Perdagangan Internasional Dan Pertanian
Perdagangan Internasional Dan Pertanian
Asal Mula dan Sebab-sebab Perdagangan
Pertukaran dan perdagangan mula-mula terjadi sebagai jawaban pribadi dari sifat alam, yaitu perbedaan dalam macam tanah, iklim, pengairan dan kekayaan/sumber alam lainnya. Daerah-daerah dataran rendah menghasilkan padi, jagung dan kacang-kacangan, sedangkan daerah-daerah dataran tinggi menghasilkan sayur-sayuran, teh, buah-buahan dan sebagainya. Dengan demikian spesialisasi perseorangan kemudian menjurus ke spesialisasi daerah dan di negara kita terjadi spesialisasi di pulau-pulau. Jawa menjadi penghasil padi dan gula yang utama, Sumatera penghasil karet, kelapa sawit dan lada, sedangkan Kalimantan penghasil kayu dan hasil-hasil hutan. Spesialisasi alamiah ini kemudian diperkuat oleh peranan insan yang berupa ketrampilan dan kecakapan, perjuangan pemupukan modal dan upaya-upaya pembangunan lainnya.
Perdagangan merupakan jawaban logis dari adanya spesialisasi antardaerah yang merupakan faktor ekonomi yang sangat penting. Tetapi belakangan ini selain faktor ekonomi, perdagangan digunakan pula untuk mencapai tujuan-tujuan sosial. Sebelum bangsa Belanda tiba di Indonesia maka perdagangan antardaerah di Indonesia sudah maju. Kapal-kapal berlayar dengan membawa aneka macam macam barang antara pulau yang satu dengan pulau lain, bahkan kemudian di luar negeri, ke Tiongkok, Madagaskar dan lain-lain.
Teori Keuntungan Absolut dan Komparatif
Adanya spesialisasi dalam produksi pertanian antardaerah yang satu dengan daerah yang lain menimbulkan perdagangan sanggup diterangkan secara sederhana dengan teori laba otoriter (law of absolute advantage).
Prinsip aturan laba otoriter adalah: Suatu negara akan berspesialisasi dalam produksi barang di mana negara tersebut mempunyai absolute advantage.
Dalam pola ini daerah A maupun daerah B masing-masing bisa memproduksi padi dan kelapa. Jika daerah A memproduksi padi maka akan memperoleh 50 unit sedangkan jikalau memproduksi kelapa hanya memperoleh 25 unit. Ini berarti biaya yang berupa opportunity cost bagi daerah A untuk memproduksi 1 unit ialah ½ unit kelapa atau opportunity cost untuk memproduksi 1 unit kelapa ialah 2 unit padi. Dengan kata lain produksi kelapa lebih mahal daripada daerah A. Sebaliknya bagi daerah B produksi padi lebih mahal lantaran opportunity cost-nya ialah 2 unit kelapa untuk tiap unit padi dan opportunity cost untuk memproduksi 1 unit kelapa hanya ½ unit padi. Berarti laba otoriter padi ialah di daerah A dan laba otoriter kelapa di daerah B. Dalam keadaan ini masing-masing daerah A dan B beruntung bila mengadakan pertukaran hasil-hasil produksi.
Keuntungan dari spesialisasi ini gampang dilihat dengan menjumlahkan semua hasil produksi daerah A dan daerah B untuk padi dan kelapa. Tanpa spesialisasi baik daerah A maupun daerah B mereka akan memproduksi 75 unit padi dan kelapa, sedangkan dengan spesialisasi daerah A akan memproduksi 50 unit padi dan daerah B 50 unit kelapa, berarti memperoleh hasil produksi pemanis 25 unit padi dan kelapa.
Seringkali ada keadaan dimana laba otoriter berada di satu daerah, maka ini tidak berarti tidak ada perdagangan lagi lantaran yang penting bukan laba otoriter tetapi laba komparatif atau laba relatifnya.
Dalam pola ini terang daerah B ialah daerah yang miskin. Baik dalam gula maupun tembakau produktivitasnya lebih rendah daripada daerah A. Makara gula produktivitasnya setengah daripada daerah A (20:40), sedangkan tembakau produktivitasnya hanya sepertiga (10:30). Dalam keadaan ini daerah A mengadakan spesialisasi dalam produksi tembakau dimana terdapat laba komparatif, sedangkan daerah B pada produksi gula dimana terletak kerugian komparatif yang terkecil. Makara dalam prinsip laba (dan kerugian) komparatif ini yang penting ialah ratio (perbandingan) produktivitas, bukan produktivitas absolut.
Faktor-faktor yang mendorong spesialisasi bagi suatu daerah antara lain:
1. tidak adanya sumber-sumber alam yang berarti
2. laba komparatif yang tinggi dalam satu produk, baik dalam persediaan materi baku maupun dalam permodalan dan keterampilan manusia
3. hubungan transpor dan komunikasi yang cukup baik dengan daerah-daerah lain sehingga keburukan-keburukan spesialisasi tidak perlu timbul
4. industri pertanian yang bersangkutan memungkinkan pembagian kerja yang baik dengan daerah-daerah sekitarnya, sehingga membawa laba secara nasional.
Sebaliknya ada faktor-faktor lain yang membenarkan kecenderungan ke arah diversifikasi, antara lain:
1. prospek jangka panjang yang kurang menentu dari satu hasil utama
2. tersedianya sumber-sumber alam lain yang mempunyai prospek yang baik dan usul yang lebih elastis
3. biaya transpor yang tinggi dalam ekspor-impor antardaerah
Pertanian Indonesia di abad globalisasi
Pertanian Indonesia dalam Industrialisasi dan Perdagangan Bebas
Arus utama pembangunan menawarkan adanya transformasi struktur perekonomian dari pertanian ke industri. Hal ini sanggup dibuktikan oleh indikator ekonomi yang menawarkan menurunnya pangsa pertanian serta meningkatnya pangsa industri dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Pangsa relatif sektor pertanian dalam PDB yang pada tahun 1967 sekitar 67 persen menurun menjadi hanya 17,2 persen pada tahun 1995. Sementara untuk kurun waktu yang sama pangsa industri meningkat dari 5 persen menjadi 24,3 persen. Inilah yang seringkali disebut-sebut sebagai keberhasilan transformasi. Namun demikian, pangsa tenaga kerja sektor pertanian belum menurun secara berarti, bahkan hingga dengan tahun 1995 masih sebesar 48 persen dari total tenaga kerja. Relatif cepatnya penurunan pangsa pertanian terhadap PDB dibandingkan dengan penurunannya terhadap total tenaga kerja, sanggup menawarkan semakin besarnya tenaga kerja yang terperangkap di bidang pertanian sehingga semakin tidak produktif dan tidak efisien. Dari data tersebut bisa terlihat semakin menurunnya pendapatan perkapita tenaga kerja sektor pertanian.
Proses industrialisasi yang cukup gencar, cepat, dan berhasil tersebut ternyata belum mengkait ke belakang (backward linkage), yakni ke sektor pertanian. Inilah yang menimbulkan tertinggalnya sektor pertanian dari industri. Tidak saja dalam struktur PDB, tetapi juga dalam struktur masyarakat dimana hingga ketika ini masyarakat pertanian (baca: petani) tak kunjung sejahtera dibandingkan masyarakat yang bergerak di bidang industri. Nilai tukar petani yang belum juga membaik, produktivitas dan efisiensi yang rendah, serta perilaku mental dan budaya yang masih tradisional membawa mereka pada ketertinggalan.
Fenomena transformasi di atas menjadi tantangan tersendiri bagi pertanian. Apalagi bila dikaitkan dengan situasi internasional yang mengarah pada perdagangan bebas, semakin memperbanyak jumlah pertanyaan perihal prospek pembangunan pertanian Indonesia. Tantangan selanjutnya ialah perdagangan bebas. Sejak terinstitusionalisasinya perdagangan bebas melalui WTO serta kesepakatan-kesepakatan perdagangan kawasan, ibarat APEC, AFTA, NAFTA, serta Uni Eropa, dunia akan semakin mengalami perubahan. Tahun 2003 bagi AFTA dan 2010 serta 2020 bagi APEC sudah menjadi momentum yang sulit terelakkan bagi Indonesia. Ini juga sebagai konsekuensi dari upaya Indonesia mengubah haluan dalam taktik ekspornya pada tahun 1980-an, dimana sebelumnya pada tahun 1970-an ekonomi Indonesia lebih bercorak inward looking dengan mengandalkan subtitusi impor menjadi outward looking.
Sikap optimistik Indonesia terhadap perubahan dunia tersebut yang setidaknya diwakili pemerintah dan elit perkotaan, masih dihadapkan pada realitas yang amat kompleks. Misalnya, perihal dampak perdagangan bebas bagi mereka yang berkompetisi di sentra metropolis dunia serta bagi mereka yang ketika ini masih termarjinalisasi oleh arus pembangunan yang lebih banyak didominasi masih bergerak di sektor pertanian. Kemungkinan ketidakseragaman respon dari aneka macam struktur masyarakat terhadap perdagangan bebas pada gilirannya nanti akan membawa sejumlah pertanyaan baru: mungkinkah keadilan dan kemakmuran yang merata bisa terwujud, ataukah justru sebaliknya?
Respon pertanian Indonesia yang masih didominasi petani tradisional terhadap perdagangan bebas semakin penting dipahami. Adanya perdagangan bebas tersebut akan memperluas arus perdagangan internasional yang lebih terbuka, transparan, dan kompetitif. Bagi Indonesia, kenyataan ini akan menjadi peluang (opportunity) bila Indonesia telah siap bersaing, tetapi juga sanggup menjadi bahaya (threat) bila tidak siap. Kesiapan bersaing ini ditentukan oleh tingkat produktivitas dan efisiensi yang diakselerasi oleh penguasaan teknologi, perilaku mental modern, serta pemahaman yang dalam perihal standar mutu internasional dan politik pemasaran yang handal.
Kesiapan bersaing sanggup ditunjang dengan dipenuhinya standar internasional dalam mutu. Jaminan mutu (quality assurance) suatu produk khususnya dalam kesehatan dan lingkungan serta persaingan harga akan menjadi kecenderungan pasar. Apa yang dikenal dengan SPS (sanitary and phytosanitary measures) dan TBT (technical barrier to trade) terhadap suatu produk telah disepakati dan selaras dengan aturan-aturan perdagangan internasional.
Tantangan-tantangan di atas sanggup menjadi aktivitas penting untuk pembangunan sektor pertanian. Oleh lantaran itu menarik untuk dikaji: bagaimana posisii pertanian Indonesia di tengah industrialisasi dan perdagangan bebas, serta bagaimana landasan teoritik untuk implikasi kebijakan yang harus dirumuskan dalam menemukan model pembangunan pertanian masa depan tersebut? Untuk itu fenomena tersebut harus dilakukan akan dianalisis secara teoritik dan empirik.
Industrialisasi dan perdagangan bebas
Industrialisasi Negara Berkembang dan Perdagangan Bebas Dalam Teori
Dalam teori-teori pembangunan, industrialisasi di negara-negara berkembang mempunyai latar belakang yang berbeda dengan negara maju. Gagasan industrialisasi di negara berkembang tersebut sanggup ditelusuri dari teori perihal pembagian kerja secara internasional dimana teori ini pula yang mendasari pentingnya perdagangan bebas yang merupakan produk aliran para ekonom klasik, sehingga bergotong-royong antara industrialisasi dan perdagangan bebas merupakan dua hal yang sangat terkait secara teoritis. Dalam teori ini dinyatakan perihal pentingnya spesialisasi produksi setiap negara berdasarkan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Negara-negara berkembang yang mempunyai tanah subur sebaiknya melaksanakan spesialisasi dalam produksi pertanian. Sementara itu negara-negara di daerah Utara yang iklimnya tidak cocok untuk pertanian sebaiknya melaksanakan kegiatan produksi di industri. Bila kedua kelompok negara tersebut mengabaikan prinsip keunggulan komparatif tersebut, maka yang terjadi ialah inefisiensi produksi.
Dengan spesialisasi ini akan terjadi perdagangan internasional yang saling menguntungkan kedua kelompok negara tersebut. Negara-negara pertanian sanggup membeli barang-barang industri dengan harga lebih murah. Begitu pula negara-negara industri membeli hasil-hasil pertaniannya secara lebih murah juga dibandingkan bila memproduksi sendiri. Teori ini pula yang juga sanggup menjadi landasan bagi pentingnya perdagangan bebas. Setidaknya, Todaro dalam Arif Budiman (1995) menegaskan pentingnya setiap negara untuk melebur dalam perdagangan internasional atas prinsip keunggulan komparatif, lantaran intinya setiap negara ialah saling tergantung, dan akan lebih menguntungkan bila negara-negara saling mengisi kelemahan yang ada.
Namun demikian dalam perkembangannya hubungan saling ketergantungan tersebut membawa hasil yang berbeda. Negara industri semakin maju, sedangkan negara berkembang semakin tertinggal. Dalam perdagangan internasional, negara maju lebih beruntung dari pada negara berkembang.
Fenomena laba yang bias ke negara industri disoroti oleh Raul Prebisch yang tertuang dalam karyanya: The Economic Development of Latin America and Its Principal Problems pada tahun 1950. Ketidakseimbangan perdagangan internasional antara negara maju dan negara berkembang, berdasarkan Prebisch, lebih disebabkan oleh adanya penurunan nilai tukar komoditi pertanian terhadap barang-barang industri. Barang-barang industri lebih mahal dari barang pertanian, sehingga mengakibatkan defisit neraca perdagangan negara-negara berkembang yang mengandalkan pertanian.
Dalam teori ekonomi sering dinyatakan bahwa komoditi pertanian bersifat inelastis, khususnya bila dilihat dari kecenderungan adanya penurunan konsumsi materi makanan lantaran meningkatnya pendapatan. Sebaliknya, meningkatnya pendapatan justru akan meningkatkan konsumsi terhadap barang-barang industri. Akibatnya, anggaran negara pertanian yang digunakan untuk mengimpor barang-barang industri dari negara-negara industri akan semakin meningkat, sedangkan pendapatan dari hasil ekspornya relatif tetap atau bahkan menurun. Inilah yang menimbulkan defisit neraca perdagangan.
Adanya perlindungan negara industri atas hasil pertaniannya semakin mempersulit negara berkembang untuk mengekspor hasil pertaniannya. Kesulitan tersebut hingga ketika ini masih terus berlangsung. Terakhir, negara industri semakin bisa menemukan teknologi gres pembuat barang-barang sintetik sehingga memperkecil impor materi mentah pertanian dari negara berkembang. Selain itu, meningkatnya kekuatan politik kaum buruh di negara industri juga kuat pada meningkatnya upah. Ini berimplikasi pada meningkatnya biaya produksi sehingga mengakibatkan harga jual meningkat pula. Sementara harga barang hasil pertanian relatif tetap. Akibatnya, nilai uang yang diperoleh negara industri dari hasil ekspornya akan meningkat.
Kenyataan itulah yang menciptakan Raul Prebisch salah seorang peletak dasar teori ketergantungan mengeluarkan gagasan pentingnya negara-negara berkembang untuk melaksanakan industrialisasi sebagaimana negara maju. Upaya perintisan Industrialisasi ini dilakukan dengan model industri subtitusi impor (ISI) sebagai "industri bayi" (infant industry). Diharapkan industri ini sanggup memproduksi barang-barang yang semula diimpor. Sebagai langkah awal, untuk mengamankan eksistensi industri bayi dari industri besar di negara maju diharapkan campur tangan pemerintah melalui perlindungan hingga dengan mendewasanya industri bayi tersebut.
Pemikiran Prebisch perihal ISI "selaras" dengan industrialisasi di negara-negara ASEAN yang rata-rata dilakukan mulai tahun 1960-an. Akan tetapi ternyata alasan utama industrialisasi ala Prebisch belum terbukti secara empirik, setidaknya untuk negara-negara ASEAN. Dalam pandangan Arif dan Hill (1988) terdapat 2 (dua) alasan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mempercepat proses industrialisasinya. Pertama, ialah pandangan umum bahwa prospek pasar internasional di masa depan bagi produk primer ialah sangat suram sebagaimana aliran Prebisch. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh pengalaman pada tahun 1950-an dimana terjadi kemerosotan harga-harga produk pertanian sesudah mengalami booming pada Perang Korea 1950-1951.
Namun demikian alasan ini tidaklah cukup empirik untuk menunjukan merosotnya nilai tukar produk pertanian (term of trade) sebagai faktor utama adanya industrialisasi dalam kerangka menepis ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju. Hal ini lantaran diangap kemerosotan tersebut hanyalah potongan dari dinamika perdagangan saja, oleh lantaran itu industrialisasi lebih didorong oleh impian untuk penganekaragaman struktur ekspor, dimana komoditi pertanian tetap dipertahankan ibarat kini ini .
Kedua, adanya pandangan bahwa negara-negara maju yang pendapatannya tinggi mempunyai sektor industri yang sangat besar. Jadi, industrialisasi dipandang sebagai jalan ke arah perkembangan ekonomi yang lebih maju. Jika diamati, pandangan ibarat ini merupakan potongan dari paradigma modernisasi yang mengarahkan model pembangunan Barat sebagai "kiblat" bagi negara berkembang. Pandangan kedua ini lebih empirik bila dilihat setting politik ekonomi internasional waktu itu, dimana negara Barat pasca Marshall Plan ulet memasarkan gagasan modernisasi negara kalah perang serta negara berkembang sebagai upaya pemulihan jawaban Perang Dunia II sekaligus untuk menangkal komunisme di negara-negara berkembang tersebut.
Dalam perkembangannya, setiap negara ASEAN berbeda-beda dalam menerapkan ISI, setidaknya ditunjukkan dari aspek waktu. Filipina tergolong paling usang dalam mempertahankan model ISI yang dimulai pada tahun 1940-an. Sebaliknya Singapura ialah negara tercepat dalam mengganti model ISI, lantaran cepat pula menyadari kelemahan model ISI tersebut.
ISI memang umumnya menghasilkan pertumbuhan industri yang sangat cepat, namun tidak sanggup menjadi landasan bagi babak industrialisasi yang berkesinambungan. Arif dan Hill (1988) mengatakan: Setelah "tahap yang mudah" proses industrialisasi tersebut diselesaikan, yaitu ketika keluaran (out put) barang manufaktur tumbuh dengan batas-batas pasar dalam negeri yang kecil dan diproteksi, maka kurun waktu kejenuhan pasar akan cepat tercapai”.
Dengan demikian , tidak akan ada "perembesan" (spill over) otomatis ke pasar ekspor sebagaimana sebelumnya diperkirakan oleh para pembuat kebijakan. Untuk memudahkan, pemeliharaan pertumbuhan industri yang cepat dan berkesinambungan di Malaysia, Filipina dan Muangthai sekitar tahun 1970-an dan di Indonesia sekitar tahun 1980 memerlukan perjuangan promosi ekspor yang sungguh-sungguh maupun putaran kedua substitusi impor dalam kegiatan-kegiatan yang lebih padat modal dan padat ketrampilan.
Bagi Indonesia taktik promosi ekspor yang dimulai tahun 1980-an lebih banyak dilatarbelakangi adanya kemorosotan harga minyak yang semula menjadi andalan utama ekspor. Kelangsungan ISI yang usang tersebut merupakan kajian ekonomi politik, dimana diduga terkait dengan kuatnya hubungan birokrasi (pemberi kemudahan proteksi) dengan swasta sebagai peserta kemudahan sekaligus pemberi rente, sehingga memunculkan kongkalikong dan korupsi yang masih menggejala hingga sekarang. Lambatnya kesadaran untuk mengganti taktik industrialisasi tersebut, terang mempengaruhi kinerja industrialisasi remaja ini yang bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainya, khususnya Malaysia, Singapura, dan Thailand, posisi Indonesia masih relatif berada di bawah mereka.
Dampak industrialisasi terhadap perkembangan ekonomi tampak semakin signifikan, namun inipun tidak terlepas dari masalah-masalah yang bersifat struktural. Misalnya, ketergantungan teknologi (technological dependency) negara berkembang terhadap negara maju yang akan mempersulit negara berkembang mengejar ketertinggalan, sebagaimana sering disuarakan Dos Santos penganut teori ketergantungan. Begitu pula dalam santunan modal absurd yang sanggup mengganggu proses kemandirian negara berkembang. Yang terakhir ini santunan modal belum terbukti mengganggu kemandirian, setidaknya bila diperhatikan keberanian Indonesia untuk membubarkan IGGI.
Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com
0 Response to "Perdagangan Internasional Dan Pertanian"
Posting Komentar