akan tunduk kepada dan terhadapnya berlaku aturan Islam. Dengan demikian, maka mudah dalam seluruh kehidupan keperdataan atau muamalah, bagi umat Islam di Indonesia telah sanggup diberlakukan aturan Islam, asalkan mereka menghendaki.

Seperti halnya dinyatakan dalam pasal 1338 KUHPerdata yang menganut asas kebebasan berkontrak, ini berarti setiap individu anggota masyarakat bebas menciptakan atau mengikat perjanjian dengan individu anggota mayarakat lain berdasarkan kehendaknya, sepanjang sesuai dengan undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal tersebut juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai dalam Islam. Bahkan lebih dari itu, pasal 1338 KUHPerdata menegaskan, bahwa perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari ketentuan pasal tersebut, seluruh pakar aturan sepakat menyimpulkan bahwa dalam hal aturan perjanjian, aturan positif (hukum yang berlaku) di Indonesia menganut system “terbuka”. Artinya, setiap orang bebas untuk menciptakan perjanjian apa dan bagaimanapun juga, sepanjang pembuatannya dilakukan sesuai dengan undang-undang dan isinya tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan. Namun yang perlu mendapat stressing di sini yakni aspek syariat yang menyangkut etika transaksi dan pemahaman batasan-batasan syariat yang meliputi rukun dan syarat-syarat komitmen yang terdapat dalam asas-asas kontrak berdasarkan hukun Islam yang mungkin pada penerapannya berbeda dengan KUHPdt.

Asas aturan ini dalam keadaan bagaimanapun tidak mungkin dihilangkan dari tatanan hidup umat insan dalam masyarakat yang beradab, lantaran kebebasan individu yakni merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak suatu kekuasaanpun, termasuk kekuasaan negara berhak mencabutnya. Asas kebebasan berkontrak di dalam kegiatan keperdataan tersebut sangat sesuai dengan pengertian “ibadah muamalah”.

Dengan kelarnya undang-undang yang mengatur ekonomi syari’ah, maka tidaklah mustahil, pada masa-masa mendatang kau muslimin Indonesia dalam menjalankan acara usaha mereka di segala bidang keperdataan, akan menjadikan undang-undang tersebut menjadi landasannya. Masalahnya yakni sederhana, mereka ingin biar seluruh acara hidup mereka, sesuai dengan rasa keimanan dan keyakinannya, hal ini tidak bertentangan dengan jiwa Pancasila.

Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Menggagas Legislasi Aturan Ekonomi Syari’Ah Ke Ranah Sistem Aturan Nasional"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel