-->

iklan banner

Pemberdayaan Tugas Audit Internal Dalam Mewujudkan Good Governance Pada Sektor Publik

Pemberdayaan Peran Audit Internal Dalam Mewujudkan Good Governance Pada Sektor Publik : Semakin meningkatnya tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, adil, transparan, dan akuntabel harus disikapi dengan serius dan sistematis. Segenap jajaran penyelenggara negara, baik dalam tataran eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus mempunyai akad bersama untuk menegakkan good governance dan clean government. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah sentra dan tempat telah mencanangkan target untuk meningkatkan pelayanan birokrasi kepada masyarakat dengan arah kebijakan penciptaan tata pemerintahan yang higienis dan berwibawa (good governance). 

Beberapa hal yang terkait dengan kebijakan untuk mewujudkan good governance pada sektor publik antara lain meliputi penetapan standar moral dan sikap aparatur pemerintah, penetapan struktur organisasi dan proses pengorganisasian yang secara terang mengatur perihal kiprah dan tanggung jawab serta akuntabilitas organisasi kepada publik, pengaturan sistem pengendalian organisasi yang memadai, dan pelaporan eksternal yang disusun menurut sistem akuntansi yang sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Selanjutnya, berkaitan dengan pengaturan sistem pengendalian organisasi yang memadai, hal ini menyangkut permasalahan perihal administrasi risiko, audit internal, pengendalian internal, penganggaran, administrasi keuangan dan pembinaan untuk staf keuangan. Secara umum, permasalahan-permasalahan tersebut telah diakomodasi dalam paket undang-undang di bidang pengelolaan keuangan negara yang baru-baru ini telah diterbitkan oleh pemerintah. 

Paket peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara yang meliputi UU Nomor 17 Tahun 2003 perihal Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 perihal Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 perihal Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara beserta peraturan-peraturan pendukungnya menggambarkan keseriusan jajaran pemerintah dan dewan perwakilan rakyat untuk memperbaiki pengelolaan, pencatatan, pertanggungjawaban, dan investigasi atas pengelolaan keuangan pemerintah baik di tingkat sentra maupun daerah. Salah satu pertimbangan yang menjadi dasar penerbitan peraturan perundang-undangan tersebut ialah bahwa keuangan negara wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan sebagai salah satu prasyarat untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan negara. 

Berkaitan dengan investigasi atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, dalam pasal 9 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2004 disebutkan bahwa: “Dalam menyelenggarakan investigasi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK sanggup memanfaatkan hasil investigasi pegawapemerintah pengawasan intern pemerintah.” Seperti telah disebutkan di atas, kiprah dan fungsi audit internal termasuk unsur yang penting dalam sistem pengendalian organisasi yang memadai. Untuk sanggup mendukung efektivitas pelaksanaan audit oleh auditor eksternal sesuai amanat pasal 9 ayat (1) tersebut di atas maka kiprah dan fungsi audit internal perlu diperjelas dan dipertegas. Tulisan ini berisikan analisis mengenai banyak sekali alternatif berkaitan dengan pemberdayaan kiprah dan fungsi audit internal serta formulasi sinerji fungsi pengawasan di antara banyak sekali institusi audit internal dalam kerangka mewujudkan good governance yang merupakan idaman dan impian seluruh masyarakat Indonesia. 

1. Prinsip-Prinsip Good Governance pada Sektor Publik
Berdasarkan hasil penelitian Bank Dunia (1999), disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara praktik kepemerintahan yang baik dengan hasil-hasil pembangunan yang lebih baik, diantaranya menyangkut pendapatan per kapita yang meningkat, berkurangnya tingkat maut bayi, dan kemampuan membaca dan menulis masyarakat yang lebih baik. Di samping itu, praktik kepemerintahan yang baik juga sanggup meningkatkan iklim keterbukaan, integritas, dan akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor publik. 

Baca Juga

Secara lebih rinci, ketiga prinsip dasar good governance sanggup diuraikan sebagai berikut:
Pertama, keterbukaan memang sangat dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa stakeholders mempunyai keyakinan dalam proses pengambilan keputusan dan tindakan terhadap institusi pemerintah dan terhadap pengelolaan kegiatan oleh instansi pemerintah tersebut. Iklim keterbukaan yang diciptakan melalui proses komunikasi yang jelas, akurat, dan efektif dengan pihak stakeholders sanggup membantu proses pelaksanaan suatu kegiatan secara sempurna waktu dan efektif.

Kedua, integritas meliputi dua hal pokok yaitu kejujuran dan kelengkapan informasi yang disampaikan kepada masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya, dana, dan urusan publik. Dalam organisasi, integritas ini tercermin pada mekanisme pengambilan keputusan dan kualitas pelaporan keuangan dan kinerja yang dihasilkan dalam suatu periode tertentu.

Ketiga, akuntabilitas yang merupakan bentuk pertanggungjawaban setiap individu maupun secara organisatoris pada institusi publik kepada pihak-pihak luar yang berkepentingan atas pengelolaan sumber daya, dana, dan seluruh unsur kinerja yang diamanatkan kepada mereka. 

Secara umum, ketiga prinsip good governance tersebut di atas tercermin secara terang dalam proses penganggaran, pelaporan keuangan, dan investigasi atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana tercantum dalam ketiga paket perundang-undangan di bidang keuangan negara tersebut.

2. Kewajiban Pelaporan Keuangan dan Pelaksanaan Audit Berdasarkan Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara
Pencatatan dan pelaporan transaksi keuangan merupakan salah satu bentuk akuntabilitas penyelenggara pemerintahan kepada rakyat melalui perwakilannya di forum legislatif. Dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 telah secara tegas dinyatakan bahwa pengelola keuangan pemerintah baik di tingkat sentra maupun tempat diwajibkan untuk menyelenggarakan sistem akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya. Sistem akuntansi tersebut dipakai sebagai sarana penyusunan laporan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah menurut standar akuntansi pemerintahan yang berlaku. Laporan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah sekurang-kurangnya meliputi Laporan Realisasi APBN/APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara/daerah dan tubuh lainnya. Selanjutnya, selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah berakhirnya tahun anggaran, Presiden selaku kepala pemerintahan di sentra dan Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan di tempat memberikan laporan keuangan pemerintah pusat/daerah kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Badan Pemeriksa Keuangan selaku auditor eksternal pemerintah melaksanakan audit atas laporan keuangan pemerintah pusat/daerah tersebut menurut standar investigasi yang berlaku. Jangka waktu pelaksanaan audit atas laporan keuangan pemerintah pusat/daerah oleh BPK ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 harus diselesaikan paling usang dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan. Alasannya, Presiden dan Gubernur/Bupati/Walikota sudah harus memberikan rancangan undang-undang perihal pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sesudah tahun anggaran berakhir. Padahal, penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat/daerah, meskipun telah memakai sistem akuntansi keuangan yang terkomputerisasi, pada umumnya masih memerlukan waktu yang cukup usang sehingga gres diselesaikan dan disampaikan kepada BPK sekitar 3 (tiga) bulan sesudah tahun anggaran berakhir sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk sanggup memenuhi jadwal yang sangat ketat sesuai amanat undang-undang tersebut, yaitu melaksanakan audit atas laporan keuangan pemerintah sentra dan tempat simpel dalam waktu paling usang 3 (tiga) bulan tentu saja dibutuhkan pemanfaatan sumber daya dan dana yang tersedia pada forum auditor eksternal secara arif, efektif, dan efisien. Yang menarik untuk didiskusikan di sini ialah apakah BPK selaku auditor eksternal pemerintah sanggup untuk melaksanakan pekerjaan yang maha berat itu dalam waktu yang relatif sangat terbatas? Bagaimana kualitas hasil auditnya nanti dengan hambatan menyerupai itu? Bagaimana pengaruhnya kepada pihak dewan perwakilan rakyat dan masyarakat luas nantinya dalam pengambilan keputusannya jikalau hingga terjadi pelaksanaan audit yang tidak sesuai dengan standar audit sehingga laporan hasil audit malah menyesatkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan terhadap pertanggungjawaban pemerintah tersebut? 

Meskipun sudah ada kewajiban APIP untuk melaksanakan reviu atas laporan keuangan sebelum disampaikan kepada BPK untuk diaudit, tetapi hingga ketika ini, pelaksanaan reviu tersebut ternyata masih belum sepenuhnya sanggup meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah. Hal ini terbukti dari masih banyaknya laporan keuangan pemerintah baik di tingkat kementerian maupun di tingkat tempat yang masih mendapat opini disclaimer dari BPK. Menurut hemat penulis, hal ini merupakan dilema serius yang harus segera dicari alternatif jalan keluarnya sehingga tidak hingga menimbulkan kerugian pada pihak-pihak tertentu yang terkait dengan permasalahan ini. Terdapat dua hal pokok yang penulis uraikan pada bab berikut sebagai wacana untuk meminimalisasi permasalahan yang kemungkinan terjadi dalam audit atas laporan keuangan pemerintah oleh BPK, yaitu pemberdayaan kiprah dan fungsi audit internal dan sinerji pengawasan di antara sesama Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). 

3. Pemberdayaan Peran dan Fungsi APIP
Dalam klarifikasi UU Nomor 15 Tahun 2004 antara lain dinyatakan bahwa untuk mewujudkan perencanaan yang komprehensif, BPK sanggup memanfaatkan hasil pekerjaan pegawapemerintah pengawasan intern pemerintah. Dengan demikian, luas investigasi yang akan dilakukan sanggup diubahsuaikan dan difokuskan pada bidang-bidang yang secara potensial berdampak pada kewajaran laporan keuangan serta tingkat efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan negara. Sebagai konsekuensinya, APIP diwajibkan untuk memberikan laporan hasil pemeriksaannya kepada BPK. Untuk sanggup menghasilkan laporan hasil audit yang dibutuhkan oleh BPK, tentunya dibutuhkan kejelasan wewenang, kiprah dan ruang lingkup pekerjaan yang dilaksanakan oleh APIP. Apabila hal ini diabaikan maka besar kemungkinan akan terdapat hasil pekerjaan APIP yang tidak sanggup dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung perencanaan dan pelaksanaan audit oleh BPK.

Penulis mengakui secara jujur bahwa selama ini tugas-tugas yang dilaksanakan oleh APIP tidak hanya terbatas pada investigasi saja, tetapi juga banyak melaksanakan fungsi pelayanan dan konsultansi dalam rangka peningkatan kinerja instansi pemerintah sesuai dengan tuntutan paradigma auditor internal yang dikehendaki pada ketika ini. Hanya saja, masih sering terdengar bunyi sumbang yang mengecilkan kiprah dan arti penting APIP dalam membantu terwujudnya good governace pada sektor publik. Untuk merespon wacana yang berkembang di masyarakat tersebut, sudah datang saatnya bagi Pemerintah Pusat dan Daerah untuk secara terang memformulasikan ruang lingkup pekerjaan, peranan, dan kewenangan audit internal pemerintah. 

Berkenaan dengan kiprah dan fungsi yang harus dilaksanakan oleh auditor internal dalam rangka mewujudkan good governance pada sektor publik, The International Federation of Accountants (IFAC) pada tahun 2001 dalam Study 13 perihal Governance in the Public Sector: A Governing Body Perspective merumuskan bahwa fungsi audit internal yang efektif meliputi reviu yang dilaksanakan secara sistematis, penilaian dan pelaporan atas kehandalan dan efektivitas penerapan sistem manajemen, keuangan, pengendalian operasional dan penganggaran, yang setidak-tidaknya meliputi banyak sekali acara reviu sebagai berikut:
  • Tingkat relevansi atas kebijakan yang ditetapkan, perencanaan dan prosedur, tingkat kesesuaian antara praktik dengan kebijakan, rencana, dan mekanisme yang telah ditetapkan, termasuk implikasinya terhadap aspek keuangan negara. 
  • Kehandalan dan keakuratan atas peraturan yang dibentuk sebagai pembagian terstruktur mengenai dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. 
  • Ketepatan mengenai penyusunan struktur organisasi, pengembangan sumber daya insan (personil), dan supervisi. 
  • Reviu terhadap pelaksanaan acara dan kegiatan menurut planning yang telah ditetapkan dan manfaat atas acara dan kegiatan apakah telah selaras dengan tujuan diadakannya acara dan kegiatan tersebut. 
  • Evaluasi terhadap pertanggungjawaban dan pengamanan atas penggunaan aset dan sumber daya lainnya dari penyalahgunaan wewenang, pemborosan, kelalaian, salah urus, dan lain-lainnya. 
  • Reviu terhadap ketepatan, keakuratan, dan kejujuran atas proses pengolahan dan pelaporan informasi keuangan dan manajemen. 
  • Penilaian terhadap tingkat keekonomisan dan efisiensi penggunaan sumber daya. 
  • Penilaian terhadap integritas sistem yang terkomputerisasi berikut pengembangan sistemnya, dan 
  • Evaluasi terhadap tindak lanjut yang telah dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada periode sebelumnya. 
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa ruang lingkup pekerjaan audit internal sangat luas dan komprehensif biar sanggup menjamin pencapaian tujuan organisasi. Penulis yakin, apabila institusi audit internal di Indonesia yang tergabung dalam wadah APIP diberikan kewenangan, peran, dan fungsi yang terang dan luas menyerupai tersebut di atas maka hasil pekerjaan APIP akan sangat bermanfaat tidak hanya bagi pemerintah saja, tetapi juga bermanfaat bagi pihak legislatif, eksternal auditor, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Akan tetapi, untuk menjamin kualitas hasil pekerjaan APIP yang melibatkan sekian banyak sumber daya insan dengan banyak sekali jenis latar belakang pendidikan dan pengalaman, dibutuhkan suatu acara pendidikan dan pembinaan yang profesional dan berkelanjutan. Di samping itu, untuk meningkatkan koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian kegiatan di antara jajaran APIP, dibutuhkan adanya pengembangan sinergi pengawasan APIP.

4. Pengembangan Sinerji Pengawasan APIP
Pengembangan sinergi pengawasan sesama APIP sanggup dilakukan dengan cara mutual adjustment melalui koordinasi yang baik, direct supervision melalui proses peer review, serta standardisasi input, proses kerja maupun output. Selanjutnya, upaya pengembangan sinergi pengawasan APIP sanggup dilakukan dengan cara sebagai berikut :

Penajaman kiprah jajaran APIP dalam struktur pengawasan intern secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) yang bertanggung jawab di bidang koordinasi pengawasan sanggup memainkan kiprah sebagai strategic apex, yaitu menyinergikan gerak dan langkah pengawasan intern dalam rangka mendorong peningkatan kinerja organisasi pemerintahan dan membangun good governance. Dalam konteks penajaman kiprah ini pun, perlu pula dikukuhkan APIP yang secara teknis berfungsi sebagai technostructure dan middle line. 

Revitalisasi penerapan Standar Audit dan Kode Etik pada jajaran APIP.
Dengan karakteristik yang relatif spesifik mengingat basis disiplin keilmuan dan profesinya, fungsi pengawasan intern perlu merevitalisasi penerapan standar audit dan arahan etik dalam pelaksanaan kiprah pengawasan. Dengan penerapan standar audit dan arahan etik secara sungguh-sungguh dan konsisten, maka pola sikap pegawapemerintah pengawasan sanggup terprediksi dan terkendali. Hal ini berarti bahwa secara tidak eksklusif akan terwujud standardisasi keahlian, keterampilan dan pengetahuan sumber daya insan pengawasan, standardisasi proses kerja pelaksanaan audit, serta standardisasi hasil kerja audit pada tataran mikro yang pada jadinya akan besar lengan berkuasa pada tataran makro. 

Pengembangan hukum main dan acara kerja.
Aturan main pelaksanaan kiprah pengawasan dan acara kerja APIP yang dituangkan dalam peraturan perundangan perlu disusun dan ditetapkan. Selain sebagai pola kalangan APIP, hal ini juga dibutuhkan bagi pihak auditan. 

Pengembangan mekanisme kerja dan santunan teknologi informasi dan komunikasi.
Prosedur kerja baku perlu dikembangkan untuk menginternalisasikan proses sinergi pengawasan, baik pada tahapan perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, serta pemantauan dan penilaian tindak lanjut.

Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com

Related Posts

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pemberdayaan Tugas Audit Internal Dalam Mewujudkan Good Governance Pada Sektor Publik"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel