Hukum Perikatan
Istilah Perikatan
Berbagai kepustakaan aturan indonesia menggunakan bermacam macam istilah untuk menterjemahkan “Verbintenis” dan “Overeenkomst”
Dalam menggunakan istilah harus diketahui untuk apa dan bagaimana isi atau makna dari istilah tersebut. Kaprikornus kalau kita berhadapan dengan istilah “Verbintenis” ” dan “Overeenkomst”, kita harus menjawab pengertian yang tersimpul dalam istilah tersebut. Untuk perlu kiranya, menelaah dengan secama makna dari “Verbintenis” dan “Overeenkomst”
“Verbintenis” berasal dari kata Verbinden yang artinya mengikat. Jadi, “Verbintenis” menunjuk kepada adanya “ikatan” atau “hubungan”. Hal ini memang sesuai dengan defenisi Verbintenis sebagai suatu kekerabatan hukum.
“Overeenkomst” berasal dari kata kerja “Overeenkomen” yang artinya “setuju atau sepakat”. Kaprikornus Overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan azas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh lantaran itu, istilah terjemahannya pun harus sanggup mencerminkan azas kata kata sepakat tersebut. Berlandaskan alasan tersebut penulis lebih menyetujui penggunaan istilah Persetujuan.
Pengertian Perikatan
Menurut sejarah “Verbintenis” berasal dari perkataan Perancis “obligation” yang terdapat dalam code civil Perancis, yang selanjutnya merupakan pula terjemahan dari perkataan “obligation” yang terdapat dalam aturan Romawi Corpus Iuris Civilis, dimana penjelasannya terdapat dalam Institutiones Justianus.
“Obligatio es iuris cinculum qou necessitate adstreingimur alicuius solvendae rei secundum nostrae civitas iuara”
Defenisi ini mengandung beberapa kekurangan antara lain tidak menyebutkan wacana hak daripada kreditur atas sesuatu prestasi, bahkan hanya menonjolkan aspek pasif daripada perikatan atau kewajiban debitur untuk melaksanakan prestasi.
Dalam perkembangannya pengertian perikatan tersebut telah mengalami perubahan dan sanggup dilihat dari definisi Hofiman*: Perikatan yaitu suatu kekerabatan aturan antara sejumlah terbatas subyek-subyek aturan sehubungan dengan itu seorang mengikatkan dirinya untuk bersikap berdasarkan cara cara tertentu terhadap pihak lain, yang berhak atas perilaku yang demikian itu dan Pitlo**): Perikatan ialah suatu kekerabatan aturan yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berrhak (kreditur) dan pihak lain berkewenangan (debitur) atas sesuatu prestasi.
Perikatan yaitu suatu kekerabatan hukum, yang artinya kekerabatan yang diatur dan diakui oleh hukum. Hubungan aturan ini perlu dibedakan dengan kekerabatan korelasi yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan.
Untuk memastikan bahwa suatu kekerabatan itu merupakan perikatan, pada mulanya para sarjana menggunakan ukuran sanggup “dinilai dengan uang”. Suatu kekerabatan sanggup dianggap dinilai dengan uang, kalau kerugian yang diderita seseorang sanggup dinilai dengan uang. Akan tetapi nyatanya ukuran tersebut tidak sanggup mengatakan batasan, lantaran dalam kehidupan masyarakat sering sekali terdapat kekerabatan korelasi yang sulit untuk dinilai dengan yang misalnya, cacat badaniah akhir perbuatan seseorang. Jika sekiranya hubungan-hubungan semacam ini tidak diindahkan oleh hukum, akan mengakibatkan ketidakadilan, yang mengakibatkan terganggu kehidupan masyarakat. Sehingga dengan demikian “dapat dinilai dengan uang” tidak lagi dipergunakan sebagai suatu kretirium untuk memilih adanya suatu perikatan. Walaupun ukuran tersebut sudah ditinggalkan, akan tetapi ini tidak berarti bahwa “ sanggup dinilai dengan uang” yaitu tidak relevan, lantaran suatu perbuatan aturan yang sanggup dinilai dengan uang selalu merupakan perikatan.
Obyek perikatan
Obyek perikatan harus memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu:
- Harus tertentu atau sanggup ditentukan. Dalam pasal 1320 sub 3 undang undang menyebutkan sebagai unsur terjadinya persetujuan suatu obyek tertentu, tetapi hendaknya ditafsirkan sebagai sanggup ditentukan diakui sah. Suatu teladan yang diberikan oleh undang undang yaitu pasal 1465 BW, yang memilih bahwa pada jual beli harganya sanggup ditentukan oleh pihak ketiga. Perikatan yaitu tidak sah, kalau obyeknya tidak tertentu atau sanggup ditentukan misalnya, seseorang mendapatkan kiprah untuk “membangun sebuah rumah” tanpa disebutkan bagaimana bentuknya dan berapa luasanya.
- Obyeknya diperkenankan. Menurut pasal 1335 dan 1337 BW, persetujuan tidak akan mengakibatkan perikatan kalau obyeknya bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau kalau dihentikan oleh undang undang. Pasal 23 AB memilih bahwa semua perbuatan perbuatan dan persetujuan persetujuan yaitu batal, kalau bertentangan dengan undang undang yang menyangkut ketertiban umum atau kesusilaan. Di satu pihak pasal 23 AB lebih luas daripada pasal 1335 dan 1337 BW, lantaran selain perbuatan perbuatan meliputi juga persetujuan akan tetapi dilain pihak lebih sempit, lantaran ketalannya hanya kalau bertentangan dengan undang undang saja.
- Prestasinya dimungkinkan. Dahulu untuk berlakunya perikatan disyaratkan juga: prestasinya harus mungkin untuk dilaksanakan. Sehubungan dengan itu dibedakan antara ketidakmungkinan obyektif dan subyekti. Pada ketidakmungkinan subyektif tidak menghalangi terjadinya perikatan. Prestasi pada ketidakmungkinan obyektif tidak sanggup dilaksanakan oleh siapapun, contohnya prestasinya berupa menempuh jarak Bandung-Jakarta dengan mobil dalam satu jam. Pada ketidakmungkinan seubyektifnya hanya debitur yang bersangkutan saja yang tidak sanggup melaksanakan prestasinya. Misalnya, seseorang gagu harus menyanyi.
Perbedaan antara ketidakmungkinan obyektif dan subyektif yaitu terletak pada pemikiran, bahwa dalam hal pertama setiap orang megetahui bahwa prestasi mustahil dilaksanakan dan karenanya kreditur tidak sanggup mengharapakn pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan dalam hal yang kedua ketidakmungkinan itu hanya diketahui oleh debitur yang bersangkutan saja. Sehingga debitur yang dengan janjinya mengakibatkan kepercayaan kepada kreditur, bahwa ia bisa melaksanakan prestasi, harus bertanggung jawab atas pemenuhan prestasi itu.
Subyek subyek perikatan
Para pihak pada suatu perikatan disebut subyek subyek perikatan, yaitu kreditur yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas prestasi. Mungkin saja terdapat beberapa kreditur dan/ atau kreditur. Debitur harus selalu dikenal atau diketahui, lantaran ini penting untuk menuntut pemenuhan prestasi. Berlainan dengan kedudukan kreditur yang tidak saja sanggup diganti secara sepihak, misalnya, cessie. Akan tetapi juga dalam banyak sekali hal, teristimewa dalam kemudian lintas perdagangan kreditur a priori sanggup diganti dengan menggunakan klausula atus tunjuk dan atas bawa. Penggantian debitur secara sepihak pada umumnya tidak pernah terjadi lantaran bagi kreditur bonafiditas daripada debitur yaitu penting, maka penggantiannya pun harus disetujui oleh kreditur.
Hak rerlatif dan abolut
Hak perorangan atau relatif tidak sanggup dipisahkan secara tegas daripada hak mutlak, lantaran pada hak mutlak terdapat unsur relatif dan pada hak relatif terdapat unsur absolut. Hak hak relatif yang bersifat mutlak contohnya sewa menyewa.
Hak perorangan yaitu hak relatif, yang artinya suatu hak yang sanggup berlaku terhadap orang tertentu, suatu hak untuk menuntut sesuatu dari orang tertentu. Sesuatu ini, sanggup berupa benda ibarat rumah atau sejumlah uang, tetapi sanggup juga suatu prestasi kerja’ dan sanggup juga berupa hak yang melarang seseorang tersebut berbuat sesuatu misalnya, dihentikan mendirikan tembok. Kaprikornus hak perorangan sanggup menyangkut suatu benda tertentu, buku atau rumah, akan tetapi selu ditujukan kepada seseorang tertentu.
Sebaliknya hak adikara yaitu suatu hak, yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang. Plato*) menggangap hak adikara sebagai sinonim dari hak kebendaan. Adapula pendapat lain, yang umumnya banyak dianut oleh para sarjana, bahwa hak hak kebendaan merupakan belahan daripada hak hak absolut. Menurut mereka yang dimaksud dengan hak kebendaan yaitu hak adikara yang mengatakan kewenangan atas sebagian atau keseluruhan daripada suatu benda. Hak adikara yang bukan hak hak kebendaan antara lain, yaitu hak oktroi, hak pengarang, hak atas brand dagang.
Dengan terjadinya jual-beli timbul hak perorangan atas penyerahan barang tersebut, dan dengan diserahkannya barang timbullah hak milik sebagai kebendaan. Hak kebendaan memiliki sifat “droit de suite” sedangkan hak perorangan tidak.
Hapusnya Perikatan
- Pembayaran
Yang dimaksud dengan pembayaran yaitu setiap pelunasan perikatan. jadi misalnya, pemenuhan persetujuan kerja oleh buruh atau penyerahan barang oleh si penjual
Pada umumnya dengan dilakukannya pembayaran, perikatan menjadi hapus, tetapi adakalanya bahwa perikatan tetap ada dan pihak ketiga menggantikan kedudukan kreditur semula (subrogasi)
2. Penawaran Pembayaran, diikuti dengan penitipan
Undang undang mengatakan kemungkinan kepada debitur yang tidak sanggup melunasi utangnya lantaran tidak mendapatkan pertolongan dari kreditur, untuk membayar hutangnya dengan jalan penawaran pembayaran di ikuti dengan penitipan.
Contoh: A harus menyerahkan sejumlah barang yang dibeli oleh B, akan tetapi lantaran barang barang tersebut turun, tidak mau menerimanya dengan alasan penuh.
Untuk membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut A sanggup mengatakan pembayaran, diikuti dengan penitipan.
3. Pembaharuan Utang (Novasi)
Novasi yaitu suatu persetujuan, yang mengakibatkan hapusnya suatu perikatan dan pada ketika yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu:
- Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
- Novasi subyektif fasif, dimana debiturnya diganti oleh dibitur lain
- Novasi subyektif aktif, dimana krediturnya diganti oleh kreditur lain
4. Perjumpaan Utang (kompensasi)
Konvensasi yaitu salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing masing merupakan debitur satu dengan lainnya.
contoh:
A Berutang Rp.1000 – dari B dan sebaliknya, B berutang Rp 600 – kepada A, kedua hutang tersebut dikonpensasikan untuk Rp.600,- sehingga A masih memiliki hutang Rp.400,- kepada B
5. Percampuran utang
Percampuran utang sanggup terjadi, lantaran kedudukan kreditur dan debitur dalam diri satu orang. Misalnya, kreditur meninggal dan debiturnya merupakan satu-satunya ahliwaris. akhir dari percampuran utang adalah, bahwa perikatan menjadi hapus, dan hapusnya perikatan menghapuskan pula borgtocht. Hapusnya borgtocht dengan percampuran utang tidak menghapuskan utang pokok.
6. Pembebasan Utang
Pembebasan utang yaitu perbuatan aturan dimana dengan kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. undang undang tidak mengatur bagaimana terjadinya pembebasan utang dan sehubungan dengan ini timbul persoalan, apakah pembebasan utang itu terjadi dengan perbuatan aturan sepihak atau timbal balik.
7. Musnahnya Barang yang Terutang
Pasal 1444 memiliki kekerabatan dengan pasal 1237, yang mengandung sesuatu azas penting yang melahirkan pasal 1444. Pasal 1237 menentukan, bahwa pada perikatan untuk mengatakan sesuatu benda tertentu, semenjak ketika terjadinya perikatan benda tersebut menjadi tanggungan kreditur. Jika debitur lalai untuk menyerahkannya, maka semenjak kelalaian, benda yang bersangkutan yaitu tanggungan debitur. Debitur hingga ketika penyerahan berkewajiban untuk merawat bendanya.
Sumber https://www.cekkembali.com
0 Response to "Hukum Perikatan"
Posting Komentar