-->

iklan banner

Pengertian Iq, Eq Dan Sq

PENGERTIAN IQ, EQ DAN SQ : Kecerdasan intelektual yaitu kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio. Ia merupakan kecerdasan untuk menerima, menyimpan dan mengolah infomasi menjadi fakta.1 Orang yang kecerdasan intelektualnya baik, baginya tidak ada gosip yang sulit, semuanya sanggup disimpan dan diolah, untuk pada waktu yang tepat dan pada dikala dibutuhkan diolah dan diinformasikan kembali. Proses mendapatkan , menyimpan, dan mengolah kembali informasi, (baik gosip yang didapat lewat pendengaran, penglihatan atau penciuman) biasa disebut "berfikir". Berfikir yaitu media untuk menambah perbendaharaan/khazanah otak manusia. Manusia memikirkan dirinya, orang-orang di sekitarnya dan alam semesta. Dengan daya pikirnya, insan berupaya mensejahterakan diri dan kualitas kehidupannya.

Kecerdasan emosional yaitu kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, gosip koneksi dan efek yang manusiawi.2 Dapat dikatakan bahwa EQ yaitu kemampuan mendengar bunyi hati sebagai sumber informasi. Untuk pemilik EQ yang baik, baginya infomasi tidak hanya didapat lewat panca indra semata, tetapi ada sumber yang lain, dari dalam dirinya sendiri yakni bunyi hati. Malahan sumber infomasi yang disebut terakhir akan menyaring dan memilah gosip yang didapat dari panca indra. 

Substansi dari kecerdasan emosional yaitu kemampuan mencicipi dan memahami untuk kemudian disikapi secara manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, sanggup memahami perasaan orang lain, sanggup membaca yang tersurat dan yang tersirat, sanggup menangkap bahasa mulut dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan menuntunnya semoga bersikap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya Dapat dimengerti kenapa orang yang EQ-nya baik, sekaligus kehidupan sosialnya juga baik. Lain tidak lantaran orang tersebut sanggup merespon tuntutan lingkungannya dengan tepat .

Kecerdasan spiritual yaitu kecerdasan untuk menghadapi dilema makna atau value, yakni kecerdasan untuk menempatkan sikap dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap sikap dan kegiatan, melalui langkah- langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas hanif dan ikhlas5. SQ yaitu bunyi hati Ilahiyah yang memotivasi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat. 

KECERDASAN MANUSIA
Sering kita mendengar istilah IQ( intellegent quotient), Eq (emotional Qoutient), dan dikala ini yang sedang terkenal yaitu istilah ESQ (emotional Spiritual Qoutient) gagasan seorang Indonesia yatiu Ari Ginanjar. Gagasan ESQ bisa dibilang merupakan suatu keberhasilan yang luar biasa, lantaran gagasan ESQ ini diciptakan oleh seluruh aspek masyarakat mulai dari tingkat buruh hingga petinggi-petingginegara di dunia. 

Disini akan dijelaskan ihwal kecerdasan yang ada pada insan diantaranya yaitu ketiga hal tadi, IQ,EQ, dan SQ.

1. Intellegent Qoutient (IQ). 
Kecerdasan pikiran ini merupakan kecerdasan yang bisa bertumpu kemampuan otak kita untukberpikir dalam menuntaskan masalh. Jika kita mengikuti psikotes ada banyak soal yang menuntut kejelian pikiran kita untuk menjawabnya, contohnya soal mengenai delik ruang menyerupai bentuk kubus yang diputar-putar akan menjadi menyerupai apa. Soal ini bertujuan untuk mellihat kemampuan pikiran kita dalam menuntaskan suatu masalah dari banyak sekali sisi. 

Sudah bertahun-tahun dunia akademik, dunia militer (sistem rekrutmen dan promosi personel militer) dan dunia kerja, memakai IQ sebagai standart yang mengukur kecerdasan manusia, akan tetapi namanya juga temuan manusia, istilah teknis yang diperkenalkan Alfred Binet (1857-1911) usang kelamaan mendapat sorotan dari para jago dan mereka mencatat setidaknya ada dua kelemahan (bukan kesalahan) yang menuntut untuk diperbaharui, yaitu :

Pemahaman adikara terhadap skor IQ. 
Steve Hallam berpandangan, pendapat yang menyatakan kecerdasan insan itu sudah menyerupai angka mati dan tidak bisa dirubah yaitu tidak tepat. Penemuan modern mengambarkan pada fakta bahwa kecerdasan insan itu hanya 42% yang dibawa dari kahir, sementara sisanya 58% merupakan hasil dari proses belajar. 

b. Cakupan kecerdasan insan : kecerdasan nalar, matematika dan logika Steve Hallam sekali lagi menyampaikan bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, lantaran arif balig cukup akal ini makin banyak pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan insan itu bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama bekerjasama dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike tyson dikatakan cerdas selama bekerjasama dengan ring tinju. 

2. Emotional Qoutient (EQ) 
Disebut juga kecerdasn Emosi. Kecerdasan emosi ini didasarkan kepada kemampuan insan dalam mengelola emosi dan perasaan. Kecerdasan emosi ini dikatakan sangat besar lengan berkuasa dalam performance dan kecakapan emosi kita dalam bekerja, dan juga kemampuan kita dalam menghadapi suatu masalah. Seseorang yang mempunyai emosi yang jelek walaupun IQ nya besar, beliau akan gagal dalam hidupnya dikarenakan tidak bisa mengontrol diri dikala menghadapi suatu masalah. Kecerdasn emosi sudah suatu tolak ukur utama yang dicari oleh perusahaan pada pegawainya dan sering merupakan kerakteristik penentu kesuksesan dalam bekerja dan pembedaan kinerja dan performance suatu karyawan. Kecerdasan emosi yaitu kemampuan untuk mendapatkan dan menerapkan pengetahuan dari emosi diri dan emosi orang lain semoga bisa lebih berhasil dan bisa mencapai kehidupan yang lebih baik. 

3. Spiritual Qoutient (SQ)
Kecerdasan spirituasl ini berkaitan dengan keyakinan kita kepada TUHAN YNG MAHA ESA. Kecerdasan ini muncul apabila kita benar-benar yakin atas segala ciptaanNya dan segala kuasanya kepada insan (bukan atheis). Seputar kecerdasan spiritual Danah Zohar,penggagas istilah tehnis SW (kecerdasan Spiritual) dikatakan bahwa jikalau IQ bekerja untuk melihat keluar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang ada didalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual Quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat diri’. Kecerdasan ini yaitu kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangakat internal diri yang mempunyai kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada dibalik kenyataan apa adanya. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dnegan pencerahan jiwa, orang yang ber SQ tinggi bisa memaknai penderitaan hidup dengan makna positif pada setiap peristiwa, maslah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia bisa membangkitkan jiwanya dan melaksanakan perbuatan dan tindakan positif. 

Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada insan dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan insan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, insan sanggup terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan mencar ilmu secara terus menerus.

Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya binatang pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh lantaran itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang kemudian di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis binatang yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun dikala ini mereka telah punah dan kita hanya sanggup mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Boleh jadi, secara pribadi maupun tidak langsung, kepunahan mereka salah satunya disebabkan oleh faktor keterbatasan kecerdasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya insan bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga dikala ini insan ternyata masih sanggup mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya. 

Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga dikala ini para jago pun sepertinya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif ihwal kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) menyampaikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi gres secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa berdasarkan teori lama, kecerdasan mencakup tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk mengikuti keadaan dengan dengan situasi gres atau lingkungan pada umumnya.

Memang, semula kajian ihwal kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan insan yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot hingga dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, jago psikologi dari Perancis pada awal era ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.

Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang. 

Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan insan lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang sanggup mensugesti terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam relasi dengan orang lain. 

Pekembangan berikutnya dalam perjuangan untuk menguak belakang layar kecerdasan insan yaitu berkaitan dengan fitrah insan sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh dilema inti kehidupan yang menyangkut fitrah insan sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun insan dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya insan akan meyakini dan mendapatkan tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan menyerupai itu berdasarkan Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience). 

Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya hingga kepada akreditasi atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang awet yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh lantaran itu, insan akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk konkret kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).

Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer memperlihatkan adanya proses syaraf dalam otak insan yang terkonsentrasi pada perjuangan yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah bekerjsama terdapat fitrah insan yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian ihwal God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan insan yang berkenaan dengan perjuangan menyampaikan penghayatan bagaimana semoga hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)

Di Indonesia, ada dua orang yang berjasa besar dalam menyebarkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya. 

Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model training ESQ yang telah mempunyai hak patent tersendiri. Konsep training ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan ihwal : (1) Zero Mind Process; yakni suatu perjuangan untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu; (2) Mental Building; yaitu perjuangan untuk membuat format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman; (3) Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu perjuangan untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; perjuangan untuk melaksanakan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total Action; yaitu suatu perjuangan untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar, 2001).

Berkembangnya pemikiran ihwal kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) mengakibatkan rumusan dan makna ihwal kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ yaitu suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes memakai pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan memperlihatkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .

Berkat kecerdasan intelektualnya, memang insan telah bisa menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, membuat teknologi gosip dan transportasi yang mengakibatkan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, membuat bom nuklir, serta membuat alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak erat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah mengakibatkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya. Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan, menyerupai Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau lantaran sikap dan sikap insan yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan sikap manipulatif).

Manusia telah berhasil membuat “raksasa-raksasa teknologi” yang sanggup menyampaikan manfaat bagi kepentingan hidup insan itu sendiri. Namun dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah berkemas-kemas untuk menerkam dan menghabisi insan itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, sepertinya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun harus bernasib sama menyerupai Dinosaurus ?

PERANAN KECERDASAN MANUSIA
Mengapa orang yang lebih sosial berhasil sedangkan yang IQ-nya sedang banyak yang gagal? Pertama-tama kita perlu pahami dulu bahwa kecerdasan emosi (EQ) bukanlah lawan dari kosien kecerdasan (IQ). EQ justeru melengkapi IQ menyerupai halnya kecerdasan akademik dan ketrampilan kognitif. Penelitian memperlihatkan bahwa bekerjsama kondisi emosi mensugesti fungsi otak dan kecepatan kerjanya (Cryer dalam Kemper). Penelitian bahkan juga memperlihatkan bahwa kemampuan intelektual Albert Einstein yang luar biasa itu mungkin bekerjasama dengan penggalan otak yang mendukung fungsi psikologis, yang disebut amygdala. Meskipun demikian, EQ dan IQ berbeda dalam hal mempelajari dan mengembangkannya. IQ merupakan potensi genetik yang terbentuk dikala lahir dan menjadi mantap pada usia tertentu dikala pra-pubertas, dan setelah itu tidak sanggup lagi dikembangkan atau ditingkatkan. Sebaliknya, EQ bisa dipelajari, dikembangkan dan ditingkatkan pada segala umur. Penelitian justeru memperlihatkan bahwa kemampuan kita untuk mempelajari EQ meningkat dengan bertambahnya usia. Perbedaan lain, IQ merupakan kemampuan ambang yang hanya bisa memperlihatkan jalan bagi karir kita atau membuat kita bekerja di bidang tertentu; sedangkan EQ berjalan di jalan itu dan mempromosikan kita di bidang itu. Oleh lantaran itu, keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan unsur penting dalam keberhasilan manajerial. Sampai tingkat tertentu, IQ mendorong kinerja produktif; tapi kompetensi berbasis-IQ dianggap "kemampuan ambang", artinya kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan rata-rata. Sebaliknya, kompetensi dan Ketrampilan berbasis-EQ jauh lebih efektif, terutama pada tingkat organisasi yang lebih tinggi ketika perbedaan IQ sanggup diabaikan. Dalam studi perbandingan antara orang yang kinerjanya cemerlang dan yang biasa-biasa saja pada organisasi tingkat tinggi, perbedaannya 85% disebabkan oleh kompetensi berbasis-EQ, bukan IQ. Dr Goleman menyampaikan bahwa walaupun organisasinya berbeda, kebutuhannya berbeda, ternyata EQ menyumbangkan 80-90% untuk memprediksikan keberhasilan dalam organisasi secara umum. Kami merujuk kepada studi masalah yang dilakukan oleh Dr. Goleman dan dua peneliti EQ terkenal lain untuk menganalisis bagaimana kompetensi EQ berkontribusi bagi keuntungan yang didapatkan sebuah firma akuntansi yang besar. Pertama, IQ dan EQ para partisipan diuji dan dianalisis secara mendalam; kemudian mereka diorganisasi ke dalam beberapa kelompok kerja, dan masing-masing kelompok diberi training mengenai satu bentuk kompetensi EQ, menyerupai manajemen-diri dan ketrampilan sosial; sebagai kontrol yaitu satu kelompok yang terdiri atas orang-orang ber-IQ tinggi. Ketika dilakukan penilaian nilai-tambah ekonomi yang diberikan kompetensi EQ dan IQ, hasilnya sangat mencengangkan. Kelompok dengan ketrampilan sosial tinggi menghasilkan skor peningkatan keuntungan 110%, sementara yang dibekali manajemen-diri mencatat peningkatan keuntungan 390%, peningkatan $ 1.465.000 per tahun. Sebaliknya, kelompok dengan kemampuan kognitif dan analitik tinggi, yang mencerminkan IQ, hanya menambah keuntungan 50%; artinya, IQ memang meningkatkan kinerja, tapi secara terbatas lantaran hanya merupakan kemampuan ambang. Kompetensi berbasis EQ terang jauh lebih mendorong kinerja.

Didalam bidang pendidikan,Pemerintah masih berusaha untuk mendapatkan formula yang terbaik dalam mendidik pelajar-pelajar disekolah. Pendidikan telah begitu merosot hingga pelajar terlibat dalam gangsterisme, vandalisme, budaya rock, budaya metal, skinhead, narkoba, melawan guru, bahkan paling sering terjadi perkelahian antar pelajar.

Ada pihak yang menyarankan pendidikan diarahkan kepada system pertumbuhan IQ (intelligence quotient) semata-mata. Dalam system yang ada sekarang, kecerdasan atau IQ saja yang menjadi indeks pengukur untuk menilai kecerdasan seseorang pelajar. Namun ada pihak lain yang menentang,IQ hanya salah satu ukuran untuk memperlihatkan kemampuan mental dalam mempelajari ilmu dan menuntaskan masalah teoritikal. Ia tidak memperlihatkan kepada kualitas pelajar secara menyeluruh yang sepatutnya merangkum lebih banyak ciri, bidang dan kriterianya.

Kalau diteliti kita akan mendapati bahwa, akhlak, pribadi, jati diri dan sikap pelajar semakin jelek dan merosot. Pasti ada sesuatu yang tidak kena. Juga membuktikan bahwa system bidang pengajaran pendidikan para pelajar ada yang kurang dan tidak menyeluruh. Pribadi pelajar yang terbina berat sebelah dan tidak seimbang. Ada anjuran untuk penambahan kecerdasan lain yang mesti diambil yaitu EQ (emotional quotient). Harusnya penerapan pembelajaran IQ perlu di imbangi dengan EQ, kecerdasan minda perlu di imbangi dengan kecerdasan emosi. Kalau tidak emosi para pelajar akan gampang terganggu dan pelajar akan bertindak mengikut emosi dan dorongan perasaan. Dalam hal ini kecerdasan minda tidak akan berfungsi dengan baik. Apabila pelajar mempunyai EQ yang rendah atau kecerdasan emosinya kurang, maka emosinya menjadi tidak stabil. Mereka akan bertindak mengikut emosi dan gampang terjebak dengan vandalisme, gangsterisme, keganasan atau mencederakan orang lain.

Tuhan mengakibatkan insan mempunyai sifat batin yang berbeda-beda antara satu sama lain. Ada tiga jenis sifat atau kekuatan batin yang menonjol yang merupakan sifat insan yang berbeda-beda itu. Diantaranya ialah: 
  • Kekuatan akal 
  • Kekuatanperasaan 
  • Kekuatanjiwa 
Dalam istilah modennya, dinamakan IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). Namun tidak semua orang ataupun para pendidik yang benar-benar faham ihwal ketiga-tiga kekuatan ini dan bagaimana untuk mengendalikannya. Setiap orang mempunyai salah satu dari kekuatan diatas. Jarang ada insan yang mempunyai kekuatan tersebut sekali gus kecuali para Nabi dan para Rasul. Orang yang mempunyai kekuatan kebijaksanaan selalunya kurang mempunyai kekuatan jiwa dan kekuatan perasaan. Seterusnya, sesiapa yang mempuyai kekuatan jiwa, maka beliau kurang mempunyai kekuatan kebijaksanaan dan kekuatan perasaan. Kalau seseorang itu mempunyai kekuatan perasaan pula maka kekuatan jiwanya dan kekuatan akalnya pula kurang. Sifat, tabiat dan talenta seseorang itu bergantung kepada kekuatan batin yang ada padanya. Inilah lantaran utama dan terbesar mengapa berlaku perbedaan sifat, tabiat dan talenta antara seseorang dengan orang lain. Inilah diantara pesan yang tersirat dan rahmat Tuhan dalam penciptaan manusia. Sifat, bakat, minat dan kecenderungan insan itu tidak sama dan berbeda-beda mengikut sifat dan kekuatan batinnya. Ini sesuai denga keperluan masyarakat itu sendiri yang tidak sama dan berbeda-beda. Yang kuat jiwa suka dan berbakat menjadi polisi, tentera, bertani, penternak dan nelayan. Yang kuat kebijaksanaan berbakat menjadi guru, saint, doktor, teknokrat. Yang kuat perasaan berbakat menjadi jago seni, pekerja media, sasterawan dan sebagainya.

Memang benar bahwa system pendidikan kini amat lemah dan mementingkan kekuatan kebijaksanaan atau IQ semata-mata. Tidak ada tempat dan ruang untuk pelajar yang kuat jiwa dan kuat perasaan atau dalam istilah lain yang kuat SQ dan EQnya. Oleh itu mereka ini terpinggir dalam system yang hanya mementingkan IQ semata-mata. System ini tidak relevan bagi mereka. Tidak heran jikalau mereka ini rusak dan hanyut karana tidak sanggup menyesuaikan diri dengan system yang ada. Mereka di asah dan diuji untuk menghasilkan kerja kebijaksanaan padahal kekuatan mereka bukan terletak disitu. Dalam hal-hal yang mereka minati dan bisa berdasarkan kekuatan perasaan dan jiwa mereka tidak pernah dibina. Kesannya ialah tekanan perasaan, kekecewaan, frustasi dan kekeliruan. Maka berlakulah tindak balas dendam sebagai manifestasi kepada kekecewaan, tekanan perasaan, frustasi dan kekeliruan ini. Yang kuat jiwa mengganas, memberontak dan melanggar disiplin dan peraturan. Yang kuat perasaan pula mendongkol, murung, merasa inferiority complex, frustasi dan sakit jiwa. Didalam setiap kekuatan batin yang disebutkan diatas, ada kebaikan dan ada pula keburukannya. Yang baik akan memberi faedah. Yang jelek pula akan membawa kerugian. Sifat-sifat baik dan jelek ini yaitu menyerupai berikut:

KEKUATAN AKAL
Orang yang kuat kebijaksanaan mempunyai keupayaan berfikir. Melalui pemikirannya itu, beliau sanggup membuat berbagai-bagai inovasi dan teori. Dia juga gampang faham dan gampang mengingati ilmu-ilmu yang dipelajarinya bahkan beliau bisa mengambil ilmu yang tersirat dan yang tersembunyi. Dia juga sangat berhati-hati supaya hasil kerja akalnya tidak salah.Kelemahannya, orang yang kuat kebijaksanaan selalu asyik-mahsyuk dengan kerja akalnya sehingga beliau selalu terlupa dan lalai dari tanggungjawapnya terhadap Tuhan, terhadap masyarakat, keluarga bahkan pada dirinya sendiri. Jiwanya penuh dengan rasa ego maupun sombong (rasa diri hebat).

KEKUATAN PERASAAN
Orang yang kuat perasaan selalunya sangat berhati-hati dan tidak gopoh. Dia sangat bertimbang-rasa dan wataknya lemah lembut. Namun keburukan sifat orang yang kuat perasaan ini ada banyak. Dia bakhil, gampang merajuk, gampang kecewa, suka menyendiri, rasa rendah diri dan tidak yakin pada diri sendiri. Dia juga gampang beralah, pemalu, penakut, tidak tahan diuji dan suka jelek sangka.

KEKUATAN JIWA 
Orang yang kuat jiwa pula berani, yakin pada diri, pemurah, tabah, tahan diuji dan tidak putus asa.
Keburukannya pula, beliau selalu gopoh, boros (membazir), zalim (suka menindas), pemarah, sombong, pendendam dan ujub. Dalam hendak mendidik para pelajar, kekuatan batin mereka harus dikenalpasti terlebih dahulu. Setiap guru dan pendidik mesti tahu dimana letaknya kekuatan batin setiap pelajar mereka. Adakah akalnya kuat, perasaannya atau adakah jiwanya yang kuat. Kemudian mereka perlu di didik mengikut kekuatan mereka masing-masing.

Setiap pelajar mempunyai sifat –sifat batin yang baik disamping sifat-sifat batin yang buruk. Tegasnya setiap pelajar mempunyai kelebihan dan keistimewaan dan juga kekurangan dan kelemahan yang tertentu bergantung kepada kekuatan batin yang ada padanya. Setiap sifat yang baik itu tidak akan tepat selagi ianya tidak di pimpin dengan syariat Islam dan diarahkan kepada jalan Allah. Begitu juga, setiap sifat yang jelek itu boleh di didik hingga menjadi baik atau sekurang-kurangnya ia boleh dibendung semoga ia tidak meliar. Inilah yang perlu difahami oleh para guru dan pendidik dan semua yang terlibat dengan para pelajar disemua peringkat samada di peringkat sekolah, pendidikan daerah, pendidikan negeri dan kementerian sendiri. Kalau istilah pembelajaran itu berkaitan dengan ilmu, kemahiran dan akal, istilah pendidikan pula melibatkan pengurusan dan pengendalian sifat batin pelajar. Selagi masalah ini tidak difahami, tidak diambil kira dan tidak dijadikan konsep dan prinsip dalam mendidk, membimbing dan membentuk para pelajar, selagi itulah kita tidak akan sanggup menghasilkan pelajar yang benar-benar cemerlang lahir dan batinnya.

HUBUNGAN KERJA ANTARA IQ,EQ DAN SQ

Dengan mellihat denah Meta Kecerdasan. Kita akan melihat bahwa kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual dan kecerdasan intelektual sangat berkaitan erat satu dengan yang lain. Dari denah tersebut sanggup kita lihat, apabila kita berorientasi pada Ketuhanan, maka hasilnya yaitu eq, iq dan SQ yagn terintegrasi. Pada dikala masalah tiba maka radar hati bereaksi menangkap signal. Karena berorientasi pada materialisme, maka emosi yang dihasilkan yaitu emosi yang tidak terkendali, sehingga menghasilkan sikap-sikap sebagai berikut: marah, sedih, kesal dan takut. Akibat emosi yang tidak terkendali, God Spot menjadi terbelenggu atau bunyi hati tidak mempunyai peluang untuk muncul. Bisikan bunyi hati ilahiah yang bersifat mulia tidak lagi bisa didengarkan, yang berperan yaitu emosi. 


Kasus lain yaitu ketika masalah atau tantangan muncul radar hati pribadi menangkap getaran atau sinyal. Ketika sinyal itu menyentuh dinding TAUHID, kesadaran TAUHID mengendalikan emosi hasilnya yaitu emosi yang terkendali, menyerupai rasa tenang dan damai. Dengan ketenangan emosi yang terkendali, maka God Spot atau pintu hati terbuka dan bekerja. Terdengarlah bisikan-biskan, kejujuran, tanggung jawab, kepedulian, kreativitas, komitmen kebersamaan perdamaian dan bisikan hati mulia lainnya. Berdasarkan dorongan biskikan mulia itulah potensi kecerdasan intelektual bekerja dengan optimal, yaitu sebuah perhitungan intelektualias yang berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kejujuran dan tanggung jawab. Lahirlah sebuah META Kecerdasan, yatiu integrasi EQ, IQ, SQ.

Penyederhanaan Bagan relasi IQ, EQ, dan SQ dalam model ESQ (Ary Ginanjar Agustian) .

Orientasi materialisme 
ketika masalah muncul pada dimensi fisik, 
maka akan terjadi rangsangan pada dimensi emosi, berupa kemarahan, kesedihan, kekesalan. 
akibatnya, bunyi hati ilahiah pada dimensi spiritual (SQ) tidak bisa bekerja. Akhirnya acara pada dimensi fisik akan bekerja tidak optimum bahkan tidak normal. 

ORIENTASI SPIRITUALISME TAUHID 
ketika terjadi masalah pada dimensi fisik, 
maka akan tejadi rangsangan pada dimensi emosi (EQ). namun lantaran aspek mental telah dilindungi oleh prinsip tauhid, maka emosi akan tetap tenang terkendali. 
akibatnya, bunyi hati ilahiah pada dimensi spiritual (sq) bekerja dengan baik. 

Sumber http://sharingilmupajak.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pengertian Iq, Eq Dan Sq"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel