Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Dialektika Rasio Dan Tradisi
Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Dialektika Rasio Dan Tradisi : Pembangunan ekonomi di negara kita masih belum beranjak jauh dari situasi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada bulan November 1997, walaupun Era Reformasi sudah dicanangkan semenjak Soeharto turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998. Era Reformasi sudah berlangsung lebih dari 8 tahun, tapi belum ada hasil yang signifikan. Hal ini terjadi sebab krisis yang terjadi di negara kita bukan hanya sekedar krisis ekonomi tetapi krisis budaya. Memang terdapat korelasi yang paralel antara aspek ekonomi atau material dan aspek budaya (immaterial) (Rochmat, 2005).
Dalam bidang immaterial ini, kita belum berhasil merumuskan bentuk identitas budaya bangsa. Yang dimaksud dengan negara Pancasila sebetulnya masih berproses mencari bentuk. Negara Pancasila berpretensi sebagai negara yang tidak sekuler dan tidak menurut agama. Bentuk negara Pancasila dijadikan alternatif untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang pluralis. Ancaman bangsa kita sudah dirumuskan sebagai SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan).
Diharapkan umat Islam sanggup memainkan peranan yang besar bagi terciptaya identitas bangsa ini, mengingat mereka merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Kenyataannya, umat Islam belum berhasil merumuskan kebudayaan Islam Indonesianis (budaya Pancasila) sebab aneka macam kelompok umat Islam masih mengalami kendala komunikasi, dan adakala mereka menyebarkan ideologi yang tidak gampang dicarikan titik temunya.
Adopsi ideologi tertentu oleh suatu kelompok ialah konsekuensi logis bagi agama yang mempunyai korelasi erat dan berpretensi untuk mengatur urusan duniawi. Hendaknya tiap-tiap ideologi agama tidak mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran mutlak, walaupun hal itu merupakan suatu perilaku yang tidak gampang diwujudkan bagi gerakan yang berpretensi dengan gerakan revolusioner. Hendaknya, mereka menyadari bahwa agama bukanlah suatu ideologi, dan karenanya ideologi harus diarahkan untuk mewujudkan suatu misi agama yang ingin menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia, mirip hak hidup manusia, keadilan, kebebasan, kesejahteraan dan kemakmuran. Bila mereka menyadari korelasi tugas ideologi dan agama maka tidaklah sulit bagi mereka untuk menyebarkan suatu obrolan bagi upaya mencari dan merumuskan suatu aktivitas bersama yang mempunyai kegunaan bagi kemanusiaan.
Tulisan ini membatasi keterkaitan agama sebagai bahaya kesatuan bangsa, khsusnya dengan menganalisis model pembaharuan Muhammadiyah dilihat dari aspek epistemologisnya biar mendapat citra mengenai proses perumusan kebenaran. Untuk itu berturut-turut akan dibahas Pembaharuan Parsial Muhammadiyah, Pembaharuan Kontekstual, dan diakhiri dengan Penutup.
Pembaharuan Parsial, Berdasarkan Rasio
Para tokoh pembaharu Islam cenderung melaksanakan pembaharuan yang sifatnya normatif (berdasarkan rasio) dengan melupakan realitas sosiologis-historis suatu komunitas Islam. Mereka hanya mendasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan berkaitan dengan suatu komunitas yang menjadi target dari pembaharuan itu, sehingga pembaharuan sanggup berjalan secara efektif. Komunitas tidak berada dalam suatu ruang hampa udara, di dalamnya berkembang suatu tradisi/budaya yang hendaknya diperhitungkan biar pembaharuan sanggup berjalan efektif dan bukannya kontra-produktif.
Pembaharuan menurut rasio memang dicanangkan sebagai paket sekali jadi, menyerupai obat yang sanggup menyembuhkan segala penyakit. Ini mustahil, sebab tantangan suatu zaman berbeda-beda maka obatnya pun tentu berbeda. Memang secara rasio, suatu obat “A” akan sanggup mengobati suatu penyakit “A”, namun masing-masing pasien memerlukan takaran yang berbeda-beda, diubahsuaikan dengan umur, kondisi kesehatan, dan ada tidaknya alergi terhadap unsur obat tertentu.
Pembaharuan Muhammadiyah berangkat dari segi rasio ini. Memang rasionalitas normatif ini sanggup diterima umat Islam di kawasan perkotaan yang relatif sudah terlepas dari tradisi dan karenanya sedang memerlukan ikatan sosial baru. Kenyataanya, secara tidak disadari Muhammadiyah berangkat dari realitas sosiologis-historis masyarakat Islam di kauman Yogyakarta. Boleh dikata mereka ialah penduduk kota, sebab tinggal di sekitar keraton dan pada umumnya pendatang dari aneka macam daerah. Mereka memerlukan ikatan sosial gres yang sanggup dipakai juga untuk mengatasi permasalahan yang melilitnya mirip pekerjaan non-agraris, kesehatan, pendidikan, dan anak yatim piatu.
Praksis Muhammadiyah Vs Ideologi
Apa yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan merupakan suatu terobosan dengan membentuk “organisasi” yang bentuknya bukan partai politik. Bentuk organisasi diadopsi dari cara-cara modern yang diperkenalkan oleh penjajah Belanda. Sehingga tidak mengherankan bila KH Ahmad Dahlan tidak menghasilkan sejumlah buku keagamaan sebab beliau lebih menekankan pada perjuangan paksis untuk merebut urusan duniawi. Berikut komentar Prof. Dr. M. Amin Abdullah (1995: 27):
…pilihan itu bukan didasarkan pada hasil cermatan kajian literatur Islam klasik dan juga tidak memperoleh ide dari konsep-konsep “teologis” atau “kalam” klasik yang telah “baku” dan “mapan” dalam literatur-literatur khazanah intelektual lama.
K.H. Dahlan meyakini agama bersifat manusiawi, agama yang bisa memperlihatkan sesuatu kepada insan melalui aneka macam bentuk amaliyah. Oleh sebab itu beliau menghindari kasus teologis, sebab akan menghalangi agama untuk melaksanakan suatu tindakan nyata melalui aneka macam bentuk amaliyah yang bermanfaat bagi siapa saja tanpa memandang afiliasi teologisnya. Teologi disini bukanlah sebagai suatu ilmu Ketuhanan yang bias nilai, melainkan ada suatu bias kepentingan sebab dirumuskan sendiri oleh manusia; dan hal ini seringkali tidak disadari oleh umat Islam.
Ketika ada salah seorang santrinya mengusulkan biar agar K.H. Ahmad Dahlan menulis kitab untuk menjelaskan pemikirannya yang inovatif itu, maka beliau menjawab: “Apakah saudara ini menganggap saya orang gila?” dan tanggapan itu diulangi hingga tiga kali. Kyai Dahlan melihat sudah banyak kitab yang ditulis, yang mengakibatkan umat terpecah belah; dan ia tidak ingin menambah satu kitab lagi sebab dikhawatirkan sanggup menambah runyam suasana. Dengan demikian, model dakwah K.H. Dahlan bersifat mudah dan bukan ideologis (teologis) (Fachruddin, 1990: 420).
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharuan dalam Islam dengan menempuh jalan para modernis gerakan Salafiyah dari periode ke-19 mirip Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridla (1856-1935). Gerakan Salafiyah ini dipandang sebagai kelanjutan dari gerakan pembaharuan yang Qoyyim al-Jauziyah (1292-1350), yang berusaha untuk membuka pintu ijtihad; dan dilanjutkan oleh Gerakan Wahabi di Saudi Arabia yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahad (1703-1787) (Kamal, 1994: 6-7).
K.H. Ahmad Dahlan merumuskan gerakan pembaharuannya dalam bentuk “Purifikasi dan Dinamisasi”. Purifikasi didasarkan pada perkiraan bahwa kemunduran umat Islam terjadi sebab umat Islam tidak menyebarkan aqidah Islam yang benar, sehingga harus dilakukan purifikasi dalam bidang aqidah-ibadah dengan kepercayaan “segala sesuatu diyakini dan dilaksanakan bila ada perintah dalam Al-Qur’an dan Hadits”. Sedangkan dinamisasi diterapkan dalam bidang muammallah, dengan melaksanakan gerakan modernisasi sepanjang sesuai dengan kepercayaan “semuanya boleh dikerjakan selama tidak ada larangan atau tidak bertentangan Al-Qur’an dan Hadits.
Dari penelitian terbaru diketahui ada beberapa perbedaan antara pembaharuan Muhammadiyah dengan pembaharuan yang dilakukan Abduh tersebut. Abduh lebih menekankan pada pembaharuan di bidang muammalah (the social aspect of Islam) atau lebih dikenal dengan progam modernisasi. Sementara Muhammadiyah lebih cenderung menempuh jalan Muhammad Abdul Wahab dengan gerakan purifikasinya (the belief aspect of Islam). Artinya Muhammadiyah menekankan ijtihad dalam bidang aqidah (ibadah) dan sebaliknya Abduh menyeru ijtihad dalam bidang muammallah (duniawi) mirip politik, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Saya melihat ijtihad dalam bidang aqidah yang dilakukan Muhammadiyah ialah aqidah yang mempunyai keterkaitan dengan aspek sosial kemasyarakatan (budaya), bukan aqidah mahdlah (ibadah murni). Karena ijtihad dalam bidang ibadah murni mirip shalat, puasa, dan haji, dalam pandangan Syaikh Muhammad Al-Ghazali (1996: 129) sebaiknya ditutup untuk mengurangi perpecahan di kalangan umat Islam. Dan kenyataannya Muhammadiyah mendasarkan gerakan purifikasinya pada pemikiran madzhab fiqih yang sudah ada, disamping dicari rujukannya eksklusif pada Al-Qur’an dan Hadits.
Ijtihad dalam bidang aqidah yang berkaitan dengan aspek budaya ini memang penuh resiko sebab pembicaraan mengenai doktrin (lebih luas dari aqidah) merupakan pembicaraan yang sangat luas. Iman menempati segala sesuatu. Iman mempunyai sifat-sifat dan karakter tertentu, tetapi secara mudah tidak berbentuk tertentu. Ia teoritis dan konseptual. Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran 193 ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), “Berimanlah kau kepada Tuhanmu.” Maka kami pun beriman.’ (Ghazali, 1996: 129).
Iman tidak bisa dibatasi pada kasus aqidah saja maka pelaksanaan purifikasi di lapangan mengalami kesulitan sebab bid’ah yang dianggap dalam wilayah aqidah bercampur aduk dengan bid’ah dalam wilayah budaya. Jika memang begitu yang terjadi, maka pecoretan tradisi, budaya, adat istiadat perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian, karena apa yang disebut budaya dan tradisi sesungguhnya jauh lebih luas daripada aqidah (Abdullah, 2000: 11).
Ijtihad Muhammadiyah Vs Tradisi
Pembaharuan Muhammadiyah yang beranjak dari latar belakang sosio-historis masyarakat kota itu, tidak sanggup diterima dan menuai reaksi negatif dari kalangan umat Islam di kawasan pedesaan yang masih mempertahankan tradisi. Seperti dijelaskan di atas, doktrin itu suatu konseptual, dan konsep yang ditawarkan Muhammadiyah tersebut tidak sesuai dengan realitas kontekstual masyarakat desa yang memegang teguh tradisi. Bagi Muslim di pedesaan, tradisi ini sangat penting dikarenakan telah memberi makna dan identitas bagi kehidupannya. Bahkan kedalam tradisi ini telah diinfuskan nilai-nilai Islam. Karena itu tuduhan sebagai penyebar penyakit TBC (Tahayyul, Bid’ah, da Churafat) sangat menyakitkan.
Kita bisa menyampaikan pembaharuan Muhammadiyah itu masih bersifat realitas parsial, sebab hanya berangkat dari latarbelakang masyarakat perkotaan; dan karenanya menuai reaksi negatif dari komunitas Islam di kawasan pedesaan. Ini sangat disayangkan sebab Muhammadiyah juga berkepentingan untuk melaksanakan dinamisasi melalui aktivitas modernisasi dalam bidang muammallah. Sebenarnya reaksi negatif ini sanggup diminimalkan menjadi perilaku saling menghormati satu-sama lain, atau jikalau mungkin dikembangkan perilaku kerjasama satu sama lain bila umat Islam Indonesia telah berhasil menyebarkan kegiatan intelektual yang baik. Tentunya kegiatan intelektual waktu itu masih terbatas, sebab kita masih di bawah belenggu penjajah Belanda. Situasi kini saja belum ada perjuangan yang serius dari seluruh komponen bangsa, terutama pemerintah dan ormas Islam, untuk menyebarkan kajian Islam dari aneka macam disiplin ilmu, sebagai materi referensi untuk merumuskan pembaharuan Islam dengan daya jangkau yang lebih luas lagi.
Memang perlu disadari semenjak awal jikalau pembaharuan itu masih bersifat parsialis biar ada kesadaran untuk melaksanakan pembaharuan yang terus-menerus. Karena pembaharuan Islam memang bukan paket sekali jadi. Memang untuk merumuskan pembaharuan Islam yang mempunyai kemampuan sinergis dengan managerial global membutuhkan waktu dalam proses sejarah yang usang dan kadang tidak mulus. Adalah sulit untuk semenjak dini merumuskan pembaharuan yang mempunyai daya jangkauan global bila kita belum mempunyai informasi yang lengkap mengenai realitas sosiologis-historis semua komunitas Islam. Karena masing-masing komunitas Islam tersebut mempunyai keunikan budaya yang harus diperlakukan secara khusus pula.
Yang perlu diperhatikan, setiap melaksanakan pembaharuan harus mengakui realitas sosiologis-historis suatu komunitas Islam terlebih dahulu. Kemudian gres dilakukan modifikasi terhadap suatu tradisi biar sanggup menjawab tuntutan zaman. Caranya dengan melaksanakan pemurnian alam pemikiran Islam yang masih terpengaruh oleh lapisan tipis tradisi Hindu-Budha maupun nenek moyang, dengan tidak menghilangkan tradisi tersebut yang merupakan konvensi atas keberterimaannya terhadap Islam. Pembaharuan diarahkan untuk mendekati perintah yang tercantum di dalam Alquran maupun Hadits, sebagai idealisasinya.
Variasi budaya berimplikasi pada variasi pembaharuan Islam. Memang disadari atau tidak pembaruan selalu berangkat dari realitas sosiologis-historis suatu budaya. Karena itu pembaharuan Islam seringkali dipandang penuh curiga oleh komunitas Islam lainnya yang mempunyai realitas sosiologis-historis yang berlainan. Memang ini masuk akal setiap memulai pembaharuan dan kita dituntut bersikap remaja terhadap mereka yang masih sangsi terhadap komitment pembaharuan ini. Kita hendaknya bisa meyakinkan pembaharuan ini juga sangat diharapkan dan selanjutnya berusaha menjalin kerjasama dengan aneka macam kelompok lain. Toleransi yang ikhlas di antara aneka macam organisasi Islam di Indonesia ini merupakan prasyarat bagi terciptanya budaya Islam Indonesianis.
Perlu diketahui, sepanjang sejarah Islam kita mendapat suatu fakta bahwa sesama organisasi Islam sangat sulit mewujudkan suatu perilaku toleransi. Konflik antara Kekhalifahan Abbasiyah di Bangdad dengan Kekhalifahan Muawiyah di Spanyol tidaklah sebab perbedaan teologis/ideologis, tetapi mereka berebut klaim sebagai satu-satunya penegak kebenaran yang sah. Demi menghancurkan lawannya, Kekhalifahan Abbasiyah menjalin kerjasama dengan kerajaan-kerajaan Nasrani mirip Kerajaan Perancis. Pertentangan sesama umat itu melemahkan umat Islam sendiri, bahkan risikonya Islam harus tunduk pada peradaban Barat.
Pada sisi lain, sejarah Islam mencatat dengan tinta emas perilaku toleransi umat Islam terhadap penganut beragama lain. Mereka menghargai keyakinan agama lain, apalagi agama Kristen, yang tergolong kedalam golongan andal kitab (ahlul kitab) yang diakui keberadaannya oleh al-Qur’an. Dalam situasi mirip itu umat Nasrani mencar ilmu dari kesalahan masa lalunya, dan mereka mengadopsi peradaban Islam yang lebih maju pada masanya. Pada periode ke-12-14, Barat masih ketinggalan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun kemudian mereka berhasil membidani kelahiran modern science dikarenakan telah berhasil menyebarkan suasana free and open discourse. Hal inilah yang menjadi starting point Toby E. Huff untuk menulis bukunya The Rise of Early Modern Science. Dia benar ketika menyampaikan ‘The path to modern science is the path to free and open discourse….’ (Huff, 1998: 46).
Tidak lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern dari dunia Islam bukan sebab Islam tidak cocok dengan ide-ide modern, tetapi sebab umat Islam gagal dalam menyebarkan free and open discourse. Karena hanya dengan toleransi dan kebebasan memungkinkan kita mengadopsi unsur-unsur peradaban lain yang positif bagi upaya menyebarkan peradaban Islam sendiri dan memang kegiatan budaya dan intelektual bersifat lintas budaya.
Sebenarnya permasalahan umat Islam tidak bersifat filosofis sebab al-Qur’an tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Persoalannya terkait dengan permasalahan “sosia-kultural”, berkaitan dengan hasil interpretasi terhadap al-Qur’an, yang seharusnya bersifat relatif sebab sebagai hasil pemikiran insan yang terikat oleh ruang dan waktu; namun pemikiran keagamaan itu dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak yang dihentikan dikritik sebab diyakininya sebagai teologi. Dengan demikian suatu kasus sosio-kultural telah diganti tugas sebagai kasus teologi, sehingga kasus itu menjadi sulit untuk diurai benang kusutnya. Contohnya, hingga awal periode ke-19 Kekhalifahan Turki melarang penggunaan mesin print untuk menulis abjad Arab yang dianggapnya sebagai bahasa Tuhan, namun bisa dipakai untuk mencetak abjad dari bahasa lainnya. Hal ini berakibat pada mandegnya intelektual Islam, dan sebaliknya abjad Latin menjadi berkembang pesat (Huff, 1998: 46).
Tradisi Muhammadiyah?
Selama ini orang selalu menentangkan istilah modern dengan tradisi, tidak terkecuali dengan Muhammadiyah yang mengklaim dirinya sebagai organisasi Islam modern. Konsekuensinya, apakah Muhammadiyah menyebarkan suatu tradisi, sebab tradisi selalu berakar dari masa lalu. Dalam bidang kebudayaan Muhammadiyah menjiplak ide-ide kebudayaan modern perihal pertumbuhan (growth) dan kemajuan (progress), yang merupakan turunan dari materialisme. Dengan demikian Muhammadiyah mgadopsi struktur masyarakat modern.
Dalam melaksanakan pembaharuan, kaitannya dengan upaya dinamisasi, Muhammadiyah menyebarkan pendekatan strukturalisme transendental di dalam pemikiran keagamaannya, yaitu bertujuan ‘menerapkan ajaran-ajaran sosial yang terkandung dalam teks usang pada konteks sosial masa kini tanpa mengubah strukturnya’, sebagaimana diyakini oleh cendekiawan Muhammadiyah Prof. Dr. Kuntowijoyo (2001: 9-29). Dengan begitu Muhammadiyah menjiplak struktur masyarakat modern untuk mengimplementasikan pedoman Islam itu. Memang Muhammadiyah telah berhasil mengisi struktur masyarakat modern di Indonesia dalam birokrasi, industri, perdagangan, pendidikan, militer, dll.
Cendekiawan dari Muhammadiyah Abdul Munir Mulkhan (2000: v-xiv) menyebut ada dua konsekuensi dari arah kebudayaan mirip itu, yaitu: Pertama ialah sifat elitisme yang telah mengakibatkan Muhammadiyah sebagai privilege golongan menengah-ke-atas. Kedua ialah pergeseran dari gerakan pembaharu sosial budaya menjadi gerakan yang terjebak pada persoalan-persoalan fiqhiah. Hal itu terjadi sebab orang modernis telah melangkah terlalu jauh dengan mengakibatkan materialisme dan rasionalisme bukan lagi sekedar perangkat analisis, melainkan sebagai ideologi.
Lebih lanjut Kuntowijoyo menjelaskan dampak negatif lainnya, kalu Muhammadiyah sebagai “gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan”, sebab kebudayaan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah bersifat elitis sehingga tidak sanggup menjangkau lapisan bawah umat Islam. Hal itu terjadi sebab Muhammadiyah tidak berusaha merubah tradisi dari dalam, melainkan dengan membentuk gerakan gres yang berbasis masyarakat kota. Dan untuk waktu yang usang tidak mengakomodasi masyarakat di kawasan pedesaan yang masih memegang tradisi.
Kuntowijoyo menganalisa keringnya misi kebudayaan dalam Muhammadiyah pada struktur yang melatar belakangi para pendukung awal Muhammadiyah, yaitu masyarakat kampung-kota, yang perhatiannya lebih tertuju pada pemenuhan tuntutan modernisasi yang bersifat materialistis. Muhammadiyah cenderung bersifat pragmatis, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesaat dalam masyarakat modern dan belum sempat mengupas hakekat kemanusiaan. Seolah-olah hidup ini hanya sanggup dibereskan secara teknis formal dan organisatoris (Kuntowijoyo, 1991: 269).
Berdasarkan kritik-kritik dari kalangan intern di atas kita tahu ada unsur plus minus yang inheren dalam hampir setiap tindakan. Dan kita konsisten untuk meminimalkan segi minusnya dengan serangkaian kegiatan yang reformatif. Modal sudah ada. Eksistensi Muhammadiyah sendiri suatu yang luar biasa. Hal ini tentu akan lain bila Muhammadiyah mengambil bentuk organisasi politik. Bukankah partai politik Islam mengalami pasang surut, timbul dan tenggelam.
Muhammadiyah relatif sukses dalam menarik jumlah anggota maupun simpatisan dan menjadi ormas keagaman terbesar kedua. Secara tidak eksklusif Muhammadiyah mendorong lahirnya aneka macam organisasi lain mirip Nahdlatul Ulama (NU) demi menggairahkan modernisasi dalam agama Islam. Selanjutnya warna pembaharuan Islam lebih menonjol ditentukan oleh proses dialektika Muhammadiyah dan NU di pentas sejarah Indonesia.
Pembaharuan Konstektual, Mempertimbangkan Tradisi
Biasanya diterima perkiraan bahwa agama dianggap sebagai unsur yang paling sukar dan paling lambat berubah atau terpengaruh oleh kebudayaan lain, bila dibandingkan dengan unsur-unsur lain seperti: sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, ikatan-ikatan yang ditimbulkan oleh sistem mata pencaharian, sistem teknologi dan peralatan. Tetapi sejarah kehidupan bangsa kita yang panjang tidak sepenuhnya sanggup diubahsuaikan dengan perkiraan tersebut. Berbagai agama tiba dan berkembang secara bergelombang ke Indonesia, mengganti agama yang usang dan menanamkan ajaran-ajaran agama yang gres secara silih berganti, tetapi dalam kenyataannya sistem mata-pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan yang dikatakan sebagai unsur yang paling mudah, ternyata yang paling sedikit mengalami perubahan semenjak pra-Hindu hingga kepada masa sekarang. Pengalaman sejarah itu justru memperlihatkan agama berubah lebih cepat, ia berubah lebih dahulu sebelum yang lain-lain menglami perubahan.
Pandangan Snouck Hurgronje juga bertentangan dengan kenyataan sejarah bangsa kita bahwa tiap-tiap periode sejarah kebudayaan sesuatu bangsa, memaksa kepada orang beragama untuk meninjau kembali isi dari kekayaan aqidah dan agamanya. Pandangan itu secara implisit bermakna bahwa proses peninjauan kembali isi ajaran-ajaran agama oleh para penganutnya sifatnya reaktif sebab adanya perubahan periode kebudayaan di mana agama itu hidup. Ini juga bertentangan dengan pengalaman sejarah kebudayaan pada umumnya yang memperlihatkan bahwa pemahaman gres terhadap pedoman agama justru menumbuhkan periode gres dalam kebudayaan bangsa-bangsa (Wahid, 1999: 72).
Sejarah menerangkan bahwa pemikiran agama sangat kuat bagi perkembangan aspek material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Atau dengan kata lain, ada korelasi yang sangat signifikan antara kemajuan dalam bidang pemikiran (immaterial) dan kemajuan dalam bidang material. Hal tersebut telah menjadi perhatian sosiolog Max Weber (1864-1924) dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam buku tersebut dirumuskan pertanyaan: Why capitalist industrialisation became a society-wide system in Europe and not in the other places?. Jawabannya ialah pemikiran agama mempunyai dampak yang sangat besar bagi diterimanya sistem industri kapitalis. Dia menjelaskan industri modern berkembang di Eropa sesudah tersebarnya dan diterimanya teologi Protestan dari Jean Calvin (1509-1564). Calvin sangat menekankan peranan rasio (akal) dalam pemahaman agama, dan karenanya para pendukungnya bersikap rasional dalam kehidupan di dunia ini. Max Weber berkesimpulan bahwa penganut Calivinisme bekerja keras, menabung uang, dan hidup ekonomis.
Dalam kasus agama Islam, pemikiran agama juga terus-menerus mengalami pembaharuan untuk memberi makna terhadap perubahan dan perkembangan dalam kehidupan di dunia dalam setiap manifestasinya. Akan tetapi pembaharuan Islam di era modern masih belum berhasil secara optimal dan terasa kurang efektif; sebagai konsekuensinya di bidang materi, umat Islam juga masih tertinggal dari peradaban Barat. Memang beberapa negara Islam telah sanggup mengikuti perkembangan teknologi modern, tapi sebab belum didukung oleh pemikiran agama yang bisa menopangnya maka hasilnya masih jauh dari memuaskan. Tony Barnett (1995: vii) benar bahwa:
the main problems in the Third World are not, by and large, the absence of technical specialists - countries such as …Pakistan have these aplenty; …. The main problems are sociological and political problems, the contexts within which apparently ‘technical’ decisions are taken.
Dengan kata lain, kemampuan teknis di dunia Islam belum sanggup memperlihatkan bantuan yang positif bagi kemajuan material secara luas sebab belum ada kondisi yang aman dalam aspek immaterial, mirip pemikiran agama.
M. Amin Abdullah (Abdullah, 2000: 13) menilai akar penolakan tradisi yang berbau TBC didasarkan pada keilmuan klasik yang sangat terpengaruh kebijaksanaan Yunani yang bersifat hitam-putih, sehingga tidak sanggup menjelaskan realitas kehidupan yang ada di lapangan. Konfigurasi dan peta tata tumpuan pikirnya terlalu skematis, sehingga tidak sanggup mempertimbangkan adanya bentuk konfigurasi yang over lapping (posisi jumbuh), yang melibatkan sebagian dari dua sisi sekaligus. Padahal nash-nash al-Qur’an sendiri memungkinkan adanya kategori “middle”, yang perlu dicermati secara lebih serius.
Kuntowijoyo (1995: 86-87) mengkritik TBC masih ditampilkan dalam realitas subyektif, dan belum ditampilkan secara empiris-obyektif, dimana kita berada dalam stuktur sosial yang berbeda. Konsep klasik perihal TBC yang disusun dengan cara pikir deduktif yang menekankan segi rasio perlu dilengkapi dengan cara pikir induktif yang bersifat empiris-historis. Dominasi pemahaman keagamaan yang tekstual normatif cenderung mengabaikan kajian keislaman yang kontekstual hisorik. Inilah yang mengakibatkan pemikiran Muhammadiyah terasa kurang faktual dan irrelevan dengan perubahan sosial yang begitu cepat. Karenanya orang lebih mengenal gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan anti-TBC (Tahayul, Bid’ah dan Churafat), dan bukan gerakan pembaharu sosial-budaya (Mulkhan, 2000: ix).
Pendapat Syafii Maarif (2000: xxviii) bisa dijadikan starting point untuk menjelaskan korelasi agama dengan peradaban. Beliau mengutip Al-Qur’an surat-surat al-Shaf 9, al-Fath 28, dan al-Taubah 33 dan hingga pada kesimpulan jikalau Islam harus unggul dan menang berhadapan dengan agama-agama manapun di muka bumi ini. Menurutnya keunggulan itu tidak saja dalam domain teologis-eskatologis, tetapi juga dalam perlombaan peradaban. Dia menilai Islam yang unggul dalam sistem doktrin tapi kalah dalam perlombaan peradaban sebab ketegangan purifikasi dan dinamisasi belum menemukan satu titik yang stabil.
Agar Islam sanggup unggul dalam kasus peradaban modern maka Islam perlu menangani kasus peradaban, atau dengan kata lain Islam perlu menangani permasalah kehidupan di dunia ini yang bersifat duniawi pula. Dalam konteks kini ini Islam perlu merumuskan secara terang partisipasinya dalam kehidupan modern, disamping tradisi. Dengan begitu Islam tidak bisa lepas dari kasus modernisasi dan globalisasi.
Sedangkan dalam konteks Indonesia, Islam perlu merumuskan budaya Islam dalam konteks Indonesia. Gerakan-gerakan Islam harus dikaitkan dengan gerakan nasional bangsa Indonesia yang lebih luas biar mereka tidak teralienasi dari jaringan koalisi nasional, disamping biar gerakan nasional itu selalu mendapat bimbingan dari agama. Bila terisolasi dari koalisi nasional itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan risikonya akan membuat perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu.
Hendaknya umat Islam membangun budaya yang bisa membangkitkan rasa mempunyai pada Islam dan sekaligus menyebarkan rasa cinta tanah air Indonesia yang mempunyai ciri kebhinekaan, yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain dan kepribadian global (Wahid, 1998: 72). Karena Islam belum berhasil menyebarkan suatu budaya Islam Indonesianis maka selama ini yang dikenal sebagai pendukung gerakan nasional ialah partai-partai nasionalis mirip PNI. Bahkan PKI yang berkeyakinan kemerdekaan sebagai suatu kerikil loncatan saja dianggap lebih nasionalis. Hal ini terjadi sebab gerakan Islam lebih asyik berbicara perihal masyarakat Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW yang sudah berlangsun 14 periode yang kemudian daripada berbicara bagaimana mengisi kemerdekaan.
Islam yang dikaitkan dengan kasus peradaban berarti menempatkan Islam sebagai agama realitas, agama yang berpretensi untuk menangani kasus kemanusiaan pada umumnya; dan di Indonesia, perlu menangani kasus keindonesiaan yang bhineka tunggal ika. Gagasan Islam realitas merupakan konstruksi gres bagi umat Islam dalam menghadapi persoalan-persoalan kontekstual. Di tengah kebingungannya menghadapi realitas ini, Islam realitas seakan membuka tabir gres wajah Islam yang penuh dengan khazanah dan nomenklatur aneka macam aura pemikiran keagamaan yang kemudian dipadukan dengan kondisi kontekstual.
Gagasan itu juga tidak hendak menanggalkan teks-teks keagamaan, atau apalagi memisahkan agama dari realitas mirip gagasan sekularisasi. Tetapi, Islam realitas mempunyai pretensi, bahwa pedoman agama tidak seharusnya dibawa hanya pada kasus simbolitas dan praktik-praktik 'mistifikasi', sehingga pedoman agama tidak mengena pada aspek substansinya.
Perhatian terhadap realitas sosiologis-historis aneka macam komunitas Islam sangat penting, mengingat masing-masing mewakili budaya tersendiri dengan aneka macam bentuk konvensinya, mirip diyakini sejarawan Thomas L. Haskell (1999: 3) bahwa: “…Nietzsche, who had no qualms at all about asserting the priority of convention over reason, just so long as he secured recognition that both were subordinate to the “will to power.” Konvensi sebagai janji dari suatu komunitas harus dipertimbangkan terlebih dulu, sebab hal ini terkait erat dengan konteks sejarah berlangsungnya konvensi tersebut. Baru dilakukan obrolan seiring dengan berlalunya waktu biar dianggap lebih rasional.
Karena rasio bukan satu-satunya patokan bagi segala sesuatu. Sebagaimana dikatakan Ibn Taimiyyah “al-Haqiqatu fii al-a’yan laa fii al-adzhan” (Kebenaran ialah pada realita, bukan pada konsepsi-teoritis pada kebijaksanaan semata) (Abdullah, 2000: 2). Manusia juga punya aspek perasaan, sebagai pemberi makna bagi hidup insan di dunia. Hal tersebut hanya didapatkan pada budaya atau tradisi suatu kelompok. Karena itu tradisi harus diperhitungkan di dalam merumuskan pembaharuan Islam. Hal itu sebab tradisi merupakan realitas sosiologis-historis suatu komunitas, suatu yang sanggup berubah tapi tidak sanggup dihilangkan sama sekali.
Memang harus disadari jikalau tradisi bukanlah satu-satunya faktor yang menghipnotis pembangunan. Sebagaimana dikatakan Tony Barnett (1995) that the development process requires an understanding of the economic, cultural and political ways in which people organize their lives. Ahli sosiologi Lithman (1983), juga berkeyakinan that development and underdevelopment relate not only to all aspects of living of its society but also its relations to boarder social system that are to its neighboring societies, to the city network, to the state system, regional system and the global system.
Namun secara internal, faktor yang paling menghipnotis pembangunan ialah tradisi. Memang kita tidak sanggup mengabaikan faktor lain mirip politik, ekonomi, sosial, sejarah, geografi, dan agama; tetapi semuanya itu secara substansial terkait dengan tradisi sebagai pemberi makna kehidupan, disamping sebagai pemberi identitas kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain. Hal ini berarti perlu diterapkan seni administrasi pembangunan yang berbeda sesuai dengan tradisi yang ada (Ross, 1999: 42).
Memang sulit melihat tradisi sebagai faktor lebih banyak didominasi dalam revolusi (radical development) sebab tradisi itu sendiri multidimensi, namun tradisi ini menjadi kerangka bagi perubahan yang radikal (revolusi). Revolusi ini sebetulnya bersifat multidimensional, namun memanifestasi dalam aspek tertentu mirip politik atau ekonomi sebagai penyebab langsungnya (casus belly).
Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com
0 Response to "Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Dialektika Rasio Dan Tradisi"
Posting Komentar