-->

iklan banner

Nilai-Nilai Inti (Core Values) Keagamaan Sebagai Prinsip Pembelajaran

Nilai-Nilai Inti (Core Values) Keagamaan Sebagai Prinsip Pembelajaran : Talcott Parsons mengklarifikasi adanya 5 sistem yang menjadi arah dan tali kendali kehidupan insan (Kosasih Djahiri; 1996 : 2) yaitu : value system, cultural system, social system, personal system dan organic system. Kelima sistem tadi dengan diwarnai aneka sumber nilai-moral-norma serta astagatra kehidupan insan yang padat nilai-moral-norma, sehingga tidak ada daerah dan waktu kehidupan yang bebas nilai (free value). Karena tidak ada waktu dan kehidupan insan yang free value, maka amat terperinci esensi dan urgensi mengenai pendidikan nilai-moral-norma bagi kehidupan manusia. Hal ini akan menuntun insan ke arah pengenalan diri dan kehidupannya.

Namun amat disayangkan bahwa dunia yang amat penting ini (dunia afektif) kurang diminati dan dikaji, dan disepelekan dalam dunia pendidikan persekolahan, bahkan dalam pendidikan nilai-moral (Pancasila dan Agama). Padahal Indonesia dalam pidato-pidato kenegaraan seringkali pejabat negara menyatakan bahwa bangsa Indonesia yakni bangsa yang religius ( kuat memegang teguh nilai-nilai agama), ini yakni sebuah ironi. 

Berdasarkan realitas tersebut, maka perlu kiranya ada upaya sungguh-sungguh untuk mengelaborasi pendidikan dunia afektif ini. Relevan dengan latar belakang kasus yang telah dikemukakan, maka makalah ini akan menguraikan perihal “Nilai-Nilai Inti (core values) Keagamaan Sebagai Prinsip Pembelajaran”, sehingga sanggup menambah wawasan, menjadi pola dan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan.

Hakekat Nilai Agama
Islam yakni agama yang haq dan diridhai Alloh SWT, diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW yang dipilih sebagai rasul-Nya yang terakhir. Ajaran atau petunjuk Alloh SWT yang disebut agama Islam itu, terhimpun secara lengkap dan tepat di dalam Al-Quran sebagai mana difirmankan melalui surat Ali Imran ayat 138 yang artinya sebagai berikut: “Al-Quran itu yakni penerangan bagi seluruh manusia, petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa”.

Dari firman Alloh itu terperinci bahwa Islam merupakan agama universal, bukan sekedar untuk suatu kaum atau bangsa tertentu dan bukan sekedar untuk insan yang mendiami belahan bumi tertentu pula. Islam yakni untuk umat insan sepanjang zaman dan seluruh alam (lil’alamin).

Islam sebagai agama samawi, sumbernya yakni Alloh SWT bermaksud untuk menerangi kehidupan insan semoga tidak tersesat. Islam merupakan juga petunjuk jalan yang benar dan lurus bagi manusia, untuk mencapai ridha Alloh SWT dan bukan jalan yang dimurkai-Nya. Dengan demikian berarti Islam memperlihatkan pelajaran kepada insan mengenai cara menjalani dan menjalankan hidup dan kehidupan yang baik dan benar, untuk mencapai keberuntungan di dunia dan darul abadi pada saatnya kelak.

Dari uraian singkat di atas terperinci bahwa Islam merupakan fatwa yang menyentuh seluruh aspek kehidupan insan dalam hubungannya dengan sesama manusia, alam sekitar dan dengan Alloh SWT. dalam kekerabatan antar sesama insan itulah tersirat kewajiban yang dibebankan kepada manusia, untuk mendidik setiap generasi gres yang dengan kehendak-Nya hadir dimuka bumi secara sambung bersambung, semoga memperoleh penerangan, petunjuk dan pelajaran untuk menjadi orang-orang yang bertaqwa. Untuk sanggup menjalankan kewajiban itu, Al-Quran dengan dilengkapi Hadist Rasulullah telah memperlihatkan tuntunan, semoga usaha mendidik itu dikatagorikan juga sebagai belahan dari perbuatan amal kebaikan yang diridhai Alloh SWT.

Setiap umat Islam ikut memikul kewajiban itu, meskipun ditakdirkan tidak mempunyai anak kandung yang menjadi tanggungjawabnya secara eksklusif untuk dibesarkan dan dididik. Pendidikan berupa training umat, khususnya generasi muda Islam semoga menjadi generasi yang bertaqwa, intinya merupakan belahan tanggungjawab setiap generasi pendahulunya.

Dalam kesadaran mirip itu, layak kiranya setiap umat Islam berusaha memahami hakekat hidupnya sebagai manusia, yang sanggup membantunya dalam merumuskan pandangan dan tujuan hidup sebagai hamba Alloh secara universal. Pandangan dan tujuan hidup ini akan menjadi landasan dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, yang akan memudahkan dalam menemukan, mencari dan membuatkan metode dan alat yang relevan untuk melaksanakan tanggungjawab tersebut.

Hidup ini merupakan perjalanan menuju atau kembali kepada Sang Pencipta, kehidupan ini menyerupai jembatan antara lahir dan mati. Dalam perumpamaan sebagai jembatan shiraatal mustaqim yang sangat halus dan seumpama sehelai rambut dibelah tujuh, berarti sangat diharapkan kehati-hatian dan kecermatan dalam menyebranginya. Kealpaan dan kelalaian sanggup menimbulkan seseorang terjatuh kelembah kenistaan dan terjerembab kedalam neraka jahanam yang terkutuk. Sungguh beruntung bagi orang yang berhati0hati dan cermat, dalam keimanan yang tinggi akan selamat menyebrang dan hingga ke syurga dengan kehidupan yang penuh nikmat dan kekal abadi.

Al-Quran dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya pada hakekatnya yakni suatu petunjuk bagi orang yang berpikir untuk menjalankan hidup dan penghidupan semoga mencapai keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan mengikuti dan menjalankan Al-Quran sebagai petunjuk hidup dan sunah Rasul sebagai tauladan hidup tidak ada keraguan didalamnya untuk menempuh kehidupan yang kekal dan abadi yaitu alam darul abadi dan syurga bagiannya.

Nilai Agama Dalam Unsur-Unsur Pendidikan
Manusia utuh merupakan keinginan dan tujuan pendidikan umum yang dijabarkan melalui proses pendidikan nilai doktrin dan taqwa (imtaq). Iman dan taqwa dalam dimensi Islam, terminology doktrin mempunyai banyak makna antara lain takut, percaya, membenarkan dan amal perbuatan (Ibnu Kasir; 1993 : 40). Menurut istilah, doktrin ialah keyakinan dalam hati, diucapkan dengan mulut dan diamalkan melalui perbuatan (Bukhori; 1979 : 103 dan Jarjani : 40). Menurut Jarjani barangsiapa yang bersaksi dan berinfak tapi dia tidak meng-itikadkannya maka dia munafiq, sedangkan kalau dia bersaksi tidak berinfak dan tidak meng-itikadkannya dia yakni fasiq, kalau semuanya diingkari dia yakni kafir.

Taqwa berdasarkan bahasa berarti hati-hati, takut, ikhlas, atau sedikit berbicara (Qurtubi; 1985 : 161 dan Munawir; 1984 : 1264). Sedang berdasarkan istilah, taqwa bermakna ucapan, perbuatan, dan I’tikad seseorang dalam melaksanakan perintah Alloh SWT serta menjauhi segala larangan-Nya (Jarjani, nd : 65 dan Almaragi, nd : 40). Dalam bahasa Arab, istilah tersebut ditulis “taqwa” orang bertaqwa akan melaksanakan segala perbuatan semata-mata untuk mendapat ridho Alloh SWT. dalam ketaatannya ia senantiasa disertai keikhlasan. Alloh berfirman; “ Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya….(QS, 3 : 102).

Manusia utuh berdasarkan Muhammad Iqbal tiada lain sebagai “sang muslim” yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan dan kebijaksanaan (Raharjo; 1985 : 25). Sosok muslim sejati tersebut akan bisa memenuhi huruf building bangsa yang dibutuhkan dalam menggertakkan pembangunan era reformasi. Dan dari perspektif teori kepribadian, insan utuh tiada lain sebagai perwujudan dynamic organization, dalam psikologi individual atau being in the world, dalam psikologi eksistensial (Hall; 1970) yang dilandasi nilai Islami. Ia mewujudkan dirinya sebagai insan multi dimensi yang memperlihatkan manfaat bagi dinya, sesama dan alam. Sebagai refleksi akan keyakinan dan ketaatannya kepada Alloh SWT, ia berusaha tampil utuh dalam segala situasi yang dialaminya. Utuh dalam pengertian kaffah yakni niat, ucap, fikir, sikap dan tujuannya direalisasikan dalam hidup bermasyarakat, dihadapkan kepada Alloh SWT (Djawad Dahlan; 1988 : 40).

MI Soelaiman (1988 : 14) mengungkap bahwa insan utuh dalam terminology “pribadi religius” dengan sentuhan-sentuhan bahasa fenomenologis. Pribadi religius berlangsung di dunia, di dunia insane itu. Dalam dunianya yang religius itu pribadi yang bersangkutan mempadatkan diri berhadapan, berakraban dengan Sang Pencipta pada sosok-Nya yang khas. Kekhasannya itu tampak pada penampilan badaniahnya, komunikasinya dengan manusia, dengan lingkungannya, dengan dirinya dan tentu saja dengan Sang Maha Pencipta, serta dalam pengalaman kewaktuannya dulu, sekarang dan kelak. Itulah perwujudan pribadi seseorang beriman dan bertaqwa.

Dalam melaksanakan ritualnya sehari-hari ia menampilkan paduan niat, sikap, kehendak dan perasaan, pengetahuan, pemahaman dan tindakkan motoriknya, dalam tatakrama yang menetap dan mendasar. Menurut Kraft (MI Soelaiman; 1988 : 146) pribadi itu tampil sebagai comprehensive construct yaitu sebagai paduan badan-dunia-komunikasi-historis. Iapun selalu berupaya tampil dalam sosoknya yang utoplastis untuk memenuhi hasrat religiusnya (Djmari; 1985 : 118) atas dasar lantaran Alloh (lillah).

Kemudian orang yang beriman dan bertaqwa mempunyai kepribadian yang bermuatan aqidah dan amal. Aqidah yang dimaksud yakni aqidah yang tidak dicampuri dengan keraguan akan akreditasi ke-Esaan Alloh. Sedang amal merupakan buah diri pembenaran aqidah. Hal tersebut membedakan ia dari profil kepribadian orang yang tidak beragama atau tidak beriman yang mewujudkan kepribadian atas dasar moralitas budaya, sehingga terlempar jauh ikatannya dengan Alloh. Itulah sebabnya dalam pandangan Islam moralitas mengikatkan diri pada agama, bukan sebaliknya.

Manusia utuh mempertaruhkan agamanya pada pengembangan intelektualnya yang ia jadikan sebagai “pisau” analisis ilmu. Ia jadikan doktrin dan taqwa pengawal ilmu, sehingga tampil sebagai sosok ilmuwan yang bertanggungjawab atas warga negaranya dan umatnya. Ia akan memandang ilmu atau teknologi sebagai sistem yang tidak terpisahkan dari sistem nilai yang dianutnya. Dalam bermasyarakat ia akan tampil sebagai sosok pewaris para Nabi (warasatul anbiya) dengan kekhasan manifestasi dirinya. Ia senantiasa menghormati tetangganya, dengan menyambungkan tali persaudaraan, berbicara yang benar, dan perbuatan terpuji lainnya mirip tercantum dalam Al-Qur’an dan Assunah. 

a. Nilai Agama Dalam Tujuan Pendidikan
Wawasan perihal pendidikan sebagai proses mencar ilmu sepanjang hayat, menekankan pentingnya pergesaran tanggung jawab mencar ilmu kearah siswa/mahasiswa sebagai peserta didik yang merupakan komponen utama dalam proses mencar ilmu mengajar.

Sekolah/Perguruan Tinggi merupakan salah satu forum pendidikan formal yang menyelenggarakan kegiatan mencar ilmu mengajar, yang bertanggung jawab tercapainya suatu tujuan pendidikan yang telah digariskan secara umum dalam GBHN yang salah satunya yakni bertujuan untuk mencerdaskan bangsa.

Tanggung jawab berhasil tindaknya tujuan pendidikan tersebut tidak hanya forum pendidikan, keluarga dan masyarakat saja, melainkan juga tidak kalah pentingnya yakni siswa/mahasiswa itu sendiri. Bagaimana siswa/mahasiswa mempersiapkan diri dalam kondisi belajar, bagaimana motivasi siswa/mahasiswa untuk mencar ilmu sehingga tercapai suatu tujuan yang diharapkan, baik itu tujuan atau harapan siswa/mahasiswa itu sendiri maupun tujuan atau harapan yang telah digariskan dalam tujuan pendidikan.

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan insan yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup dalam hidup dan penghidupan insan yang mengemban kiprah dari Sang Kholiq untuk beribadah.

Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah Subhanaha watta’alla dengan suatu bentuk kebijaksanaan pada diri insan yang tidak dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk mengolah kebijaksanaan pikirnya diharapkan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.

Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I Pasal 1, bahwa pendidikan yakni usaha sadar dan bersiklus untuk mewujudkan suasana mencar ilmu dan proses pembelajaran semoga peserta didik secara aktif membuatkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, sopan santun mulia, serta keterampilan yang diharapkan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Kemudian dalam Bab II Pasal 3 dikatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi membuatkan kemampuan dan membentuk tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik semoga menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan uraian di atas bahwa nilai agama dalam pendidikan di Indonesia yakni merupakan hal yang paling utama dan pertama sebagai landasan pelaksanaan dan tujuan pendidikan, oleh lantaran itu pendidikan keagamaan senantiasa selalu diajarkan kepada peserta didik dari mulai tingkat Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi.

Kosasih Djahiri (1980 : 3) menyampaikan bahwa Pendidikan yakni merupakan upaya yang terorganisir, berencana dan berlangsung kontinyu (terus menerus sepanjang hayat) kearah membina manusia/anak didik menjadi insan paripurna, terpelajar balig cukup akal dan berbudaya (civilized).

Dari pengertian tersebut bahwa Pendidikan yakni merupakan upaya yang terorganisir mempunyai makna bahwa pendidikan tersebut dilakukan oleh usaha sadar insan dengan dasar dan tujuan yang jelas, ada tahapannya dan ada komitmen bersama didalam proses pendidikan itu. Berencana mengandung arti bahwa pendidikan itu direncanakan sebelumnya, dengan suatu proses perhitungan yang matang dan banyak sekali sistem pendukung yang disiapkan. Berlangsung kontinyu artinya pendidikan itu terus menerus sepanjang hayat, selama insan hidup proses pendidikan itu akan tetap dibutuhkan, kecuali apabila insan sudah mati, tidak memerlukan lagi suatu proses pendidikan.

Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi dipakai asas/pendekatan manusiawi/humanistik serta meliput keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan lingkaran (aspek fisik – non fisik : emosi – intelektual ; kognitif –afektif psikomotor), sedangkan pendekatan humanistik yakni pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan insan yang potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan – kekurangannya dll), diharapkan dengan penuh kasih sayang – hangat – kekeluargaan – terbuka – objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun juga. 

b. Nilai Agama Dalam Metode Pendidikan
Menurut Zaenal Abidin (1999 : 10) “Mendidik yakni merupakan kegiatan yang menyentuh sikap mental dan kepribadian anak didik, sedangkan kegiatan mengajar dan latihan sebagai salah satu bentuknya, lebih erat hubungannya dengan aspek intelektual dan keterampilan. Akan tetapi harus diakui bahwa mengajar yang lebih baik, intinya berarti juga sebagai kegiatan mendidik”. 

Kondisi itu sanggup terjadi terutama kalau dalam situasi mencar ilmu mengajar, guru dengan memakai materi yang harus diajarkannya atau keterampilan yang harus dilatihkannya, bisa membuat sentuhan pendidikan (pertemuan pedagogis), sehingga seluruh kepribadiannya berinteraksi dengan anak didik dengan keseluruhan pribadinya pula. Dalam situasi mirip itu berarti anak didik, tidak sekedar mengalami perubahan dan perkembangan yang berafiliasi dengan ranah kognitif, tetapi juga dalam cara berpikir, sikap dan tingkah laku, sebagai wujud dari perubahan dan perkembangan ranah afektif dan psikomotor. Dengan kata lain situasi mencar ilmu mengajar itu, bisa juga menyentuh sikap mental dan kepribadian anak didik.

Untuk itu pelaksanaan proses mencar ilmu mengajar atau interaksi pendidikan dengan subyek anak didik, sanggup diwujudkan melalui beberapa cara atau metode yang memungkinkan sikap mental dan keseluruhan pribadi anak didik sanggup terbentuk salah satunya melalui nilai-nilai keagamaan, dan tentunya di dalamnya harus mengarah kepada pencapaian kedewasaannya masing-masing. Cara-cara itu merupakan cara mendidik yang tidak saja sanggup dipergunakan di rumah atau diluar sekolah atau oleh para ulama, tetapi juga dilingkungan sekolah oleh para guru.

Sehubungan dengan itu perlu disadari bahwa dalam seluruh proses mengajar dan mendidik, pribadi guru berhadapan atau berada dalam interaksi antara insan dengan anak didik, mirip dikatakan Lukman Hamid (2002 : 25) bahwa; “…Interaksi itu harus disadari oleh penerimaan dan pemahaman pada anak didik secara manusiawi, dengan seluruh hakekatnya sebagai manusia. Satu diantaranya yang sering dilupakan bahwa subyek (anak) didik merupakan satu diri. Anak (subyek) bukan obyek, sebagaimana layaknya seorang pemahat patung berhadapan dengan seonggok tanah liat atau perungu atau sepotong kayu. Terhadap obyek mirip itu pemahat sanggup berbuat sesuai dengan kehendaknya, untuk membuat patung kuda atau insan atau jenis patung lainnya”. 

Subyek (anak) didik bukan obyek mirip itu, yang sanggup dibuat berdasarkan kehendak pendidiknya. Subyek (anak) didik bukan pula orang terpelajar balig cukup akal yang berbadan kecil, yang sanggup dibiarkan memilih sendiri dirinya, tanpa arahan, bimbingan dan pertolongan, sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan masa perkembangannya masing-masing.

Disinilah letak metode pendidikan dalam nilai-nilai keagamaan yang senantiasa mengajak, membimbing, mengingatkan dan meberi contoh kehidupan (keteladanan) dan keyakinan bahwa hidup ini yakni suatu perjalanan menuju suatu daerah yang jauh dan kekal didalamnya. Untuk itu insan harus baik-baik mencari bekal supaya tidak kehausan dan kelaparan, supaya tidak ada rintangan dan halangan, dan untuk itulah senantiasa hidup ini harus ada pada jalur yang benar yang diridhai oleh Alloh SWT.

Oleh lantaran itu pekerjaan mendidik bukanlah pekerjaan sepihak, tetapi merupakan interaksi antar dua pihak, yang harus diwujudkan dalam kekerabatan manusiawi, dengan saling menempatkan sebagai subyek antara yang satu dengan yang lain. Cara-cara mendidik yang bersifat manusiawi diantaranya yakni melalui; keteladanan, kebiasaan, hikmah dan cerita, kedisiplinan, partisipasi, pemeliharaan dan pengawasan terhadap anak didik.

c. Nilai Agama Dalam Materi Pendidikan
Tujuan tamat dari pendidikan agama terletak pada terrealisasikannya penyerahan dan dedikasi penuh kepada Alloh SWT oleh masing-masing individu, lingkungan masyarakat dan seluruh kemanusiaan.

Untuk merealisir tujuan pendidikan mirip tersebut maka perencana pendidikan mesti mencoba menyusun kurikulum atau silabus yang sanggup menjawab pertanyaan apa yang harus diajarkan, sedangkan dari segi lain sesuai dengan hakekat kemampuan insan sebagai mahluk “fi ahsani taqwim” yang mempunyai jiwa, intelek, rasio, rasa dan kepekaan indera akan menjawab pertanyaan apa yang sanggup dipelajari. Dengan perkataan lain pendidikan hendaknya menumbuhkan kesanggupan dan kemampuan psikologis anak didik, pendalaman dan pengembangan pengalaman indera dan penjelmaan emosi, penyempurnaan dan penajaman daya analisis, sintesis, generalisasi dan rasionalisasi, bahkan lebih dari itu memperkokoh kekuatan jiwa untuk menghayati dan pertanda kebenaran demi pengalaman dan pembudayaan keyakinan.

Menurut Lukman Hamid (2002 : 30) bahwa: “Integrasi ilmu dan realisasi kebenaran hakekatnya hanya mungkin terealisasi apabila kita dan forum pendidikan kita mendiritegakkan pikiran, falsafi ini dalam setiap ilmu aqliyah dan sains”. Dan dalam keterangan selanjutnya dikatakan bahwa: “Keterpaduan kurikulum yang disusun atas landasan filasfat sains, hanya mungkin dilaksanakan apabila dua sistem pendidikan (value based an value free systems of education) yang terdapat dalam dunia Islam sanggup dipadukan”.

Penataan kurikulum berarti secara strategis memadukan kekerabatan terperinci antara ilmu naqliyah untuk setiap tingkat pendidikan sehingga tercipta karakteristik Islam. Di sekolah tinggi tinggi sebagai salah satu contoh di Indonesia misalnya, konsep IDI (Islam Untuk Disiplin Ilmu) yaitu dalam tahap pertama mengusahakan tumpuan bagi setiap formula ilmu dan Al-Quran, As-Sunnah dan Ayatullah yang terdapat dalam alam dan seluruh mahluk di dalamnya; kedua menolak setiap formula ilmu yang bertentangan dengan tumpuan tersebut, dan ahirnya menggali, membuatkan ilmu berdasarkan atau dengan titik tolak formula dasar atau tumpuan yang terdapat pada ketiga sumber tersebut, khususnya yang terdapat pada Al-Quran dan As-Sunnah.

d. Nilai Agama Dalam Evaluasi Pendidikan
Kondisi fisik yang dibawa seseorang semenjak lahir, merupakan potensi dasar dari kepribadiaanya. Dengan potensi dasar yang dibawanya semenjak lahir, seseorang akan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan alamiah maupun lingkungan sosial budaya. Zaenal Abidin (1999 : 45) menyampaikan bahwa: “Factor makanan dan minuman yang diberikan kepada seseorang pada usia dini, bunyi yang diperdengarkan, rumah yang ditempati, pakaian yang dikenakan, dan lain-lain merupakan factor yang akan memperlihatkan warna terhadap kepribadian seseorang”.

Situasi dan kondisi di lingkungan keluarga merupakan factor yang pertama dan utama dalam pendidikan. Proses pendidikan pada masa anak usia dini, di dalam al-Quran dinyatakan dengan istilah Tarbiah. Aktivitas tarbiah mencakup pemenuhan kebutuhan secara fisik maupun psikis yang berlangsung dilingkungan keluarga. Sesuai dengan kodratnya, pada usia kanak-kanak, seseorang mencari identifikasi diri dengan alam sekitar. Atas dasar itu verbalisasi dan santunan contoh merupakan metode yang tepat dalam tarbiah. Melatih potensi tubuh baik ucapan maupun tangan, kaki, dan seluruh anggota merupakan pendekatan dalam tarbiah. Menirukan ucapan, memperkenalkan nama-nama anggota tubuh dan benda-benda alam yang ada disekitar mirip peralatan rumah tangga, alat-alat permainan, dan lain-lain merupakan materi dasar dalam tarbiah.

Pada masa anak usia dini, belum dewasa merasa puas dengan kemampuan menirukan bunyi atau menyebutkan nama-nama benda yang ada disekitarnya. Pada tahap berikutnya apa yang telah di kuasai oleh seseorang akan difungsikan dalam kehidupannya. Sesuatu akan berfungsi apabila seseorang memahami perihal apa yang dikenalnya. Karena itu segala sesuatu yang telah ada pada diri seseorang yang diperolehnya melalui verbalisasi akan diseleksi. Sesuatu yang dipandang bermanfaat akan dilestarikan dan dikembangkan, sebaliknya yang kurang atau tidak bermanfaat, kemungkinan akan dibuangnya. Pengenalan lambang-lambang al-Quran yang tidak mengarah kepada pengertian kemungkinan besar akan ditinggalkan kalau tidak ditingkatkan kearah pemahaman makna yang terkandung didalamnya.

Proses pertumbuhan dan perkembangan, intinya merupkan proses pembentukan kepribadian atau proses pendewasaan yang dalam istilah al-Quran disebut dengan balig. Seseorang dikatakan telah balig apabila ia telah mencapai kematangan emosional, dalam arti mempunyai kematangan dalam menanggapi stimulan dan mempunyai kemampuan atau keterampilan dalam mengekspresikannya dalam kehidupan.

Setelah memasuki usia dewasa, banyak sekali informasi yang diterima akan diadaptasikan dengan tanggapan yang telah tertanam di dalam kesadarannya. Proses pendidikan pada orang dewasa, bertujuan untuk meningkatkan kualitas kepribadian yang telah tertanam. Jika kepribadian yang telah tumbuh dan berkembang dinilai positif. Namun kalau kepribadian yang ada dinilai negatif, maka acara pendidikan bertujuan ganda yaitu tebang-tanam atau bongkar-pasang, yang dalam istilah al-Quran disebut dengan musaddiq atau renovasi kepribadian. Proses pendidikan agama di sekolah tinggi tinggi termasuk tahapan ini.

Para Rasul diutus untuk memperbaiki kepribadian ilahiyah yang telah rusak. Strategi pendidikan yang dilakukan oleh para Rasul merupakan taktik yang tepat dalam upaya merenovasi kepribadian guna terbentuknya kepribadian yang qurani. Proses pendidikan yang dilakukan oleh Rasululloh Muhammad, secara periodic dibagi menjadi dua tahap yaitu periode Makiah dan Madaniah. Periode Makiah yakni periode yang dilakukan oleh Nabi semasa dia memusatkan aktivitasnya di Makkah, dan periode Madaniah yakni periode sehabis Nabi dan para sahabatnya hijrah ke Madinah. Periode Makiah, dalam kaitannya dengan pendidikan masa sekarang yakni kondisi dan situasi kampus, sementara periode madniah yakni periode penerapan, yaitu ketika ketika para alumni telah berkiprah di masyarakat. 

Aplikasi Nilai Agama Dalam Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang pertama dalam kehidupan insan terjadi di dalam keluarga. Ini terjadi sebelum anak memasuki dunia pendidikan formal. Keluarga sebagai satuan masyarakat terkecil yang dipandang sebagai komplotan hidup yang strategis dalam training kemandirian insan Indonesia. Suatu bangsa terdiri dari keluarga-keluarga dan keluarga-keluarga ini terdiri dari individu utama yang disebut ayah-ibu dan belum dewasa sebagai anggota keluarga generasi kedua.

Anggota masyarakat yang sekarang kuat dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan bernegara yakni individu-individu produk pendidikan masa kemudian yang pangkalnya yakni keluarga juga. Pendidikan dalam keluarga akan banyak mewarnai kehidupan seseorang dimasa mendatang. Jika pendidikan ini berhasil baik maka anak akan tumbuh secara tepat dan tumbuh menjadi pribadi-pribadi mandiri. Pribadi berdikari ditandai dengan kedewasaan berpikir dan bertindak. Mereka pada suatu ketika akan berubah menjadi menjadi insan yang bisa menghidupi diri sendiri dan bahkan bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain, menjadi pribadi terpelajar balig cukup akal dan bisa mendewasakan orang lain. Salah satu sumber pemikiran mengenai pendidikan yakni pengajaran dan pembelajaran nilai-nilai inti keagamaan.

Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I Pasal 1, bahwa pendidikan yakni usaha sadar dan bersiklus untuk mewujudkan suasana mencar ilmu dan proses pembelajaran semoga peserta didik secara aktif membuatkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, sopan santun mulia, serta keterampilan yang diharapkan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Di atas telah disinggung bahwa yang dijadikan pokok telaahan yakni fatwa Islam dan fatwa ini pula banyak berfungsi sebagai sumber belajar. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi petunjuk dan mengisyaratkan kebijakan pendidikan. Di antaranya ayat-ayat perihal percaya diri, tanggung jawab, optimisme, rajin berinfak dengan tujuan mencari ridho Alloh, diharapkan ajaran-ajaran mirip ini bisa menjadi landasan terbentuknya kemandirian anak dimasa depan. Ayat-ayat itu yakni :
1. Al- Baqarah 2 : 139
2. Al-Balad 90 : 4
3. Al-Kahf 18 : 23-24
4. Ali Imran 3 : 139

Al-Baqarah ayat 139 yang artinya sebagai berikut; “Apakah kau memperdebatkan dengan kami perihal Alloh, padahal Dia yakni Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kau amalan kau dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati”. 

Seorang muslim diberi petunjuk untuk tidak terpengaruh oleh keadaan sekitar yang seringkali bertentangan dengan kepentingan dirinya selaku seorang yang beragama Islam dan tidak bisa dibenarkan kalau dia tertarik untuk melaksanakan apa yang dilakukan orang banyak. Mereka diajarkan untuk meyakini bahwa pada balasannya berlaku dua criteria perihal baik-buruk dan sistem pembalasan:
1. Yang memastikan yakni Alloh SWT, Tuhannya dan Tuhan mereka juga.
2. Amalnya akan memilih nasibnya, sedang nasib mereka akan ditentukan oleh amal mereka sendiri.

Keyakinan yang sama dipaparkan oleh ayat-ayat lain antaranya Alqasas 28 : 55, dan Asy-Syura 42 : 15. dengan fatwa mirip ini seorang muslim diharapkan tumbuh menjadi pribadi yang kokoh pendiriannya. Sikap mirip ini dalam agama Islam disebut istiqomah. Dia tidak akan terpengaruhi sedikitpun untuk melaksanakan penyelewengan dari fatwa agamanya sekalipun hal itu sudah biasa dilakukan orang lain di sekitarnya.

Keyakinan lain yang diharapkan bisa memperlihatkan pembelajaran/membina kemandirian seorang muslim yakni kerja keras untuk meraih keberuntungan ukhrowi. “Sesungguhnya kami telah membuat insan berada dalam susahpayah”, ayat ini memperlihatkan petunjuk bahwa insan ditakdirkan hidup di dunia yang penuh tantangan terutama dari sesama insan dan kepentingan makhluk lain disekitarnya. Hal lain yang menimbulkan hidup ini tidak gampang bahwa Tuhan tidak akan mengubah keadaan yang ada kecuali sehabis ada usaha kasatmata dari insan yang berkepentingan untuk mengadakan perubahan (Arra’du 13 : 11). Untuk itu diharapkan usaha sepanjang hayat.

Segi lain dari fatwa agama Islam yang mendorong terwujudnya kemandirian yakni kerja keras dan optimisme tanpa kesombangan. Kerja keras yang dianjurkan menjadi lebih intens dan bermakna tatkala usaha itu ditujukan hanya untuk mendapat Ridho Alloh semata-mata dan tujuan kebendaan di nomor duakan. Selanjutnya dikatakan bahwa: “ Dan jangan sekali-kali kau menyampaikan terhadap sesuatu; bekerjsama saya akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut); Insya Alloh”. Ayat ini mengandung dua hal perihal bekerja dan pekerjaan:
1. Seorang muslim sangat dianjurkan untuk melaksanakan setiap kesempatan berbuat baik dan tidak patut kalau dia melewatkannya berlalu begitu saja, dan itu dilakukan ketika munculnya tanpa menunggu-nunggu hingga besok atau kapan-kapan.
2. kegairahan kerja dan optimisme jangan membuat sombong seorang muslim, alasannya yakni dalam keadaan ini hasil usaha tersebut masih sangat tergantung pada kudrat dan kehendak Alloh.

Ajaran lain yang juga sangat mungkin mendorong lahirnya insan berdikari yakni kewajaran harga diri. Merasa diri lebih beruntung dari orang lain yang masuk akal tanpa merasa superior, lantaran seorang muslim dengan ketaatannya pada fatwa agama Islam tidak akan pernah menyusahkan orang lain, tidak pernah merasa dikejar-kejar abdnegara penegak hukum, tidak juga merasa ada orang lain yang mengancam keselamatan dirinya, ditambah lagi bahwa hidupnya bermakna bagi masyarakat dan lingkungannya. Orang lain bisa saja tidak yakin akan hal itu, namun pribadinya yang mukmin mau tidak mau dia akan menjadi insan yang berkualitas tinggi. Seperti ayat yang mengatakan: “Dan janganlah kau bersikap lemah, dan janganlah kau bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi, kalau kau orang-orang yang beriman”.

Respon Masyarakat Terhadap Nilai-Nilai Agama
Tiap individu yang disebut manusia, dalam membuat suasana hidup yang selaras, serasi, dan seimbang bagi kehidupan dirinya sendiri, terutama bagi umat insan pada umumnya. Meskipun kita menyadari bahwa kita ini masing-masing yakni insan namun kita terkadang tidak memahami sepenuhnya hakikat diri sendiri selaku manusia. Dalam hal ini perenungan, pemikiran yang mendalam perihal diri kita masing-masing dan perihal diri umat insan pada umumnya, yang merupakan suatu “upaya” untuk mengetahui serta menyadari apa dan siapa diri kita masing-masing ini. Upaya tersebut wajib kita lakukan untuk mengetahui dan menyadari kedudukan, fungsi dan peranan kita insan di alam raya, di lingkungan antar sesama manusia, dan dihadapan Alloh Maha Pencipta. Dengan mengetahui dan menyadari peranan tadi, kita tidak akan menjadi sombong atau sebaliknya menjadi rendah diri, tidak akan lupa daratan serta serakah, lantaran berdasarkan pengalaman dan pengamatan umur kita insan ini tidak akan mencapai ratusan tahun. Setelah tamat hayat, kita akan kembali kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatan kita selama hidup di alam fana.

Bertolak dari fenomena kehidupan di dunia ini berupa krisis kualitas kemandirian, insan dan tantangan global pada milenium ketiga, harus ditangani. Secara fundamental konseptual dan professional, yang menjadi prasyarat mutlak untuk membersihkan, pencerahan, memunculkan kembali budaya bangsa yaitu melalui revitalisasi dan struturisasi budaya bangsa yang selama ini mirip tertutup debu tebal, yang memperlihatkan sikap menyimpang yang berbeda dengan warna asalnya dan untuk mencerahkan kembali . ada tiga katagori; budaya utama, budaya profesi, dan budaya pribadi, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Budaya utama
Budaya utama mencakup insan imtaq yang melaksanakan fatwa atau rukun agama yang dianut dan mempunyai jati diri yang bertanggungjawab sebagai warga negara di antara sesama insan yang mengglobal yang meliputi; a) Budaya higienis dan sehat, higienis lahir batin, sehat jiwa dan raga, jujur, sabar, loyal, damai, tidak serakah dan punya rasa malu, menghormati sesama manusia, menghargai dan memelihara keutuhan bangsa dan negara diantara bangsa-bangsa, demokratis, terbuka dalam bertukar fikiran dan pengalaman untuk hingga kepada akad dan kemufakatan.b) Budaya disiplin dalam menjalankan semua sikap lantaran tidak ada sikap tanpa nilai.c) Budaya masa depan yang terperinci berwawasan masa depan yang lebih baik.d) Budaya juang dan hormat menghormati, mempunyai patriotisme yang tinggi, pantang mengeluh dalam menghadapi tantangan. 

2. Budaya Profesi
Manusia sebagai mahluk sosial, tidak terlepas dari insan lain, profesi berkaitan dengan motivasi, semangat atau etos kerja, disertai dengan etika profesi yang dilandasi ilmu pengetahuan, profesi sebagai dasar untuk membuatkan diri dalam banyak sekali kehidupan. Apabila setiap insan melaksanakan budaya profesi dengan sungguh-sungguh dan jujur, pengangguran dan kemiskinan di negara Indonesia tidak trjadi dan kesejahteraan rakyat meningkat.

3. Budaya Pribadi
Manusia sebagai makhluk pribadi mempunyai ciri hakiki yang unik dan spesifik yang berbeda satu sama lainnya. Bila budaya ini dilaksanakan secara positif, kehidupan di Indonesia menyejukkan dan meyenangkan. Keutuhan, keseimbangan dan keharmonisan budaya, itulah yang harus dicerahkan kembali oleh bangsa Indonesia (Engkoswara; 1999 : 10-15).

Dari beberapa problem yang diungkapkan dalam beberapa pandangan penulisan, pertanda bahwa tidak ada insan yang tidak mempunyai kecenderungan untuk tidak mengakui Alloh SWT sebagai Tuhan-Nya, sehingga insan ini bergerak/berbarengan dengan doktrin dan taqwa mereka akan selamat hingga disebrang (tujuan). Imanlah dahulu, jangan berpikir sebelum iman, dan jangan berbuat sebelum doktrin dan nalar (saduran bebas Kosasih Djahiri dari Imam AlGhozali).

Urgensi Nilai Agama Dalam Kehidupan
Kehidupan insan tak terpikirkan diluar kehidupan masyarakat. Individu tak bisa hidup dalam kesendirian dan keterpencilan sama sekali selama – lamanya. Manusia membutuhkan satu sama lain untuk bertahan hidup dan untuk hidup sebagai seorang manusia. Walaupun sebagai mahluk individu, insan itu bisa saja membuatkan dirinya sendiri, namun pengembangan dirinya secara utuh baik fisik maupun mentalnya mustahil dilakukan dirinya sendiri tanpa hidup bersama dengan individu – individu atau orang lain dalam melangsungkan kehidupannya.

Sejak insan lahir secara terus menerus tergantung dan dipengaruhi oleh orang lain dalam memenuhi kebutuhannya-kebutuhannya, baik yang berupa kebutuhan fisik, maupun kebutuhan psikologisnya. Dan semenjak lahir pula insan hidup dalam lingkungan sosial tertentu dimana ia sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, serta dalam lingkungan tersebut insan sanggup menyesuikan diri, mencar ilmu dan menambah pengalaman-pengalamannya semoga sanggup hidup sebagaimana mestinya. Sejak lahir insan telah menjadi anggota dari lingkungan sosial tenpat ia melangsungkan kehidupannya dan membuatkan dirinya secara utuh. Lingkungan sosial daerah insan melangsungkan kehidupannya itu disebut masyarakat. Dan hanya dalam masyarakatnya insan sebagai mahluk individu dan mahluk sosial sanggup membuatkan dirinya secara utuh, baik fisik maupun mentalnya sebagai anggota masyarakat dimana ia hidup.

Kita masing-masing lahir sebagai insan yang hidup ditengah-tengah pergaulan manusia. Namun demikian kita juga tidak mengenal secara rinci huruf insan itu sebagaimana sebuah ungkapan “ tidak ada dua insan yang sama, meskipun mereka lahir kembah (Nursid; 1998 : 7).

Manusia sebagai sebuah fenomena sanggup dikatakan sama dengan makhluk lain, khususnya sama dengan makhluk hidup yang lainnya. Manusia tunduk kepada aturan alam (sunnatulloh) mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati dan seterusnya. Namun demikian insan disebut insan lantaran mempunyai kelainan hakekat yang berbeda dengan makhluk lainnya, khususnya dengan makhluk hidup. Al-akli yang dikaruniakan Alloh kepada manusia, menjadi kunci utama perbedaan insan dengan makhluk lainnya ciptaan Alloh.

Demikian pula dengan keajaiban hati yang diberikan Alloh kepada manusia, hati bagaikan pemimpin yang ditaati di dalam tubuh dan yang lainnya yakni rakyat. Sabda Rosululloh yang artinya; “sesungguhnya dalam tubuh anak Adam terdapat segumpal daging, apabila ia baik, sepakat seluruh tubuh, ia yakni hati”.

Yang dimaksud dengan hati ialah lafal “Alqolbu”; 1) Daging yang terdapat di dalam dada di sebelah kiri dan di dalam rongganya berisi darah hitam, ia yakni sumber roh dan daerah tinggalnya. Daging dalam bentuk ini juga terdapat pada binatang dan orang mati. 2) Hati atau Alqolbu yakni bisikan rabbaniah ruhaniah. Bisikan inilah yang mengenal Alloh Ta’ala dan memahami apa yang tak terjangkau oleh khayalan dan angan-angan, dan itulah hakikat insan dan dialah yang berseru.

Makna ini ditunjukkan oleh firman Alloh; “sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS, Qaf : 37). Andai kata yang dimaksud dengan alqolbu disini yakni jantung, tentulah ia terdapat pada setiap orang.

Ada dua tentara hati; pertama terlihat dengan mata, ia yakni tangan, kaki, mata, dan anggota-anggota tubuh lainnya. Kedua terlihat dengan mata hati yaitu sifat-sifat yang akan disebutkan, dan dalilnya yakni hadist Nabi SAW; “sesungguhnya di dalam tubuh anak Adam terdapat segumpal daging, apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh akan baik dan ia yakni hati”. Hati harus menjadi pemimpin yang ditaati sedang nafsu dan anggota tubuh lainnya mentaati perintah-perintah dan larangan-larangannya. Jika tidak begitu dan dikuasai oleh syahwat, maka pemimpinnya menjadi bawahan dan keadaanya terbalik, maka rajapun menjadi tawanan yang ditundukkan di tangan seekor anjing atau seorang musuh. Hadist Nabi SAW; “ingatlah bekerjsama sorga itu terkepung oleh banyak sekali hal yang dibenci, sedangkan neraka dikelilingi oleh bermacam kesenangan nafsu”.

Manusia yakni makhluk Tuhan YME, mempunyai keunggulan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Manusia mempunyai sistem nilai yang berlaku untuk kurun waktu yang cukup dimana ia hidup sebagai pegangan atau pedoman sikap dalam menghasilkan karya sistem nilai itu disebut kebudayaan. Manusia mencapai kemanusiaannya melalui kebudayaan dalam bentuk karya budaya. Manusia sebagai makhluk berbudaya mempunyai tiga kiprah yaitu :
1. Sebagai makhluk universal
2. Makhluk pribadi
3. Makhluk sosial 

Makhluk universal ialah yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama yaitu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, yang menjadi dasar kehidupan berbudaya, yang menjadi prestasi utama, akhlaq mulia, moral-spiritual, dan etik bagi pergaulan dengan sesama manusia.

Makhluk sosial ialah makhluk berkelompok, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, yang tidak sanggup melepaskan diri dari insan lain. Sebagai dasar untuk membuatkan diri mereka harus mempunyai ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempunyai nilai logic, sistematik, dan bidang ekonomi sebagai alat kehidupan.

Makhluk pribadi ialah mempunyai ciri hakiki yang unik dan spesipik yang berbeda satu sama lain, mempunyai nilai kreatif pribadi yang khas untuk menyertai dan penyempurnaan kedua kiprah di atas dengan menampilkan sesuatu yang terbaik yang bernilai indah atau estetik (Engkoswara; 1999 : 2-3).

Menghampiri pemahaman perihal keimanan dan ketqwaan merupakan topik menarik namun relatif pelik, alasannya yakni pertama istilah keimanan dan ketaqwaan selain diwujudkan dalam realitas sikap juga melibatkan niat yang tersembunyi di qolbu, tidak cukup bukti hanya dengan ucapan atau akreditasi saja. Kedua, sebagaimana Imam Bukhori (Rahmat; 1995) doktrin dalam pengertian taat “dapat bertambah dan berkurang” seiring dengan suasana qolbu yang dialami oleh seseorang. Ketiga, antara doktrin dan taqwa dalam perwujudannya merupakan satu ke-Tuhanan yang tak terpisahkan, mungkin hanya sanggup dibedakan berdasarkan istilah saja. Keempat, lingkungan kuat terhadap kepribadian orang beriman dan bertaqwa.

Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Nilai-Nilai Inti (Core Values) Keagamaan Sebagai Prinsip Pembelajaran"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel