-->

iklan banner

Otonomi Tempat Dan Perimbangan Keuangan Sentra Dan Tempat

Otonomi Daerah Dan Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah : Diperkirakan penerapan kewenangan otonomi kawasan gres akan terealisasi pada tahun 2002 atau bahkan tahun berikutnya. Perubahan ini sekaligus ditandai dengan pergantian pemerintahan pada pemilu mendatang. Sudah menajdi problem publik, perihal akan berlakunya pelaksanaan otonomi yang luas.

Berbagai goresan pena mengenai tinjauan terhadap otonomi kawasan pernah dimuat pada edisi 17 dan 18 pada Buletin Pengawasan ini. Namun yang patut disayangkan, tinjauan wacana otonomi kawasan tersebut masih mengacu pada UU yang lama, yakni UU No. 5 tahun 1974 dan PP No. 45 tahun 1992. Padahal UU tersebut kurang menyiratkan asas demokrasi dan jauh dari rumusan mengenai kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan secara luas. Belum bersinggungan terhadap proses perubahan urusan kawasan masing-masing secara penuh dan bertanggung jawab serta adanya proses reformasi yang tengah berlangsung dalam rangka penyerahan urusan pemerintahan dan pembangunan ke kawasan masing-masing.

Oleh alasannya yaitu itu melalui goresan pena ini, saya mencoba mengetengahkan UU yang gres (No. 22/99 dan No. 25/99) wacana Otonomi Daerah dan Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai tinjauan umum wacana otonomi kawasan yang dikehendaki oleh masyarakat dan pemerintah daerah, juga mencoba mencari solusi dan visi kewenangan otonomi kawasan sebagai upaya membangun paradigma gres otonomi yang luas.

Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomr 22/1999, otonomi kawasan akan diimplementasikan ke daerah. Bahkan dengan adanya perubahan tahun anggaran yang akan dimulai 1 Januari 2001 mendatang, sangat mungkin implementasi tersebut juga dipercepat, alasannya yaitu idealnya tahun anggaran 2001 harus sudah ditopang oleh kewenangan-kewenangan serta struktur organisasi/kelembagaan gres yang harus diubahsuaikan dengan paradigma gres otonomi.

Pada pasal 11 UU no. 22/1999 yang mengatur wacana (1) Kewenangan kawasan kabupaten/kotamadya meliputi semua kewenangan yang dikecualikan pasal 7 ayat (2). Substansi kewenangan kawasan khususnya kabupaten/ kotamadya yang selama ini diketahui, keculai kewenangan dalam bidang politik luar negeri, Pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, fiskal serta agama sebagai diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) yang menjabarkan pasal 7 ayat (2) dan pasal 9 yang dikala ini sedang dimantapkan di pusat (disosialisasikan ke daerah).

Baca Juga

Pada pasal 11 ayat (2) bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh kawasan kabupaten/kotamadya meliputi pekerjaan umum (sekarang kimbangwil), kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.

Sedangkan Undang-Undang Nomor 25/1999 wacana perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan kawasan hingga dikala ini belum terperinci menyerupai apa penjabarannya ke dalam PP. Yang jelas, dikala ini pemerintah kawasan sangat berharap semoga pendelegasian kewenangan dalam bidang keuangan yang juga sedang dirumuskan di Pusat, harus memberi kesempatan pada kawasan untuk secara aktif dan kreatif serta bertanggung jawab membuatkan potensi daerahnya. Memang, pada dikala ini untuk sementara masih berlaku UU no. 18 tahun 1997 wacana Pajak dan Restribusi Daerah yang justru sangat membatasi kewenangan daerah.

Pendelegasian Kewenangan 
Uraian mengenai pengertian dan visi dari pendelegasian kewenangan dalam otonomi kawasan sebagai perwujudan dalam upaya membangun paradigma gres otonomi sanggup dijelaskan sebagai berikut :

Pertama
Pendelegasian kewenangan pengelolaan keuangan. Pendelegasian kewenangan ini menyangkut khususnya pada pembagian keuangan pusat-daerah berdasarkan UU no. 25/1999 berdasarkan pandangan daerah. Bagi kabupaten/kotamadya yang mempunyai sumber minyak bumi, gas, kehutanan, pertambangan umum maupun perikanan yang berdasarkan formula gres akan mendapatkan lebih banyak dari pusat, serta harus segera menyiapkan acara belanja yang benar-benar berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat kawasan sesuai tuntutan otonomi. Di lain pihak, pemerintah pusat/propinsi harus bisa menyediakan dana alokasi khusus untuk menghindari ketimpangan penerimaan antar kabupaten/kotamadya di satu propinsi antara lain alasannya yaitu tidak meratanya ketersediaan sumber-sumber alam atau potensi lainnya. Sebaliknya, bagi kawasan yang tidak mempunyai sumber alam sebagaimana dimaksud UU No. 25/1999, maka untuk menjaga tingkat kesejahteraan yang sudah dicapai hingga dikala ini, sebaiknya mendapatkan alokasi bantuan/subsidi yang minimal sama dengan sebelum diberlakukannya sistem alokasi gres nanti. Di sisi lain, kewenangan mengatur yang berkaitan dengan kebijakan atas perencanaan dan pelaksanaan program/proyek/kegiatan yang bersumber dana dari pertolongan pusat/propinsi harus didelegasikan sepenuhnya kepada kabupaten/kotamadya. Artinya tidak perlu ada lagi prosedur semacam rapat teknis yang hanya menambah tenaga hierarki dan pendanaan.

Kedua
Pendelegasian kewenangan politik. Mekanisme Pendelegasian kewenangan politik yang berlaku efektif pada dikala dan sehabis pelaksanaan Pemilu 1999 yang lalu, telah mencapai suatu perkembangan yang sangat signifikan dibanding bidang-bidang lainnya. Pelimpahan kekuasaan politik kepada daerah, di samping telah memberdayakan kiprah DPRDnya, juga secara niscaya sedang mengarah pada terwujudnya sistem check and balance dalam sistem kekuasaan di daerah. Bahkan dalam hal-hal tertentu, implementasi kewenangan politik sudah berkembang jauh melampaui batas-batas moral dan bahkan terkadang berbenturan dengan fungsi birokrasi. Kondisi ini terjadi dimungkinkan alasannya yaitu :
1. Terputusnya hierarki kewenangan pusat dan propinsi atas sistem politik di kab/kota. Dengan demikian perlu diimbangi dengan tumbuhnya kiprah kontrol masyarakat (internal control) kepada DPRDnya, semoga dalam menjalankan fungsi kontrolnya yang ketat kepada administrator dan perlu diimbangi pula adanya kontrol masyarakat atas sikap politiknya. Dengan kedudukan yang sejajar bahwa DPRD merupakan kawan bagi pemerintah daerah, maka fungsi kontrol sanggup dilaksanakan secara efektif.

Pemilu tahun 1999 yang menghasilkan DPRD yang representatif telah mewakili politik rakyat daerah, sehingga mempunyai kewenangan politik yang sangat otonom. Dalam konteks otonomi daerah, kekuasaan politik yang dimiliki DPRD tersebut didukung oleh kedudukan dan fungsi legislatif yang terpisah dari eksekutif. DPRD sebagai dewan legislatif kawasan berkedudukan sejajar dan menjadi kawan dari pemerintah kawasan (pasal 16 ayat 2 UU no. 22/99). Kewenangan dalam politik yang demikian independen di daerah, nampaknya tidak memungkinkan lagi terbukanya peluang intervensi kepentingan pusat atau propinsi dalam proses maupun keputusan politik di daerah, termasuk dalam proses

2. pemilihan kepala kawasan (Gubernur/ Walikota/Bupati). Dengan demikian, dengan melalui pendelegasian kewenangan politik ini sebagai upaya membangun paradigma gres otonomi, diperlukan kasus calon titipan atau pendamping dari pusat yang selama ini selalu menyertai dalam pemilihan Kepala kawasan hanya tinggal cerita.

3. Adanya kewajiban bagi Gubernur, Walikota dan Bupati untuk memberikan pertanggungjawaban pada setiap selesai tahun anggaran akan memperkuat posisi politik DPRD dalam melaksanakan fungsi kontrolnya. Sehingga, pihak administrator akan bekerja keras untuk tidak melaksanakan kesalahan sekecil apapun dalam melaksanakan tugasnya.

4. Dalam rangka menuju bangsa yang demokratis menyerupai yang tersirat dalam UU no. 22/99 ini, kadangkala sering muncul banyak sekali kasus yang terkesan keluar dari nilai-nilai demokrasi yang universal menyerupai info politik uang atau sejenisnya di daerah. Mudah-mudahan itu hanya merupakan dampak dari keterkejutan sesaat atas terjadinya perubahan yang drastis dan global dalam sistem politik. Pada saatnya akuntabilitas publik dari para pemain film politik maupun para birokrat akan menjadi syarat utama yang dituntut masyarakat.

Ketiga
Pendelegasian kewenangan urusan daerah. Dalam konteks UU No. 22/99 pada prinsipnya bukan merupakan sesuatu yang didelegasikan dari atas menyerupai pada pemerintahan orde lalu, melainkan lebih sebagai tuntutan dari bawah sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah. Yang menjadi pertanyaan, apakah benar akan demikian kenyataannya pada dikala nanti? Hal ini perlu dibuktikan dan sangat tergantung pada substansi peraturan pemerintah yang mengatur kewenangan pemerintah dan propinsi yang rencananya akan dikeluarkan pada bulan (Juli 2000).

Seperti yang telah kita ketahui, berdasarkan rancangan PP yang sedang disosialisasikan ke daerah, yang intinya merupakan klasifikasi lebih lanjut dari pasal 7 dan 9 UU No.22/99 di dalamnya mengatur 26 bidang kewenangan pusat dan propinsi yang meliputi 426 urusan yang masih menjadi kewenangan pusat dari 203 urusan yang menjadi kewenangan propinsi. Oleh alasannya yaitu itu, diperlukan urusan-urusan yang dalam PP dirancang masih menjadi kewenangan pusat atau propinsi tersebut diperlukan tidak menyimpang (meskipun) melalui banyak sekali cara apapun) dari maksud otonomi luas dari UU no. 22/99 ini. Sedangkan di luar kewenangan pusat sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 ayat 1 maupun kewenangan propinsi sebagaimana ditetapkan dalam pasal 9 ayat 1 yaitu merupakan kewenangan kab/kota sebagai kawasan otonom untuk mengatur (legislasi) dan kewenangan untuk mengurusi (eksekusi). Sebagai upaya mengaktualisasikan mengatur (fungsi legislatif), khususnya dalam menyusun, memutuskan dan mensahkan peraturan kawasan semenjak diberlakukan UU no. 22/99, kewenangan mulai ada pada daerah. Banyak kebijakan bisa diputuskan dengan cepat dan memungkinkan pelayanan berjalan dengan lebih baik, bila dimilikinya kewenangan mengatur oleh kawasan khususnya kabupaten/kotamadya. Sedangkan upaya untuk mengaktualisasikan kewenangan mengurus, tentu akan terkait eksklusif dengan urusan yang benar-benar dibutuhkan oleh kawasan dan tidak termasuk ke dalam urusan propinsi atau pusat berdasarkan PP. Sehingga diperlukan dengan paradigma gres bahwa urusan kawasan merupakan sesuatu yang harus lahir dari bawah, maka kawasan akan menata ulang kelembagaan maupun SDMnya segera sehabis PP tersebut ditetapkan. Seperti Badan/Dinas/Bagian yang ada dikala ini akan diubahsuaikan dengan urusan yang wajib dilaksanakan berdasarkan UU No. 22/99 (pasal 11) maupun urusan yang harus dilakukan sesuai dengan tuntutan nyata daerah. Dengan demikian, akan lebih bijaksana apabila makna otonomi luas sanggup diartikan sebagai kebebasan yang bertanggung jawab untuk menentukan dan menentukan urusan sesuai kebutuhan kawasan dan dalam batas-batas kemampuan anggaran yang tersedia untuk membiayainya. Selanjutnya, otonomi yang luas tidak diartikan bebas semaunya dan dengan begitu maka kawasan akan selalu mempertimbangkan bukan hanya soal banyak atau sedikitnya urusan yang ditangani, tetapi lebih kepada manfaat (benefit) yang diperoleh bagi masyarakat kawasan tersebut. Diharapkan dari sini akan lahir dan terbangun akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Kesiapan Daerah untuk Otonomi
Kesiapan kawasan untuk melaksanakan otonomi di samping alasannya yaitu memadainya kewenangan otonom yang dimiliki, juga harus didasarkan pada suatu keyakinan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh forum yang terdesentralisasi yaitu lebih baik daripada yang tersentralisasi. Pada akhirnya, untuk melaksanakan otonomi, perlu ada sikap konsistensi dari substansi peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaan lebih lanjut UU No. 22/99 dan UU No.25/99. Di pihak lain, segi materi (keuangan) memang sangat penting, tetapi bukan segalanya dalam mengatur pemerintahan. Karena yang lebih penting lagi yaitu diberikannya kebebasan kewenangan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi pemerintahannya yang bekerjsama sudah menjadi hak atau milik kawasan semenjak lama. Yang terpenting lagi, masyarakat kawasan harus bisa bersikap kritis dan berani menyatakan hal yang benar bila para politikus (DPRD) dan birokrat menyimpang dari rel yang benar. Karena tanpa dukungan dari masyarakat kawasan tersebut, membangun visi otonomi kawasan yang diinginkan oleh bangsa ini sulit akan diwujudkan.

Sebenarnya Indonesia dalam hal ini sudah cukup ketinggalan, alasannya yaitu gres kini mempunyai rancangan standar akuntansi keuangan sektor publik. Tidak adanya standar akuntansi sektor publik di Indonesia dikala ini menjadikan kesulitan dalam mengaudit laporan keuangan pemerintah. Standar Auditing Pemerintah (SAP) sudah ada dan dikala ini sedang kita tunggu Standar Akuntansi Keuangan Sektor Publik (SAKSP). Pada perkembangan selanjutnya perlu juga dipersiapkan alat ukur kinerja (performance measurement) untuk mengukur kinerja lembaga-lembaga pemerintahan di Indonesia. 

Perlunya Informasi Akuntansi Untuk Mewujudkan Akuntabilitas Publik
Salah satu alat untuk memfasilitasi terciptanya transparansi dan akuntabilitas publik yaitu melalui penyajian Laporan Keuangan Pemda yang komprehensif. Dalam masa otonomi kawasan dan desentralisasi, pemerintah kawasan diperlukan sanggup menyajikan laporan keuangan yang terdiri atas Laporan Surplus/Defisit, Laporan Realisasi Anggaran (Perhitungan APBD), Laporan Aliran Kas, dan Neraca. Laporan keuangan tersebut merupakan komponen penting untuk membuat akuntabilitas sektor publik dan merupakan salah satu alat ukur kinerja finansial pemerintah daerah. Bagi pihak eksternal, Laporan Keuangan Pemda yang berisi informasi keuangan kawasan akan dipakai sebagai dasar pertimbangan untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik. Sedangkan bagi pihak intern pemerintah daerah, laporan keuangan tersebut sanggup dipakai sebagai alat untuk penilaian kinerja. 

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi kawasan dan desentralisasi fiskal, tantangan yang dihadapi akuntansi sektor publik yaitu menyediakan informasi yang sanggup dipakai untuk memonitor akuntabilitas pemerintah kawasan yang meliputi akuntabilitas finansial (financial accountability), akuntabilitas manajerial (managerial accountability), akuntabilitas aturan (legal accountability), akuntabilitas politik (political accountability), dan akuntabilitas kebijakan (policy accountability). Akuntansi sektor publik mempunyai kiprah utama untuk menyiapkan laporan keuangan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan akuntabilitas publik. 

Terdapat beberapa alasan mengapa pemerintah kawasan perlu membuat laporan keuangan. Dilihat dari sisi internal, laporan keuangan merupakan alat pengendalian dan penilaian kinerja pemerintah dan unit kerja pemerintah daerah. Sedangkan dari sisi pemakai eksternal, laporan keuangan pemerintah kawasan merupakan salah satu bentuk prosedur pertanggungjawaban dan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan. Karena laporan tersebut akan dipakai untuk pembuatan keputusan, maka laporan keuangan pemerintah kawasan perlu dilengkapi dengan pengungkapan yang memadai (disclosure) mengenai informasi-informasi yang sanggup mempengaruhi keputusan. 


TUJUAN PENYAJIAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
Secara garis besar, tujuan umum penyajian laporan keuangan oleh pemerintah kawasan adalah:
1. Untuk memperlihatkan informasi yang dipakai dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik serta sebagai bukti pertanggungjawaban (accountability) dan pengelolaan (stewardship);
2. Untuk memperlihatkan informasi yang dipakai untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional.

Secara khusus, tujuan penyajian laporan keuangan oleh pemerintah kawasan adalah:
1. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi anutan kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek unit pemerintah;
2. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi kondisi ekonomi suatu unit pemerintahan dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya;
3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kinerja, kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati, dan ketentuan lain yang disyaratkan;
4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk memprediksi imbas pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi terhadap pencapaian tujuan operasional;
5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional:
(a) untuk menentukan biaya program, fungsi, dan acara sehingga memudahkan analisis dan melaksanakan perbandingan dengan kriteria yang telah ditetapkan, membandingkan dengan kinerja periode-periode sebelumnya, dan dengan kinerja unit pemerintah lain;
(b) untuk mengevaluasi tingkat ekonomi dan efisiensi operasi, program, aktivitas, dan fungsi tertentu di unit pemerintah;
(c) untuk mengevaluasi hasil suatu program, aktivitas, dan fungsi serta efektivitas terhadap pencapaian tujuan dan target;
(d) untuk mengevaluasi tingkat pemerataan (equity).

Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com

Related Posts

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Otonomi Tempat Dan Perimbangan Keuangan Sentra Dan Tempat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel